Setibanya di sofa, Edmund langsung menepis tangan Giselle. “Sudah kubilang, aku bisa sendiri.” Setelah itu, ia bersandar sambil mengurut pelipis.
“Tapi kau masih sakit, Ed. Kau seharusnya tidak memaksakan diri. Beristirahat sehari tidak akan membuat perusahaan merugi.” Giselle memasang tampang prihatin.
“Lagi pula, untuk apa kau memikirkan Alice sampai sakit begini? Biarkan saja dia bahagia bersama kekasih barunya. Dia sudah tidak butuh kamu lagi. Sekarang, apakah kau masih demam?”
Lagi-lagi, Edmund menghalau tangan sang sekretaris yang nyaris menyentuh keningnya. “Aku baik-baik saja. Kau pulanglah.”
“Tapi—”
“Aku tidak bisa beristirahat kalau kau masih di sini,” tegas Edmund dengan tatapan risih. Nada bicaranya tidak hanya menusuk Giselle, tetapi juga membekukan langkah kaki seorang pelayan. Ed menyadari kehadirannya.
“Ada apa, Nyonya Klein?”
“Maaf, Tuan. Saya ....” Wanita paruh baya itu berkedip-kedip kebingungan. Sesekali, matanya melirik Giselle.
“Kami menemukan ini saat bersih-bersih tadi pagi.”
Mata Edmund melebar melihat kotak di tangan sang pelayan. Sekujur tubuhnya menegang.
“Kenapa benda itu masih di sini? Buang! Aku tidak mau melihatnya,” ucapnya sebelum memalingkan pandangan. Keraguan tampak jelas menggenang di matanya.
“Tapi, Tuan, saya rasa Anda harus memeriksa isinya. Anda berhak tahu.” Sambil menarik napas berat, Nyonya Klein mengeluarkan test pack.
Letupan besar seketika melubangi dada Edmund. Wajahnya memucat dan kerongkongannya tersekat.
“A-apa itu?”
Sang pelayan menyodorkan test pack. Melihat garis dua di sana, Edmund menghela napas tak percaya. “Alice hamil?”
Giselle diam-diam meringis. Sebelum misinya gagal total, cepat-cepat ia merampas alat itu dan berseru,
“Astaga! Alice bukan hanya berkhianat, tapi juga berusaha menipumu? Dia pasti berniat menunjukkan anak hasil perselingkuhannya sebagai anakmu. Tega sekali dia?”
Akan tetapi, Edmund tidak peduli. Selang beberapa tarikan napas, ia bangkit dari sofa dan mengeluarkan kunci mobil.
“Ed, kau mau ke mana?” Giselle terbelalak.
“Menjemput Alice.”
Giselle spontan menahan lengannya. “Kau lupa? Kalian sudah bercerai.”
Edmund menatap Giselle lekat-lekat. Napasnya kasar dan rahangnya mengeras.
“Jaga mulutmu! Dia masih istriku dan dia sedang hamil. Aku tidak seharusnya memperlakukan Alice sekasar itu kemarin. Aku sudah melakukan kesalahan besar.”
“Tapi itu mungkin saja bukan anakmu, Ed. Alice juga tidur dengan laki-laki lain.”
“Aku tidak peduli!” Suara Edmund mendadak pecah.
“Alice sudah lama mendambakan anak dan aku berjanji akan selalu menemaninya saat hamil. Sekalipun itu bukan anakku, aku tidak seharusnya menelantarkan Alice. Aku sudah bersumpah untuk selalu melindunginya dari apa pun dan aku tidak seharusnya mengingkari itu. Sekarang menyingkirlah! Jangan menghalangi aku.”
Giselle ternganga melihat Edmund melenggang pergi. Ia mencoba mengejar, tetapi sang pria terlalu cepat.
“Ed, tapi kau sedang sakit. Ed?”
