Caroline membeku. Pemandangan yang dilhatnya seperti bagian penutup dari semua mimpi buruknya tentang Antonie.
Antonie, kekasih yang dia cintai, sedang bercumbu mesra dengan adiknya sendiri."Hai kalian! Apa yang sedang kalian lakukan?" teriak Vivian membuat dua insan yang tubuh dan bibirnya saling bertaut itu otomatis saling melepaskan diri.Vivian dan Caroline menghampiri mereka berdua."Inikah yang kalian lakukan di belakangku? Kalian menjalin hubungan?" Tidak ada nada tinggi atau bentakan dalam suara Caroline. Hanya kesedihan dan kekecewaan yang disembunyikan dalam ketegaran.Antonie terdiam."Jawab! Mengapa kau diam saja? Antonie!" Nafas Caroline mulai menderu."Aku mencintainya," ucap Antonie. "Aku mencintai Casandra. Aku sudah tidak mencintaimu lagi.""Hah!" Vivian mendengus dengan nada sinis."Sejak kapan?" tanya Caroline dengan wajah datarnya. Hanya itu pertanyaan yang mampu keluar dari mulut Caroline kendati hatinya terasa amat perih."Sejak lama. Maksudku, kau terlalu sibuk bekerja. Lagipula lihatlah Casandra, dia cantik. Kau juga cantik. Tapi, terkadang bekas luka bakar di pipi kananmu itu membuatku...""Membuatmu jijik?" Caroline meletakkan telapak tangannya di pipi kanannya."Keterlaluan! Bisa - bisanya kau melontarkan hinaan fisik saat kau sendiri berbuat hina! Dasar laki - laki brengs*k!" Maki Vivian."Kau juga Casandra. Kau tidak berperasaan! Mengapa kau bersedia berkencan dengan pacar kakakmu? Apa karena kau sangat kesepian sehingga kau mengkhianati saudaramu sendiri?" lanjut Vivian tidak bisa menahan amarahnya."Apa ini hanya kesalahanku dan Antonie? Kami saling mencintai. Apa yang salah dengan cinta? Kau dengar sendiri kan apa kata Antonie? Kau terlalu sibuk bekerja. Aku lah yang memberi Antonie waktu dan perhatian. Dan apa salahku jika aku lebih cantik darimu?" Casandra mengucap kata dengan ringan tanpa beban."Diam kau! Dasar tidak tahu diri! Caroline bekerja siang malam supaya kau bisa kuliah. Dia jadi tulang punggung keluarga karena kau sebagai lulusan sarjana tidak becus mencari kerja. Saat dia sibuk kau malah merebut pacarnya. Bukankah kau hidup dan makan dari uang Caroline? Beraninya kau membuka mulutmu untuk menghinanya!" Vivian terus memaki dan menyerang Casandra. Dia bahkan menjambak Casandra dengan membabi buta."Hentikan! Apa yang kau lakukan! Lepaskan aku!" Casandra berusaha melepaskan diri."Vivian, lepaskan dia. Sudahlah, ayo, lepaskan, jangan buang waktu dengan mereka. Sebaiknya kita pergi," Caroline menarik tubuh Vivian agar sahabatnya itu melepas Casandra.Caroline terus menarik tubuh Vivian untuk menjauh dari Antonie dan Casandra."Kalian akan menyesal! Kalian akan menyesalinya!" Vivian terus berteriak dan memaki sekalipun tubuhnya berhasil diseret menjauh oleh Caroline."Tenanglah Vivian! Jangan begini. Biarkan saja mereka. Mereka tidak layak," ucap Caroline.Vivian berusaha menenangkan dirinya ketika Casandra dan Antonie sudah jauh dari pandangan mereka."Keterlaluan. Tuhan akan menghukum mereka," Vivian bicara dengan nafas terengah. "Kenapa kau tenang sekali? Harusnya kau memaki mereka lebih keras daripada aku. Apa hatimu tidak sakit?""Hatiku sangat sakit. Tapi itu tidak ada gunanya. Aku harus menyimpan tenagaku untuk hal yang lebih penting. Dari sikap dan cara bicara mereka, mereka benar - benar menganggapku tidak penting. Aku harus tunjukkan bahwa itu tidak akan menghancurkanku sama sekali. Aku juga bisa menganggap mereka tidak penting.""Jika aku jadi kau, aku akan pergi dari rumah. Apa yang bisa Casandra lakukan saat dia tidak punya sumber uang?""Dia akan memintanya dari Antonie. Jika aku pergi dari rumah, bagaimana dengan ibu?""Benar juga. Bawa ibumu pergi. Ceritakan perbuatan Casandra padanya. Oh, atau mungkin yang lebih tepat adalah usir Casandra dari rumah. Ibumu akan membelamu kan?"Caroline terdiam. Dia mendadak teringat ucapan ibunya saat di makam. Jika benar dia bukan anak kandung dan ibunya yang mencelakai ayahnya karena membela Casandra, maka tidak mungkin ibu akan membelanya dibanding Casandra."Ibu akan sedih. Aku rasa cara ekstrim seperti itu bukan solusi. Aku lelah. Aku ingin cepat pulang dan tidur.""Baiklah ayo kita pulang saja."