"Astaghfirulloh, "
"Astaghfirulloh,"
"Astaghfirulloh,"
"Kring ... Kring ..." Najwa terus berdoa, menuntaskan dzikir sepertiga malamnya ketika suara telepon berbunyi. Kurang satu putaran lagi jarinya menapaki tasbih di tangannya, tapi telepon itu tidak mau berhenti berdering, membuat konsentrasi Najwa terus terganggu.
Alhamdulillah.
Tepat setelah dzikirnya selesai, telepon yang terus berdering itu sudah tak berbunyi kembali. Hanya ada dua hal yang menyebabkan telepon itu telah berhenti berdering, asisten rumah tangganya terpaksa bangun dan mengangkat telepon berdering itu atau si penelepon sudah menyerah.
Perasaan Najwa jauh lebih baik saat ini setelah salat malam dan berdzikir, ia melepas mukenahnya dan melipat sajadahnya lalu tak berselang lama pintu kamarnya diketuk.
"Masuk," kata Najwa cukup keras. Pintu kamarnya terbuka sejenak dan ada sosok perempuan paruh baya yang ada di balik pintu berdiri setengah bungkuk dan tersenyum kecil ke Najwa.
"Maaf mengganggu, bu, ada telepon dari polisi," kata perempuan paruh baya itu seraya menyerahkan gagang telepon tanpa tali itu ke Najwa. Najwa cukup kaget dengan apa yang baru saja asistennya itu katakan. Ia melirik sekilas jam di dinding, pukul setengah empat pagi, setengah jam lagi adzan subuh akan berkumandang. Dadanya was-was saat menerima gagang telepon dari bi Surti tersebut dan menempelkannya ke telinga. Ia takut telepon palsu.
"Ya?" sahut Najwa.
"Dengan bu Najwa Abdullah?" tanya suara pria paruh baya di seberang dengan tegas.
"Iya, saya sendiri," ucap Najwa.
"Kami mau menginfokan bahwa suami anda mengalami kecelakaan dan sekarang sedang berada di rumah sakit Islam Permata Putih," kata-kata itu langsung membuat Najwa kaget dan gagap sekaligus.
"A-apa?"
"Suami anda mengalami kecelakaan beruntun di tol dan kami sudah mengirimnya ke rumah sakit. Bisa segera cek dengan datang ke rumah sakit Islam Permata Putih atau hubungi bagian Instalasi Gawat Darurat terlebih dulu, terima kasih, kami tunggu kedatangannya," kata pria di seberang sebelum akhirnya menutup telepon setelah Najwa mengucapkan salam dengan tergagap.
"Ada apa, bu?" tanya bi Surti yang paham kalau majikannya sedang mendapati masalah besar.
"Ba-bapak kecelakaan," kata Najwa yang membuat bi Surti kaget dan menutup mulutnya yang menganga itu.
Najwa lantas bergerak ke arah nakas di mana ponselnya berada, dengan tangan gemetaran ia mengetik nama rumah sakit Islam Permata Putih di g****e dan langsung menghubungi nomer instalasi gawat darurat yang tertera di sana.
"Rumah Sakit Islam Permata Putih, selamat pagi," sapa perempuan di seberang sana dengan ramah.
"Pagi, saya mau mengecek pasien kecelakaan bernama Hamish Rahman Abdullah," kata Najwa gagap.
"Mohon ditunggu sebentar," kata perempuan diseberang dengan ramah, "Hamish Rahman Abdullah terdaftar sebagai korban kecelakaan dua jam lalu. Permisi, dengan siapa saya bicara?" tanya perawat tersebut. Kepala Najwa langsung berputar dan seluruh tubuhnya gemetar bukan main. Ia tak menyangka firasat buruknya beberapa hari ini menjadi kecelakaan suaminya, "Halo?" suara di seberang memanggil-manggil, membuat Najwa yang bingung lantas sadar.
"Saya istrinya, saya akan segera ke sana," kata Najwa setelah menutup teleponnya dengan segera membuat perawat itu kaget. Istri? Pikirnya heran seraya menatap ke arah keramaian di depannya. Beberapa perawat dan dokter serta petugas kepolisian sibuk merawat pasien kecelakaan beruntun di tol tersebut dan pandangan perawat tersebut jatuh ke perempuan muda yang perutnya sedikit kelihatan gendut.
