Share

Bab 8

Penulis: Rira Faradina
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-08 03:13:26

Rumah berlantai dua dengan model Mediterania klasik ini langsung terlihat begitu mobilku berbelok, rumah yang dibeli papa sebulan sebelum pernikahanku seakan menjadi ungkapan kebahagiaannya.

Mobil yang kukemudikan kini berhenti tepat sempurna di depan pintu masuk utama rumah ini. Ku pindai pandangan ke sekeliling bangunan, mengagumi keindahan eksterior rumah ini.

Sebuah Pohon Flamboyan merah terlihat begitu kokoh di sudut kanan, pohon dengan rantingnya yang lebat dan bunganya yang berwarna kemerahan itu seolah ingin memberikan kesan indah dan berbeda. Aku memuji selera dan pilihan papa. Dalam sekali lihat, aku sudah menyukai rumah baruku ini.

Reshwara, harusnya kau tahu jika papa sangat menyayangimu. Yang harus kau lakukan adalah menjalani pernikahan ini saja, jika nantinya memang tidak ada kecocokan antara kalian, bukankah itu alasan yang bagus untuk menceraikannya?

Lagipula, hanya sedikit orang saja yang tahu jika kau sudah menikah. Tentu itu sangat baik untuk kepopuleranku. Dengan begitu aku masih bisa berpetualang dengan banyak wanita lainnya.

Terima kasih Tuhan, kau sudah memberikan banyak hal baik padaku. Batinku berucap.

Aku melirik Luna yang masih terpaku menatap bangunan rumah. Tak ingin berlama lama di luar karena sinar matahari yang sudah terasa menyengat, segera kuajak istri belia ku ini untuk masuk, menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di rumah baru kami.

"Rumahnya nyaman ya, Mas. Bagus!" Ungkapnya.

"Iya," jawabku cepat.

"Ehm ... mas, kamarku ada di mana?"

"Aku juga baru pertama kali kesini, kau pilih saja sendiri kamar mana yang mau kau tempati!" Ucapku refleks.

Ia menatapku tajam seolah memintaku memberikan penjelasan atas apa yang baru saja kukatakan tadi. Mengetahui itu, aku memintanya duduk dulu di sofa, untuk sekadar melepas penat.

"Duduk dulu, sepertinya ada yang harus kita bicarakan."

Begitu mendengarnya. Kulihat ia segera melangkah ke sofa tamu, memilih posisi duduk yang nyaman. Tak lama, akupun mengikutinya, kini kami sudah duduk saling berhadapan satu sama lain.

"Di dalam rumah ini, kita adalah suami istri, tapi selangkah keluar dari rumah ini, kita tidak saling mengenal. Kita adalah dua orang asing. Kau mengerti maksudku, bukan? Dan juga jangan sampai keluarga besar mengetahui semua ini," ucapku langsung pada intinya.

"Satu lagi, aku ingin memiliki kamar sendiri," tegasku. Sebenarnya tak ada niat apa-apa, hanya saja, aku malas tidur satu ranjang dengannya jika mengingat bagaimana 'liarnya' ia ketika tidur. Aku tak mau sekujur tubuhku remuk begitu bangun tidur karena posisi tidurnya yang bisa berubah sewaktu-waktu bahkan kakinya tanpa ragu menendang wajah tampanku ini.

Luna nampak begitu terkejut mendengar apa yang baru saja kuucapkan, Namun, itu hanya sesaat, beberapa detik kemudian, dengan cepat ia menguasai diri. Seakan tidak mendengar apa apa.

Penguasaan diri yang cukup baik. Ah, kenapa aku jadi memujinya.

"Baik, jika itu keinginan Mas Rei. Tapi, aku juga punya syarat."

"Apa itu, katakan?"

"Aku minta izin untuk ke kampus."

"Ke kampus?" Aku bertanya sambil menyipitkan mata. Untuk apa gadis kecil ini ke kampus?

"Iya, aku izin keluar rumah setiap hari untuk kuliah."

"Hanya itu saja?"

"Iya Mas."

