Guys, ternyata keburu. Bab terakhir dari special chapters niiih. Semoga kalian suka yaa. Next, bakal ada cerita mereka dewasa. Kapan rilis? Tunggu pengumuman di I.G pixielifeagency yaa. Yuk foll biar gak ketinggalan informasi. Atas kesetiaan dan antusiasme kalian sampai detik ini, Pixie ucapkan terima kasih. Pixie bakal ngadain giveaway. Pantau terus di I.G yaa. Love you, All! Stay healthy and happy!
“Aku mau cerai.” Alice sontak membeku. Bola matanya bergerak-gerak mencerna kata-kata itu. Edmund baru saja pulang kerja. Bukankah ia seharusnya mengucapkan salam? “Maaf, Ed. Kau bilang apa?” Alice mendesahkan tawa. Tangan kanannya terangkat ke sisi telinga. “Sepertinya ada yang salah dengan pendengaranku.” “Aku mau cerai,” tegas Edmund. Air matanya terlihat jelas menggenang. Kepala Alice tertekan mundur. Matanya berkedip-kedip tak mengerti. Ia sedang menyimpan kejutan manis dalam kotak di balik punggungnya—dua garis yang telah mereka nantikan sejak lama. Sang suami malah mengajaknya bercerai? Selang keheningan sesaat, tawa kecil lolos lagi dari mulut Alice. “Candaanmu konyol sekali, Ed.” “Aku serius. Aku tidak mau meneruskan pernikahan ini.” Suara Edmund serak dan penuh tekanan. Raut Alice kembali datar. Ia tahu nada bicara itu. Edmund tidak sedang bercanda. “K-kenapa? Bukankah kita baik-baik saja?” Alice berusaha untuk tersenyum tetapi gagal. Kerutan di wajahnya malah tampa
“Ed?” Alice mencoba untuk meminta bantuan. Namun, bibirnya hanya bergetar tanpa suara. Lidahnya terlalu kaku. Keringat dingin membutir di keningnya. Edmund menelan ludah melihat sang istri terduduk di lantai. Dadanya sesak, napasnya tersekat. Ia sebetulnya tak tega melihat wajah pucat Alice yang diselimuti ketakutan. Namun, ketika ia hendak bergerak, sang ibu sudah lebih dulu melempar koper ke hadapan Alice. “Ini .... Bawalah barang-barangmu! Jangan mengotori rumah putraku lagi! Sekarang menghilanglah dari hadapan kami!” Air mata mengalir semakin deras di pipi Alice. Bibirnya sudah tidak lagi berwarna. Sesekali, ia terbatuk-batuk, tersedak oleh kesedihan yang terlampau pekat. “Kumohon, Ed ....” Alice bersusah payah merangkak menuju sang suami. Namun, ibu mertuanya lagi-lagi menghalangi. Telunjuknya meruncing ke arah gerbang. “Enyah kau dari sini!” “Tapi aku sedang—akh!” Elizabeth dengan tega mendorong Alice hingga tersungkur ke samping. Saat itulah, sebuah mobil berhenti dan se
Setibanya di sofa, Edmund langsung menepis tangan Giselle. “Sudah kubilang, aku bisa sendiri.” Setelah itu, ia bersandar sambil mengurut pelipis. “Tapi kau masih sakit, Ed. Kau seharusnya tidak memaksakan diri. Beristirahat sehari tidak akan membuat perusahaan merugi.” Giselle memasang tampang prihatin. “Lagi pula, untuk apa kau memikirkan Alice sampai sakit begini? Biarkan saja dia bahagia bersama kekasih barunya. Dia sudah tidak butuh kamu lagi. Sekarang, apakah kau masih demam?” Lagi-lagi, Edmund menghalau tangan sang sekretaris yang nyaris menyentuh keningnya. “Aku baik-baik saja. Kau pulanglah.” “Tapi—” “Aku tidak bisa beristirahat kalau kau masih di sini,” tegas Edmund dengan tatapan risih. Nada bicaranya tidak hanya menusuk Giselle, tetapi juga membekukan langkah kaki seorang pelayan. Ed menyadari kehadirannya. “Ada apa, Nyonya Klein?” “Maaf, Tuan. Saya ....” Wanita paruh baya itu berkedip-kedip kebingungan. Sesekali, matanya melirik Giselle. “Kami menemukan ini saat ber
“Ed, apa yang telah kau lakukan? Kau berselingkuh dengan Giselle? Kenapa Alice jadi seputus asa itu?” Emma mengguncang pundak Edmund. Edmund tertunduk dan menelan ludah. Keringat dingin mulai membutir di keningnya. “Kalau tahu akan jadi begini, aku seharusnya tidak menghentikanmu saat akan melompat di jembatan. Biar saja kau hanyut di sungai sebagai orang asing yang tidak kukenal. Dengan begitu, aku tidak perlu mengucapkan janji-janji itu, tidak pernah jatuh cinta padamu, dan tidak akan merasakan sakit yang sebesar ini.” Kata-kata itu terngiang lagi dalam kepalanya. Ke mana akal sehatnya kemarin saat melontarkannya kepada Alice? Sementara rasa bersalah merayap menggerogoti hatinya, Edmund terpejam dan menggertakkan geraham. Ia biarkan kepalan tangan Emma menghantam tubuhnya. Ia merasa layak mendapat pukulan. “Mengapa aku begitu bodoh?” sesalnya. Emma tersentak mendengar gumaman itu. “Apa? Kau sungguh berselingkuh dengan Giselle?” Selang satu helaan napas, tangannya melayang men
