“Siapa dia, mas?” tanya Najwa saat ia baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Rambut basah Najwa masih terbalut oleh handuk. Ia mendekati Hamish yang buru-buru meletakkan foto seorang wanita pada dalam kardus yang berisi barang-barang bekas di rumahnya.
“Bukan siapa-siapa,” jawab Hamish datar.
“Pasti dia Aisyah Rahmah yang selalu kamu ceritakan padaku itu, kan?” tebak Najwa. Hamish memandang wajah istrinya yang bersih tanpa make up, mata lentik Najwa selalu bisa membuat Hamish bertekuk lutut. Hamish menarik pinggang Najwa dan memandangnya dengan seksama.
“Tidak penting Aisyah sekarang, yang terpenting adalah kamu di hidupku,” kata Hamish padanya. Hamish langsung mencumbu bibir istrinya.
“Aku baru selesai mandi, mas,” kata Najwa melepaskan ciuman suaminya. Semalam mereka telah melakukan hubungan istri yang panas dan itu berkali-kali hingga membuat Najwa merasa sedikit lelah.
“Aku selalu bergairah saat bersamamu, sayang,” kata Hamish pada istrinya. Najwa tertawa.
“Lalu kapan kita bersih-bersih rumahmu? Keburu akan datang orang yang mau membelinya,” kata Najwa yang melepaskan ciuman Hamish lagi.
“Mereka bisa menunggu, aku yakin mereka akan maklum kalau kita ini pengantin baru,” kata Hamish seraya meraba-raba tubuh istrinya dan membawanya ke atas pembaringan. Hamish gegas melucuti bathrobe istrinya dan mulai mencumbunya dengan gairah yang sudah membakarnya sejak ia menemukan foto lama Aisyah di laci miliknya. Miris.
“Aku mencintaimu, Syah,” kata Hamish di sela-sela desahan Najwa. Tentu saja suara Hamish itu membuat Najwa kaget dan memandang wajah suaminya yang masih terbenam di sela-sela bagian tubuhnya yang lain. Najwa diam, ia menganggap kalau telinganya tengah salah mendengar ucapan Hamish.
“Bu?” suara perawat itu membuyarkan semua lamunan Najwa, “kami butuh persetujuan ibu untuk operasi section caesar bu Aisyah,” kata perawat itu lagi padanya. Tangan Najwa gemetaran, usai melakukan transfusi darah pada suaminya, kini ia dihadapkan kenyataan pahit yang membuatnya menemui jalan buntu. Ia tak tahu harus melakukan apa.
“Tapi saya bukan keluarganya, sus,” kata Najwa. Suster tersebut makin bingung.
“Nyawa bu Aisyah dan anaknya dalam bahaya, bu. Tolong, demi rasa kemanusiaan dan sesama perempuan,” kata perempuan itu membujuk. Perawat tersebut sadar bahwa perempuan di hadapannya ini sangat syok dengan kenyataan pahit itu. Siapa yang tidak terluka jika ternyata ada perempuan lain di hati suaminya? Apalagi perempuan itu tengah mengandung.
Dengan tangan gemetaran, Najwa menerima file tersebut dan menandatanganinya dengan tangan segera. Air matanya jatuh saat ia selesai menandatangani file persetujuan tindakan operasi tersebut. Perawat tersebut mengucapkan terima kasih dan berbalik meninggalkan Najwa yang menangis pedih di lorong rumah sakit tersebut.
Najwa memukul-mukul dadanya yang terasa sesak dengan tangan kanannya. Ia tak pernah membayangkan bahwa Hamish akan menduakannya dengan Aisyah, perempuan masa lalu suaminya.
“Kenapa tidak dibakar saja, mas?” tanya Najwa kala Hamish membawa barang-barang bekas dan kenangan masa lalunya bersama Aisyah itu ke gudang rumahnya.
“Mau aku kembalikan saja ke keluarga Aisyah,” jawab Hamish pada Najwa.
“Buat apa repot-repot, mas?” Najwa mulai kesal.
“Banyak barang-barang milik Aisyah, sayang,” kata Hamish.
