Esme menyeringai dingin. “Aku tidak akan pernah mengakui anak cacat itu sebagai cucuku. Anak seorang pelayan bar rendahan, bahkan cacat pula, beraninya menyandang nama keluarga ini. Mungkin juga Zein adalah benih liar dari entah siapa.”
Ekspresi Iris menggelap mendengar pernyataan Esme. Iris menatap Esme penuh amarah. "Berhenti menghina anakku!"
“A-apa kamu baru saja berteriak padaku?!” Esme mendesis dingin.
“Bibi, Iris membentakmu. Dia tidak menghormatimu lagi.” Alice berkata memprovokasi Esme.
Esme mendengus dingin dan berdiri dari sofa. Dia menghampiri Iris dengan cangkir teh di tangannya dan menyiram teh itu ke wajah Iris.
“Dasar wanita murahan, kamu sadar siapa kamu?! Beraninya kamu tidak menghormatiku setelah makan dan tinggal dengan gratis di rumah ini. Tanpa keluarga Ridley, kamu hanyalah pelayan bar untuk ayahmu yang menyedihkan,” hina Esme menatap tajam Iris.
Iris mengepalkan tangannya dengan mata terpejam merasakan panas air teh di wajahnya. Telingan wanit itu terasa panas mendengar penghinaan Esme tentang ayahnya. "Jangan menghina ayahku!"
Iris banting tulang bekerja keras untuk membayar biaya perawatan ayah dan ibunya yang sakit keras di rumah sakit. Dia terpaksa bekerja menjadi pelayan bar dan menjual anggur untuk mendapat uang.
Nasibnya berbalik ketika bertemu dengan Aiden Ridley, seorang kolongmerat kaya dan pengusaha muda perusahaan raksasa di York City.
Malam itu, Iris yang baru saja selesai membuang sampah di pintu belakang bar langsung memapah Aiden yang saat itu berada di bawah pengaruh alkohol. Niatnya hanya membantu seorang pelanggan bar sampai mobilnya. Namun, setelah malam itu, banyak foto beredar antara dirinya dengan pengusaha muda tersebut. Rumor-rumor saat itu mengatakan jika Iris adalah wanita rahasia Aiden Ridley.
"Kita akan menikah," ucap Aiden, tegas dan penuh penekanan pada Iris. Kalimat itu bukan kalimat lamaran, melainkan kalimat perintah yang tidak bisa Iris bantah. Sejak saat itu, Iris tahu, Aiden Ridley adalah pria yang teramat dingin dan tidak mudah dididekati.
Meskipun Aiden dan Iris resmi menikah, tetapi pernikahan itu adalah pernikahan kontrak. Aiden bersedia menikahi Iris untuk menghilangkan isu tentang dirinya penyuka sesama jenis dan juga menolak pernikahan bisnis yang diatur oleh kakeknya. Pernikahan kontrak ini juga memberi syarat pada Iris untuk melahirkan anak dan Aiden akan menceraikannya setelah posisi pria itu kokoh di RDY Group, perusahaan milik keluarga Ridley.
Berkat pernikahannya ini, Iris bisa membayar biaya rumah sakit ayah dan ibunya. Akan tetapi, Iris selalu diremehkan dan mendapat hinaan di keluarga Ridley. Ini karena latar belakangnya yang miskin dan mantan pelayan bar. Di antara semua itu, Iris juga tidak pernah mendapatkan cinta maupun dukungan Aiden untuk bertahan di keluarga Ridley.
Iris menarik napas dalam-dalam, mengusir bayangan menyakitkan itu. Dia membuka matanya yang terpejam, balas menatap Esme tegar. “Ibu, aku tak pernah meminta datang dan tinggal ‘gratis’ di rumah ini. Putramu yang menikahiku dan membuatku melahirkan cucumu—“
Plak!
Esme menampar Iris dan mencacinya, “Wanita murahan! Jika bukan karena kamu merayu Aiden dengan cara menjijikkan, apakah dia akan menikahi wanita kotor sepertimu dan menjadi nyonya di rumah ini?!”
Alice tampak gembira melihat Iris begitu menderita dan berkata di sebelah Esme, “Benar, kakak sepupuku sangat tampan dan banyak wanita yang mendambakannya. Mengapa dia harus menikah dengan seorang pelayan bar murahan? Pasti sebenarnya kamu yang telah menjebaknya dan naik ke tempat tidur Aiden. Cara yang sangat menjijikkan dan licik yang dilakukan perempuan miskin tanpa pendidikan. Tidak heran anakmu terlahir cacat dan mati. Itu adalah karmamu!”
Iris menoleh dan menampar Alice tanpa ragu-ragu.
Dia mungkin tidak bisa melawan ibu mertuanya, tetapi apa hak Alice untuk menghina putranya yang meninggal?!
