Home / Urban / Istri Presdir yang Hilang / 7. Air Terjun Romantis

Share

7. Air Terjun Romantis

Author: Pixie
last update Last Updated: 2023-12-05 19:21:16

Mata Edmund berkaca-kaca saat ia tiba di sebuah platform yang menghadap Chamarel Falls. Air terjun itu begitu megah dan indah meski dari kejauhan. Kalau saja Alice sedang berdiri di sampingnya, wanita itu pasti bertepuk tangan dan tertawa gembira. Kemudian, ia akan memeluk Edmund erat, membisikkan terima kasih dan rasa cintanya.

“Wow, itu sangat indah, lebih indah dari yang kubayangkan.”

Edmund pun mengerjap. Ia menoleh ke samping. Si gadis mungil ternyata sedang berjinjit dengan dua tangan memegangi pagar kayu. Kepalanya ditarik setinggi mungkin. Matanya tidak berkedip menyaksikan dua aliran sungai yang meluncur bebas dari pinggir tebing.

Edmund diam-diam menarik napas berat. Mengapa bukan Alice yang berdiri di situ? Mengapa harus bocah misterius yang bahkan namanya saja ia belum tahu?

Sebelum emosinya bergejolak menguasai diri, Edmund mengambil sebuah kamera Polaroid dari ranselnya. Dengan hati-hati, ia memotret kompas Alice dengan latar Chamarel Falls. Begitu hasilnya keluar, ia menanti warna yang muncul dengan senyum sendu.

“Apa yang sedang kamu lakukan, Tuan Brewok?”

Edmund kembali mengerjap dan menoleh ke samping. Gadis mungil itu kini berdiri menghadapnya, berkedip-kedip.

“Aku sedang mendokumentasikan arah utara di tempat ini.”

“Untuk apa?” Gadis itu memiringkan kepala.

Edmund tersenyum miris. Sambil menyimpan kompas ke dalam saku, ia berkata, “Istriku ingin tahu.”

“Apakah kamu akan memberikan foto itu kepada istrimu?”

Edmund tidak tahu harus menggeleng atau mengangguk. Matanya kembali tertuju pada kertas foto di tangannya itu.

“Aku akan menempelkan ini di buku jurnal perjalanannya.”

“Istrimu juga punya buku jurnal perjalanan?” Mata sang balita berbinar. Saat Edmund mengangguk, decak kagum lolos dari bibirnya.  

“Wah, istrimu sangat keren. Dia tahu apa yang harus dilakukan oleh petualang sejati. Buku jurnal itu adalah sesuatu yang wajib, dan mengoleksi foto kompas di berbagai tempat itu adalah sesuatu yang unik. Dia pasti juga punya tas ransel dan sepatu boot sepertiku.”

Sudut bibir Edmund terangkat sedikit lebih tinggi mengenang sosok Alice. “Ya, dia selalu bepergian dengan sepatu boot dan tas ransel.”

“Apakah dia juga mengenakan pakaian nyaman seperti ini?”

Si gadis mungil merentangkan tangan. Edmund tidak bisa menyangkal bahwa tingkahnya cukup menggemaskan.

“Kau merasa jumpsuit dan hoodie itu nyaman? Pakaian itu hanya membuatmu terlihat seperti pentol korek api.”

Pipi sang balita menggembung. “Aku merasa nyaman meskipun kau menyebutku mirip pentol korek api. Ini melindungiku dari serangga dan sinar matahari. Hanya saja, ini sedikit merepotkan kalau aku mau ke toilet.”

Telunjuk mungilnya bergerak mencubit kancing. “Ini cukup sulit untuk dilepas. Biasanya, aku butuh lima menit untuk membuka satu kancing. Kalau tidak ada Mama yang membantuku, mungkin aku sudah pipis di celana.”

Edmund tanpa sadar mendengus. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, ia menyimpan kamera ke dalam ransel.

“Oke, karena tujuanmu sudah terpenuhi, ayo kembali ke hotel.”

