Yusti menampar kedua pipinya sendiri. Menyangka yang baru saja dikatakan sang keponakan adalah khayalan semata. Ternyata…
"Aduh, sakit!" keluhnya saat telapak tangannya dengan lancang terus memberi jejak merah di pipinya.
Tantri merasa semakin bersalah. Sungguh, ia dilema. Bohong itu jelas dosa, dan jujur pasti akan terus dicecar. Lalu dia bisa apa?
Tantri menatap dalam wajah sang bibi.
"Maaf ya, Bi! Sekarang aku jadi pengangguran dan nggak bisa bantu bibi mencukupi kebutuhan rumah. Tapi, aku janji dan akan terus berusaha biar bisa dapat kerja lagi, Bi!" ucapnya menenangkan sang bibi.
Yusti menghela napas panjang. Ia menatap balik Tantri dan tersenyum penuh kehangatan.
Sambil mengelus punggung gadis cantik itu, Yusti menyandarkan kepalanya di bahu Tantri. Ia pun memeluk tubuh mungil Tantri dengan penuh kasih sayang bak seorang ibu kandung pada anaknya.
"Tantri, pernahkah bibi memintamu
Hai semua kakak-kakak yang telah berkenan membaca cerita ini, maaf baru bisa melanjutkan... 🙏🙏🙏
Arsaka tampak kesal. Bukan lagi kesal malahan, tingkatannya sudah amat sangat kesal level dewa. Ini benar-benar keterlaluan!"Mama, tolong jangan bersikap seperti ini! Please, ayo kita bisa bicarakan semuanya dengan baik-baik! Aku nggak mau ada masalah sama Mama.Mama tahu kan, aku tuh sayang banget sama Mama? Sementara saat ini aku nggak tahu apa yang menyebabkan Mama marah-marah begini sama aku!" keluhnya pada sang ibu.Mbok Sum tak bisa berbuat banyak. Wanita yang lebih tua dua tahun dari usia Mona itu pun dengan berat hati mengusir Arsaka dari kamar. Tanpa mengurangi rasa hormat, ia menunjukkan arah pintu pada pemuda tampan itu agar segera keluar dari ruangan Mona."Maaf, Den Saka. Biar Nyonya Mona istirahat dulu! Sepulang dari rumah sakit, beliau masih lemas. Beliau butuh waktu yang banyak untuk pemulihan. Den Saka bisa menemui nyonya nanti setelah Nyonya merasa lebih baik lagi!" ucap mbok Sum dengan sungkan."Mbok, aku
Yusti merasa berdosa jika melakukan hal itu. Bungkusan ini bukan miliknya meski sejuta tanya menyeruak ke dalam pikirannya, ia tetap harus bisa menahan egonya."Ya Allah, ampuni aku! Untung nggak jadi dibuka. Kalau jadi, bisa-bisa nanti Tantri marah sama aku karena lancang bukain barang-barang dia! Deuh nih tangan nakal bener, sih!" ucapnya sadar.Yusti segera membawa bungkusan itu menuju ke kamar. Berharap esok pagi setelah matahari menyambut, ia bisa segera menyerahkan titipan Banyu pada Tantri tanpa kurang sedikit pun.Membuka pintu dengan buru-buru, ia malah tanpa sengaja berpapasan dengan Tantri yang kini menatapnya penuh tanda tanya di ambang pintu kamarnya."Astaghfirullah, Tantri! Ngapain kamu di sana? Untung jantung bibi nggak copot! Astaga!" pekik Yusti sambil mengelus dadanya lalu berusaha menenangkan atmosphere pekat di dalam hatinya yang berkecamuk hebat dan satu tangan lagi membawa bungkusan dari Banyu."
