Share

Bab 3: Permintaan Mertua

Hari itu, Najwa memutuskan tidak kembali ke rumah sakit dan menyerahkan mas Hamish sepenuhnya kepada ibu. Tidak enak badan, itu adalah alasannya pada ibu dan bi Surti. Akhirnya, asisten rumah tangga di rumah itu yang bergantian menjaga Hamish dan Aisyah. Ibu dan Bi Surti kembali ke rumah pukul tujuh malam. Saat beliau kembali, Najwa sedang membuat kue, menyibukkan diri dengan hobi yang beberapa tahun lalu menjadi satu-satunya sumber penghasilannya hingga ia memiliki rumah yang ia tinggali bersama suami dan ibu mertuanya. serta toku kue di sebelah rumah. Sayangnya, tiga tahun belakangan, omsetnya terus menurun dan ia terpaksa memecat beberapa pegawainya di sana. Yang tadinya ada lima belas orang yang membantu Najwa di dapur, dan empat orang yang berjaga di toko, kini hanya tersisa empat orang di dapur dan dua orang di toko. Najwa tak sanggup membayar banyak orang saat ini. Sekarang toko kue dan roti ada di mana-mana, beberapa pelanggannya masih ada yang setia beli kue dan memesan padanya, tapi sebagian yang lain memilih membeli kue di sekitar daerah mereka tinggal.

“Kamu masih sibuk, nduk?” tanya ibu mertua pada Najwa yang sedang menguleni adonan kue. Najwa menggeleng ke arah beliau dan ibu mertua mengajaknya duduk di meja makan.

“Baik, bu, setelah adonan ini kalis dan aku tutup nanti, ya,” jawab Najwa dan perempuan paruh baya itu mengangguk. Najwa tahu apa yang ingin ibu mertuanya bicarakan dengannya. Yang tak ia tahu adalah bagaimana menjelaskan perkara yang ada di hatinya kepada sang ibu nanti.

Setelah meletakkan adonan donat itu pada wadah yang cukup besar dan menutupnya dengan kain serbet bersih yang sedikit basah, Najwa duduk di hadapan ibunya dengan dada berdebar-debar. Najwa meletakkan kedua tangannya di atas meja, dan itu membuat ibunya mengambil tangannya dari sana. Jika sudah begini, Najwa yakin ibunya pasti memiliki permintaan dan permohonan. Najwa tiba-tiba menyesal kenapa meletakkan kedua tangannya di atas meja, kenapa tak menyembunyikannya tadi di atas pangkuannya saja?

“Ibu memiliki permohonan,” katanya dengan suara serak yang berat. Dada Najwa makin berdebar-debar. Jika saja suara ibu tak serak dan matanya tak terlihat bingung, mungkin Najwa akan lebih tegar dari pada sekarang ini. Belum apa-apa saja, rasanya ia sudah ingin menangis lagi. Kenapa rasanya sesakit ini? pikirnya

“Iya, bu? Ada apa?” tanya Najwa pada ibu mertuanya.

“Ibu memohon kamu menerima Aisyah dan anaknya di rumah ini,” kata ibu. Mendengar itu tentu saja Najwa kaget bukan main. Najwa pikir sang ibu akan memintanya menerima madunya, tapi sang ibu bahkan belum bertanya apa keputusannya soal perselingkuhan anaknya malah memintanya untuk menerima Aisyah tinggal bersama dengannya juga di rumah ini, Bagaimana mungkin Najwa bisa melakukan itu?

“Ibu …”

“Ibu tahu, kamu syok dan sedih dengan kenyataan pahit ini, nduk,” kata ibu. Akhirnya, air mata yang sudah sedari tadi Najwa bendung, tumpah juga. Ternyata, ia tak setegar itu.

“Ibu, Najwa tahu kalau Najwa bukan istri yang baik buat mas Hamish, tapi pengkhianatannya?” Najwa sungguh berharap ibu memahami apa yang tengah ia rasakan. Ia tarik kedua tangannya dari genggaman  tangan ibu mertuanya dan menghapus kedua air matanya segera.

“Ibu tahu bagaimana sakitnya, nduk,” kata ibu. Jelas, ibu tahu bagaimana sakit hatinya Najwa, karena dulu ayah mertua juga melakukan hal yang sama padanya. Hanya saja, Najwa bertanya-tanya kenapa Hamish juga melakukan hal itu padanya? Tidakkah ia melihat kepedihan di mata ibunya bertahun-tahun karena pengkhianatan ayahnya? Kenapa ia sampai tega melakukan hal yang sama seperti yang ayahnya lakukan kepada ibunya? Pikir Najwa.

“Jika ibu tahu, kenapa ibu masih bisa meminta hal itu padaku?” tanya Najwa dengan air mata yang berderai. Tak pernah ia sangka, ibunya akan meminta hal itu padanya. Bahkan ibunya memintanya sembari menangis. Najwa bingung, sebenarnya ibunya menangis karena apa? karena merasa sungkan padanya atas permintaan konyolnya atau menangis karena terpaksa demi kebaikan cucu dan menantunya yang lain?

