Arsaka terdiam. Ia menimang-nimang sesuatu dalam pikirannya, hendak ia keluarkan atau cukup ia sendiri saja yang tahu, jujur saja, alasannya nanti pasti akan terdengar tidak masuk akal.
Ya, alasan konyol!
Bukankah wajar jika seorang pembesar seperti dirinya bertindak seenaknya? Ini adalah kantor milik ibunya dan dapat dipastikan akan jatuh ke tangannya karena dirinya adalah anak tunggal. Tapi melihat keteguhan gadis itu yang terus mendesaknya membuat ia dilema.
'Ah, baiklah! Kalau ini yang kamu mau!' batin Arsaka.
"Apakah kamu tahu sejak pertama kali aku bertemu denganmu membuatku tak segan untuk langsung membencimu? Karena kamu adalah orang pertama yang membuat aku dan ibuku bertengkar.
Apa yang kamu ucapkan pada ibuku sampai-sampai beliau menginginkan aku untuk menikahi gadis sepertimu? Jangan-jangan kamu memakai mantra tertentu?" ungkap Arsaka dengan senyuman sinis terbit di wajahnya.
Tantri tak menduga
Arsaka balas menatap wajah sendu Tantri. Ia bisa merasakan ada rasa sakit di dalam hati gadis itu. Sungguh, ia tak menyangka bahwa ia masih bisa bersimpati padanya. Sekelebat kejadian tiba-tiba membanjiri pikirannya. Ia tampak bersalah pada gadis miskin yang baru saja ia pecat. "Kamu boleh bekerja di sini lagi! Asal dengan satu syarat, jangan pernah berpapasan denganku ke depannya!" tegas Arsaka. Tantri mengernyit heran. Kepalanya mendadak pening. Sepertinya pria si hadapannya memang bermasalah dengan isi di dalam otaknya. "Terima kasih atas tawaran Bapak Arsaka yang baik. Tapi tidak perlu anda lakukan, karena setelah mendengar pemecatan dan alasan yang telah disampaikan Bapak pada saya sudah cukup menjadi penguat bagi saya untuk segera keluar dari perusahaan ini. Sekali lagi terima kasih, Pak Arsaka!" tolak Tantri mentah-mentah sembari mengulas senyum tipis. Tantri membungkukkan badan sembilan puluh derajat dan b
Tantri berupaya mengembalikan amplop di tangannya pada Josh. Bagaimana pun juga dirinya sudah tidak bekerja lagi di perusahaan ini. Untuk apa lagi ia menerima uang yang bukan haknya?Gadis muda nan cantik itu tersenyum sebelum akhirnya beranjak dari tempat duduknya sementara waktu."Pak Josh, maaf saya mau pulang. Saya merasa sudah tidak memiliki hutang atau beban apa pun di sini. Permisi, Pak!" ungkap Tantri setelah meletakkan amplop itu di atas meja.Josh yang menangkap basah ulahnya segera mencegah kepergian Tantri."Jangan pergi dulu, Tantri! Terimalah ini! Maafkan aku karena gagal menyelamatkanmu dari amarah pimpinan. Aku menyukai cara kerjamu, pasti aku akan merindukan segala tentangmu," ungkap Josh jujur yang sebenarnya dapat membuat siapa pun yang mendengarnya berpikiran ambigu.Tantri mengangguk mantap."Terima kasih juga Pak, sudah mengijinkan saya bergabung dengan perusahaan ini. Dan untuk uang
Banyu menunggu penjelasan Tantri. Ia merasa tak dianggap oleh gadis cantik itu. Apakah dirinya tidak berharga sama sekali dalam hidup Tantri? Kenapa hal sepenting ini ia ketahui dari beberapa teman sejawat Tantri di sini? Segala macam pertanyaan menelusup ke dalam hati pemuda tampan tersebut. "Jawab aku, Tantri!" paksa Banyu. Tak berani melihat sepasang netra hitam di hadapannya, Tantri lebih memilih memalingkan pandangannya ke arah lain. Tangannya bergetar hebat. Ia tak mampu menjelaskan hal itu pada Banyu. "Tantri!" panggil Banyu, kali ini terdengar lebih melunak dibandingkan beberapa detik sebelumnya yang begitu menggebu. Tantri perlahan menghadapkan wajahnya ke arah pemuda bertubuh tinggi nan tegap tersebut dengan malu-malu. Ia meragu untuk beberapa saat. Tapi pemuda itu terus menunggu jawabannya. Menghela napas berat dan panjang, Tantri mengulum bibirnya ke dalam sembari merancang segala jawaban