Najwa bergegas mencari kerudungnya di lemari dan memakainya secara instan. Bi Surti yang berada di belakangnya segera mempersiapkan tas Najwa dan memasukkan ponsel beserta dompet Najwa ke dalam tasnya.
"Ibu hati-hati, ya," ucap Surti dengan cemas.
"Jaga rumah ya, bi," kara Najwa seraya menerima kunci mobil dari bi Surti. Ia pun segera melangkah keluar dari kamarnya untuk menuju rumah sakit Islam.
Saat menapaki tangga, kebetulan sekali mertuanya keluar dari kamar dan membuat langkah kaki Najwa berbelok ke arahnya.
"Mau ke mana kamu pagi-pagi begini, Najwa?" tanya Haja Ida padanya.
"Mama, Najwa harus ke rumah sakit," kata Najwa berusaha menahan air matanya.
"Rumah sakit? Tapi untuk apa?" tanya Ida padanya. Najwa menutup matanya, ia seolah mempersiapkan diri betul-betul untuk menjawab pertanyaan Ida. Najwa menoleh ke arah kanan dan kiri, dan sofa ruang tengah adalah yang paling dekat dengan Ida. Ida yang sudah sangat cemas itu tak sabar ingin mendengar sesuatu dari bibir indah Najwa.
Setelah mereka bedua duduk, Najwa mengambil tangan Ida dengan penuh kasih sayang. Ia sudah menganggap Ida sebagai ibu kandungnya sendiri, "Mama, apa yang Najwa katakan ini, mama gak boleh kaget atau kepikiran ya?" tawar Najwa. Dahi tua Ida berkerut mendengar syarat yang diajukan oleh Najwa. Namun akhirnya ia menganguk dengan berat hati.
"Ada apa, Najwa? Kamu mau ke mana pagi-pagi buta begini?" tanya Ida cemas.
"Najwa mau ke rumah sakit Islam, Ma. Mas Hamish kecelakaan,"
"Astaghfirulloh!" ucap Ida dengan terkejut, "Mama ikut! Mama ikut!" ujar Ida dengan panik.
"Mama tenang, Ma. Tenang. Biar Najwa ke sana dulu, nanti Najwa pulang dan jemput mama setelah subuh," kata Najwa.
"Tapi,"
"Mama, please. Nanti Najwa beri kabar selanjutnya lewat telepon ," kata Najwa pada Ida yang nampak kurang setuju dengan saran Najwa, "Najwa butuh doa Mama. Mas Hamish butuh doa Mama. Kalau kita semua ke rumah sakit dan bingung di sana, siapa yang mendoakan mas Hamish?" tanya Najwa mencoba membujuk Ida lembut.
"Baiklah, tapi jangan lupa telepon mama segera, ya," kata Ida dan Najwa mengangguk setuju.
Najwa lantas berdiri setelah mencium tangan Ida dengan khidmat, ia pun keluar dari rumahnya dan segera masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di garasi. Najwa mengemudikan mobilnya sembari bershalawat dan berdoa dalam-dalam agar suaminya baik-baik saja.
Perjalanan dari rumah mewahnya ke rumah sakit Islam Permata itu tak begitu jauh bagi Najwa, tapi kali ini bagi Najwa terasa sangat jauh. Ketika sampai dan sudah berada di IGD, Najww bingung harus bagaimana, apalagi ia melihat IGD itu sedang sibuk mengurus pasien yang melonjak dini hari tersebut. Bau darah, obat, dan semuanya yang berbau medis membuatnya pusing.
"Cari siapa, bu?" sapaan ramah seorang perawat kepadanya itu membuat Najwa bernapas lega.
"Saya Najwa Abdullah, saya dapat kabar kalau suami saya dirawat di sini, apa benar?" tanya Najwa pada perawat tersebut.
"Silahkan ikut saya ke bagian informasi," ajak perawat tersebut ramah. Najwa mengikutinya, "nama pasiennya siapa?"