Ya Robbi, ampuni aku karena telah membuat ibuku menangis.

“Ibu juga tidak ingin melakukan hal ini, tapi tadi di rumah sakit, Aisyah hendak bunuh diri dengan anaknya,” kata Ibu dan Najwa kaget mendengarnya.

“Apa?” tanya Najwa dan ibu mertuanya mengangguk.

“Iya, nduk. Kamu bisa tanya bi Surti. Ketika Aisyah tadi sadar, ia kesal kenapa ia tak mati saja dengan anaknya saat kecelakaan. Hamish dan ia terlibat adu mulut di dalam mobil. Hamish yang enggan mengungkapkan hubungan mereka di depanmu, dan Aisyah yang butuh kepastian. Kecelakaan itu terjadi karena mereka bertengkar hebat di dalam mobil. Aisyah berharap mati saja, tapi kamu menyelamatkannya. Operasi itu menyelamatkannya dan menyelamatkan bayinya sedangkan Hamish masih belum sadar. Aisyah yang putus asa merasa mati lebih baik dari pada harus hidup berdua dengan bayinya tapi tak tahu harus berbuat apa,” cerita ibu. Sungguh, Najwa semakin syok dengan apa yang ia dengarkan.

“Lalu?”

“Lalu ibu bicara dengannya. Ia hanya minta maaf dan minta maaf karena tak mati. Ia ambil anaknya dan ia mencoba melemparnya,” Najwa kaget dengan apa yang ibu mertuanya katakan. Wajah ibu yang masih syok itu terlihat jelas, bahkan Najwa saja tak bisa berkata apa-apa. Mungkin, jika ia berada di posisi ibu mertuanya, ia juga akan mengalami hal yang sama, syok karena reaksi dari Aisyah.

“Kenapa mau melempar bayinya?”

“Depresi postpartum, itu yang dikatakan oleh dokter,” kata ibu, “dia butuh support dari keluarga dan pihak keluarga harus menemaninya selalu agar kejadian seperti tadi tak terulang. Masalahnya adalah, Aisyah sebatang kara, aku belum tahu bagaimana akhirnya ia dan Hamish bisa kembali bersama, tapi yang jelas, Aisyah tak punya siapapun di sini,” kata ibu.

Aku dihadapkan keputusan yang sangat sulit lagi.

Jika tadi saat di rumah sakit Najwa hanya enggan menandatangani proses operasi section caesar yang pada akhirnya ia menandatanganinya juga, tapi kali ini ia dihadapkan pada hal yang makin membuatku tak habis pikir. Kenapa ia harus tinggal satu rumah dengan madunya, di rumahnya pula?!

“Najwa tak bisa memberi keputusan, bu. Lagi pula mas Hamish belum sadar, kan?” kata Najwa

“Apa kamu keberatan Aisyah tinggal bersama kita, nduk?” tanya ibu mertuanya.

Kenapa ibu masih mempertanyakannya?

“Tidak ada perempuan yang menikah lalu bercita-cita dimadu, bu,” jawab Najwa padanya. Ibu mertuanya terdengar mendesah lalu menunduk sejenak. Najwa tahu bahwa sang mertua pasti sedang gelisah, “kita tunggu mas Hamish sadar dulu, bu. Najwa tak bisa memberi keputusan,” kata Najwa pada mertuanya. Perempuan paruh baya itu hanya mengangguk lemah lalu berdiri dan pergi dari sana.

Najwa merasa bersalah karena membuat mertuanya bersedih. Najwa tahu niat ibu  mertuanya baik, ia hanya ingin menolong Aisyah dan anaknya. Tapi, bagaimana denganku? Apakah aku harus angkat kaki dari rumahku sendiri demi agar ia bisa tinggal di sini? Apa yang harus aku lakukan? Menerimanya sebagai maduku, tak mungkin aku lakukan. Pikir Najwa

Ibu kembali datang dan menegurnya yang tengah melamun, “ibu dengar, sebelum ibu dan Hamish tinggal di sini, kamu menerima kost untuk mahasiswa di rumahmu agar bisa menempati kamar-kamar kosong di rumah ini,” kata ibu dan Najwa mengangguk, firasatnya makin tak enak jika sudah seperti ini.

“Kenapa, bu?” tanya Najwa.

“Sisa penjualan rumah dulu selain melunasi hutang ayah Hamish, sebagian ibu belikan perhiasan ini, nduk. Kamu simpan, tolong biarkan Aisyah dan anaknya tinggal di sini. Ibu tak tega, ibu takut terjadi sesuatu pada bayi tersebut.” Ibu memohon pada Najwa seraya menyerahkan koleksi perhiasannya tersebut. Permintaan ibu itu benar-benar membuat Najwa tak bisa berkata apa-apa lagi.

Mana mungkin aku tega menerima perhiasannya tersebut?

Bagaimana caraku menolaknya dan menjelaskan perasaanku padanya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status