'Jangan sedih, aku akan selalu ada di sampingmu, Tantri! Mas harap dengan kudapan manis ini bisa membuat kamu melupakan hal-hal yang membebani pikiranmu! Selamat malam, Tantri…' Sebuah note manis terangkai begitu indah di depan mata. Barisan huruf tertata dengan rapi, terbaca penuh khidmat oleh sepasang mata bulatnya. Tantri tersenyum bak gadis yang tengah kasmaran. Toh, itu memang kenyataannya! "Mas Banyu, kenapa kamu harus sebaik ini, sih?" gumam Tantri. Gadis itu mengeluarkan isi dalam bungkusan berwarna merah muda tersebut dan menatanya berurutan. Coklat berbentuk hati. Lolipop rasa strawberry. Marshmallow berbentuk es krim. Dan, satu lagi yang menggelitik hati Tantri. Di antara sekian kudapan manis di hadapannya saat ini, sebuah kotak beludru berwarna merah dengan kaca transparan sebagai penutupnya menunjukkan sebuah kalung emas yang pernah ia suka beberapa bulan lalu
Tantri mengerjapkan matanya berkali-kali, ia tak menyangka bibinya akan datang ke kamarnya.Gadis itu berpura-pura mengambil kipas tangan dan mengibaskan angin ke wajahnya."Aduh enak banget ini anginnya! Gerah, Bi!" dusta Tantri, mau tak mau alias terpaksa.Yusti menyipitkan mata. Ya, ia akui angin malam ini terasa panas sekali. Pengap. Untung, di kamarnya terdapat sebuah kipas angin duduk hingga membuatnya tak merasa kegerahan.Tantri perlahan-lahan menutup kembali salah satu daun jendela dan menyibak tirai itu agar kembali tertutup.Pandangannya beralih pada ponselnya yang tergeletak di lantai.'Aduh, jangan sampai bibi tahu!' batin Tantri penuh harap."Ini ponsel kamu kenapa di bawah, Tantri? Kamu kalau naruh apa-apa itu yang bener dong! Masa hape ditaruh di bawah? Kalau keinjak gimana?" berondong tanya keluar dari bibir Yusti.Tantri segera mengambil ponselnya dan meletakkan
Broom Broom BroomSuara deru motor di jalanan terdengar mencabik-cabik gendang telinga pasangan bibi dan keponakan di dalam kamar tersebut.Belum sempat Tantri menjawab pertanyaan sang bibi, suara deru motor balap itu kembali mengganggu obrolan mereka.Apa itu motor Banyu?Tantri tanpa sadar melakukan pergerakan aneh di mata Yusti."Kamu kenapa, Tantri? Kok kayak gugup gitu, nggak ada yang lagi kamu tutupi dari bibi, kan?" desak Yusti memastikan.Tantri hendak menyahut, namun suara dari luar semakin mengganggu lagi dan lagi seolah telah terencana dengan baik.Yusti tanpa aba-aba atau pun banyak bicara segera meninggalkan Tantri dan berjalan ke arah pintu masuk rumah.Tantri merasakan detak jantungnya berdegup hebat. Ia takut Banyu yang ada di depan sana tertangkap basah oleh Yusti."Bibi!" panggil Tantri.Yusti menoleh ke belakang tanpa membalikkan badann
Empat tahun lalu…Gedebugg BraggSuara motor terpelanting membentur aspal jalan mengejutkan Tantri usai mendengar kebut-kebutan dari beberapa pemilik motor super ribut yang melintas di depan rumah.Gadis cantik berusia empat belas tahun itu baru saja menyapu halaman dan mengumpulkan daun-daun kering untuk ia masukkan ke dalam wadah. Ia mendengar suara riuh orang-orang yang menyoraki para pemotor ugal-ugalan dan terjatuh. Bukannya menolong, mereka malah mengolok-olok.Merasa kesal karena suara itu, Tantri memberanikan diri mendekati salah satu pemotor yang jatuh. Dengan santainya, ia mengulurkan tangan pada seorang pemuda yang masih sibuk mengatur napas usai motornya mencium aspal."Gimana? Sakit nggak, Mas?" tanya Tantri dengan tangan yang masih terjulur pada sosok pemuda tersebut. Pemuda yang bahkan belum ia tahu namanya.Pemuda itu bangun dari posisinya karena bantuan Tantri. Ia hendak mengucapkan terim
Matahari telah beranjak naik ke peraduan, menyambut datangnya hari baru. Tantri telah bersiap dengan beberapa map berisi curriculum vitae dan tulisan tangannya yang bertujuan melamar pekerjaan dari satu tempat ke tempat lain. Ia ingin mengadu nasib sekali lagi. Setidaknya ia sudah berusaha dengan terus mencoba peruntungan menjadi lebih baik."Bi, Tantri berangkat dulu, ya!" pamit Tantri seraya memakai flat shoes miliknya.Gadis cantik itu mencomot selembar roti tawar tanpa isi dan meneguk air bening di sampingnya. Merasa kenyang karena perutnya telah terisi, Tantri mengulurkan tangan ke arah sang bibi."Doain Tantri ya, Bi, semoga ada yang mau menerima Tantri kerja!" ucap Tantri meminta doa pada Yusti."Tunggu dulu! Jangan langsung berangkat, makananmu biar turun dulu, biar jadi daging! Badan kamu tuh kurus banget tahu nggak?" nasihat Yusti seraya mengomentari sang keponakan. "Bibi selalu doain yang terbaik buat kamu! Semangat, ya!
Yadi kebingungan saat tubuh Yusti yang tak bisa dikatakan ringan itu jatuh di atas kedua tangannya. Ia tak menyangka gara-gara ucapan Arsaka, wanita itu pingsan.Buru-buru, ia membawa tubuh itu ke dalam rumah dan meletakkannya di atas sofa panjang yang ada di ruang tamu."Ya Allah, berat banget sih kamu, Yusti! Makan apa kamu tiap hari? Bukan makan orang kan, ya? Masyaaallah, ini sih berasa kayak lagi gendong si Mamat!" gerutu Yadi mengomentari berat badan Yusti.Sekedar info, Mamat adalah kambing Jawa milik Yadi yang berat badannya hampir mendekati satu kwintal alias seratus kilogram.Lain Yadi, lain Arsaka. Pria tampan itu justru mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Rumah sederhana yang besarnya masih kalah jauh dengan istana miliknya itu ada di depan matanya. Ia tak menyangka Tantri hidup di tempat seperti ini.Netra hitam pria itu menelusuri setiap sisi dan berakhir pada beberapa gantungan pigura di dinding. Di