"Hamish! Keluarga Hamish!" belum sempat Najwa menjawab, salah seorang perawat berteriak dan Najwa sontak mengangkat tangannya.
"Apa ibu keluarga bapak Hamish Rahman?" tanya perawat itu dengan napas terengah-engah. Najwa mengangguk, "kami butuh darah untuk bapak Hamish dan stok darah di rumah sakit sedang habis," kata perawat tersebut.
"Darah saya kebetulan sama dengan suami," kata Najwa.
"Alhamdulillah, mari ikut kami," kata perawat tersebut yang langsung bergerak menuju ruang tempat dimana Najwa bisa langsung mendonorkan darahnya kepada Hamish.
"Keadaan suami saya bagaimana, dok?" tanya Najwa langsung kepada pria paruh baya yang datang menghampirinya. Pertanyaan Najwa itu membuatnya kaget, ia bahkan menatap Najwa lekat-lekat.
"Suami ibu kehilangan banyak darah dan kami harus segera melakukan operasi di Kepalanya yang mengalami benturan cukup keras," kata dokter paruh baya tersebut yang membuat Najwa semakin gelisah.
"Tapi dia akan baik-baik saja, kan, dok?" tanya Najwa.
"Dok, pasien perempuan yang sedang hamil tujuh bulan itu perlu segera melakukan operasi sesar, apa keluarga pak Hamish sudah datang?" tanya salah satu perawat yang tiba-tiba datang. Pertanyaan itu membuat Najwa kaget dan bingung. Apa maksud perawat tersebut?
"Bu, kami butuh persetujuan ibu segera untuk melakukan operasi sesar pada bu Aisyah, korban kecekalaan satu mobil dengan suami ibu," kata dokter tersebut.
"Maksud dokter apa, ya?" tanya Najwa tak paham. Dokter semakin bingung menjelaskan.
"Suami ibu sedang satu mobil dengan bu Aisyah yang sedang hamil dan mengalami kecelakaan," kata dokter tersebut.
"Tapi, saya istrinya bukan perempuan hamil itu! Kenapa persetujuan operasi itu minta sama saya? Bukankah ada keluarganya? Bisa saja dia hanya rekan kerja suami saya," kata Najwa marah.
"Sebelum bu Aisyah pingsan, ia menyerahkan ponselnya kepada kami dan bilang dia istri pak Hamish," kata dokter tersebut sembari menyerahkan ponsel Aisyah pada Najwa. Najwa menerima ponsel itu dengan tangannya yang lain, karena tangannya yang satunya digunakannya untuk donor darah. Ia membuka ponsel tersebut yang kebetulan tanpa menggunakan password atau sandi pola. Dan layar utama ponsel tersebut adalah foto pernikahan Hamish dengan perempuan lain.
Najwa meremas ponsel tersebut kuat-kuat.
“Siapa dia, mas?” tanya Najwa saat ia baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Rambut basah Najwa masih terbalut oleh handuk. Ia mendekati Hamish yang buru-buru meletakkan foto seorang wanita pada dalam kardus yang berisi barang-barang bekas di rumahnya.“Bukan siapa-siapa,” jawab Hamish datar.“Pasti dia Aisyah Rahmah yang selalu kamu ceritakan padaku itu, kan?” tebak Najwa. Hamish memandang wajah istrinya yang bersih tanpa make up, mata lentik Najwa selalu bisa membuat Hamish bertekuk lutut. Hamish menarik pinggang Najwa dan memandangnya dengan seksama.“Tidak penting Aisyah sekarang, yang terpenting adalah kamu di hidupku,” kata Hamish padanya. Hamish langsung mencumbu bibir istrinya.“Aku baru selesai mandi, mas,” kata Najwa melepaskan ciuman suaminya. Semalam mereka telah melakukan hubungan istri yang panas dan itu berkali-kali hingga membuat Najwa merasa sedikit lelah.“Aku selalu bergairah saat bersamamu, sayang,” kata Hamish pada istrinya. Najwa tertawa.“Lalu kapan kita bersi