Edmund duduk termenung di jembatan. Wajahnya pucat, tanpa ekspresi. Orang-orang yang tadi menahannya sudah bubar, berganti dengan anggota tim SAR yang sibuk berkoordinasi dengan rekan-rekannya. “Bagaimana?” tanyanya tanpa menoleh ketika petugas di dekatnya selesai bicara. Petugas itu terdiam sejenak. Alih-alih menjawab, ia melirik orang-orang di sisi Edmund. Ketika ia menggeleng, tangis Emma kembali pecah. “Kenapa nasib Alice sungguh malang, Henry? Dia orang baik. Dia tidak seharusnya mengalami semua ini. Kalau saja aku tidak meninggalkannya di kantor Edmund tadi pagi, mungkin dia masih bersama kita di sini. Aku tidak seharusnya membiarkan dia seorang diri.” Setetes air mata mengalir lambat di pipi Edmund. Sama seperti Emma, ia juga menyalahkan diri. Hanya saja, ia tidak punya tenaga lagi untuk mengamuk. Biar rasa bersalah yang mendera hati, mengikis sekujur sarafnya hingga ia hanya bisa merasakan perih. Malam berlalu berganti subuh. Emma dan Henry sudah pergi. Tim SAR pun memutu
“Siapa kamu? Kenapa kamu bisa ada di mobilku?” selidik Edmund, masih dengan napas tak beraturan. Matanya terbelalak, sulit memercayai apa yang dilihatnya. Sadar ia telah membongkar keberadaan dirinya sendiri, gadis mungil itu terkesiap. Ia cepat-cepat menutup mulut dengan kedua tangan, lalu membenamkan punggungnya pada sandaran jok di belakang. Saat itulah, Edmund bisa melihatnya lebih jelas. Ia mengenakan hoodie merah yang dipadukan dengan jumpsuit cokelat muda. Tudung kepalanya menutupi rambut, membuat wajahnya terlihat lebih bulat. Di pangkuannya terdapat sebuah buku, pensil, dan ransel. Tiba-tiba, gadis mungil itu kembali memajukan posisi duduknya. Sambil berkedip-kedip, ia mengerutkan alis. “Maaf, Tuan Brewok. Tadi sewaktu di parkiran, aku tidak sengaja mendengar kalau kamu mau pergi ke Chamarel Falls. Kebetulan, aku juga mau pergi ke sana. Jadi, aku diam-diam menumpang di mobilmu.” Edmund terdiam dengan mulut menganga. Butuh beberapa waktu untuk ia bisa mencerna informasi it
Mata Edmund berkaca-kaca saat ia tiba di sebuah platform yang menghadap Chamarel Falls. Air terjun itu begitu megah dan indah meski dari kejauhan. Kalau saja Alice sedang berdiri di sampingnya, wanita itu pasti bertepuk tangan dan tertawa gembira. Kemudian, ia akan memeluk Edmund erat, membisikkan terima kasih dan rasa cintanya. “Wow, itu sangat indah, lebih indah dari yang kubayangkan.” Edmund pun mengerjap. Ia menoleh ke samping. Si gadis mungil ternyata sedang berjinjit dengan dua tangan memegangi pagar kayu. Kepalanya ditarik setinggi mungkin. Matanya tidak berkedip menyaksikan dua aliran sungai yang meluncur bebas dari pinggir tebing. Edmund diam-diam menarik napas berat. Mengapa bukan Alice yang berdiri di situ? Mengapa harus bocah misterius yang bahkan namanya saja ia belum tahu? Sebelum emosinya bergejolak menguasai diri, Edmund mengambil sebuah kamera Polaroid dari ranselnya. Dengan hati-hati, ia memotret kompas Alice dengan latar Chamarel Falls. Begitu hasilnya keluar, ia
Sekembalinya dari kafe, Edmund duduk dengan canggung. Ia letakkan makanan yang dibelinya di atas meja, tanpa sedetik pun berpaling dari sang balita. “Ini makananmu.” Gadis mungil itu sedang sibuk menggambar sesuatu di bukunya. Ia hanya mengangguk, tidak sempat melirik. “Terima kasih, Tuan Brewok. Letakkan saja di situ. Aku akan memakannya setelah menyelesaikan jurnalku.” Selang beberapa saat, ia membalikkan bukunya menghadap Edmund dan merentangkan tangan. “Tada! Berkat bantuanmu, aku berhasil melingkari Chamarel Falls dan Seven Colored Earth. Sebentar lagi, semua keinginanku selama di Mauritius akan terpenuhi. Dan lihat ini! Aku sudah memberi keterangan bahwa aku bisa sampai ke sini karena kamu. Meskipun sedikit kurang mirip, aku akan selalu ingat kalau ini kamu.” Edmund tidak menyimak gambar seorang pria yang ditunjuk oleh sang balita. Ia terlalu terpana dengan binar matanya. Semangatnya begitu mirip dengan semangat Alice. Jika dipikir-pikir, ucapannya tentang Chamarel Falls, j