Beranda / Rumah Tangga / Istri Pilihan Suami / Bab 2 : Madu Itu Mantan Kekasih Suamiku

Share

Bab 2 : Madu Itu Mantan Kekasih Suamiku

Penulis: Anisa Swedia
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-19 18:33:25

“Siapa dia, mas?” tanya Najwa saat ia baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Rambut basah Najwa masih terbalut oleh handuk. Ia mendekati Hamish yang buru-buru meletakkan foto seorang wanita pada dalam kardus yang berisi barang-barang bekas di rumahnya.

“Bukan siapa-siapa,” jawab Hamish datar.

“Pasti dia Rahmah yang selalu kamu ceritakan padaku itu, kan?” tebak Najwa. Hamish memandang wajah istrinya yang bersih tanpa make up, mata lentik Najwa selalu bisa membuat Hamish bertekuk lutut. Hamish menarik pinggang Najwa dan memandangnya dengan seksama.

“Tidak penting Rahmah sekarang, yang terpenting adalah kamu di hidupku,” kata Hamish padanya. Hamish langsung mencumbu bibir istrinya.

“Aku baru selesai mandi, mas,” kata Najwa melepaskan ciuman suaminya. Semalam mereka telah melakukan hubungan istri yang panas dan itu berkali-kali hingga membuat Najwa merasa sedikit lelah.

“Aku selalu bergairah saat bersamamu, sayang,” kata Hamish pada istrinya. Najwa tertawa.

“Lalu kapan kita bersih-bersih rumahmu? Keburu akan datang orang yang mau membelinya,” kata Najwa yang melepaskan ciuman Hamish lagi.

“Mereka bisa menunggu, aku yakin mereka akan maklum kalau kita ini pengantin baru,” kata Hamish seraya meraba-raba tubuh istrinya dan membawanya ke atas pembaringan. Hamish gegas melucuti bathrobe istrinya dan mulai mencumbunya dengan gairah yang sudah membakarnya sejak ia menemukan foto lama Rahmah di laci miliknya. Miris.

“Aku mencintaimu, Rah,” kata Hamish di sela-sela desahan Najwa. Tentu saja suara Hamish itu membuat Najwa kaget dan memandang wajah suaminya yang masih terbenam di sela-sela bagian tubuhnya yang lain. Najwa diam, ia menganggap kalau telinganya tengah salah mendengar ucapan Hamish.

“Bu?” suara perawat itu membuyarkan semua lamunan Najwa, “kami butuh persetujuan ibu untuk operasi section caesar bu Rahmah,” kata perawat itu lagi padanya. Tangan Najwa gemetaran, usai melakukan transfusi darah pada suaminya, kini ia dihadapkan kenyataan pahit yang membuatnya menemui jalan buntu. Ia tak tahu harus melakukan apa.

“Tapi saya bukan keluarganya, sus,” kata Najwa. Suster tersebut makin bingung.

“Nyawa bu Rahmah dan anaknya dalam bahaya, bu. Tolong, demi rasa kemanusiaan dan sesama perempuan,” kata perempuan itu membujuk. Perawat tersebut sadar bahwa perempuan di hadapannya ini sangat syok dengan kenyataan pahit itu. Siapa yang tidak terluka jika ternyata ada perempuan lain di hati suaminya? Apalagi perempuan itu tengah mengandung.

Dengan tangan gemetaran, Najwa menerima file tersebut dan menandatanganinya dengan tangan segera. Air matanya jatuh saat ia selesai menandatangani file persetujuan tindakan operasi tersebut. Perawat tersebut mengucapkan terima kasih dan berbalik meninggalkan Najwa yang menangis pedih di lorong rumah sakit tersebut.

Najwa memukul-mukul dadanya yang terasa sesak dengan tangan kanannya. Ia tak pernah membayangkan bahwa Hamish akan menduakannya dengan Aisyah, perempuan masa lalu suaminya.

“Kenapa tidak dibakar saja, mas?” tanya Najwa kala Hamish membawa barang-barang bekas dan kenangan masa lalunya bersama Rahmah itu ke gudang rumahnya.

“Mau aku kembalikan saja ke keluarga Rahmah,” jawab Hamish pada Najwa.

“Buat apa repot-repot, mas?” Najwa mulai kesal.

“Banyak barang-barang milik Rahmah, sayang,” kata Hamish.

“Dan itu sudah menjadi milikmu saat kalian bersama, ketika berpisah sebaiknya dihancurkan saja,” kata Najwa gemas. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk sangat keras, kesal dengan sikap suaminya, apalagi jika ia ingat kalau saat bercinta tadi sang suami malah menyebut nama belakang Rahmah. Rasa cemburunya makin lebar saja.