Hari itu, Najwa memutuskan tidak kembali ke rumah sakit dan menyerahkan mas Hamish sepenuhnya kepada ibu. Tidak enak badan, itu adalah alasannya pada ibu dan bi Surti. Akhirnya, asisten rumah tangga di rumah itu yang bergantian menjaga Hamish dan Aisyah. Ibu dan Bi Surti kembali ke rumah pukul tujuh malam. Saat beliau kembali, Najwa sedang membuat kue, menyibukkan diri dengan hobi yang beberapa tahun lalu menjadi satu-satunya sumber penghasilannya hingga ia memiliki rumah yang ia tinggali bersama suami dan ibu mertuanya. serta toku kue di sebelah rumah. Sayangnya, tiga tahun belakangan, omsetnya terus menurun dan ia terpaksa memecat beberapa pegawainya di sana. Yang tadinya ada lima belas orang yang membantu Najwa di dapur, dan empat orang yang berjaga di toko, kini hanya tersisa empat orang di dapur dan dua orang di toko. Najwa tak sanggup membayar banyak orang saat ini. Sekarang toko kue dan roti ada di mana-mana, beberapa pelanggannya masih ada yang setia beli kue dan memesan padan
“Najwa!” suara Sarah membuat Najwa tersadar dari lamunan kala gadis berambut coklat itu memanggil namanya di ambang pintu masuk café tempat mereka membuat janji. Najwa membalas lambaian tangannya dan tersenyum manis ke arahnya yang berjalan ke arah Najwa duduk. “Udah lama?” tanyanya seraya meletakkan tas di atas meja dekat jendela. Sarah pelupa, apapun bisa tertinggal jika barang-barangnya tak ada di dalam jangkauan matanya. Jadi di manapun ia berada, barang-barang penting yang selalu ia bawa kemana-mana seperti tas, dompet dan ponsel harus ada dalam jangkauan matanya.Sarah adalah sahabat baik Najwa. Sejak duduk di kelas sebelas SMA, mereka berteman baik sampai sekarang. Meski dulu sempat berpisah karena mereka tak kuliah di tempat yang sama, tapi mereka tetap menjalin hubungan baik. Sering kali keluar bersama. Bersama Sarah pula, Najwa berani membuka toko kue atas bakatnya, Sarah yang terus menyemangatinya, membantunya berusaha di bidang marketing dengan mempromosikan kue Sarah ke t
Setelah puas belanja sampai limit kartu kredit milik mas Hamish Najwa gunakan habis, ia dan Sarah memutuskan pulang ke rumah. Sampai di rumah dengan belanjaan yang banyak, ibu mertua menatapnya dengan wajah terkejut dan bingung dengan barang belanjaan milik Najwa. “Bi Surti! Tolong bantu bawakan belanjaanku,” teriaknya memanggil asisten rumah tangga. “Kamu belanja apa, nak? Banyak sekali,” tanya ibu mertuanya yang bingung kala Najwa meletakkan beberapa paper bag di ruang tamu. Bi Surti terlihat mengangguk ke arah Najwa sebelum ia menuju keluar dan kembali beberapa saat dengan delapan paper bag di kedua tangannya. Setelah meletakkannya di dekat Najwa, ia kembali keluar lalu mengambil delapan paper bag lagi dan meletakkannya di samping paper bag yang ia letakkan sebelumnya. Bi Surti mengulangi kegiatannya sampai tiga kali dan selama itu pula, ibu mertua Najwa hanya diam melongo. “Aku beli beberapa baju, tas dan sandal buat ibu,” kata Najwa menyerahkan tiga paper bag untuk ibu mertuany