“Dan itu sudah menjadi milikmu saat kalian bersama, ketika berpisah sebaiknya dihancurkan saja,” kata Najwa gemas. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk sangat keras, kesal dengan sikap suaminya, apalagi jika ia ingat kalau saat bercinta tadi sang suami malah menyebut nama belakang Aisyah. Rasa cemburunya makin lebar saja.
“Aku tahu, tapi aku akan kembalikan dan menganggap hubungan kami tak pernah ada sebelumnya,” jawab Hamis. “Kenapa? Kamu cemburu?” tanya Hamish seraya mendekat ke arah Najwa yang cemberut padanya, “lagian rumah ini mau kujual, sayang,” kata Hamish lagi.
“Tetap saja kamu akan ke kampung halamannya,” kata Najwa.
“Kalau begitu, aku paketkan saja ya barang-barang Aisyah,” kata Hamish.
“Bener mau dipaketin?” tanya Najwa curiga dan Hamish mengangguk.
“Tentu, buat apa disimpan di sini? Gudang ini juga akan menjadi milik pembeli yang baru, kan?” kata Hamish dan Najwa mengangguk ke arahnya, “sudah, jangan cemberut lagi, hanya kamu satu-satunya wanita di hatiku, Najwa. Tidak ada yang lain,” kata Hamish.
“Bagaimana jika nanti Aisyah kembali, mas?” tanya Najwa dan Hamish malah terkekeh mendengarnya.
“Tidak mungkin. Dia jauh, sayang. Lagian, dia juga sudah menikah,” kata Hamish.
“Apapun bisa terjadi, mas,” kata Najwa.
“Apapun juga aku akan tetap menjadi suamimu,” jawab Hamish dengan mencium singkat bibir istrinya dan mengajaknya keluar gudang.
Najwa memutuskan untuk pulang, ia tak mau menemani Hamish di rumah sakit.
“Bagaimana keadaan Hamish, Najwa?” tanya ibu mertua padanya. Raut cemas itu menghiasi wajah keriput sang mertua.
“Mas Hamish kehilangan banyak darah, bu. Aku sudah melakukan donor darah padanya dan sekarang tubuhku sedang tidak fit, aku akan istirahat. Biar bi Surti yang mendampingi mas Hamish,” kata Najwa pada ibunya yang kaget mendengar ucapan menantunya.
“Biar ibu saja yang menemani Hamish, nak. Terima kasih karena kamu telah menolong suamimu. Kamu makan dan istirahatlah, biar ibu yang menjaga Hamish,” kata sang ibu ramah. Najwa tak tega, ia tahu bagaimana kondisi ibu mertuanya. Rentan sakit. Jika pergi ke rumah sakit tentu ia juga akan sakit.
“Biar bi Surti saja, bu. Nanti sore Najwa akan kembali. Kalau ibu ikutan ke rumah sakit dan malah sakit, bagaimana?” tanya Najwa.
“Gak papa, nak,” jawab sang mertua.
“Begini saja, ibu temani bi Surti, tapi ibu jangan lama-lama di rumah sakit, ya?” tanya Najwa dan ibunya mengangguk setuju. Najwa juga penasaran bagaimana reaksi ibunya jika tahu putra kesayangan serta kebanggaannya itu punya istri lain? Marah atau menerima?
Najwa berlalu ke kamar, ia melepaskan jaketnya, mengganti pakaiannya dengan gamis santai dan memakai kerudung sederhana lalu menggelar sajadah. Ia berencana menunaikan salat sunnat dhuha. Siapa tahu hatinya menjadi tenang setelah beribadah.
Dua rakaat salat sunnah itu sudah ia laksanakan, tapi perih di hatinya tak membaik. Najwa ingin marah dan berteriak sekeras-kerasnya, tapi takut ibunya syok dan mencemaskannya. Najwa akhirnya memilih untuk membaca kitab suci, berharap kali ini berhasil, atau setidaknya membuatnya mengantuk hingga ia bisa tidur.