Percuma, Edmund sudah lebih dulu masuk ke mobil. Sambil menjalankan mobil, ia mencoba untuk menghubungi Alice. Namun, karena nomornya tidak aktif, ia terpaksa menelepon yang lain.
“Scott, apakah kau tahu di mana Alice?”
“Maaf, Ed, bukankah kau meminta kami untuk tidak mengawasinya lagi?”
Edmund menghela napas. Tiba-tiba, satu tempat terlintas dalam benaknya. Tanpa membuang waktu, ia meluncur ke sana.
***
“Emma? Emma?” Begitu pintu terbuka, Edmund langsung menyelonong masuk. Kepalanya celingak-celinguk mencari jejak sang istri. “Di mana Alice?”
“Alice?” Emma mengerutkan alis. “Bukankah dia bersamamu?”
“Aku tidak ada waktu bermain-main, Emma. Tolong jangan menyembunyikan Alice.”
Emma menggeleng cepat. “Aku tidak bercanda. Dia memang tidak ada di sini. Aku sudah mengantarnya ke kantormu pagi tadi.”
Edmund menggeleng tak percaya. Selang satu helaan napas, ia mulai memeriksa setiap sudut di rumah Emma.
“Alice? Kamu di mana? Keluarlah. Aku ingin meminta maaf. Aku tidak tahu kamu sedang hamil. Kuakui aku sungguh keterlaluan kemarin. Aku tidak seharusnya melampiaskan emosi seperti itu. Alice?”
“Ed, Alice tidak ada di sini. Memangnya kalian tidak bertemu tadi?”
Saat itu pula, Edmund menemukan koper milik sang istri. Sambil mengayunkan telunjuk, ia menggertakkan geraham.
“Tolong jangan menguji kesabaranku. Aku sudah hampir gila memikirkan pengkhianatannya kemarin. Dadaku nyaris meledak saat terpaksa mengajaknya bercerai. Sekarang katakan, di mana Alice?”
Kepala Emma tertekan mundur. “Pengkhianatan?”
“Apakah dia pergi bersama selingkuhannya?”
“Selingkuhan?” Suara Emma meninggi.
“Lelucon apa yang kau sebut itu, Ed? Kau lupa bahwa dia masih hidup karenamu? Kau lupa bahwa kaulah yang memberinya janji-janji sehingga dia punya semangat untuk bangkit? Setelah apa yang kalian lewati bersama, menurutmu dia bisa berpaling darimu? Kau gila, Ed.”
Sementara Emma dan Edmund beradu tatap, seseorang mengetuk pintu depan. “Sayang?”
Mendengar suara itu, Edmund terbelalak. Ia bergegas keluar. Melihat Henry, sorot matanya langsung berubah gelap. “Kau ....”
Tanpa aba-aba, Edmund melangkah maju dan melayangkan pukulan. Emma sontak memekik dan menariknya mundur.
“Edmund, apa-apaan ini? Kenapa kau memukul Henry?” Ia menghempas lengan Edmund sebelum memeriksa keadaan sang kekasih.
“Sayang, kau baik-baik saja?”
Mendengar panggilan itu, Edmund tersentak. “Sayang? Dia pacarmu?”
Belum sempat Emma menjawab, gelak tawa Edmund mengudara. Kesannya sinis dan meremehkan.
“Apa kau tidak tahu? Laki-laki inilah yang berselingkuh dengan Alice!”
Henry sontak mengerutkan alis lebih dalam. “Apa maksudmu?”
Emma juga melayangkan tatapan tajam. “Omong kosong macam apa itu? Berani-beraninya kau menuduh Henry dan Alice begitu?”
“Kau tidak tahu? Mereka sering jalan bersama di belakangmu. Dia bahkan membelikan Alice perhiasan dan juga membawanya ke hotel.”
Sementara Edmund meluapkan semua kecurigaan, Emma menggeleng tak percaya. “Itu tidak benar.”
“Aku punya buktinya! Kau lihat ini.” Edmund mengeluarkan ponsel dan membuka galeri foto. “Lihat!”
