Share

Bermalam Dengan Pria Asing

“Ugh!”

Kepala Anais berdenyut sangat hebat seolah ada tali yang melilitnya. Keningnya mengernyit saat sepasang netranya mulai terbuka.

‘Ah … di mana ini?’ batinnya bertanya-tanya.

Manik hazelnya mengerjap, berupaya mencapai fokus. Namun, Anais sama sekali tak mengenali tempat ini. Dalam situasi sunyi itu, hanya terdengar deru mesin pendingin ruangan, juga sebuah helaan napas yang terasa menghangatkan tengkuknya.

Detik itu juga Anais tersadar, sebuah lengan kekar tampak melingkari pinggangnya. Begitu irisnya bergulir, dia dapat dengan jelas melihat seorang pria asing memeluknya dari belakang.

‘Astaga, siapa dia?!’

Beruntung ucapan kaget itu berhasil dia redam dalam benaknya. Bisa kacau jika Anais menjerit dan membangunkan sosok tampan nan maskulin tersebut.

‘Kau benar-benar gila, Anais. Bagaimana bisa kau tidur dengan pria asing ini?!’ Anais kembali membatin dan coba mengingat kejadian malam itu. 

Namun, memorinya tidak lebih dari kejadian Denver dan Aretha. Dan sialnya, hal itu malah semakin membuat kepala Anais terasa pusing.

‘Oke, tenang. Aku harus tenang. Aku harus segera kabur sebelum pria ini membuka matanya,’ sambungnya dalam hati.

Perlahan, wanita itu mengangkat tangan sang pria yang membelenggunya. Lantas menyingkap selimut putih tebal yang menutupi tubuh polosnya.

“Aish, sial!” umpatnya tertahan.

Anais membalalak begitu menyadari kekacauan kamar itu sebab ulahnya tadi malam. Beberapa potongan setelan pria, juga dress miliknya tampak berceceran di karpet. Wanita itu kembali berpaling ke arah partner tidurnya. Dia tak habis pikir, kegilaan macam apa yang dia lakukan bersama pria tersebut? 

Namun, tak ada waktu untuk terkejut. Anais segera memungut bra dan celana dalam berwarna senada, juga dress putih gading yang dipakainya kemarin malam.

Tumitnya berjinjit pelan menuju kamar mandi, cemas bila bunyi yang dia timbulkan akan mengusik pria asing yang masih lelap di ranjang.

“Oh, shit! Apa-apaan ini? Diputuskan Denver apakah membuatmu hilang kewarasan? Kau sangat bodoh, Anais!” decaknya merutuki diri sendiri.

Mulutnya terbuka seolah-olah rahangnya akan jatuh ketika menatap pantulan dirinya di cermin. Beragam bekas percintaan seperti memberitahunya betapa liarnya permainan semalam. Dan ini sangat kacau, sebab dress dengan potongan terbuka yang dia kenakan, menampakkan jelas jejak kepemilikan yang ditinggalkan sang pria.

“Argh! Aku bisa benar-benar gila. Bagaimana mungkin aku pulang dengan keadaan seperti ini?” cuarnya sembari menyugar belahan rambut dengan frustasi.

Namun, alih-alih meledak, Anais pun keluar dari kamar mandi. Maniknya terbuka lebar saat melihat benda hitam pipih di pinggir ranjang. Hampir saja dia melupakan ponselnya. 

Anais menyambar telepon genggam itu, juga sepasang sepatu hak tinggi yang tercecer di dekat pintu. Beruntung dia bisa kabur sebelum pria tersebut menyadarinya.

Beberapa saat usai Anais melarikan diri, tiba-tiba saja terdengar bunyi nyaring semacam alarm. Suara yang cukup memekakkan telinga itu, akhirnya membuat Jade Herakles-pria yang semula tidur dengan Anais langsung terbangun.

“Argh, berisik sekali!” cecarnya menyatukan kedua alisnya.

Jade memijit keningnya yang terasa amat berat, tapi jeritan alarm itu terus menusuk kupingnya. Hingga dia pun terpaksa bangkit karena saking kesalnya.

‘Sialan, siapa yang membuyikan alarm sekencang ini?!’ makinya dalam benak.

Tatapannya melayap ke berbagai sisi. Seingat Jade, dia tak pernah memasang alarm, lantas dari mana suara ini berasal?

Ketika pandangannya turun, perhatian Jade tersita pada gawai hitam yang tergeletak di selipan karpet. Rupanya suara bising itu bersumber darinya. 