"Baiklah, silakan. Aku tak tahu jika kau ternyata kuliah." Ada nada mengejek terdengar dalam kalimat yang kuucapkan.

"Apa aku bisa memilih kamarku sekarang?"

"Tentu saja. Kata papa, rumah ini punya empat kamar selain dua kamar pembantu di belakang. Kau pilih saja kamar manapun yang kau mau." aku memperbolehkan ia memilih lebih dulu. Lagipula, aku yakin pasti kamar di lantai dua ada yang cocok untukku.

"Aku mau kamar yang ada di lantai dua saja, mas."

"Silakan."

Luna membawa kopernya menaiki tangga, aku membiarkan ia membawa kopernya sendiri, aku yakin itu cukup berat dan melelahkan untuknya. Jujur, aku cukup terkejut mendengar pernyataannya tadi, ternyata gadis ini seorang mahasiswi.

Rasanya kesal, mengingat tidak ada seorang pun yang memberitahu tentang latar belakang pendidikannya padaku sebelumnya.

Sebenarnya, apa lagi yang belum kuketahui dari seorang Luna?

****

"Iya, Luna kuliah di universitas Xxxx, kenapa, kau baru tahu? Dasar! suami apaan kau mas, pendidikan istrimu sendiri saja kau tidak tahu," ejek Raina, begitu aku menelponnya untuk menanyakan soal latar belakang pendidikan Luna.

Yah, para reader sekarang ikutan menghujat. Suami apaan? pendidikan istri sendiri saja tidak tahu. Hei, aku tidak tertarik untuk mengetahuinya, lagipula, salah sendiri mengapa papa dan mama tidak mengatakannya padaku. Jadi wajar dong, jika aku tidak tahu dan menganggapnya sebagai gadis biasa yang cuma lulusan SMA?

Tak mudah untuk bisa menjadi mahasiswa di universitas yang tadi disebutkan Raina, keren juga nih si Luna bisa kuliah di salah satu kampus terbaik negeri ini. Tak menyangka, sungguh ini benar benar suatu kejutan.

Pagi ini, aku masih duduk diam di kamar. Menatap layar ponselku. Ucapan Raina masih terngiang di telinga. Sebenarnya apa lagi yang tidak kuketahui tentang Luna?

Kulirik sudah hampir pu-kul tujuh pagi, kurasa sudah waktunya aku berangkat ke kantor. Meskipun sebenarnya papa masih memberiku cuti hingga tiga hari ke depan.

Ketukan pintu terdengar, diikuti oleh Suara Luna yang memanggil namaku. Kuseret langkah menuju pintu, lalu membukanya.

"Mas, mau sarapan bareng, nggak?"

"Memang sarapan dengan apa?" Tanyaku datar.

"Nasi goreng."

"Sandwich ada?" Tanyaku.

"Tidak ada. Di dapur hanya ada beras dan telur. Jadi ku buat saja nasi goreng,"Jawab Luna pelan.

"Kau makan saja sendiri."

" ... dan ya, selanjutnya, kau tak perlu repot-repot mengurus keperluanku. Aku bisa mengurus diriku sendiri."

Wajah Luna tampak kecewa mendengar perkataanku barusan. Terserah, aku tak begitu peduli. Lagipula, aku yakin masakannya tidak enak. Maaf, tapi lidahku terbiasa dengan makanan buatan chef atau koki.

"Baiklah, maaf menganggu," Suara Luna terdengar gemetar.

Luna membalikkan badannya, melangkah menjauhiku, ada rasa bersalah dalam diri tapi, aku juga tak mau menyiksa diri dengan menikmati masakannya yang kuyakini tidak enak itu.

Ah, kenapa jadi runyam begini. Harusnya gadis itu tahu, seorang Reshwara yang tampan dan mapan, memiliki selera makanan yang enak dan berkelas. Setidaknya, ia bisa menyajikan Sandwich atau roti panggang.

Mungkin sesekali aku harus mengajarinya.