Seorang ibu akan berubah menjadi harimau ketika anaknya dihina.
“Alice Spinet, mengapa kamu terus menghina orang lain? Apa kamu pikir bahwa dirimu itu begitu hebat? Kamu juga hanya yatim piatu miskin yang bergantung pada keluarga Ridley,” desis Iris dingin.
Alice membeku sesaat sebelum kemudian meraung marah dan malu. Dia memang anak yatim piatu miskin seperti Iris. Namun, karena bibinya adalah Esme yang menikah dengan keluarga kaya, dia dibawa ke keluarga Ridley dan tumbuh bersama Aiden.
“Iris, beraninya kamu menghinaku! Bibi, dia menghinaku!” tangisnya dengan cepat mengadu pada Esme.
Esme menatap marah Iris dan menenangkan keponakannya.
“Wah, Iris, kamu sudah mulai sombong di depanku setelah semua yang kamu dapatkan dari keluarga Ridley. Dasar wanita murahan tidak tahu diri, pergi dari rumah ini! Jangan sampai aku melihatmu lagi di sini!” cibirnya kemudian memanggil petugas keamanan. “Seret wanita tidak tahu diri ini keluar dari rumah ini!”
“Tidak perlu. Aku bisa keluar sendiri,” ujar Iris tenang menarik kopernya dan menatap Esme. “Aku akan menegaskan pada kalian sekali lagi, baik aku dan putraku, tidak pernah berutang apa pun pada keluarga Ridley. Aku tidak akan meminta tunjangan cerai dan tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini bahkan jika Aiden memohon padaku,” lanjutnya dingin sebelum kemudian berbalik pergi meninggalkan Esme dan Alice yang marah.
“A-apa? Bibi, kamu dengar apa yang dikatakan wanita murahan itu? Dia tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini bahkan jika Aiden memohon padanya?” Alice mendengus sebelum kemudian mencemooh Iris. “Dia pikir dia siapa? Sombong sekali. Yang ada dia akan kembali memohon pada Sepupu. Dasar wanita miskin,” gerutunya menghina iris.
Esme mendengus dan mencibir, “Dia gelandangan miskin yang mengais di got. Setelah mencicipi hidup mewah, apa dia sungguh rela kembali ke kehidupan miskin dan menjadi pelayan bar? Dia pasti akan kembali untuk memohon minta uang.”
Alice menghentakkan kakinya marah.
“Aku tidak akan membiarkan wanita murahan itu mendekati Kakak Sepupu lagi. Jika dia berani kembali, aku akan membuat Kakak Sepupu mencampakkannya,” ujar Alice bersungut-sungut.
.....
Iris menyeret kopernya keluar dari rumah mewah keluarga Ridley. Dia berhenti sejenak dan berbalik memandang rumah mewah keluarga Ridley. Tatapannya tertuju pada jendela kamarnya dan Aiden. Mata wanita itu memerah dan air mata mengalir di pipinya.
Dia menghabiskan dua tahun mencintai Aiden dan menahan semua hinaan keluarga Ridley demi pria itu. Namun, hati pria itu tetap dingin dari awal hingga saat ini.
“Aiden Ridley, apakah tak pernah sedikit pun kamu mencintaiku ....” bisik Iris lirih merasakan sakit yang teramat dalam di hatinya.
“Iris, kamu sedang apa?” Suara anggun seorang wanita terdengar di belakang Iris.
Iris tersentak dan buru-buru menghapus air matanya sebelum berbalik. “Felicia, kenapa kamu di sini?” tanya Iris lirih menatap wanita cantik dan anggun di depannya.
Felicia Hills, sekretaris pribadi Aiden sekaligus teman kecil suaminya dan Alice.
Mereka bertiga tumbuh bersama. Felicia selalu berada di sisi Aiden dan mengikutinya ke mana-mana dalam perjalanan bisnis. Dia adalah wanita sempurna dan diinginkan semua orang menjadi pasangan Aiden.
Iris selalu merasa iri dan cemburu pada wanita itu, namun dia sadar diri tak bisa dibandingkan dengan Felicia Hills.
Di depan Felicia, Iris selalu merasa rendah diri dan tidak bisa berbuat apa-apa pada wanita yang dijodoh-jodohkan dengan suaminya. Apalagi wanita itu termasuk salah satu orang yang memperlakukan Iris dengan baik.
Felicia tersenyum memesona. "Ini sudah jam delapan, tapi Aiden tidak muncul di kantor dan ponselnya tidak bisa dihubungi. Jadi aku datang untuk memeriksa keadaannya.” Dia kemudian melirik koper di tangan Iris dan wajah Iris.
“Iris, apa yang terjadi padamu? Bibi Esme dan Alice menindasmu lagi?” Dia bertanya khawatir menyentuh pipi Iris yang memerah akibat tamparan Esme.