“Aku tahu, tapi aku akan kembalikan dan menganggap hubungan kami tak pernah ada sebelumnya,” jawab Hamis. “Kenapa? Kamu cemburu?” tanya Hamish seraya mendekat ke arah Najwa yang cemberut padanya, “lagian rumah ini mau kujual, sayang,” kata Hamish lagi.

“Tetap saja kamu akan ke kampung halamannya,” kata Najwa.

“Kalau begitu, aku paketkan saja ya barang-barang Rahmah,” kata Hamish.

“Bener mau dipaketin?” tanya Najwa curiga dan Hamish mengangguk.

“Tentu, buat apa disimpan di sini? Gudang ini juga akan menjadi milik pembeli yang baru, kan?” kata Hamish dan Najwa mengangguk ke arahnya, “sudah, jangan cemberut lagi, hanya kamu satu-satunya wanita di hatiku, Najwa. Tidak ada yang lain,” kata Hamish.

“Bagaimana jika nanti Rahmah kembali, mas?” tanya Najwa dan Hamish malah terkekeh mendengarnya.

“Tidak mungkin. Dia jauh, sayang. Lagian, dia juga sudah menikah,” kata Hamish.

“Apapun bisa terjadi, mas,” kata Najwa.

“Apapun juga aku akan tetap menjadi suamimu,” jawab Hamish dengan mencium singkat bibir istrinya dan mengajaknya keluar gudang.

Najwa memutuskan untuk pulang, ia tak mau menemani Hamish di rumah sakit.

“Bagaimana keadaan Hamish, Najwa?” tanya ibu mertua padanya. Raut cemas itu menghiasi wajah keriput sang mertua.

“Mas Hamish kehilangan banyak darah, bu. Aku sudah melakukan donor darah padanya dan sekarang tubuhku sedang tidak fit, aku akan istirahat. Biar bi Surti yang mendampingi mas Hamish,” kata Najwa pada ibunya yang kaget mendengar ucapan menantunya.

“Biar ibu saja yang menemani Hamish, nak. Terima kasih karena kamu telah menolong suamimu. Kamu makan dan istirahatlah, biar ibu yang menjaga Hamish,” kata sang ibu ramah. Najwa tak tega, ia tahu bagaimana kondisi ibu mertuanya. Rentan sakit. Jika pergi ke rumah sakit tentu ia juga akan sakit.

“Biar bi Surti saja, bu. Nanti sore Najwa akan kembali. Kalau ibu ikutan ke rumah sakit dan malah sakit, bagaimana?” tanya Najwa.

“Gak papa, nak,” jawab sang mertua.

“Begini saja, ibu temani bi Surti, tapi ibu jangan lama-lama di rumah sakit, ya?” tanya Najwa dan ibunya mengangguk setuju. Najwa juga penasaran bagaimana reaksi ibunya jika tahu putra kesayangan serta kebanggaannya itu punya istri lain? Marah atau menerima?

Najwa berlalu ke kamar, ia melepaskan jaketnya, mengganti pakaiannya dengan gamis santai dan memakai kerudung sederhana lalu menggelar sajadah. Ia berencana menunaikan salat sunnat dhuha. Siapa tahu hatinya menjadi tenang setelah beribadah.

Dua rakaat salat sunnah itu sudah ia laksanakan, tapi perih di hatinya tak membaik. Najwa ingin marah dan berteriak sekeras-kerasnya, tapi takut ibunya syok dan mencemaskannya. Najwa akhirnya memilih untuk membaca kitab suci, berharap kali ini berhasil, atau setidaknya membuatnya mengantuk hingga ia bisa tidur.

Kegiatannya ternyata sukses. Najwa lelah setelah membaca dua juz dalam kitab sucinya, ia lantas menutup kitab sucinya, melepas mukenahnya, menyimpan sajadahnya dan pergi ke pembaringan. Sayangnya wajah sang suami malah muncul di sisi kanannya, membuatnya gemas dan kesal lagi.

“Kenapa, mas? Kenapa kamu ingkar janji?” tanya Najwa dengan mata berderai pada bayangan suaminya di depannya. Bayangan wajah suaminya hanya tersenyum, tak menghiraukan pertanyaan Najwa. Pelan, bayangan suaminya itu menyentuh wajah Najwa yang menangis dan tiba-tiba saja bayangan sang suami berubah menjadi bayangan wajah ayah Najwa.

“Ayah?” panggil Najwa pada pria yang terlihat muda dan cukup tampan.

“Najwa, anakku. Jangan bersedih, ayah dan ibu selalu ada bersama Najwa,” kata sang ayah. Bukannya berhenti, tangis Najwa semakin menjadi-jadi. Ia merindukan sosok ayahnya yang selalu menemaninya tidur dulu saat ia masih kecil. Jika saja kecelakaan pesawat itu tak pernah ada, mungkin Najwa masih berkumpul dengan kedua orang tuanya kini.

