“Kapan kau akan memutuskan hubunganmu dengan Kakakku, Denver?” bisik seorang wanita yang terdengar menggoda.
Sosok cantik berbalut mini dress itu tengah menggelayut manja pada sang pria di tengah tangga darurat. Tangan lentiknya membelai leher pasangannya hingga memacu sebuah hasrat liar.Sang pria yang sudah ingin menerkam, seketika merengkuh tangan wanita itu dan mencengkeramnya di dinding. Dirinya mendekat, jari telunjuknya dari hasta yang lain menarik dagu wanitanya ke atas.“Tatap aku dan jangan katakan apapun. Aku sangat muak membahas Anais!” sahut pria itu memerintah.Sontak, langkah Anais Devante terhenti kala mendengar namanya terseret. Kakinya yang baru saja mendarat di pijakan tangga darurat itu, langsung menegang hebat.‘A-apa yang baru saja aku dengar?’ Anais membatin getir.“Apa kau tahu? Saat ini wajahmu tampak sangat bergairah, Denver Herakles!” Nada manja wanita tadi terdengar lagi.Sekujur tubuh Anais luruh dalam derasnya arus pengkhianatan. Meski belum melihat tampangnya, tapi dia sungguh yakin bahwa suara-suara itu berasal dari orang yang dikenalnya.‘Tidak mungkin ‘kan? Ini pasti tidak mungkin! A-aku mohon, semoga dugaanku tidak benar,’ batin Anais seraya beranjak naik.Tangannya mengenggam pinggiran tangga seperti meminta bantuan untuk tetap tegar. Namun, seketika wajahnya membeku saat mendapati sang tunangan tengah bermesraan dengan wanita lain.“Denver!” Manik hazelnya gemetar menyaksikan pemandangan yang begitu menjijikkan.‘Kau benar-benar pria berengsek, Denver Herakles! Kita akan menikah, tapi bagaimana bisa kau mengkhianatiku demi jalang sepertinya?!’ umpat Anais penuh dendam dalam benaknya.Kucuran jeram kini berkumpul di pelupuk matanya, berdemo seakan siap menjebol pertahanannya. Sosok pria yang selama ini dia anggap sebagai sandaran, mengapa tega berselingkuh dengan saudara perempuannya? Ya, adik Anais sendiri!‘Tidak, jangan menangis, Anais. Kau tidak pantas menumpahkan air mata untuk pria sialan itu!’ decaknya membatin.Namun, sekeras apapun Anais mencoba bertahan, ini sangat sulit. Di malam pesta perayaan keberhasilan pameran Dante’s Gallery yang dijalaninya, mengapa dia malah hancur?Wanita itu mundur, tapi bunyi sepatu hak tingginya seketika membuyarkan kegiatan panas dua orang di hadapannya.“Kakak?!” sergah Aretha begitu menyadari kehadiran Anais.Dia pun buru-buru melepas pagutan tangannya dari leher Denver.“Mengapa Kakak ada di sini? Bukankah seharusnya Kakak sibuk dengan para Seniman di ballroom?” sambung Aretha tanpa rasa bersalah.Sungguh, lahar panas kian menjalar di aliran darah Anais. Dia menggulir irisnya ke arah Denver yang hanya menampilkan sorot dingin padanya.“Ah … kalian benar-benar tidak tahu malu. Setidaknya pilihlah tempat yang sedikit berkelas, mengapa harus melakukannya di sini? Apa kalian tidak mampu menyewa kamar hotel?!” cecar Anais dengan sindiran tedasnya.“Apa yang Kakak katakan?!” sambar Aretha melotot tajam.Emosinya tersulut mendengar hardikkan Anais yang terang-terangan merendahkannya. Dirinya hendak beranjak, tapi segera ditahan oleh Denver yang berada di depannya.Pria itu menggeleng samar, memberi kode pada Aretha untuk tetap diam. Dia pun mangkir dari sisi Aretha dan lekas menghampiri Anais.“Ikuti aku,” bisiknya menarik tangan sang tunangan.