Mata si bocah misterius sontak membulat. “Secepat ini? Aku bahkan belum melihat air terjun itu secara keseluruhan.”

“Bukankah kamu sedang melihatnya?”

Bibir mungilnya seketika mengerucut. “Aku tidak setinggi kamu, Tuan Brewok. Cobalah berjongkok, kamu akan tahu kalau dari tadi, aku hanya melihat bagian atasnya saja. Selebihnya hanya daun-daun dan ranting pohon. Aku tidak tahu seperti apa airnya ketika mencapai bawah.”

Edmund tanpa sadar menyipitkan mata. “Apakah kau secara tidak langsung memintaku untuk menggendongmu?”

Gadis mungil itu memperlebar senyum, memperlihatkan gigi-giginya.

“Apakah kamu keberatan? Kamu tidak perlu khawatir, Tuan. Aku ini masih kecil. Badanku seringan permen kapas. Kamu tidak akan lelah meskipun menggendongku satu jam.”

Edmund menghela napas. Ia tahu bocah itu tidak akan berhenti mengusiknya sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan.

“Kemarilah.”

“Hore!”

Gadis mungil itu cepat-cepat mendekat kepada Edmund. Ketika ia sudah berada dalam gendongannya, mulutnya langsung terbuka lebar.

“Wah! Ini jauh lebih keren yang kubayangkan. Kau lihat itu, Tuan Brewok? Airnya menyatu di pertengahan!”

Sementara bocah itu mengagumi pemandangan, Edmund diam-diam mengamati wajahnya. Gadis cilik itu ternyata memiliki warna mata sehijau miliknya. Dan entah mengapa, Edmund merasa tidak asing melihatnya.

“Sudah puas?” tanya Edmund sekitar setengah menit kemudian.

Gadis mungil itu tertawa lepas. Ia bertepuk tangan, berseru dengan suara manisnya yang menggemaskan.

“Ini betul-betul hari yang indah! Chamarel Falls memang sangat keren! Aku beruntung sekali bisa melihatnya.”

Sedetik kemudian, tangan mungilnya melingkar di leher Edmund. “Terima kasih, Tuan Brewok. Kau sudah membantuku mewujudkan impian. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu. Kau sudah membuatku sangat bahagia hari ini.”

Merasakan kehangatan itu, Edmund termenung. Hatinya tergelitik oleh sensasi aneh yang membuat semua sakitnya terabaikan.

Mungkinkah karena ia sudah terlalu lama tidak mendapat pelukan? Tubuhnya salah mengira anak kecil itu sebagai Alice—sosok yang paling ia cinta?

Dengan gerak kaku, Edmund pun menepuk-nepuk punggung sang balita. Tanpa ia sadari, matanya mulai berkaca-kaca.

“Tuan Brewok, bisakah kamu membantuku lagi untuk satu hal?” Si gadis mungil menjauhkan kepalanya dari pundak Edmund dan memasang tampang memelas.

Edmund sontak berkedip-kedip, menyingkirkan keharuan. “Apa?”

“Kulihat kameramu ajaib. Dia bisa mengeluarkan foto dalam satu jepretan. Bagaimana kalau kita berfoto bersama? Kalau aku menyimpan foto itu, aku bisa selalu mengingat wajahmu. Jadi, saat kita bertemu lagi nanti, aku tetap bisa mengenalimu.”

Edmund tertegun mencerna keinginan yang tulus itu. Sambil tersenyum simpul, ia akhirnya mengangguk. Mereka pun berfoto bersama dengan bantuan turis lain sebelum melanjutkan perjalanan ke Chamarel Seven Colored Earth.

“Tuan Brewok!” Si gadis mungil kembali bertepuk tangan saat mereka tiba di hamparan gundukan tanah yang memiliki gradasi samar. Tawanya membuat hari terkesan lebih cerah.

“Bukankah ini sangat keren? Lihat! Bagian situ berwarna merah, itu cokelat, abu-abu, ungu, kuning, kehijauan, dan kebiruan!” Ia terlihat bangga bisa mengabsen semua warna.

