Jreng jreng jreeeng .... Seru gak nih petualangan si Kembar dan Sky? Apa yang terjadi selanjutnya? Tunggu bab selanjutnya.
"Apakah aku tidak salah lihat? Ada anak manusia di tengah hutan?" Pria itu berbicara dengan bahasa yang tidak Louis dan Emily mengerti.Decak kesal terlontar dari pria yang satu lagi. "Sial! Menambah pekerjaan kita saja." "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Apa lagi? Kita tidak mungkin membiarkan mereka lepas. Mereka bisa melapor kepada orang-orang. Rencana kita bisa berantakan. Ayo tangkap mereka!" Si Kembar mengerjap melihat senapan yang ditodongkan ke arah mereka. Emily langsung bersembunyi di balik punggung Louis, sedangkan Louis dengan berani melangkah maju dan merentangkan tangan di depan Mimi. "Jangan sakiti orang utan ini! Mereka adalah hewan langka yang dilindungi oleh seluruh dunia. Mereka tidak boleh diburu dan diperdagangkan!" seru Louis lantang. Dari balik pundak Louis, Emily mengintip. "Ya! Orang utan harus dilestarikan, bukan diburu. Memangnya kalian tidak kasihan kepada mereka? Lihat! Anaknya sampai ketakutan!" Di luar dugaan, dua pemburu itu malah tertawa. T
"Papa, kebetulan sekali, GPS milik Louis ada padaku. Aku sedang melihat koordinat lokasinya," ujar Sky sambil berkedip-kedip gusar. "Itu bagus, Sayang. Bisa kau bacakan koordinatnya? Papa akan langsung menuju ke sana." Sky menelan ludah. Keringat dingin membutir di keningnya. "Itulah masalahnya. Aku lupa angka-angka yang sudah kuhafal." Edmund terdiam sejenak. Sky bisa membayangkan sang ayah mendesah kecewa. "Papa, apakah Papa marah? Ganti." "Tidak, Sayang. Papa tidak marah. Papa mengerti kalau kamu terlalu gugup sekarang. Coba tarik napas dalam-dalam, tenangkan pikiran. Kamu sudah berhasil mengingat semua angka dan bahkan huruf, Sayang. Pelan-pelan, kamu pasti bisa membacanya." Sky menuruti saran Edmund. Setelah terpejam sejenak, ia memperhatikan koordinat dengan saksama. "Ada garis kecil yang sedang tidur di sini, Papa." "Oke. Itu tanda negatif. Artinya kalian sedang berada di selatan garis khatulistiwa. Lalu?" "Ada bulat. Ini nol, kan?" "Ya. Kamu melakukannya dengan baik s
Si Kembar kembali bungkam. Mereka tidak tahu jawaban apa yang tepat. Mereka tidak ingin kembali ke kurungan sempit itu, tetapi mereka juga tidak mau ditembak. Apalagi, pemburu di hadapan mereka tampak serius dengan ancamannya. "Louis, kurasa kita jangan melawan. Dia tidak akan ragu menembak kita. Lihat, jarinya sudah siap menekan pelatuk," bisik Emily was-was. Louis menelan ludah. Ia sepakat dengan sang adik, tetapi enggan mengakuinya. "Tenang, Emily. Masih ada cara lain untuk selamat." Ia berpikir keras, memaksa otak untuk menelurkan ide spontan. "Tuan, bagaimana kalau kita bernegosiasi?" ucapnya tanpa terduga. Sang pemburu menarik matanya mundur dari lubang pengintai. Sebelah alisnya terdongkrak naik. Ia tidak menduga bisa mendengar kata itu. "Negosiasi apa yang bisa ditawarkan anak kecil sepertimu?" "Kami ini bukan anak-anak biasa. Kami adalah pewaris Savior Group, calon pemimpin hebat di masa depan. Kalau kau bersedia membebaskan kami, kami akan membayarmu dengan jumlah besar
"Sky, kita seharusnya membawa senapan itu juga tadi. Mengapa kita meninggalkannya di dalam tenda? Pemburu itu jadi bisa mengambilnya," bisik Emily sembari mengguncang tangan Sky. Merasa risih, Louis menyikut lengannya. "Sudahlah, Emily. Tidak ada yang perlu disesali. Kita sebaiknya memikirkan cara untuk mengalahkan laki-laki jahat ini." "Kalian pikir kalian bisa mengalahkanku?" Pemburu itu tertawa kasar. "Jangan bermimpi!" Sang pemburu mengangkat senapannya lagi. Namun, ketika ia hendak membidik, suara aneh datang dari atas. Melihat seekor orang utan besar hendak melompat dari dahan, Sky bergegas menarik si Kembar berlari mengikutinya. Ia tidak peduli lagi dengan senapan yang tergeletak di tanah. Ia tahu betul bahwa orang utan yang sedang marah jauh lebih berbahaya dibandingkan musuh mereka. Sementara itu, sang pemburu sudah terlanjur terpaku. Ia hanya bisa berteriak saat mamalia besar itu menimpanya. Pemburu lain yang menyaksikan tidak berani bertindak. Mereka bahkan sama sekali