“Jangan menyentuhku!” sergah Anais menampik keras tangan Denver darinya.“Kau salah paham, kita perlu bicara.”Denver kembali bersikeras, dia mencekal lengan Anais dengan tatapan mendominasi. Alisnya yang menukik tajam sungguh mengisyaratkan bahwa dirinya tak menerima penolakan.“Apa yang ingin kau bicarakan? Katakan saja semuanya di sini!” tantang Anais.Alih-alih langsung menjawab, Denver hanya memamerkan seringai miringnya. Tanpa diduga, dirinya melepas cincin pertunangan yang dua tahun lalu dipasangkan Anais di jari manisnya. Dia meraih telapak Anais, lantas memberikan benda mungil itu padanya.“Kita akhiri saja semuanya. Pertunangan, juga rencana pernikahan kita!” dengus Denver dengan tampang serius.Sekejap, manik Anais berubah selebar cakram. Napasnya menderu seiring dengan genggaman penuh bara pada cincin yang diterimanya.“Apa maksudmu, Denver?!” bentak Anais menuntut penjelasan.“Aku tidak bisa menikah denganmu, Anais. Kita berdua tidak cocok!” sungut Denver yang kian membuat dada sang wanita bergemuruh sesak.Dirinya sungguh tak percaya bahwa pria yang begitu dicintainya berubah dalam sekejap.“Jadi kau membuangku demi wanita sialan itu? Kau benar-benar gila, Denver!” Anais menyergah penuh berang.“Ya, aku memang gila karena bertunangan denganmu. Kau hanya putri angkat Tuan Tigris, Anais. Mana mungkin aku menikahi wanita yang dipungut keluarga Devante?!” sahut Denver yang lantas membuat Anais tertegun.“Ba-bagaimana bisa kau mengatakan semua itu?” Tanpa sadar air mata Anais terjatuh.Ratusan jarum seakan tenggelam dalam jantungnya, sungguh menyakitkan. Sebuah rahasia yang telah ditutup rapat oleh keluarga Devante, kini tersiar terang dari mulut Denver Herakles.“Mengapa terkejut seperti itu? Semuanya kan benar, Kakak memang bukan putri kandung Ayah. Kakak bukan anggota keluarga Devante yang sah!” sahut Aretha ikut menyela.Seketika, Anais pun memicingkan mata saat Aretha berjalan ke arahnya. Adiknya itu memang benar-benar rubah licik. Tanpa ragu dia menguliti Anais di hadapan sang pria.“Tutup mulutmu, Aretha. Aku sedang bicara dengan Denver!” sentak Anais geram.“Kenapa? Apa Kakak malu karena Denver sudah mengetahui rahasia Kakak? Kau memang tidak pantas bersanding dengan Denver, Kak!”Sontak, Anais pun naik pitam. Wanita itu melayangkan gampar tangannya pada wajah Aretha yang sedang girang mencercanya.Bahkan tamparan saja rasanya tidak cukup. Anais tahu benar, karena siapa Denver mengetahui rahasia itu. Dia sangat hafal tingkah Aretha yang menghalalkan segala cara demi membuatnya jatuh ke palung terdalam.“Beraninya Kakak menamparku!” sergah Aretha kesal.“Kau lihat sendiri ‘kan, Denver? Sikap Kak Anais sangat liar. Dia tidak level jika disandingkan denganmu, karena memang seperti itulah kelakuan anak pungut!” lanjutnya kembali mencecar.Mendengar itu, kobaran api dalam dada Anais meledak. Tangannya kembali mengambil ancang-ancang bersiap memukul Aretha. Namun, dengan sigap Denver malah mencekal lengan Anais demi melindungi putri kedua keluarga Devante itu.“Cukup, Anais! Aku sudah muak melihatmu, pergilah selagi aku masih bersikap baik!” dengusnya menahan amarah.Dia pun menghempaskan tangan Anais hingga nyaris saja membuat mantan tunangannya menghantam dinding.Sungguh, Anais hancur tak berbentuk. Bisa-bisanya pria yang pernah memanjakannya, kini malah memperlakukannya seperti sampah?!