Dengan perut kosong, aku berjalan keluar menuju mobilku. Kulihat Luna sedang berdiri di dekat pagar dengan membawa sebuah tas di punggungnya dan tentunya sepatu kets berwarna putih yang membuatnya terlihat berbeda.

Ia segera membuang muka dan berpura pura tak melihatku ketika tak sengaja pandangan mata kami bertemu. Mau kemana dia sepagi ini, apakah ke kampus? Benakku kini mulai bertanya.

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Polos dari Desa Milik Tuan Muda   Bab 50

    Aaww! Teriakku cukup keras saat Luna menekan kasar bagian memar di bagian pelipisku, seperti di lakukannya dengan sengaja. Ah, mengapa aku sampai lupa jika ia adalah Mak lampir. "Dasar Mak lampir, kau sengaja melakukannya untuk membunuhku, ya?" Ucapku yang tanpa sadar kelepasan bicara. "Apa? Kau mengataiku Mak lampir?" Mata Luna melotot padaku. "Ah, itu ... Hehe! lagipula kau memang seperti Mak Lampir." Kupaksakan bibirku tersenyum. "Kau mau memar-mu ini kutambah, mas?" ancam Luna cemberut, ah, mengapa aku baru sadar jika ia ternyata semanis ini. "Iya, Jika kau yang melakukannya, aku tak akan menolak," ujarku dengan cepat menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. "Kau tahu, sepertinya aku telah jatuh cinta pada seorang mak lampir yang cantik," bisikku di telinganya. "Mulai sekarang, maukah kau menerima pria bodoh ini menjadi suamimu?" Lanjutku lalu mengurai sedikit pelukanku dan memandangnya. Luna terdiam sesaat. tak lama kulihat kepalanya mengangguk. entah mengapa membu

  • Istri Polos dari Desa Milik Tuan Muda   Bab 49

    "Maaf, karena telah menyakiti hatimu," ucapku pelan lalu kembali mengusap bibirku yang masih terasa nyeri. Saskia menatapku nanar, seolah tak percaya ungkapan itu berasal dari mulutku. Tak lama, ia kembali bicara. "Lebih baik sekarang kau pergi dari sini mas, sebelum aku meminta pihak keamanan untuk mengusirmu," Suaranya terdengar bergetar disertai dengan jari telunjuk yang mengarah ke arah pintu. "Iya, aku akan keluar dari sini. Sekali lagi aku minta maaf karena telah membohongimu." Yah, memang seharusnya aku meminta maaf padanya karena bagaimanapun ia berkata benar, akulah orang pertama yang mengkhianati hubungan kami, akulah orang yang telah berbohong padanya karena menyembunyikan status pernikahanku darinya. Setidaknya aku bisa sedikit mengerti alasan mengapa ia bertindak senekat ini. Mungkin ini juga bentuk hukuman dari tuhan padaku karena telah berbohong dan mengabaikan keberadaan Luna selama ini. Ah, mengapa aku semakin merindukan istri kecilku itu? Akuilah Reshwara jika

  • Istri Polos dari Desa Milik Tuan Muda   Ba 48

    "Melihat lelaki ini ada di apartemenmu, sudah cukup menjadi jawabannya. Aku tak menyangka jika ternyata kau juga menjalin hubungan lain di belakangku, benar -benar perempuan murahan." Cih! "Ya, aku yang melakukannya. Mengapa? Kau kesal, marah, kecewa?" Suara Saskia terdengar lantang, seakan mewakili kemarahannya. Kupalingkan wajah dan menatapnya yang saat ini tengah melempar tatapan tajam padaku. "Kau bener sekali, aku yang membocorkannya. Bagaimana rasanya di khianati? Sakit?" Desis Saskia. "Kau ...!" Geramku padanya dengan tangan terkepal. Andai ia bukan seorang perempuan, sudah ku hajar ia sekarang. Atmosfir ruangan ini kini berubah panas, mata itu masih melempar tatapan menghujam padaku, seakan sedang melepaskan semua kemarahannya padaku. "Aku tidak menyangka jika kau bisa mengkhianatiku, Saskia." "Tentu saja bisa, kau tahu mengapa aku melakukannya?" Bibir itu mengulas senyum sinis padaku. "Karena kau yang lebih dulu mengkhianatiku. Apa kau pikir aku tidak tahu jika terny