Iris menghindari tangan Felicia dan berkata dengan canggung, “Aku baik-baik saja.”
Felicia menghela napas prihatin. “Iris, kenapa kamu masih bertahan padahal kamu sangat tersiksa tinggal di rumah ini? Mengapa kamu tidak meminta Aiden agar kalian tinggal berdua di luar kediaman Ridley? Aiden seharusnya tidak membiarkanmu terus ditindas di keluarga Ridley.”
Iris tersenyum pahit pada dirinya sendiri. “Itu tidak perlu karena aku akan meninggalkan rumah ini,” ujarnya tenang.
Mata indah Felicia membulat menatap Iris. “Kamu kabur dari rumah?”
Iris menggeleng lemah. “Tidak, aku akan bercerai dengan Aiden.”
Felicia tahu semua yang dialaminya selama menjadi istri Aiden. Iris merasa tidak perlu menyembunyikan perceraiannya dari wanita itu.
Felicia terkejut sesaat dan menatap Iris dalam-dalam. “Kamu serius? Mengapa?”
Iris menunduk menatap ke bawah dengan tatapan muram. “Zein telah pergi, tidak ada lagi yang membuatku bertahan di keluarga ini.”
Dia bahkan tidak bisa mendapatkan hati dingin Aiden Ridley.
Felicia terdiam sesaat sebelum perlahan mendekati Iris dan meraih tangan Iris. “Aku turut berduka cita atas kehilangan putramu. Aku percaya bukan kamu yang menyebabkan Zein meninggal.”
Iris balas tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sakit mengingat kematian putra kecilnya yang polos.
Kesedihan yang berusaha ditahan Iris akhirnya luruh. Air mata mengalir di pipinya dan dia terisak. Dia tidak memiliki sandaran di keluarga suaminya, dan tidak ada seorang pun di keluarga Ridley yang memercayainya.
“Terima kasih sudah mempercayaiku dan mendukungku, Felicia,” bisiknya lirih balas menggenggam tangan Felicia.
Dia butuh dukungan. Sebagai seorang ibu, hatinya yang paling hancur. Tetapi, suaminya sendiri justru mencurigai dan menuduhnya membunuh putra mereka.
Felicia menyeringai dan mendekat berbisik di sebelah telinga Iris, “Kasihan sekali. Seharusnya dari awal kamu tidak pernah masuk ke kehidupan Aiden. Kamu tidak akan berakhir menyedihkan seperti ini dan kehilangan putra kecilmu.”
Mereka pun telah selesai makan malam bersama. Lily dan Candra melangkah menuju ke arah ruang tamu. Sementara itu Aurelio sudah terlelap di kamarnya. Candra sengaja menemani putra tunggal Hugo hingga ia terlelap agar dirinya bisa pergi meninggalkan Aurelio tanpa merasa terbebani oleh rasa bersalah, karena sang putra tak ingin melepaskannya. “Candra apakah kamu yakin tetap balik hotel malam ini? Sudah larut malam Candra, apa tidak sebaiknya besok pagi-pagi sekali kamu kembali ke hotel. Kurasa belum terlambat jika kamu memang akan kembali besok ke Italia.” Ucap Lily seraya melangkah di sisi Candra. “Sekali lagi aku minta maaf Bibi Lily. Aku harus kembali malam ini ke hotel, jika aku harus menginap malam ini di sini dan kembali pagi harinya ke hotel, rasanya aku tak punya banyak waktu untuk berberes-beres barang-barangku yang berada di hotel, karena besok pagi aku harus segera berangkat ke Italia.” Jelas Candra menanggapi tawaran dari nyonya Wallington. “Ya sudah. Jika memang demikian,
Lily mengerucutkan bibirnya melihat sikap dingin Hugo. Dia menatap Candra dan menepuk lengannya menenangkan.“Jangan berkecil hati. Hugo selalu seperti ini.”Candra mengangguk, dia tidak mengambil sikap dingin Hugo, apalagi setelah mendengar kata-kata Aurelio bahwa Hugo menyimpan foto dirinya.Lily menyruh pelayan menyiapkan camilan ringan dan menghabiskan waktu mengobrol bersama Candra dan bermain dengan Aurelio.Sepanjang hari itu Hugo tidak turun dan berada di ruang kerjanya. Entah dia sengaja untuk menghindari Candra atau pria itu memang seperti itu. Candra tidak terlalu memikirkannya. Dia menikmati bermain dengan Aurelio. Candra tampak bahagia ia menikmati kebersamaannya bersama Aurelio di rumah Hugo Wallington. Meskipun Hugo terlihat cuek tak mengacuhkannya, namun Candra tidak mempedulikannya.Ia justru semakin akrab dan dekat dengan putra tunggal CEO berwajah tampan tersebut.Lily menyukai Candra, setelah melihat ketika Candra begitu pintar mengambil hati cucunya. Ini peluang te