Kegiatannya ternyata sukses. Najwa lelah setelah membaca dua juz dalam kitab sucinya, ia lantas menutup kitab sucinya, melepas mukenahnya, menyimpan sajadahnya dan pergi ke pembaringan. Sayangnya wajah sang suami malah muncul di sisi kanannya, membuatnya gemas dan kesal lagi.
“Kenapa, mas? Kenapa kamu ingkar janji?” tanya Najwa dengan mata berderai pada bayangan suaminya di depannya. Bayangan wajah suaminya hanya tersenyum, tak menghiraukan pertanyaan Najwa. Pelan, bayangan suaminya itu menyentuh wajah Najwa yang menangis dan tiba-tiba saja bayangan sang suami berubah menjadi bayangan wajah ayah Najwa.
“Ayah?” panggil Najwa pada pria yang terlihat muda dan cukup tampan.
“Najwa, anakku. Jangan bersedih, ayah dan ibu selalu ada bersama Najwa,” kata sang ayah. Bukannya berhenti, tangis Najwa semakin menjadi-jadi. Ia merindukan sosok ayahnya yang selalu menemaninya tidur dulu saat ia masih kecil. Jika saja kecelakaan pesawat itu tak pernah ada, mungkin Najwa masih berkumpul dengan kedua orang tuanya kini.
“Hati Najwa sakit, Yah,” kata Najwa.
“Ayah tahu. Ayah juga tahu kamu pasti kuat menghadapi semua ini,” kata sang ayah. Najwa mengangguk. Kehilangan kedua orangtuanya saat usianya delapan tahun membuat Najwa menjadi wanita kuat dan mandiri sejak dini, meski diasuk oleh bibi dan pamannya, tak pernah sekalipun Najwa merepotkan mereka soal biaya pendidikannya. Najwa termasuk murid yang cerdas di sekolah hingga ia terus mendapatkan beasiswa sampai ke jenjang perguruan tinggi.
Kamu kuat, Najwa. Jangan lemah!
Ponsel Najwa berdering, panggilan masuk itu ternyata dari mertuanya. Dadanya berdebar-debar, tentu ia tahu kenapa sang mertua meneleponnya.
“Halo, assalammualaikum, bu,” sapa Najwa.
“Waalaikumsalam, Najwa. Nduk, kamu baik-baik saja?” tanya sang ibu mertua di seberang sana. Dada Najwa terasa sesak mendengar pertanyaan mertuanya. Ia tak tahu harus menjawanb apa, “maafkan Hamish ya, nduk. Maaf,” kata sang mertua dengan suara seraknya. Najwa tahu bahwa sang mertua sedang menangis sekarang ini. Najwa merasa lega, setidaknya ada orang terdekat yang merasakan kepedihannya juga.
Hari itu, Najwa memutuskan tidak kembali ke rumah sakit dan menyerahkan mas Hamish sepenuhnya kepada ibu. Tidak enak badan, itu adalah alasannya pada ibu dan bi Surti. Akhirnya, asisten rumah tangga di rumah itu yang bergantian menjaga Hamish dan Aisyah. Ibu dan Bi Surti kembali ke rumah pukul tujuh malam. Saat beliau kembali, Najwa sedang membuat kue, menyibukkan diri dengan hobi yang beberapa tahun lalu menjadi satu-satunya sumber penghasilannya hingga ia memiliki rumah yang ia tinggali bersama suami dan ibu mertuanya. serta toku kue di sebelah rumah. Sayangnya, tiga tahun belakangan, omsetnya terus menurun dan ia terpaksa memecat beberapa pegawainya di sana. Yang tadinya ada lima belas orang yang membantu Najwa di dapur, dan empat orang yang berjaga di toko, kini hanya tersisa empat orang di dapur dan dua orang di toko. Najwa tak sanggup membayar banyak orang saat ini. Sekarang toko kue dan roti ada di mana-mana, beberapa pelanggannya masih ada yang setia beli kue dan memesan padan