“Aku mau cerai.” Alice sontak membeku. Bola matanya bergerak-gerak mencerna kata-kata itu. Edmund baru saja pulang kerja. Bukankah ia seharusnya mengucapkan salam? “Maaf, Ed. Kau bilang apa?” Alice mendesahkan tawa. Tangan kanannya terangkat ke sisi telinga. “Sepertinya ada yang salah dengan pendengaranku.” “Aku mau cerai,” tegas Edmund. Air matanya terlihat jelas menggenang. Kepala Alice tertekan mundur. Matanya berkedip-kedip tak mengerti. Ia sedang menyimpan kejutan manis dalam kotak di balik punggungnya—dua garis yang telah mereka nantikan sejak lama. Sang suami malah mengajaknya bercerai? Selang keheningan sesaat, tawa kecil lolos lagi dari mulut Alice. “Candaanmu konyol sekali, Ed.” “Aku serius. Aku tidak mau meneruskan pernikahan ini.” Suara Edmund serak dan penuh tekanan. Raut Alice kembali datar. Ia tahu nada bicara itu. Edmund tidak sedang bercanda. “K-kenapa? Bukankah kita baik-baik saja?” Alice berusaha untuk tersenyum tetapi gagal. Kerutan di wajahnya malah tampa
“Ed?” Alice mencoba untuk meminta bantuan. Namun, bibirnya hanya bergetar tanpa suara. Lidahnya terlalu kaku. Keringat dingin membutir di keningnya. Edmund menelan ludah melihat sang istri terduduk di lantai. Dadanya sesak, napasnya tersekat. Ia sebetulnya tak tega melihat wajah pucat Alice yang diselimuti ketakutan. Namun, ketika ia hendak bergerak, sang ibu sudah lebih dulu melempar koper ke hadapan Alice. “Ini .... Bawalah barang-barangmu! Jangan mengotori rumah putraku lagi! Sekarang menghilanglah dari hadapan kami!” Air mata mengalir semakin deras di pipi Alice. Bibirnya sudah tidak lagi berwarna. Sesekali, ia terbatuk-batuk, tersedak oleh kesedihan yang terlampau pekat. “Kumohon, Ed ....” Alice bersusah payah merangkak menuju sang suami. Namun, ibu mertuanya lagi-lagi menghalangi. Telunjuknya meruncing ke arah gerbang. “Enyah kau dari sini!” “Tapi aku sedang—akh!” Elizabeth dengan tega mendorong Alice hingga tersungkur ke samping. Saat itulah, sebuah mobil berhenti dan se
Setibanya di sofa, Edmund langsung menepis tangan Giselle. “Sudah kubilang, aku bisa sendiri.” Setelah itu, ia bersandar sambil mengurut pelipis. “Tapi kau masih sakit, Ed. Kau seharusnya tidak memaksakan diri. Beristirahat sehari tidak akan membuat perusahaan merugi.” Giselle memasang tampang prihatin. “Lagi pula, untuk apa kau memikirkan Alice sampai sakit begini? Biarkan saja dia bahagia bersama kekasih barunya. Dia sudah tidak butuh kamu lagi. Sekarang, apakah kau masih demam?” Lagi-lagi, Edmund menghalau tangan sang sekretaris yang nyaris menyentuh keningnya. “Aku baik-baik saja. Kau pulanglah.” “Tapi—” “Aku tidak bisa beristirahat kalau kau masih di sini,” tegas Edmund dengan tatapan risih. Nada bicaranya tidak hanya menusuk Giselle, tetapi juga membekukan langkah kaki seorang pelayan. Ed menyadari kehadirannya. “Ada apa, Nyonya Klein?” “Maaf, Tuan. Saya ....” Wanita paruh baya itu berkedip-kedip kebingungan. Sesekali, matanya melirik Giselle. “Kami menemukan ini saat ber
“Ed, apa yang telah kau lakukan? Kau berselingkuh dengan Giselle? Kenapa Alice jadi seputus asa itu?” Emma mengguncang pundak Edmund. Edmund tertunduk dan menelan ludah. Keringat dingin mulai membutir di keningnya. “Kalau tahu akan jadi begini, aku seharusnya tidak menghentikanmu saat akan melompat di jembatan. Biar saja kau hanyut di sungai sebagai orang asing yang tidak kukenal. Dengan begitu, aku tidak perlu mengucapkan janji-janji itu, tidak pernah jatuh cinta padamu, dan tidak akan merasakan sakit yang sebesar ini.” Kata-kata itu terngiang lagi dalam kepalanya. Ke mana akal sehatnya kemarin saat melontarkannya kepada Alice? Sementara rasa bersalah merayap menggerogoti hatinya, Edmund terpejam dan menggertakkan geraham. Ia biarkan kepalan tangan Emma menghantam tubuhnya. Ia merasa layak mendapat pukulan. “Mengapa aku begitu bodoh?” sesalnya. Emma tersentak mendengar gumaman itu. “Apa? Kau sungguh berselingkuh dengan Giselle?” Selang satu helaan napas, tangannya melayang men