Share

4. Hanyut

“Ed, apa yang telah kau lakukan? Kau berselingkuh dengan Giselle? Kenapa Alice jadi seputus asa itu?” Emma mengguncang pundak Edmund.

Edmund tertunduk dan menelan ludah. Keringat dingin mulai membutir di keningnya.

“Kalau tahu akan jadi begini, aku seharusnya tidak menghentikanmu saat akan melompat di jembatan. Biar saja kau hanyut di sungai sebagai orang asing yang tidak kukenal. Dengan begitu, aku tidak perlu mengucapkan janji-janji itu, tidak pernah jatuh cinta padamu, dan tidak akan merasakan sakit yang sebesar ini.”

Kata-kata itu terngiang lagi dalam kepalanya. Ke mana akal sehatnya kemarin saat melontarkannya kepada Alice?

Sementara rasa bersalah merayap menggerogoti hatinya, Edmund terpejam dan menggertakkan geraham. Ia biarkan kepalan tangan Emma menghantam tubuhnya. Ia merasa layak mendapat pukulan.

“Mengapa aku begitu bodoh?” sesalnya.

Emma tersentak mendengar gumaman itu. “Apa? Kau sungguh berselingkuh dengan Giselle?”

Selang satu helaan napas, tangannya melayang menampar pipi Edmund.

“Kau betul-betul keterlaluan, Ed! Kalau memang kau tidak sanggup memenuhi janjimu, tidak usah kau katakan itu kepada Alice. Kau menyelamatkannya hanya untuk merasakan sakit yang lebih dalam, hah?”

“Aku tidak bermaksud menyakitinya, Em,” tutur Edmund sembari kembali menegakkan kepala. Wajahnya sangat kusut dan sorot matanya redup.

“Saat mendapat kabar bahwa dia berselingkuh, aku berpikir dia tidak lagi membutuhkanku. Aku menceraikannya supaya dia bisa lebih bahagia bersama kekasih baru.”

“Lalu kau berselingkuh dengan Giselle?”

“Aku tidak berselingkuh!”

Sembari menghela napas, Edmund mencengkeram pelipis. Matanya kembali terpejam, berusaha meredam emosi.

“Kita bicarakan ini setelah Alice kembali. Sekarang, aku harus menjemputnya pulang.”

Melihat Edmund melenggang pergi, Emma menyusul. Ia mencoba meraih lengan Edmund, tetapi gagal. “Kau mau ke mana? Lari dari tanggung jawab?”

“Kubilang aku akan menjemput Alice.”

Mengira itu kebohongan, Emma mempercepat langkah untuk menyentak lengan Edmund. “Memangnya kau tahu Alice di mana?”

Edmund menatap Emma dan Henry dengan rahang berdenyut-denyut. “Jembatan tempat aku melamarnya dulu.”

Raut Emma seketika berubah horor. “Tempat pertama kali kalian bertemu? Tempat dia sempat ingin mengakhiri hidup?”

Sementara Emma dilanda panik dan Henry berusaha menenangkannya, Edmund kembali berjalan menuju mobil. Entah Alice masih di sana atau tidak, ia tidak tahu. Yang jelas, dirinya sedang berada di ambang penyesalan seumur hidup.

***

 “Nona, aku tidak tahu apa yang telah kau alami, tapi tolong jangan gegabah. Bunuh diri bukan solusi untuk semua masalahmu. Sekarang raih tanganku dan turun dari situ. Kita bisa mencari jalan keluarnya bersama. Aku janji akan membantumu.”

Alice berkedip lambat mengenang suara itu. Tangannya perlahan bergerak, mengelus dinding pembatas tempat ia berdiri dulu.

“Baiklah, aku menyesal kau harus mengalami kemalangan sebesar itu. Tapi tolong jangan putus asa dulu. Dunia tidak sejahat itu. Orang-orang yang peduli padamu pasti akan sangat sedih kalau kau hanyut.”

Masih dengan ekspresi datar, Alice menatap lebih jauh. Arus sungai yang berkilauan memantulkan cahaya bulan tampak sama seperti malam itu, sama seperti matanya yang berkaca-kaca mengulas masa lalu.

“Aku! Aku peduli padamu. Kalau tidak, apakah mungkin aku di sini mengulurkan tangan padamu?”

“Ayolah, turun dari situ. Aku baru memulai bisnis penginapan. Kau bisa tinggal di situ, gratis. Anggap itu sebagai hadiah karena kau adalah pelanggan pertamaku. Aku juga sedang mencari anak buah untuk bisnis travel-ku. Kau bisa melamar pekerjaan di situ kalau kau mau.”

“Bersama-sama, mari kita tata ulang hidupmu. Aku percaya kau pasti bisa. Aku akan selalu di sisimu, melindungi dan membantumu. Kau akan baik-baik saja, jadi jangan takut.”