Edmund terpaksa mengangguk demi menghindari perdebatan. “Ya, kudengar warnanya akan lebih terlihat jika cuaca sedang berawan. Sayang sekali, hari ini matahari begitu menyilaukan.”

“Itu bukan masalah, Tuan. Kita tinggal menyipitkan mata saja. Warna-warnanya bisa terlihat lebih jelas.”

Si gadis mungil memperagakan apa yang ia katakan. Setelah itu, ia kembali tertawa dan menggamit tangan Edmund.

“Tuan Brewok, sebelum kita bertemu kura-kura raksasa, bagaimana kalau kita beristirahat dan makan? Aku membawa bekal. Kita bisa berbagi kalau kamu tidak keberatan.”

Alis Edmund meninggi mendengar tawaran itu. Belum sempat ia merespons, sang balita sudah lebih dulu menariknya ke sebuah meja di bawah payung jerami raksasa. Diam-diam, ia penasaran bekal apa yang bisa disiapkan oleh bocah berusia empat tahun itu.

“Silakan, Tuan Brewok. Jangan sungkan.”

Edmund nyaris mendenguskan tawa saat sang balita meletakkan cokelat dan permen di atas meja.

“Kau kabur dari hotel dan hanya membawa ini sebagai perbekalan?”

Sambil menarik-narik simpul hoodie di bawah dagunya, sang bocah berkedip lugu.

“Aku juga membawa sebotol air dan susu kemasan. Tapi akan kuminum nanti setelah aku makan cokelat. Aku benar-benar lapar. Tadi pagi, aku tidak bisa makan banyak karena terlalu tegang. Aku takut misiku ke sini gagal. Untung saja, aku bertemu denganmu.”

Melihatnya kesulitan membuka simpul, Edmund tergerak untuk membantu.

“Aku heran dari mana datangnya keberanianmu itu. Lain kali, jangan bepergian seorang diri. Tidak semua orang sebaik diriku. Kau tidak mau organ tubuhmu dijual, kan?”

Sementara gadis cilik itu cemberut, Edmund tersenyum kecut. “Apa? Kau mau membantah?”

Pundak si gadis mungil sedikit turun. “Tidak. Kurasa kamu benar. Lain kali, aku tidak boleh kabur dari Mama dan Papa.”

“Bagus. Sekarang, apakah kau mau hotdog dan kentang goreng? Itu jauh lebih mengenyangkan dari permen dan cokelat.”

Bocah itu terbelalak. “Aku mau, tapi aku tidak membawa banyak uang.”

Ia menepuk-nepuk kantong kecil pada tas ranselnya. Edmund bisa mendengar suara koin saling berbenturan dari dalam sana.

“Kamu tidak perlu membayar. Biar aku traktir. Anggap saja ini upah karena kau sudah menemukan kompas milik istriku.”

Edmund mengedikkan bahunya canggung. Sudah lama ia tidak bersikap sebaik itu kepada orang lain. Kemudian, tanpa basa-basi lagi, ia pergi memesan makanan.

Sembari menunggu, Edmund mengawasi gadis mungil itu dari jauh. Ia diam-diam tersenyum melihatnya kesulitan menarik rambut dari balik hoodie. Namun, ketika balita itu berhasil, Edmund langsung tercengang.

Bocah misterius itu ternyata memiliki rambut ikal berwarna cokelat pekat. Edmund seketika menemukan jawaban tentang mengapa ia merasa wajah bulatnya terlihat familiar. Gadis mungil itu sangat mirip dengan potret Alice sewaktu masih kecil!