“Kau tidak pantas disebut manusia. Hah … rasanya aku beruntung bisa melihat wujud aslimu, Denver. Kau memang serasi dengan wanita rendahan seperti Adikku tersayang. Bersenang-senanglah, jangan pernah muncul lagi di hadapanku!” timpal Anais mangkir menuruni tangga.Baru beberapa langkah wanita itu beranjak, dia pun terhenti dan kembali berpaling.“Ingat, akulah yang pergi darimu, Denver!” ujarnya yang lantas beralih memandang Aretha. “Dan kau, selamat menampung pria berengsek sepertinya!”Kepala Anais penuh dengan tekanan, dia pun pergi dengan kesumat yang membara.Di tengah langkahnya, Anais menyambar segelas alkohol dari nampan pelayan yang dilaluinya. Tanpa memeriksa apapun, dia langsung menenggak cairan itu hingga tandas.‘Aish … sial! Kau benar-benar pria biadab, Denver. Aku harap kau membusuk bersama Aretha di neraka!’ Anais terus mengutuk sang mantan dan adiknya dalam hati.Namun, beberapa saat kemudian wanita itu merasakan sesuatu yang aneh. Gemuruh panas seolah menghunjaminya. Darahnya pun berdesir cepat, tetapi begitu merangsang bagian sensitifnya.‘Ah … apa yang terjadi padaku?’ batinnya dengan napas terengah-engah.Tangannya gemetaran, keringat dingin sudah membasahi dahi dan tengkuknya, tapi anehnya Anais malah merasa kepanasan. Dia mengusap lehernya dan lekas beranjak menuju kamar hotelnya.Anais berjalan sempoyongan, pandangannya yang kabur membuatnya tak sadar ketika asal memasuki kamar.Begitu dirinya melangkah ke dalam ruangan, seorang pria tiba-tiba berkata, “Apa yang Anda lakukan, Nona?”“Ugh!”Kepala Anais berdenyut sangat hebat seolah ada tali yang melilitnya. Keningnya mengernyit saat sepasang netranya mulai terbuka.‘Ah … di mana ini?’ batinnya bertanya-tanya.Manik hazelnya mengerjap, berupaya mencapai fokus. Namun, Anais sama sekali tak mengenali tempat ini. Dalam situasi sunyi itu, hanya terdengar deru mesin pendingin ruangan, juga sebuah helaan napas yang terasa menghangatkan tengkuknya.Detik itu juga Anais tersadar, sebuah lengan kekar tampak melingkari pinggangnya. Begitu irisnya bergulir, dia dapat dengan jelas melihat seorang pria asing memeluknya dari belakang.‘Astaga, siapa dia?!’Beruntung ucapan kaget itu berhasil dia redam dalam benaknya. Bisa kacau jika Anais menjerit dan membangunkan sosok tampan nan maskulin tersebut.‘Kau benar-benar gila, Anais. Bagaimana bisa kau tidur dengan pria asing ini?!’ Anais kembali membatin dan coba mengingat kejadian malam itu. Namun, memorinya tidak lebih dari kejadian Denver dan Aretha. Dan sialnya, hal itu malah
'Seniman berinisial AD booking kamar hotel bersama selingkuhan?!’ batin Anais terkejut. Maniknya berubah selebar cakram begitu mengetahui tajuk berita di surat kabar tersebut. Wajahnya semakin tegang kala menemukan potret dirinya tengah bercumbu dengan pria asing di depan pintu kamar hotel. Sungguh sial, semesta benar-benar menumpahkan kemalangan tanpa ampunan pada Anais. Rupanya malam itu ada paparazi yang membuntuti dan mengambil gambar dirinya, kala masuk ke dalam kamar Jade. Namun, bagaimana bisa dia tidak menyadarinya? “I-ini … ini tidak benar!” sungut Anais menelan salivanya dengan getir. Dia tahu betul, bahwa mustahil untuk mengelak. Meski sang pria tampak diburamkan, tapi jelas-jelas wujud dirinya yang tercetak di surat kabar itu. Anais merasa payah, tapi dia tak ingin mengakuinya. “Hah ... apanya yang tidak benar? Kakak tidak buta, jadi jangan menghindarinya. Bahkan semua orang bisa melihatnya jika wanita menjijikkan ini adalah Kak Anais!” sergah Aretha kian memperkeruh