Alice menghela napas samar. Tangannya kini bergerak mengusap perut.

“Kau tahu, Sayang? Dulu Mama sempat memercayai kata-kata itu. Tapi ternyata, dunia memang kejam. Kalau tahu semua akan jadi seperti ini, Mama seharusnya melompat saja saat itu. Dengan begitu, kamu tidak perlu ada dan merasakan penderitaan ini.”

Sambil memejamkan mata, Alice merasakan bagaimana angin membelai wajah dan rambutnya lembut. Bukannya merasa tenang, setitik air matanya malah jatuh.

“Maaf, Sayang. Tanpa Papa, Mama tidak akan bisa bertahan. Mama tidak mau kamu mengalami nasib yang sama seperti Mama. Sebelum semua menjadi lebih menyakitkan dan menyiksa, mari kita pergi bersama.”

Begitu membuka mata, Alice naik ke pagar pembatas. Ia berdiri di sana dan merentangkan tangan.

Pengemudi yang lewat sontak teralihkan oleh aksinya. Beberapa memilih berhenti, entah untuk menyaksikan dari balik jendela atau turun, berharap bisa memberikan bantuan.

Alice tidak menghiraukan teriakan-teriakan di sekitarnya. Dalam kepalanya hanya ada suara Edmund.

Bahkan saat ia membalikkan badan, seruan panik dari orang-orang tidak mengganggunya. Baginya, angin malam hanya mengantarkan kenangan dan keputusasaan.

Melihat Alice berputar di atas pagar, wajah Edmund memucat. Ia tidak peduli lagi dengan jantungnya yang nyaris lepas. Ia turun dari mobil dan berlari ke arah istrinya.

“Alice!”

Alice tidak juga membuka mata. Sambil menarik napas dalam-dalam, ia mendongak. Tangannya perlahan turun memeluk perut.

Edmund tahu waktunya tidak banyak. Ia menambah kecepatan, berseru sebisanya, “Alice, tolong dengarkan aku. Alice!”

Namun, tepat ketika ia tiba di pagar pembatas, Alice menjatuhkan badan ke belakang. Orang-orang spontan memekik. Mereka berharap Edmund berhasil meraih tangan sang wanita.

Sayangnya, Edmund kalah cepat.

Dengan mata terbelalak, Edmund menatap tangannya yang hampa. Mulutnya menganga, tak tahu harus berkata apa. Hanya desah samar yang lolos bersamaan dengan napas pendeknya.

“Alice ...?”

Dadanya tak pernah sesesak itu dan matanya tak pernah seperih itu. Sementara air matanya menebal, kepalanya bergerak turun menatap ke bawah. Mendapati sungai yang seolah tidak berdasar, sekujur tubuhnya mulai berguncang.

“Alice? Alice?!”

Tangis Edmund pun pecah. Kepalanya menggeleng menolak percaya. Saat akal sehatnya tak lagi bersisa, kedua tangannya mencengkeram pagar. Kakinya bersiap untuk melompat. Beberapa orang di situ dengan sigap menahannya.

“Tuan, tolong jangan nekat!”

“Itu istriku! Aku harus menyelamatkannya. Alice? Alice!” Edmund berusaha melepaskan diri dari orang-orang.

“Sadarlah, Tuan. Itu tidak akan membantu. Arusnya terlalu deras. Anda hanya akan ikut hanyut!”

“Tapi dia istriku! Istriku! Aku sudah berjanji untuk selalu melindunginya. Sekarang, lepaskan aku! Biarkan aku menyelamatkan istriku!”

Edmund memberontak lebih kuat. Beberapa orang lagi terpanggil untuk menahannya.

“Mohon tenang, Tuan. Biar tim SAR yang mencari istri Anda. Seseorang ... cepat hubungi mereka!”

Akan tetapi, Edmund terus meronta. Emma dan Henry yang baru saja tiba terkesiap menyaksikannya.

“Di mana Alice?” gumam Emma sebelum menutup mulut dengan kedua tangan. “Apakah dia ....”

Emma tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Mulutnya terasa kering. Percuma ia menelan ludah, kerongkongannya tetap tercekik. Ketika tangisnya pecah, ia hanya bisa meluapkan emosi dalam pelukan Henry.

Henry pun terpaksa menenangkan sang kekasih sambil memandang ke arah Edmund. Ia paham. Sesakit apa pun luka di hati Emma tidak akan lebih buruk dari penyesalan yang ditanggung Edmund.

Selang beberapa saat, Edmund akhirnya menjatuhkan lutut di atas jembatan. Kedua tangannya mengepal, memukul-mukul bumi seolah itu dirinya. Ia tidak tahu lagi cara bernapas dengan normal. Erangannya membuat semua yang mendengar ikut merasakan sesaknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status