Jade pun meraih benda tersebut dan berniat segera mematikannya. Namun, betapa terkejutnya dia kala layar pipih itu menampilkan foto seorang wanita. Ah … rupanya Anais tadi salah mengambil ponsel.

Refleks, bibir Jade langsung merayap ke atas. Dia menyeringai begitu mengingat detik-detik menegangkan selama permainan panasnya bersama Anais.

“Menarik,” tutur pria itu pelan.

Wajahnya menoleh ke samping dan dia baru menyadari bahwa Anais tak ada di sebelahnya. Jade lantas beranjak ke kamar mandi, memeriksa apakah wanita itu ada di sana. Namun, dia terlambat, Anais sudah pergi.

“Dasar, kelinci nakal! Tunggu saja, Nona. Saat kita bertemu lagi, aku tidak akan melepaskanmu!” dengusnya bertekad.

Dia menatap potret Anais di ponsel itu dengan air muka sulit diterka. Ya, bagi seorang Jade Herakles, tidak ada ampunan untuk siapapun. Terlebih, Anais yang telah mengambil keuntungan darinya, harus membayarnya.

“Tuan!” 

Tiba-tiba saja, terdengar seruan dari balik pintu kamar Jade. 

“Apakah Tuan sudah bangun?” sambung seorang lelaki di luar.

“Ada apa?” Jade membalas dengan datarnya, tapi dia tak berniat membiarkan orang itu masuk.

“Tuan Hans meminta Anda untuk datang ke kediaman Herakles hari ini. Beliau bilang ada sesuatu yang penting dan perlu berdiskusi dengan Anda.”

Jade hanya bungkam mendengar warta itu. Padahal sudah lama dia menantikan saat ini, tapi rasanya sekarang bukan waktu yang tepat untuk menemui lelaki tua tersebut.

“Maaf ... bagaimana, Tuan?” tanya pria di luar tadi sebab tak mendapati sahutan Jade.

“Baiklah, kau boleh pergi.”

Alih-alih memberi jawaban, Jade malah membalas dengan ambigu. Dia akan memutuskannya nanti, sebab saat ini dirinya lebih tertarik dengan perkara Anais.

***

Di sisi lain, wanita yang tengah ditargetkan Jade, tengah menghela napas lega dengan bersandar di kursi mobil. Tangannya memegang kemudi, sementara yang lain tampak menekan pelipisnya dengan kalut.

Denver, Aretha, juga pria asing itu, semuanya bercampur hingga membuat kepalanya nyaris meledak.

Namun, Anais terpaksa membendungnya. Dia tak ingin tampak kacau di hadapan orang-orang, terutama Aretha yang pasti menantinya untuk bertengkar di rumah.

Ketika sedan putihnya berhenti di pelataran mansion keluarga Devante, Anais pun melirik kaca kecil di bagian depan mobilnya. Tampangnya memang cukup berantakan, tapi dia segera memperbaiki riasan dengan alat make up seadanya. Tangannya menyisir rambut, juga menyambar sebuah syal dari kursi penumpang guna menutupi bagian tubuh atasnya.

‘Aretha, membiarkanmu bukan berarti aku akan mengalah. Sudah lama aku menahan diri, tapi kau semakin berani. Jangan salahkan aku jika kau segera hancur!’

Anais pun lekas beranjak ke dalam mansion, tapi baru saja dia menginjak ruang tengah, Aretha tiba-tiba melempar sebuah surat kabar ke arahnya.

“Ayah, Ibu, lihatlah jalang ini baru kembali!” sergah wanita itu dengan lantangnya.

Sontak, gemuruh dongkol langsung menyapu Anais. Maniknya gemetar, tangannya juga mengepal geram. Semua orang di belakang Aretha memandangnya dengan tatapan jijik.

“Apa maksudmu, Aretha?!” sahut Anais pelan, tapi mengandung gertakan tedas.

“Wah … lucu sekali. Bagaimana bisa Kakak berpura-pura bodoh setelah menyebabkan kekacauan?” Aretha menyambar dengan tangan terlipat dan dagu yang terangkat. 

Sungguh, paduan ekspresi angkuh itu, sangat memuakkan bagi Anais.

“Lihatlah skandal besar yang Kakak buat. Berani sekali Kakak mencoreng kehormatan keluarga Devante!” sambung wanita itu menendang surat kabar yang di lemparnya tadi.

Namun, Anais sama sekali tak mengerti, sampai dirinya memungut koran tersebut.

“Hah? Apa-apan ini?!”  

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yeni_Lestari87
pasti ulahnya Jade dehhh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status