Share

Bab 2 : Madu Itu Mantan Kekasih Suamiku

“Siapa dia, mas?” tanya Najwa saat ia baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Rambut basah Najwa masih terbalut oleh handuk. Ia mendekati Hamish yang buru-buru meletakkan foto seorang wanita pada dalam kardus yang berisi barang-barang bekas di rumahnya.

“Bukan siapa-siapa,” jawab Hamish datar.

“Pasti dia Aisyah Rahmah yang selalu kamu ceritakan padaku itu, kan?” tebak Najwa. Hamish memandang wajah istrinya yang bersih tanpa make up, mata lentik Najwa selalu bisa membuat Hamish bertekuk lutut. Hamish menarik pinggang Najwa dan memandangnya dengan seksama.

“Tidak penting Aisyah sekarang, yang terpenting adalah kamu di hidupku,” kata Hamish padanya. Hamish langsung mencumbu bibir istrinya.

“Aku baru selesai mandi, mas,” kata Najwa melepaskan ciuman suaminya. Semalam mereka telah melakukan hubungan istri yang panas dan itu berkali-kali hingga membuat Najwa merasa sedikit lelah.

“Aku selalu bergairah saat bersamamu, sayang,” kata Hamish pada istrinya. Najwa tertawa.

“Lalu kapan kita bersih-bersih rumahmu? Keburu akan datang orang yang mau membelinya,” kata Najwa yang melepaskan ciuman Hamish lagi.

“Mereka bisa menunggu, aku yakin mereka akan maklum kalau kita ini pengantin baru,” kata Hamish seraya meraba-raba tubuh istrinya dan membawanya ke atas pembaringan. Hamish gegas melucuti bathrobe istrinya dan mulai mencumbunya dengan gairah yang sudah membakarnya sejak ia menemukan foto lama Aisyah di laci miliknya. Miris.

“Aku mencintaimu, Syah,” kata Hamish di sela-sela desahan Najwa. Tentu saja suara Hamish itu membuat Najwa kaget dan memandang wajah suaminya yang masih terbenam di sela-sela bagian tubuhnya yang lain. Najwa diam, ia menganggap kalau telinganya tengah salah mendengar ucapan Hamish.

“Bu?” suara perawat itu membuyarkan semua lamunan Najwa, “kami butuh persetujuan ibu untuk operasi section caesar bu Aisyah,” kata perawat itu lagi padanya. Tangan Najwa gemetaran, usai melakukan transfusi darah pada suaminya, kini ia  dihadapkan kenyataan pahit yang membuatnya menemui jalan buntu. Ia tak tahu harus melakukan apa.

“Tapi saya bukan keluarganya, sus,” kata Najwa. Suster tersebut makin bingung.

“Nyawa bu Aisyah dan anaknya dalam bahaya, bu. Tolong, demi rasa kemanusiaan dan sesama perempuan,” kata perempuan itu membujuk. Perawat tersebut sadar bahwa perempuan di hadapannya ini sangat syok dengan kenyataan pahit itu. Siapa yang tidak terluka jika ternyata ada perempuan lain di hati suaminya? Apalagi perempuan itu tengah mengandung.

Dengan tangan gemetaran, Najwa menerima file tersebut dan menandatanganinya dengan tangan segera. Air matanya jatuh saat ia selesai menandatangani file persetujuan tindakan operasi tersebut. Perawat tersebut mengucapkan terima kasih dan berbalik meninggalkan Najwa yang menangis pedih di lorong rumah sakit tersebut.

Najwa memukul-mukul dadanya yang terasa sesak dengan tangan kanannya. Ia tak pernah membayangkan bahwa Hamish akan menduakannya dengan Aisyah, perempuan masa lalu suaminya.

“Kenapa tidak dibakar saja, mas?” tanya Najwa kala Hamish membawa barang-barang bekas dan kenangan masa lalunya bersama Aisyah itu ke gudang rumahnya.

“Mau aku kembalikan saja ke keluarga Aisyah,” jawab Hamish pada Najwa.

“Buat apa repot-repot, mas?” Najwa mulai kesal.

“Banyak barang-barang milik Aisyah, sayang,” kata Hamish.

“Dan itu sudah menjadi milikmu saat kalian bersama, ketika berpisah sebaiknya dihancurkan saja,” kata Najwa gemas. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk sangat keras, kesal dengan sikap suaminya, apalagi jika ia ingat kalau saat bercinta tadi sang suami malah menyebut nama belakang Aisyah. Rasa cemburunya makin lebar saja.

“Aku tahu, tapi aku akan kembalikan dan menganggap hubungan kami tak pernah ada sebelumnya,” jawab Hamis. “Kenapa? Kamu cemburu?” tanya Hamish seraya mendekat ke arah Najwa yang cemberut padanya, “lagian rumah ini mau kujual, sayang,” kata Hamish lagi.

“Tetap saja kamu akan ke kampung halamannya,” kata Najwa.

“Kalau begitu, aku paketkan saja ya barang-barang Aisyah,” kata Hamish.

“Bener mau dipaketin?” tanya Najwa curiga dan Hamish mengangguk.

“Tentu, buat apa disimpan di sini? Gudang ini juga akan menjadi milik pembeli yang baru, kan?”  kata Hamish dan Najwa mengangguk ke arahnya, “sudah, jangan cemberut lagi, hanya kamu satu-satunya wanita di hatiku, Najwa. Tidak ada yang lain,” kata Hamish.