Pixie

Jreng jreng jreeng .... Siapakah bocah itu sebenarnya? Tunggu kelanjutannya besok pagi. Thanks for reading.

| 2
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Riski Aulia
kenapa sih bukanya harus pakai koin, merepotkan,
goodnovel comment avatar
Indah Carolina
yaaa ampun.. pasti anaknya si tuan brewokkk deh.. tp emaknya bukan alice
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri Presdir yang Hilang   Special Chapter 10. Petualang Cilik yang Hebat

    "Sky, kita seharusnya membawa senapan itu juga tadi. Mengapa kita meninggalkannya di dalam tenda? Pemburu itu jadi bisa mengambilnya," bisik Emily sembari mengguncang tangan Sky. Merasa risih, Louis menyikut lengannya. "Sudahlah, Emily. Tidak ada yang perlu disesali. Kita sebaiknya memikirkan cara untuk mengalahkan laki-laki jahat ini." "Kalian pikir kalian bisa mengalahkanku?" Pemburu itu tertawa kasar. "Jangan bermimpi!" Sang pemburu mengangkat senapannya lagi. Namun, ketika ia hendak membidik, suara aneh datang dari atas. Melihat seekor orang utan besar hendak melompat dari dahan, Sky bergegas menarik si Kembar berlari mengikutinya. Ia tidak peduli lagi dengan senapan yang tergeletak di tanah. Ia tahu betul bahwa orang utan yang sedang marah jauh lebih berbahaya dibandingkan musuh mereka. Sementara itu, sang pemburu sudah terlanjur terpaku. Ia hanya bisa berteriak saat mamalia besar itu menimpanya. Pemburu lain yang menyaksikan tidak berani bertindak. Mereka bahkan sama sekali

  • Istri Presdir yang Hilang   Special Chapter 9. Tembakan yang Akurat

    Si Kembar kembali bungkam. Mereka tidak tahu jawaban apa yang tepat. Mereka tidak ingin kembali ke kurungan sempit itu, tetapi mereka juga tidak mau ditembak. Apalagi, pemburu di hadapan mereka tampak serius dengan ancamannya. "Louis, kurasa kita jangan melawan. Dia tidak akan ragu menembak kita. Lihat, jarinya sudah siap menekan pelatuk," bisik Emily was-was. Louis menelan ludah. Ia sepakat dengan sang adik, tetapi enggan mengakuinya. "Tenang, Emily. Masih ada cara lain untuk selamat." Ia berpikir keras, memaksa otak untuk menelurkan ide spontan. "Tuan, bagaimana kalau kita bernegosiasi?" ucapnya tanpa terduga. Sang pemburu menarik matanya mundur dari lubang pengintai. Sebelah alisnya terdongkrak naik. Ia tidak menduga bisa mendengar kata itu. "Negosiasi apa yang bisa ditawarkan anak kecil sepertimu?" "Kami ini bukan anak-anak biasa. Kami adalah pewaris Savior Group, calon pemimpin hebat di masa depan. Kalau kau bersedia membebaskan kami, kami akan membayarmu dengan jumlah besar

  • Istri Presdir yang Hilang   Special Chapter 8. Peringatan Terakhir

    "Papa, kebetulan sekali, GPS milik Louis ada padaku. Aku sedang melihat koordinat lokasinya," ujar Sky sambil berkedip-kedip gusar. "Itu bagus, Sayang. Bisa kau bacakan koordinatnya? Papa akan langsung menuju ke sana." Sky menelan ludah. Keringat dingin membutir di keningnya. "Itulah masalahnya. Aku lupa angka-angka yang sudah kuhafal." Edmund terdiam sejenak. Sky bisa membayangkan sang ayah mendesah kecewa. "Papa, apakah Papa marah? Ganti." "Tidak, Sayang. Papa tidak marah. Papa mengerti kalau kamu terlalu gugup sekarang. Coba tarik napas dalam-dalam, tenangkan pikiran. Kamu sudah berhasil mengingat semua angka dan bahkan huruf, Sayang. Pelan-pelan, kamu pasti bisa membacanya." Sky menuruti saran Edmund. Setelah terpejam sejenak, ia memperhatikan koordinat dengan saksama. "Ada garis kecil yang sedang tidur di sini, Papa." "Oke. Itu tanda negatif. Artinya kalian sedang berada di selatan garis khatulistiwa. Lalu?" "Ada bulat. Ini nol, kan?" "Ya. Kamu melakukannya dengan baik s