Emma memperhatikan foto-foto yang ditunjuk Edmund dengan mulut terkatup rapat. Begitu selesai, ia langsung memamerkan cincin di jari manisnya.
“Apakah ini perhiasan yang kau maksud?”
Edmund mengerjap. Emma pun menyelipkan rambut ke belakang telinga. “Atau anting-anting ini?”
Kemudian, ia mengeluarkan permata dari balik bajunya. “Atau kalung ini?”
“Aku meminta bantuan istrimu untuk menyiapkan kejutan ulang tahun Emma.” Suara Henry menyusul.
“Karena itulah, kami sering bertemu. Perhiasan yang kubeli itu bukan untuknya, melainkan Emma.”
Diam-diam, Edmund mengepalkan tangan. Dadanya sesak oleh kebingungan yang meresahkan.
“Omong kosong. Kau bisa saja membeli dua set perhiasan. Kalau memang di antara kau dan Alice tidak ada apa-apa, mengapa kau mengajaknya ke kamar hotel?”
“Untuk merayakan ulang tahunku,” sambar Emma. “Mereka tiba lebih dulu untuk mendekorasi ruangannya.”
“Kau terlalu percaya dengan mereka, Em. Kau tidak tahu apa yang mereka lakukan di kamar itu sebelum kau datang.”
Edmund kembali membuka ponsel dan menunjukkan foto lain. Alice dan Henry terlihat sedang berada di ranjang hotel, tanpa sehelai benang pun.
Tiba-tiba saja, Emma tertawa. Sambil melipat tangan di depan dada, ia menggeleng iba. “Ed, bukankah kau cerdas? Tapi kenapa kau tidak bisa membedakan foto asli dengan foto editan?”
Sambil mengangkat dagu, ia melanjutkan, “Henry punya tanda lahir di leher. Ke mana hilangnya tanda itu kalau foto ini memang asli? Dan tidak bisakah kau mengenali istrimu sendiri? Ke mana perginya tahi lalat di jempol Alice? Dan juga bekas luka-luka sayatannya?”
Melihat tanda lahir di leher Henry, mata Edmund melebar. Setelah memeriksa foto dengan teliti, ia terkesiap.
“Alice tidak berselingkuh? Foto ini palsu?” Edmund mulai berkeringat dingin. Napasnya menderu, tak beraturan.
“Memangnya siapa yang mengirimkan foto-foto itu?”
Edmund menelan ludah. Perasaannya berkecamuk dalam dada.
“Kenapa Mama tega melakukan ini terhadap Alice?” ringisnya sebelum mencengkeram kepala.
“Kau pura-pura bodoh atau memang dungu? Bukankah sudah jelas ibumu tidak menyukai Alice?” timpal Emma sinis.
Edmund menatap Emma dengan penuh kekhawatiran dan penyesalan. “Di mana Alice sekarang?”
“Aku tidak tahu. Dia pergi ke kantormu pagi ini. Apakah kalian tidak bertemu?”
Tepat ketika Edmund hendak menggeleng, ponselnya berdenting. Sebuah pesan suara masuk. Melihat nama yang muncul, matanya membulat.
“Alice?”
Sementara Emma bergeser ke sisinya, ia membuka pesan. Suara serak Alice langsung lirih menyapa, “Ed?”
Edmund menelan ludah. Firasat buruk tiba-tiba menerpa dirinya.
“Maaf. Kukira aku sudah berhasil menjadi istri terbaik untukmu. Ternyata tidak?” Isak tangis Alice terdengar sekilas.
“Kau seharusnya jujur saja padaku kalau kau tidak bahagia dengan pernikahan kita. Kau tidak perlu mengusirku begitu. Aku akan dengan ikhlas menandatangani surat cerai kita kalau tahu yang sesungguhnya.”
“Sekarang, berbahagialah dengan Giselle. Aku tidak akan menjadi penghalang dalam hubungan kalian. Sesuai janjiku dulu, aku akan melepasmu dan menghilang kalau kau tidak lagi cinta.”