Seluruh pasang mata langsung terbelalak mengetahui keputusan Denver yang tak terduga. Termasuk Aretha yang memang menunggu momen ini.‘Bagus, Denver! Akhirnya kau benar-benar membuang Kak Anais!’ batin adik Anais itu girang.“Apa yang baru saja kau katakan, Denver?” Leah-ibu Denver yang berpenampilan nyentrik dengan model rambut pixie cut silvernya itu mengerutkan kening. Dia seolah tak percaya dengan ucapan sang putra yang masih ingin melanjutkan perjodohan dengan keluarga Devante.“Ibu, kerja sama kita dengan DV Group tidak bisa hancur begitu saja hanya karena rumor ini. Akan lebih baik jika Aretha menggantikan Anais sebagai calon istriku. Bukankah ini solusi yang tepat dan tidak merugikan pihak manapun?” Denver dan otak liciknya itu menyahut dengan mulus.Dirinya yang mendapat tatapan dari berbagai arah, merasakan sorotan lebih tedas dari sisi Anais. Ya, dia yakin bahwa mantan tunangan yang dibuangnya itu tengah terbakar lava amarah.Namun, Denver sengaja dan terang-terangan meman
“Maaf?” Anais menyahut dengan kening mengernyit.Debar jantungnya bergemuruh keras karena Jade ternyata mengenali dirinya. Namun, dia tak bisa langsung membenarkan asumsi pria itu atau suasana akan menjadi kacau, bila semua orang tahu bahwa Jade adalah pria yang tersandung rumor bersama dirinya.“Anda terlihat tidak asing. Di mana kita pernah bertemu?” Jade bertanya seraya mengangkat sebelah alisnya.Sungguh, Anais merasa pria itu sengaja memancingnya. Dia pun memasang air muka sedingin mungkin, agar lawan bincangnya tak bisa melihat sisi dirinya yang gugup.“Saya rasa Anda salah orang, Tuan. Saya belum pernah melihat Anda. Jadi permisi, saya sedang buru-buru!” tukas Anais amat tegas.Dia langsung berlalu melewati Jade yang memasang tatapan lekat. ‘Ah … menarik. Biar aku lihat, mau seberapa jauh kau akan melarikan diri dariku, Nona!’ Pria itu membatin penuh tekad.Jade memang bungkam, tapi telinganya terpampang tajam mendengar arah langkah Anais yang tampaknya bergerak ke sisi kiri.
Anais mengerjap tidak percaya. Dia benar-benar tak menyangka jika Jade akan melontarkan kata-kata yang teramat gila. “Lelucon Anda sangat tidak lucu, Tuan!” sungut wanita itu menahan kesal. Dia berpaling dan ingin segera meninggalkan Jade, tapi mendadak sang pria malah mengeluarkan benda pipih hitam yang sangat membuat Anais tertegun. ‘Ah, ponselku!’ Dirinya membatin dalam benak. Nyaris saja tangannya merebut gawai itu, tapi Anais menahan diri karena tak mau ketahuan langsung oleh Jade bahwa sejak tadi dia berbohong. “Saya menemukan ponsel asing yang ditinggalkan seseorang. Menurut Nona, siapa pemilik yang ceroboh ini?” tutur Jade seraya menekan tombol power pada benda tersebut. Seketika, potret cantik Anais pun terpampang di sana. Kali ini wanita itu tidak bisa mengelak apapun, dirinya hanya bungkam dengan leher menegang. Meski kesal, Anais tak mungkin berdusta atau dia akan tampak semakin konyol. ‘Aish, sial! Mengapa dia harus membawa ponselku?’ batinnya dengan manik gemetar.