“Hati Najwa sakit, Yah,” kata Najwa.

“Ayah tahu. Ayah juga tahu kamu pasti kuat menghadapi semua ini,” kata sang ayah. Najwa mengangguk. Kehilangan kedua orangtuanya saat usianya delapan tahun membuat Najwa menjadi wanita kuat dan mandiri sejak dini, meski diasuk oleh bibi dan pamannya, tak pernah sekalipun Najwa merepotkan mereka soal biaya pendidikannya. Najwa termasuk murid yang cerdas di sekolah hingga ia terus mendapatkan beasiswa sampai ke jenjang perguruan tinggi.

Kamu kuat, Najwa. Jangan lemah!

Ponsel Najwa berdering, panggilan masuk itu ternyata dari mertuanya. Dadanya berdebar-debar, tentu ia tahu kenapa sang mertua meneleponnya.

“Halo, assalammualaikum, bu,” sapa Najwa.

“Waalaikumsalam, Najwa. Nduk, kamu baik-baik saja?” tanya sang ibu mertua di seberang sana. Dada Najwa terasa sesak mendengar pertanyaan mertuanya. Ia tak tahu harus menjawanb apa, “maafkan Hamish ya, nduk. Maaf,” kata sang mertua dengan suara seraknya. Najwa tahu bahwa sang mertua sedang menangis sekarang ini. Najwa merasa lega, setidaknya ada orang terdekat yang merasakan kepedihannya juga.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Pilihan Suami   Bab 99: Sebuah Akhir

    Najwa sedang memilih-milih bahan yang bagus untuk kue yang akan ia buat nanti sore. Ia ingin memakan cake yang cantik dan enak. Membayangkannya saja membuat Najwa menelan ludah.“Najwa,” panggil seseorang yang langsung membuat Najwa menoleh dan kaget begitupun dengan pria yang ada di hadapannya ketika ia baru menyadari perut Najwa sedikit membuncit. Tubuh Najwa yang kurus selama kehamilan membuat kandungan Najwa yang sudah dua puluh empat minggu itu terlihat lebih jelas, padahal ini adalah kehamilan pertamanya.Hamish yang mengenali Najwa dari belakang dan ingin menyapanya saat ia memasuki supermarket tak pernah menyangka sebelumnya kalau Najwa akan hamil secepat ini di pernikahan keduanya.“Mas Hamish,” panggil Najwa kikuk seraya menoleh ke kanan dan kiri untuk menemukan suaminya yang entah kemana.“Kamu hamil, Najwa?” tanya Hamish dengan suara berat, rasanya seperti ada yang mengganjal di kerongkongannya saat ia mengucapkan hal itu pada Najwa.“Alhamdulillah, iya, mas. Gak nyangka b

  • Istri Pilihan Suami   Bab 98: Hukum Tabur Tuai

    Aisyah menangis di dalam tahanan karena tak menyangka ada orang yang tega memfitnahnya dengan menaruh obat terlarang dalam tasnya.Berulang kali ia berteriak tak menggunakan obat terlarang tersebut, tapi pihak kepolisian mengabaikannya."Pak,tolong pak, saya punya anak balita di rumah, bebaskan saya, saya mohon ..." rengek Aisyah pada petugas kepolisian yang lewat di depan tahanan sementaranya."Ibu macam apa yang dandanannya seperti wanita malam dan keluyuran tengah malam?" sahut polisi tersebut kepada Aisyah."Setidaknya biarkan saya telepon suami saya dulu," pinta Aisyah."Bukankah ponselmu sedang di cas? Tunggu dulu sekalian tunggu giliran kamu diperiksa," kata petugas itu geram."Percaya sama saya pak, saya bukan pemakai atau pengedar obat terlarang," kata Aisyah pada petugas tersebut."Semua orang juga bilang begitu kalau sudah ketahuan. Kamu akan menjalani rangkaian test, kalau terbukti bukan pemakai mungkin memang beberapa pil itu bukan milikmu," kata pak polisi itu pada Aisya