  • Istri Presdir yang Hilang   Special Chapter 7. Tertangkap

    "Apakah aku tidak salah lihat? Ada anak manusia di tengah hutan?" Pria itu berbicara dengan bahasa yang tidak Louis dan Emily mengerti.Decak kesal terlontar dari pria yang satu lagi. "Sial! Menambah pekerjaan kita saja." "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Apa lagi? Kita tidak mungkin membiarkan mereka lepas. Mereka bisa melapor kepada orang-orang. Rencana kita bisa berantakan. Ayo tangkap mereka!" Si Kembar mengerjap melihat senapan yang ditodongkan ke arah mereka. Emily langsung bersembunyi di balik punggung Louis, sedangkan Louis dengan berani melangkah maju dan merentangkan tangan di depan Mimi. "Jangan sakiti orang utan ini! Mereka adalah hewan langka yang dilindungi oleh seluruh dunia. Mereka tidak boleh diburu dan diperdagangkan!" seru Louis lantang. Dari balik pundak Louis, Emily mengintip. "Ya! Orang utan harus dilestarikan, bukan diburu. Memangnya kalian tidak kasihan kepada mereka? Lihat! Anaknya sampai ketakutan!" Di luar dugaan, dua pemburu itu malah tertawa. T

  • Istri Presdir yang Hilang   Special Chapter 6. Keputusan yang Tepat

    "Tidak, Louis." Emily mengernyitkan dahi. "Kita tidak boleh meninggalkan Mimi sendirian di sini. Dia bisa mati.""Tapi itu yang dia mau. Dia ingin anaknya selamat. Dia pasti bertahan. Kita hanya perlu menyelamatkan anak Mimi dengan cepat. Menurutku, kita bisa melakukannya. Kita ini anak-anak terlatih, kau ingat?" Alih-alih setuju, Emily menggeleng tegas. "Tidak, Louis. Itu terlalu berisiko. Kita tidak boleh egois dan memikirkan kesenangan kita sendiri. Bagaimana kalau kita hubungi rumah hutan saja? Ini masalah serius."Sementara Louis menghela napas berat, Sky menautkan alis. Ia terlihat sangat serius dengan bibir terlipat ke dalam."Kurasa Emily benar. Kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Kita butuh bantuan orang dewasa. Papa Mama kita dan orang-orang yayasan. Kita harus melaporkan hal ini kepada mereka. Mimi butuh bantuan medis, sedangkan para pemburu liar itu harus ditangkap." Louis termenung sebentar. Ia sebetulnya enggan menghubungi orang tuanya. Ia ingin mandiri.

  • Istri Presdir yang Hilang   Special Chapter 5. Suara Tembakan

    "Sky, bunyi apa itu?" bisik Emily dengan suara tersekat. "Apakah itu suara ledakan?" "Kurasa itu suara senapan," potong Louis sebelum menggenggam lengan gadis yang paling kecil. "Sky, mungkinkah itu pemburu liar?" Sky berkedip-kedip gusar. "Mungkin iya. Daerah ini sudah berada di luar lingkup yayasan. Tim patroli hanya sesekali memeriksanya. Itu pun kalau mereka sempat." "Bukankah perburuan liar itu dilarang? Kenapa masih ada saja orang-orang jahat yang membunuh satwa? Kira-kira, apa yang baru saja mereka tembak? Apakah orang utan?" tanya Louis dengan ekspresi serius. Emily langsung bergidik ngeri. "Oh, kalau memang para pemburu itu mengincar orang utan, kuharap dia berhasil lolos dan selamat. Orang utan itu hewan langka. Kasihan kalau mereka punah." "Dan kuharap itu bukan Mimi," lanjut Sky sembari mengentakkan kaki. "Dia selalu membawa anaknya ke mana-mana. Dia pasti susah bergerak dan rentan terhadap serangan." "Bagaimana kalau kita memeriksanya? Kalau memang itu ulah pemburu l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status