“Terima kasih kau sudah menjadi tujuan dan motivasiku untuk tetap melangkah sejauh ini. Sungguh ... terima kasih.”
Edmund sontak terdorong mundur. Setitik air mata mengalir lambat di pipinya.
Ia sadar kesalahannya terlampau besar. Alice telah kehilangan semangat hidupnya, seperti masa sebelum pertemuan pertama mereka di jembatan.
"Sky, kita seharusnya membawa senapan itu juga tadi. Mengapa kita meninggalkannya di dalam tenda? Pemburu itu jadi bisa mengambilnya," bisik Emily sembari mengguncang tangan Sky. Merasa risih, Louis menyikut lengannya. "Sudahlah, Emily. Tidak ada yang perlu disesali. Kita sebaiknya memikirkan cara untuk mengalahkan laki-laki jahat ini." "Kalian pikir kalian bisa mengalahkanku?" Pemburu itu tertawa kasar. "Jangan bermimpi!" Sang pemburu mengangkat senapannya lagi. Namun, ketika ia hendak membidik, suara aneh datang dari atas. Melihat seekor orang utan besar hendak melompat dari dahan, Sky bergegas menarik si Kembar berlari mengikutinya. Ia tidak peduli lagi dengan senapan yang tergeletak di tanah. Ia tahu betul bahwa orang utan yang sedang marah jauh lebih berbahaya dibandingkan musuh mereka. Sementara itu, sang pemburu sudah terlanjur terpaku. Ia hanya bisa berteriak saat mamalia besar itu menimpanya. Pemburu lain yang menyaksikan tidak berani bertindak. Mereka bahkan sama sekali
Si Kembar kembali bungkam. Mereka tidak tahu jawaban apa yang tepat. Mereka tidak ingin kembali ke kurungan sempit itu, tetapi mereka juga tidak mau ditembak. Apalagi, pemburu di hadapan mereka tampak serius dengan ancamannya. "Louis, kurasa kita jangan melawan. Dia tidak akan ragu menembak kita. Lihat, jarinya sudah siap menekan pelatuk," bisik Emily was-was. Louis menelan ludah. Ia sepakat dengan sang adik, tetapi enggan mengakuinya. "Tenang, Emily. Masih ada cara lain untuk selamat." Ia berpikir keras, memaksa otak untuk menelurkan ide spontan. "Tuan, bagaimana kalau kita bernegosiasi?" ucapnya tanpa terduga. Sang pemburu menarik matanya mundur dari lubang pengintai. Sebelah alisnya terdongkrak naik. Ia tidak menduga bisa mendengar kata itu. "Negosiasi apa yang bisa ditawarkan anak kecil sepertimu?" "Kami ini bukan anak-anak biasa. Kami adalah pewaris Savior Group, calon pemimpin hebat di masa depan. Kalau kau bersedia membebaskan kami, kami akan membayarmu dengan jumlah besar
"Papa, kebetulan sekali, GPS milik Louis ada padaku. Aku sedang melihat koordinat lokasinya," ujar Sky sambil berkedip-kedip gusar. "Itu bagus, Sayang. Bisa kau bacakan koordinatnya? Papa akan langsung menuju ke sana." Sky menelan ludah. Keringat dingin membutir di keningnya. "Itulah masalahnya. Aku lupa angka-angka yang sudah kuhafal." Edmund terdiam sejenak. Sky bisa membayangkan sang ayah mendesah kecewa. "Papa, apakah Papa marah? Ganti." "Tidak, Sayang. Papa tidak marah. Papa mengerti kalau kamu terlalu gugup sekarang. Coba tarik napas dalam-dalam, tenangkan pikiran. Kamu sudah berhasil mengingat semua angka dan bahkan huruf, Sayang. Pelan-pelan, kamu pasti bisa membacanya." Sky menuruti saran Edmund. Setelah terpejam sejenak, ia memperhatikan koordinat dengan saksama. "Ada garis kecil yang sedang tidur di sini, Papa." "Oke. Itu tanda negatif. Artinya kalian sedang berada di selatan garis khatulistiwa. Lalu?" "Ada bulat. Ini nol, kan?" "Ya. Kamu melakukannya dengan baik s