“Selamat malam, Ibu,” tutur Jade berhenti sejenak di hadapan Leah.CEO dari Oran Brewery itu akhirnya datang ke mansion besar Herakles untuk memenuhi panggilan sang kakek. Manik tegasnya menatap Leah, tapi ibunya itu sama sekali tak sudi memandangnya. Jangankan menyahut sapaan Jade, bahkan Leah rasanya mual mengetahui putra sulungnya tersebut berada di depan matanya.“Untuk apa kau datang ke sini, hah?” sungut Denver dengan sorot masamnya.Namun, alih-alih menjawab, Jade justru merapikan kancing jasnya dan lekas berlalu menuju ruangan Hans. Dia tak ada niat sama sekali untuk mendengar ocehan adiknya yang tak berotak. “Sialan, berani sekali anjing liar itu mengabaikanku?” Putra kedua Leah tersebut menggerutu sengit.“Tutup mulutmu, Denver. Bukan ini yang harus kau khawatirkan sekarang. Cepat ikuti dia dan cari tahu apa yang Kakekmu bicarakan dengannya!” sambar Leah memicing tajam.Dirinya tak bisa berpangku tangan saat Jade mendapat kesempatan. Meski dia adalah darah dagingnya sendiri
Manik hazel Anais terbelalak melihat sang pria, dia sungguh tak menyangka mendapati sosok itu di sini. Namun, tangannya bergerak otomatis membuka pintu mobilnya seakan terhipnotis arahan orang tersebut.Iris wanita itu melayap buncah saat kilatan cahaya kamera memotret dirinya.Dengan sigap, pria yang membantu Anais itu pun merengkuh bahunya dan lantas menyeru, “Mohon tenang, semuanya. Nona Anais pasti akan memberikan klarifikasi setelah situasinya kondusif!”“Kami sudah lama menunggu, setidaknya tolong jawab satu pertanyaan saja. Mengapa seorang Seniman seperti Nona Anais berselingkuh?!” Dengan entengnya mulut Wartawan itu terbuka.Sontak, pria tadi langsung menghunus tatapan sengitnya pada si juru warta.“Jaga bicara Anda. Kata-kata Anda sangat keterlaluan!” sentaknya dengan air muka mengeras.Tanpa menunggu tanggapan, dia pun lekas membimbing Anais pergi. Keduanya segera masuk ke dalam galeri untuk menghindari para pemburu desas-desus tersebut.Jajaran pegawai di Dante’s Gallery pu
“Ah!” Anais pun seketika terkejut dengan leher menegang.Dia tak mengerti mengapa Jade mendadak bertingkah aneh padanya.Namun, mengingat situasi awal saat Aretha menuduhnya sebagai penguntit, Anais pun mengambil kesempatan ini.“Tidak, aku juga baru datang,” tukasnya seraya mengulas senyum lembut pada Jade.Sungguh, Aretha dan Denver yang sudah tertegun, kini semakin melebarkan bola matanya begitu melihat interaksi dua orang di hadapannya.‘Apa-apaan mereka? Mengapa anjing liar itu bisa dekat dengan Anais? Sejak kapan mereka menjalin hubungan?’ Denver bertanya-tanya dalam batinnya.Gelombang kedongkolan langsung menyapu benaknya. Entah mengapa hatinya terasa risih mendapati sang mantan terlibat dengan kakaknya. Meski sangat penasaran, tapi cucu kedua Tigris Devante itu memilih bungkam sebab egonya yang tinggi.“Apa hubungan Kakak dengan pria ini? Apa kalian berpacaran?” Tanpa ragu Aretha pun menguarkan rasa ingin tahunya.Sungguh berbanding terbalik dengan Denver. Tatapannya yang sen