“Tidak kok nyonya. Aku tidak memikirkan apapun, dan aku baik-baik saja kok nyonya,” ucapnya kembali berbohong menutupi jika sesungguhnya pikirannya justru melayang ke arah Hugo berada.“Candra. Aku minta maaf, jika selama ini sikapku sudah sangat keterlaluan padamu. Aku sadar, seharusnya aku tak memperlakukanmu seperti itu, hingga akhirnya kamu pergi meninggalkan putraku Hugo. Aku berharap kamu bisa memaafkanku Candra, meskipun aku akui kesalahanku mungkin sudah terlalu besar terhadapmu.”Candra tak menyangka, jika nyonya Wallington bisa berkata demikian padanya. Mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah ia lakukan terhadap Candra.Candra menyentuh tangan nyonya Wallington, seraya menganggukkan kepalanya pelan. Candra tersenyum begitu juga dengan nyonya Wallington.“Iya nyonya. Aku sudah memaafkanmu nyonya, jauh sebelum nyonya minta maaf padaku,” jawab Candra seketika membuat nyonya Wallington berbinar-binar wajahnya.“Sungguhkah? Kamu memaafkanku Candra..? Kam
"Ya, ibu bantu cari pengasuh yang lebih kompenten.”“Kamu tidak butuh pengasuh untuk Aurelio, tapi seorang ibu untuk anakmu,” ujar Lily melirik Hugo dengan hati-hati.“Ibu ....” Hugo menatap ibunya tidak suka topik itu di bahas lagi.“Kamu tidak berniat mencari ibu untuk Aurelio? Apa karena kamu tidak bisa melupakan Candra?”Hugo terdiam, pikirannya kembali memikirkan Candra. Wanita itu memperlakukan Aurelio dengan baik saat itu dan dia pula yang menemukan putranya.Hugo menggelengkan kepala mengusir bayangan gadis itu dan berpura-pura mengetik sesuatu di laptop. "Aku sibuk, tolong tinggalkan aku, Bu.”Lily mendesah pasrah dan meninggalkan Hugo untuk mengurus pekerjaannya.....Beberapa hari kemudian sejak pertemuannya dengan Paman Hugo, Candra masih tidak memiliki keberanian mencari pria itu.Gadis berparas manis itu, bolak-balik tak jelas dan gelisah di ruang tamu kamar hotelnya seolah-olah mengukur ruang luas di kamar hotel tempat ia menginap selama berada di kota tersebut. Pikira
Candra merasa sedih atas sikap Hugo Wallington bersikap dingin dan mengabaikannya. Dia meninggalkan taman hiburan dan kembali ke hotel tempat dia menginap. Candra gelisah terus memikirkan pertemuannya dengan Hugo. Dia berusaha menahan diri untuk tidak mencari tahu tentang pria itu selama lima tahun sejak dia meninggalkannya. Pada akhirnya dia tidak bisa menahan keinginannya dan menelepon seorang asisten yang mengurus semua keperluannya. Dia menyuruh asistennya mencari tahu tentang Hugo selama lima tahun ini. Setelah itu Candra menunggu informasi dari asistennya semalaman. Beberapa jam kemudian asistennya datang ke kamar hotelnya. “Bagaimana, Vivi?” Candra bertanya gelisah meraih tangan wanita itu. “Nona muda, Tuan Wallington tidak pernah menikah, tapi dia memiliki seorang anak yang sampai saat ini masih dia sembunyikan dari mata publik. Ibu dari anak itu, mantan pelacur Tuan Wallington meninggal saat melahirkan.” Mata Candra melebar, jantung berdegup kencang merasa senang karena
“Kamu tidak usah takut dengan kakak. Kakak tidak jahat kok, jadi adik kecil jangan menangis lagi ya. Tenang saja, Kakak akan bantuin kamu kok.” Candra terus mengajak anak kecil tersebut berbicara, meskipun ia tetap bungkam tak mau bicara sepatah kata pun.“Ayo sini..! Ikut dengan kakak. Kita cari keberadaan orang tua kamu ya,” ujar Candra mengulurkan tangannya pada anak kecil itu.Anak itu seolah mengerti dan menghapus air matanya. dia mengulurkan tangan kecilnya meraih tangan wanita di depannya.Candra tersenyum hangat meremas tangan kecilnya. Dia pun menggendong dan mengajaknya menuju ke arah ruangan bagian informasi. Candra berpikir jika anak tersebut adalah anak hilang, mungkin dengan bantuan bagian informasi dapat mempertemukan kembali anak kecil yang terpisah dari orang tuanya bisa berkumpul lagi dengan keluarganya.Anak kecil tersebut saat ini berada dalam gendongan Candra tidak menangis dan memeluk leher Candra saat dibawa masuk ke pusat informasi taman hiburan.Candra mendeka