“Bagaimana jika nanti Aisyah kembali, mas?” tanya Najwa dan Hamish malah terkekeh mendengarnya.

“Tidak mungkin. Dia jauh, sayang. Lagian, dia juga sudah menikah,” kata Hamish.

“Apapun bisa terjadi, mas,” kata Najwa.

“Apapun juga aku akan tetap menjadi suamimu,” jawab Hamish dengan mencium singkat bibir istrinya dan mengajaknya keluar gudang.

Najwa memutuskan untuk pulang, ia tak mau menemani Hamish di rumah sakit.

“Bagaimana keadaan Hamish, Najwa?” tanya ibu mertua padanya. Raut cemas itu menghiasi wajah keriput sang mertua.

“Mas Hamish kehilangan banyak darah, bu. Aku sudah melakukan donor darah padanya dan sekarang tubuhku sedang tidak fit, aku akan istirahat. Biar bi Surti yang mendampingi mas Hamish,” kata Najwa pada ibunya yang kaget mendengar ucapan menantunya.

“Biar ibu saja yang menemani Hamish, nak. Terima kasih karena kamu telah menolong suamimu. Kamu makan dan istirahatlah, biar ibu yang menjaga Hamish,” kata sang ibu ramah. Najwa tak tega, ia tahu bagaimana kondisi ibu mertuanya. Rentan sakit. Jika pergi ke rumah sakit tentu ia juga akan sakit.

“Biar bi Surti saja, bu. Nanti sore Najwa akan kembali. Kalau ibu ikutan ke rumah sakit dan malah sakit, bagaimana?” tanya Najwa.

“Gak papa, nak,” jawab sang mertua.

“Begini saja, ibu temani bi Surti, tapi ibu jangan lama-lama di rumah sakit, ya?” tanya Najwa dan ibunya mengangguk setuju. Najwa juga penasaran bagaimana reaksi ibunya jika tahu putra kesayangan serta kebanggaannya itu punya istri lain? Marah atau menerima?

Najwa berlalu ke kamar, ia melepaskan jaketnya, mengganti pakaiannya dengan gamis santai dan memakai kerudung sederhana lalu menggelar sajadah. Ia berencana menunaikan salat sunnat dhuha. Siapa tahu hatinya menjadi tenang setelah beribadah.

Dua rakaat salat sunnah itu sudah ia laksanakan, tapi perih di hatinya tak membaik. Najwa ingin marah dan berteriak sekeras-kerasnya, tapi takut ibunya syok dan mencemaskannya. Najwa akhirnya memilih untuk membaca kitab suci, berharap kali ini berhasil, atau setidaknya membuatnya mengantuk hingga ia bisa tidur.

Kegiatannya ternyata sukses. Najwa lelah setelah membaca dua juz dalam kitab sucinya, ia lantas menutup kitab sucinya, melepas mukenahnya, menyimpan sajadahnya dan pergi ke pembaringan. Sayangnya wajah sang suami malah muncul di sisi kanannya, membuatnya gemas dan kesal lagi.

“Kenapa, mas? Kenapa kamu ingkar janji?” tanya Najwa dengan mata berderai pada bayangan suaminya di depannya. Bayangan wajah suaminya hanya tersenyum, tak menghiraukan pertanyaan Najwa. Pelan, bayangan suaminya itu menyentuh wajah Najwa yang menangis dan tiba-tiba saja bayangan sang suami berubah menjadi bayangan wajah ayah Najwa.

“Ayah?” panggil Najwa pada pria yang terlihat muda dan cukup tampan.

“Najwa, anakku. Jangan bersedih, ayah dan ibu selalu ada bersama Najwa,” kata sang ayah. Bukannya berhenti, tangis Najwa semakin menjadi-jadi. Ia merindukan sosok ayahnya yang selalu menemaninya tidur dulu saat ia masih kecil. Jika saja kecelakaan pesawat itu tak pernah ada, mungkin Najwa masih berkumpul dengan kedua orang tuanya kini.

“Hati Najwa sakit, Yah,” kata Najwa.

“Ayah tahu. Ayah juga tahu kamu pasti kuat menghadapi semua ini,” kata sang ayah. Najwa mengangguk. Kehilangan kedua orangtuanya saat usianya delapan tahun membuat Najwa menjadi wanita kuat dan mandiri sejak dini, meski diasuk oleh bibi dan pamannya, tak pernah sekalipun Najwa merepotkan mereka soal biaya pendidikannya. Najwa termasuk murid yang cerdas di sekolah hingga ia terus mendapatkan beasiswa sampai ke jenjang perguruan tinggi.

Kamu kuat, Najwa. Jangan lemah!

Ponsel Najwa berdering, panggilan masuk itu ternyata dari mertuanya. Dadanya berdebar-debar, tentu ia tahu kenapa sang mertua meneleponnya.

“Halo, assalammualaikum, bu,” sapa Najwa.

Waalaikumsalam, Najwa. Nduk, kamu baik-baik saja?” tanya sang ibu mertua di seberang sana. Dada Najwa terasa sesak mendengar pertanyaan mertuanya. Ia tak tahu harus menjawanb apa, “maafkan Hamish ya, nduk. Maaf,” kata sang mertua dengan suara seraknya. Najwa tahu bahwa sang mertua sedang menangis sekarang ini. Najwa merasa lega, setidaknya ada orang terdekat yang merasakan kepedihannya juga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status