“Apa yang dikatakan oleh Najwa, Hamish?” tanya ibu Hamish pada Hamish. Hamish memandang wajah ibunya sejenak sebelum menggeleng ke arahnya. “Nggak ada,” jawab Hamish. “Kita jadi pulang hari ini, kan? Najwa ke sini dan bayar tagihan rumah sakit, kan?” tanya ibunya kembali. Hamish diam, ia masih bergeming. Sebenarnya ia memiliki uang, hanya saja ia tak mau menggunakannya lebih dulu jika bukan hal yang mendesak. Ia benar-benar heran dengan Najwa, kenapa istrinya itu menghabiskan limit kartu kreditnya? “Iya, bu, sebentar Hamish ke bagian administrasi dulu lagi,” kata Hamish seraya beranjak dari kasurnya. “Loh? Katanya Najwa ke sini dan bayar tagihannya?” tanya ibunya heran. “Najwa sibuk beresin kamar, bu. Dia cuma transfer,” jawab Hamish berbohong pada ibunya. Ida mengangguk mengerti dan mendampingi sang putra berjalan ke bagian administrasi untuk melakukan pelunasan tagihan rumah sakit. “Kamu gak jenguk anakmu dulu?” tanya sang ibu setelah Hamish selesai melakukan pelunasan pada tag
Mobil Hamish yang mengalami kecelakaan masih berada di polsek untuk diamankan. Mobil itu mengalami kerusakan yang cukup berat dan Najwa sama sekali tak berniat untuk memperbaikinya. Bukan tidak mau memperbaikinya, tapi hatinya masih sakit kala ia teringat bahwa mobil itu tak hanya suaminya saja yang naiki tapi juga madunya, Aisyah Rahmah.Terpaksa, Hamish memanggil taksi online untuknya dan Aisyah pulang. Untung saja barang bawaan ibunya tak banyak, hanya ada beberapa baju dan itu bisa ia bawa dengan sebelah tangannya yang baik-baik saja, sedangkan ibunya membantu membawa barang-barang Aisyah dan bayinya. Aisyah sendiri menggendong bayinya.“Kenapa gak ada yang jemput kita, mas?” tanya Aisyah berbisik pada Hamish. Hamish menoleh sejenak dan tak berniat sama sekali menjawab pertanyaan Aisyah itu, masalahnya adalah ia akan pulang ke rumah tapi entah mengapa perasaannya tak enak. Hamish sadar kalau rumah itu bukanlah rumahn
“Ibu,” sapa Najwa pada ibu mertuanya sembari mencium punggung tangan perempuan paruh baya tersebut saat menyambutnya datang. Ida tersenyum kepada Najwa, “masuk, bu,” ajak Najwa. Ia menoleh ke arah suaminya dan istri muda suaminya yang tertunduk tak berani menatap wajah Najwa.“Mas, ayo masuk,” ajak Najwa pada Hamish yang masih diam. Biasanya, Najwa juga akan menyambutnya dengan mencium tangannya, tapi kini sang istri tak melakukan hal itu. Membuat Hamish merasa ada yang hilang di sudut hatinya. Senyum Najwa juga terasa dingin.“Mas, aku langsung ke kamar aja,” bisik Aisyah yang terlihat sungkan. Najwa mendengar itu dan menoleh ke arah Aisyah yang langsung kembali menundukkan pandangannya, tak berani menatap wajah Najwa. Aisyah sendiri bingung harus menegur Najwa dari mana dulu, jadi ia memilih diam dan membiarkan suaminya bertindak, sedangkan Najwa seolah tak menganggapnya ada. Melihat sikap Najwa yang
Rasa bersalah kepada Najwa terus menggelayuti hati Hamish. Bahkan, sebenarnya ia enggan keluar dari kamar sang istri. Tujuh tahun ia tidur bersama Najwa, kini Najwa bahkan memalingkan wajah darinya. Hati Hamish terasa diremas, berulang kali ia menghela napas karena merasa bingung dan gelisah. Jujur saja, sejak mendapatkan donor darah dari Najwa, hati terdalamnya terenyuh dan semua kebaikan Najwa melambai dibenaknyaDengan langkah kaki goyah, Hamish turun ke bawah. Impiannya untuk memeluk sang istri, sirna dan entah mengapa itu menyurutkan semangatnya.“Kenapa, nak?” tanya Ida pada sang putra. Hamish mengangkat wajahnya, raut kebingungan tercetak jelas di wajah sang putra, membuat ibu merasa iba, apalagi kondisi Hamish masih belum baik betul.“Najwa memintaku keluar dari kamar, bu,” keluh Hamish yang membuat sang ibu kaget.“Kamu sudah jelaskan situasi kamu kepada Najwa dan meminta maaf padanya?” tanya sang