Banyu menggebrak meja kerjanya lumayan kencang hingga membuat perhatian orang-orang tertuju padanya. Tak bisa menjawab pertanyaan Josh, ia memilih keluar dari ruangan sepupunya dan kembali ke ruang kerjanya. "Kenapa, Bro?" tanya Sony, sahabat Banyu di kantor tersebut. Banyu menggeleng cepat. "Nggak apa-apa!" bantah Banyu yang tampak sekali menghindari tatapan mata lawan bicaranya. "Kalau nggak kenapa-napa, kenapa itu meja dipukul kayak gitu? Ngerasa kuatkah? Apa mau gaya doang?" ledek Sony. "Bercanda kamu nggak lucu! Mending kamu minggir dulu deh, sebelum kamu jadi sasaran kemarahanku!" ancam Banyu yang sebenarnya tak akan terjadi. Ia hanya gertak sambal pada sang sahabat. Mendengar itu, Sony mengangguk dan berkata, "Ya udah pukulin aja meja itu! Biar kamu puas! Kalau udah rada enakan, cerita sama Abang, siapa tahu abang bisa bantu adek Banyu!" Niat hati ingin mengajak ber
Yusti menampar kedua pipinya sendiri. Menyangka yang baru saja dikatakan sang keponakan adalah khayalan semata. Ternyata… "Aduh, sakit!" keluhnya saat telapak tangannya dengan lancang terus memberi jejak merah di pipinya. Tantri merasa semakin bersalah. Sungguh, ia dilema. Bohong itu jelas dosa, dan jujur pasti akan terus dicecar. Lalu dia bisa apa? Tantri menatap dalam wajah sang bibi. "Maaf ya, Bi! Sekarang aku jadi pengangguran dan nggak bisa bantu bibi mencukupi kebutuhan rumah. Tapi, aku janji dan akan terus berusaha biar bisa dapat kerja lagi, Bi!" ucapnya menenangkan sang bibi. Yusti menghela napas panjang. Ia menatap balik Tantri dan tersenyum penuh kehangatan. Sambil mengelus punggung gadis cantik itu, Yusti menyandarkan kepalanya di bahu Tantri. Ia pun memeluk tubuh mungil Tantri dengan penuh kasih sayang bak seorang ibu kandung pada anaknya. "Tantri, pernahkah bibi memintamu
Arsaka tampak kesal. Bukan lagi kesal malahan, tingkatannya sudah amat sangat kesal level dewa. Ini benar-benar keterlaluan!"Mama, tolong jangan bersikap seperti ini! Please, ayo kita bisa bicarakan semuanya dengan baik-baik! Aku nggak mau ada masalah sama Mama.Mama tahu kan, aku tuh sayang banget sama Mama? Sementara saat ini aku nggak tahu apa yang menyebabkan Mama marah-marah begini sama aku!" keluhnya pada sang ibu.Mbok Sum tak bisa berbuat banyak. Wanita yang lebih tua dua tahun dari usia Mona itu pun dengan berat hati mengusir Arsaka dari kamar. Tanpa mengurangi rasa hormat, ia menunjukkan arah pintu pada pemuda tampan itu agar segera keluar dari ruangan Mona."Maaf, Den Saka. Biar Nyonya Mona istirahat dulu! Sepulang dari rumah sakit, beliau masih lemas. Beliau butuh waktu yang banyak untuk pemulihan. Den Saka bisa menemui nyonya nanti setelah Nyonya merasa lebih baik lagi!" ucap mbok Sum dengan sungkan."Mbok, aku
Yusti merasa berdosa jika melakukan hal itu. Bungkusan ini bukan miliknya meski sejuta tanya menyeruak ke dalam pikirannya, ia tetap harus bisa menahan egonya."Ya Allah, ampuni aku! Untung nggak jadi dibuka. Kalau jadi, bisa-bisa nanti Tantri marah sama aku karena lancang bukain barang-barang dia! Deuh nih tangan nakal bener, sih!" ucapnya sadar.Yusti segera membawa bungkusan itu menuju ke kamar. Berharap esok pagi setelah matahari menyambut, ia bisa segera menyerahkan titipan Banyu pada Tantri tanpa kurang sedikit pun.Membuka pintu dengan buru-buru, ia malah tanpa sengaja berpapasan dengan Tantri yang kini menatapnya penuh tanda tanya di ambang pintu kamarnya."Astaghfirullah, Tantri! Ngapain kamu di sana? Untung jantung bibi nggak copot! Astaga!" pekik Yusti sambil mengelus dadanya lalu berusaha menenangkan atmosphere pekat di dalam hatinya yang berkecamuk hebat dan satu tangan lagi membawa bungkusan dari Banyu."
'Jangan sedih, aku akan selalu ada di sampingmu, Tantri! Mas harap dengan kudapan manis ini bisa membuat kamu melupakan hal-hal yang membebani pikiranmu! Selamat malam, Tantri…' Sebuah note manis terangkai begitu indah di depan mata. Barisan huruf tertata dengan rapi, terbaca penuh khidmat oleh sepasang mata bulatnya. Tantri tersenyum bak gadis yang tengah kasmaran. Toh, itu memang kenyataannya! "Mas Banyu, kenapa kamu harus sebaik ini, sih?" gumam Tantri. Gadis itu mengeluarkan isi dalam bungkusan berwarna merah muda tersebut dan menatanya berurutan. Coklat berbentuk hati. Lolipop rasa strawberry. Marshmallow berbentuk es krim. Dan, satu lagi yang menggelitik hati Tantri. Di antara sekian kudapan manis di hadapannya saat ini, sebuah kotak beludru berwarna merah dengan kaca transparan sebagai penutupnya menunjukkan sebuah kalung emas yang pernah ia suka beberapa bulan lalu