  • Istri Pilihan Suami   Bab 97: Ditangkap

    Aisyah dan Hans akhirnya terpaksa keluar rumah keesokan harinya bersama dengan barang-barang perabotan yang baru saja dibeli oleh Hans. Saat memasuki kost rumah tangga yang sangat sederhana, Aisyah menggerutu kesal dan marah-marah tak jelas.“Kenapa kita tinggal di sini, sih, mas?” tanya Aisyah kesal sekali, “panas sekali,”“Nyalakan saja kipasnya,” kata Hans.“Kenapa kita gak cari apartemen sih, mas?” tanya Aisyah kembali,“Uangku gak cukup dan aku belum dapat pekerjaan baru,”“Seharusnya kamu itu gak dipecat dari perusahaan, mas. Masalah kita kan masalah pribadi, seharusnya mbak Mirna tahu kalau masalah pribadi gak bisa dicampur dengan masalah perusahaan,” kata Aisyah mengomel. Hans lelah, Aisyah sama sekali tak mau membantunya dalam hal beres-beres tempat kost yang baru, jadi ia sungguh lelah karena harus mengerjakannya sendirian.Setelah menata semua perabot di dalam kostnya, Hans mencoba mencari pekerjaan lewat rekan bisnis dan teman-teman kerjanya. Tapi sayang sekali, ia tak men

  • Istri Pilihan Suami   Bab 96: Juru Parkir

    “Bayinya sehat, sebentar saya dengarkan detak jantungnya, ya,” ujar dokter kandungan yang bernama Amalia itu kala ia memeriksa kandungan Najwa secara USG. Dada Najwa berdebar-debar sejak tadi diperiksa saking terharunya ia mengetahui kehamilannya lewat test pack dan Jacob langsung membawanya ke dokter kandungan.“Nah, dengar, kan? usianya delapan minggu,” kata dokter Amalia lagi saat mendengarkan detak jantung sang calon bayi di rahim Najwa. Najwa tak kuasa menahannya hingga air mata haru dan bahagia meleleh begitu saja di pipinya.Jacob bergerak membantu Najwa yang bangun setelah selesai diperiksa, sedangkan dokter memberikan resep vitamin yang harus dikonsumsi oleh Najwa dan mengingatkannya untuk kontrol ulang tiga minggu lagi.“Terima kasih banyak, dok,” kata Najwa dan Jacob bersamaan. Mereka keluar ruang periksa dan berjalan dengan beriringan. Jacob merangkul Najwa dengan perasaan bahagia luar biasa.“Kita ke rumah mama, ya,” ajak Jacob dan Najwa mengangguk. Najwa terus memandangi

  • Istri Pilihan Suami   Bab 95: Kejutan Tak Terduga

    Aisyah dan Hans tak mengijinkan perempuan gemuk itu masuk ke dalam rumah karena Hans merasa tak pernah menjual rumahnya pada siapapun. "Kamu yakin gak pernah jual rumah ini, mas?" tanya Aisyah cemas."Nggak,""Kalau gitu kamu simpan surat-suratnya?" tanya Aisyah lagi. Hans menoleh ke Aisyah dan ia baru ingat kalau surat rumah ini dibawa salah seorang saudaranya. Gegas Hans menuju kamarnya dan mengambil ponsel yang ada di sebelah kasur di atas nakas. Hans mencoba menghubungi saudaranya yang memegang sertifikat rumah tapi ia tak bisa menghubunginya.Kecemasan melanda Hans, ia panik karena perempuan gemuk yang ia pikir sudah pergi dari rumahnya, kini marah-marah dan berteriak di luar sana lalu akan mengancam melaporkan Hans ke polisi."Mas, aku takut," kata Aisyah yang muncul di ambang pintu kamar. "Aku bukain pintu saja mas, biar dia gak teriak-teriak!" kata Aisyah pada Hans yang diam saja. Pikiran Hans penuh, ia takut kalau saudaranya memang menjual rumah peninggalan orang tuanya.Ais

  • Istri Pilihan Suami   Bab 94: Setelah Bercerai

    “Mirna! Tunggu! Maafkan aku!” seru Hans seraya mengejar Mirna yang akhirnya bisa ia temui di pusat perbelanjaan setelah mengikutinya keluar rumah. Surat sidang perceraian pertama telah ia terima, baju-bajunya juga sudah dikeluarkan semuanya oleh Mirna saat ia berusaha pulang ke rumah malam itu dan ternyata mendapatkan pengusiran yang menyedihkan. Hans sangat sulit menemui Mirna, karena Mirna terus menghindarinya dan tak mau bicara dengannya. Selain Mirna tak mau bertemu dengannya, Hans juga dilarang menemui anak-anak mereka sampai sidang putusan perceraian itu keluar dan hakim memutuskan kepada siapa hak asuh anak mereka akan jatuh.“Apa lagi sih, mas?” tanya Mirna kesal seraya melepaskan cekalan Hans dari tangannya, tatapan Mirna penuh amarah dan kebencian yang luar biasa pada Hans.“Aku tahu aku salah, maafkan aku. Aku ingin jika kita berpisah, kita bisa pisah secara damai,” kata Hans pada Mirna. Mirna tak menyangka kalau Hans juga akan menyerah dengan hubungan mereka dan menerima p

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status