“Najwa!” suara Sarah membuat Najwa tersadar dari lamunan kala gadis berambut coklat itu memanggil namanya di ambang pintu masuk café tempat mereka membuat janji. Najwa membalas lambaian tangannya dan tersenyum manis ke arahnya yang berjalan ke arah Najwa duduk. “Udah lama?” tanyanya seraya meletakkan tas di atas meja dekat jendela. Sarah pelupa, apapun bisa tertinggal jika barang-barangnya tak ada di dalam jangkauan matanya. Jadi di manapun ia berada, barang-barang penting yang selalu ia bawa kemana-mana seperti tas, dompet dan ponsel harus ada dalam jangkauan matanya.Sarah adalah sahabat baik Najwa. Sejak duduk di kelas sebelas SMA, mereka berteman baik sampai sekarang. Meski dulu sempat berpisah karena mereka tak kuliah di tempat yang sama, tapi mereka tetap menjalin hubungan baik. Sering kali keluar bersama. Bersama Sarah pula, Najwa berani membuka toko kue atas bakatnya, Sarah yang terus menyemangatinya, membantunya berusaha di bidang marketing dengan mempromosikan kue Sarah ke t
Setelah puas belanja sampai limit kartu kredit milik mas Hamish Najwa gunakan habis, ia dan Sarah memutuskan pulang ke rumah. Sampai di rumah dengan belanjaan yang banyak, ibu mertua menatapnya dengan wajah terkejut dan bingung dengan barang belanjaan milik Najwa. “Bi Surti! Tolong bantu bawakan belanjaanku,” teriaknya memanggil asisten rumah tangga. “Kamu belanja apa, nak? Banyak sekali,” tanya ibu mertuanya yang bingung kala Najwa meletakkan beberapa paper bag di ruang tamu. Bi Surti terlihat mengangguk ke arah Najwa sebelum ia menuju keluar dan kembali beberapa saat dengan delapan paper bag di kedua tangannya. Setelah meletakkannya di dekat Najwa, ia kembali keluar lalu mengambil delapan paper bag lagi dan meletakkannya di samping paper bag yang ia letakkan sebelumnya. Bi Surti mengulangi kegiatannya sampai tiga kali dan selama itu pula, ibu mertua Najwa hanya diam melongo. “Aku beli beberapa baju, tas dan sandal buat ibu,” kata Najwa menyerahkan tiga paper bag untuk ibu mertuany
“Apa yang dikatakan oleh Najwa, Hamish?” tanya ibu Hamish pada Hamish. Hamish memandang wajah ibunya sejenak sebelum menggeleng ke arahnya. “Nggak ada,” jawab Hamish. “Kita jadi pulang hari ini, kan? Najwa ke sini dan bayar tagihan rumah sakit, kan?” tanya ibunya kembali. Hamish diam, ia masih bergeming. Sebenarnya ia memiliki uang, hanya saja ia tak mau menggunakannya lebih dulu jika bukan hal yang mendesak. Ia benar-benar heran dengan Najwa, kenapa istrinya itu menghabiskan limit kartu kreditnya? “Iya, bu, sebentar Hamish ke bagian administrasi dulu lagi,” kata Hamish seraya beranjak dari kasurnya. “Loh? Katanya Najwa ke sini dan bayar tagihannya?” tanya ibunya heran. “Najwa sibuk beresin kamar, bu. Dia cuma transfer,” jawab Hamish berbohong pada ibunya. Ida mengangguk mengerti dan mendampingi sang putra berjalan ke bagian administrasi untuk melakukan pelunasan tagihan rumah sakit. “Kamu gak jenguk anakmu dulu?” tanya sang ibu setelah Hamish selesai melakukan pelunasan pada tag
Mobil Hamish yang mengalami kecelakaan masih berada di polsek untuk diamankan. Mobil itu mengalami kerusakan yang cukup berat dan Najwa sama sekali tak berniat untuk memperbaikinya. Bukan tidak mau memperbaikinya, tapi hatinya masih sakit kala ia teringat bahwa mobil itu tak hanya suaminya saja yang naiki tapi juga madunya, Aisyah Rahmah.Terpaksa, Hamish memanggil taksi online untuknya dan Aisyah pulang. Untung saja barang bawaan ibunya tak banyak, hanya ada beberapa baju dan itu bisa ia bawa dengan sebelah tangannya yang baik-baik saja, sedangkan ibunya membantu membawa barang-barang Aisyah dan bayinya. Aisyah sendiri menggendong bayinya.“Kenapa gak ada yang jemput kita, mas?” tanya Aisyah berbisik pada Hamish. Hamish menoleh sejenak dan tak berniat sama sekali menjawab pertanyaan Aisyah itu, masalahnya adalah ia akan pulang ke rumah tapi entah mengapa perasaannya tak enak. Hamish sadar kalau rumah itu bukanlah rumahn