  • Istri Polos dari Desa Milik Tuan Muda   Bab 47

    "Saat seorang wanita sudah merasa tidak nyaman di rumah suaminya, maka secara naluri ia akan pulang ke rumah orang tuanya, karena ia tahu bahwa rumah orang tuanya adalah satu satunya tempat ternyaman untuknya," ujar Tante Wina ikut bicara. "Begitukah?" ucapku tanpa sadar sambil melirik Raina yang menggeleng kesal. "Makanya mas, cari tahu dulu penyebabnya, jangan bisanya cuma asal tuduh saja. Kalau begini kau juga yang malu kan?" Aku mengulas senyum getir saat mendengarnya. Raina berkata benar, entah mengapa saat ini aku merindukan Luna, merindukan tingkah konyol Mak lampir cantik itu. Ponselku tiba tiba berdering, kulirik arloji di pergelangan tangan yang sudah menunjukkan angka delapan, rasanya masih belum terlalu malam untuk meluncur ke Depok dan menjemput Luna. Namun, sebelum itu, aku akan menjawab panggilan teleponku dulu. Senyumku seketika terbit saat kulihat nama seseorang yang tertera di layar, kelihatannya, aku harus menunda sebentar kepergian ku ke Depok karena masih ada

  • Istri Polos dari Desa Milik Tuan Muda   Bab 46

    Aku menoleh pada Keenan yang masih menatapku, ada rasa bersalah dalam hati karena telah asal menuduhnya, jika memang itu yang sebenarnya terjadi, maka aku telah melakukan kesalahan yang besar pada Luna. Ah, mengapa aku bisa sampai bertindak se-ceroboh ini, tak biasanya aku melakukan sesuatu hal tanpa rencana, sungguh aku merasa sangat malu saat ini. Papa terlihat menggelengkan kepalanya, sementara mama masih tertawa geli, dan Raina, gadis itu mengulas senyum tipis di wajahnya, senyuman yang entah mengapa terlihat begitu menyebalkan. Tak lama kudengar mama bicara. "Luna adalah gadis yang baik, Rei. Cobalah untuk mengenalnya lebih dekat, kau pasti tahu mengapa mama dan papa memilihnya untuk menjadi pendampingmu." Aku tak menjawabnya, hanya mengangguk lemah. Ucapan Mama mungkin ada benarnya, aku yang salah, karena masih belum sepenuhnya menerima keberadaan dirinya dan juga pernikahan kami. Mungkin karena jarak usia kami yang terpaut cukup jauh, membuatku meremehkannya atau mungkin

  • Istri Polos dari Desa Milik Tuan Muda   Bab 45

    "Ha ... Ha ... ha" Tawa papa terdengar begitu keras memenuhi seisi ruangan ini sesaat aku selesai menceritakan kecurigaanku tentang hubungan terlarang Keenan dan Luna. Aku melongo melihat papa yang tampak begitu renyah tertawa, tak hanya papa, mama, Raina bahkan Keenan juga tampak tertawa. Hanya Tante Wina yang tampak mengulum senyum seakan ingin menjaga wibawaku. Ini aneh. Apa yang terjadi pada mereka semua? Mengapa tertawa? Bukankah seharusnya mereka marah dan kesal? Aku masih menatap mereka dengan wajah bingung dan tak mengerti, tak lama ku dengar Raina bicara. "Kau memang orang paling lucu yang pernah kukenal, mas." "Lucu sekali," gelak tawa Raina sambil menunjuk padaku. "Aku bicara yang sebenarnya, kenapa kalian semua tertawa?" Ketusku lalu memalingkan wajah. "Tentu saja kami semua tertawa, karena semua tuduhanmu itu tidak benar," balas Raina. "Tidak benar bagaimana, aku serius. Kalian bisa tanyakan sendiri pada Keenan," geramku sambil melirik pada pemuda yang duduk di

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status