"Apakah aku tidak salah lihat? Ada anak manusia di tengah hutan?" Pria itu berbicara dengan bahasa yang tidak Louis dan Emily mengerti.Decak kesal terlontar dari pria yang satu lagi. "Sial! Menambah pekerjaan kita saja." "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Apa lagi? Kita tidak mungkin membiarkan mereka lepas. Mereka bisa melapor kepada orang-orang. Rencana kita bisa berantakan. Ayo tangkap mereka!" Si Kembar mengerjap melihat senapan yang ditodongkan ke arah mereka. Emily langsung bersembunyi di balik punggung Louis, sedangkan Louis dengan berani melangkah maju dan merentangkan tangan di depan Mimi. "Jangan sakiti orang utan ini! Mereka adalah hewan langka yang dilindungi oleh seluruh dunia. Mereka tidak boleh diburu dan diperdagangkan!" seru Louis lantang. Dari balik pundak Louis, Emily mengintip. "Ya! Orang utan harus dilestarikan, bukan diburu. Memangnya kalian tidak kasihan kepada mereka? Lihat! Anaknya sampai ketakutan!" Di luar dugaan, dua pemburu itu malah tertawa. T
"Tidak, Louis." Emily mengernyitkan dahi. "Kita tidak boleh meninggalkan Mimi sendirian di sini. Dia bisa mati.""Tapi itu yang dia mau. Dia ingin anaknya selamat. Dia pasti bertahan. Kita hanya perlu menyelamatkan anak Mimi dengan cepat. Menurutku, kita bisa melakukannya. Kita ini anak-anak terlatih, kau ingat?" Alih-alih setuju, Emily menggeleng tegas. "Tidak, Louis. Itu terlalu berisiko. Kita tidak boleh egois dan memikirkan kesenangan kita sendiri. Bagaimana kalau kita hubungi rumah hutan saja? Ini masalah serius."Sementara Louis menghela napas berat, Sky menautkan alis. Ia terlihat sangat serius dengan bibir terlipat ke dalam."Kurasa Emily benar. Kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Kita butuh bantuan orang dewasa. Papa Mama kita dan orang-orang yayasan. Kita harus melaporkan hal ini kepada mereka. Mimi butuh bantuan medis, sedangkan para pemburu liar itu harus ditangkap." Louis termenung sebentar. Ia sebetulnya enggan menghubungi orang tuanya. Ia ingin mandiri.
"Sky, bunyi apa itu?" bisik Emily dengan suara tersekat. "Apakah itu suara ledakan?" "Kurasa itu suara senapan," potong Louis sebelum menggenggam lengan gadis yang paling kecil. "Sky, mungkinkah itu pemburu liar?" Sky berkedip-kedip gusar. "Mungkin iya. Daerah ini sudah berada di luar lingkup yayasan. Tim patroli hanya sesekali memeriksanya. Itu pun kalau mereka sempat." "Bukankah perburuan liar itu dilarang? Kenapa masih ada saja orang-orang jahat yang membunuh satwa? Kira-kira, apa yang baru saja mereka tembak? Apakah orang utan?" tanya Louis dengan ekspresi serius. Emily langsung bergidik ngeri. "Oh, kalau memang para pemburu itu mengincar orang utan, kuharap dia berhasil lolos dan selamat. Orang utan itu hewan langka. Kasihan kalau mereka punah." "Dan kuharap itu bukan Mimi," lanjut Sky sembari mengentakkan kaki. "Dia selalu membawa anaknya ke mana-mana. Dia pasti susah bergerak dan rentan terhadap serangan." "Bagaimana kalau kita memeriksanya? Kalau memang itu ulah pemburu l