“Ibu,” sapa Najwa pada ibu mertuanya sembari mencium punggung tangan perempuan paruh baya tersebut saat menyambutnya datang. Ida tersenyum kepada Najwa, “masuk, bu,” ajak Najwa. Ia menoleh ke arah suaminya dan istri muda suaminya yang tertunduk tak berani menatap wajah Najwa.“Mas, ayo masuk,” ajak Najwa pada Hamish yang masih diam. Biasanya, Najwa juga akan menyambutnya dengan mencium tangannya, tapi kini sang istri tak melakukan hal itu. Membuat Hamish merasa ada yang hilang di sudut hatinya. Senyum Najwa juga terasa dingin.“Mas, aku langsung ke kamar aja,” bisik Aisyah yang terlihat sungkan. Najwa mendengar itu dan menoleh ke arah Aisyah yang langsung kembali menundukkan pandangannya, tak berani menatap wajah Najwa. Aisyah sendiri bingung harus menegur Najwa dari mana dulu, jadi ia memilih diam dan membiarkan suaminya bertindak, sedangkan Najwa seolah tak menganggapnya ada. Melihat sikap Najwa yang
Rasa bersalah kepada Najwa terus menggelayuti hati Hamish. Bahkan, sebenarnya ia enggan keluar dari kamar sang istri. Tujuh tahun ia tidur bersama Najwa, kini Najwa bahkan memalingkan wajah darinya. Hati Hamish terasa diremas, berulang kali ia menghela napas karena merasa bingung dan gelisah. Jujur saja, sejak mendapatkan donor darah dari Najwa, hati terdalamnya terenyuh dan semua kebaikan Najwa melambai dibenaknyaDengan langkah kaki goyah, Hamish turun ke bawah. Impiannya untuk memeluk sang istri, sirna dan entah mengapa itu menyurutkan semangatnya.“Kenapa, nak?” tanya Ida pada sang putra. Hamish mengangkat wajahnya, raut kebingungan tercetak jelas di wajah sang putra, membuat ibu merasa iba, apalagi kondisi Hamish masih belum baik betul.“Najwa memintaku keluar dari kamar, bu,” keluh Hamish yang membuat sang ibu kaget.“Kamu sudah jelaskan situasi kamu kepada Najwa dan meminta maaf padanya?” tanya sang
“Kamu sedang apa, mas?” tanya Aisyah selidik saat ia baru saja bangun karena suara keributan di dapur. Resiko memiliki kamar yang dekat dengan dapur kotor, belum juga matahari terbit dengan sempurna, tapi suara-suara berisik di dapur membuat anaknya susah terlelap dan akhirnya menangis lalu ia terpaksa bangun. Diperhatikannya baik-baik Hamish yang sedang sibuk berkutat di dapur dengan lihai, “tangan kamu bukannya masih cedera, ya, mas? Apa yang kamu lakukan di dapur sepagi ini sih?” tanya Aisyah heran. Tak pernah sama sekali ia melihat Hamish begitu sibuk di dapur, setahunya dia lelaki yang anti ke dapur, baginya dapur adalah tempat wanita yang menyajikan makanan buat suami, dan bukan malah sebaliknya.“Aku sedang buat nasi goreng, kamu mau, kan?” tanya Hamish. Hati Aisyah terenyuh mendengarnya. Siapa yang sangka bahwa Hamish benar-benar memerhatikannya sampai melewati batas yang ditetapkannya sendiri demi membuatkan sarapan untuknya.“Mau, mas,” kata Aisyah malu-malu. Hamish hanya te