*****Setibanya di rumah, Jessica sudah tidur dan Casandra belum pulang.Caroline segera masuk ke kamarnya lalu membaringkan tubuh lelahnya di ranjang hingga dia tertidur.Pagi harinya, terdengar suara sibuk di dapur yang ternyata adalah Jessica yang sedang memasak banyak hidangan.Caroline menghampirinya, hendak bertanya ada apa gerangan ibunya memasak begitu banyak menu."Kau sudah bangun? Bantu ibu memasak ayam panggang dan kentang tumbuk. Hari ini paman dan bibi Maurel akan berkunjung. Sudah lama mereka tidak ke kota. Kita harus menyambutnya."Caroline mengangguk mendengar perintah Jessica. Ternyata itu alasannya, paman dan bibinya akan datang. Hal ini membuat suasana hati Caroline semakin tidak enak. Dia tahu, Paman dan Bibi Maurel tidak terlalu menyukainya, mereka seringkali melontarkan ucapan yang menyakitkan."Aku tidak lihat Casandra," ucap Caroline memulai pembicaraan sambil menguleni ayam dengan bumbu."Dia menginap di rumah temannya," jawab Jessica singkat seolah tidak terlalu peduli."Apa temannya itu Antonie?"Jessica mengangkat kepalanya dari adonan kentang yang dia tumbuk. "Mungkin," jawabnya sambil menunduk dan kembali menumbuk kentang."Jadi, rupanya ibu sudah tahu. Ibu tahu bahwa Casandra menjalin hubungan dengan Antonie? Bukankah ibu tahu bahwa Antonie adalah pacarku?""Mereka saling mencintai.""Lalu bagaimana dengan aku? Perasaanku tidak penting? Aku juga anak ibu!"Jessica masih fokus menumbuk kentang tanpa memberi respon apapun atas ucapan Caroline."Kenapa ibu diam? Apa karena aku bukan anak kandung ibu? Aku hanya anak pungut jadi perasaanku tidak penting. Karena itulah Casandra lebih penting. Benarkah begitu?""Apa yang kau katakan?" Jessica berhenti menumbuk kentang dan memutar tubuhnya menghadap Caroline."Itu yang ibu katakan saat ibu sedang mabuk di makam ayah tempo hari. Ibu bilang aku bukan anak kandung ayah dan ibu. Ayah menemukanku di bak sampah. Aku hanya seorang anak pungut."Tanpa Caroline duga, Jessica tertawa mendengar penuturannya. "Jadi, aku mengatakannya saat mabuk? Baiklah, berarti kau sudah tahu kebenarannya. Maka aku tidak perlu repot - repot menjelaskan keberpihakanku pada Casandra.""Apa ibu sama sekali tidak menyayangiku?""Berhenti mengoceh! Kau mau membantu memasak atau tidak? Jika kau di sini hanya ingin protes ini itu, lebih baik menjauhlah dari dapur! Aku hanya ingin memasak dengan tenang," Jessica merebut baskom berisi ayam yang sudah dibumbui dari tangan Caroline. "Pergilah! Aku akan masak sendiri."Caroline melangkah pergi dengan hati yang teriris. Air matanya mulai menetes, dia tidak sanggup menahannya lagi. Dia benar - benar merasa terbuang. Baik Antonie, Casandra dan ibunya, mereka semua menganggapnya tidak penting. Mereka tidak pernah mencintainya."Bukan hanya itu yang ibu katakan saat di makam," Caroline menghentikan langkahnya lalu berbalik. "Ibu juga bilang bahwa ibu lah yang mengakhiri hidup ayah. Ibu mengakui bahwa ibu telah membunuh ayah."Caroline terus mendesah. Mengeluarkan suara seksi yang membuat gairah William semakin memuncak. Dia memiliki keinginan yang besar untuk menghentikan aktifitas ini secepatnya agar mereka tidak semakin jauh. Namun sentuhan William seolah menjadi candu yang baru bagi Caroline. "Aku... tidak bisa..." ucap Caroline yang tentu saja berkebalikan dengan isi hatinya. Kini, William telah melepaskan celana dalam Victoria Secret yang dia kenakan dan mulai memainkan jari - jarinya di antara kedua paha Caroline. "Ini sangat basah, ternyata kau juga menginginkannya Caroline," ucap William lirih. Kalimat - kalimat erotis yang keluar dari bisikan William membuat Caroline semakin sulit untuk menguasai dirinya. "Hentikan William, kita tidak boleh begini... kita tidak bisa aakh..." ucapan Caroline terputus dengan lenguhan nikmatnya karena William tiba - tiba melesakkan miliknya di bawah sana. "Akh... William, apa yang kau lakukan? Itu... sakit..." Caroline merintih. William sedikit terkejut karena
"Eeengh...," Caroline merintih saat dirinya berusaha keras untuk tersadar dari koma. "Kau sudah bangun?" William segera menekan tombol perawat saat melihat tanda - tanda kesadaran pada Caroline. Segera, dokter kerajaan masuk bersama beberapa orang perawat. Mereka melakukan beberapa pemeriksaan pada Caroline. Suara para tenaga kesehatan dan juga gumaman William terdengar samar - samar di telinga Caroline. Pergerakan mereka juga tidak lebih dari sekedar bayangan yang saling bekelebat. Caroline masih belum punya tenaga untuk tersadar sepenuhnya. Matanya masih berat dan badannya masih sulit digerakkan. Dalam waktu singkat, dia kembali pingsan. *****Caroline terbangun lagi di ruangan yang berbeda dari sebelumnya. Tidak seperti percobaan pertama, tubuhnya kali ini terasa lebih ringan walaupun masih susah digerakkan. "Caroline, kau sudah sadar? Apa kau bisa mendengarku?" tanya William. "Ya, aku bisa mendengarmu," jawab C
Jantung Caroline berdetak kencang menunggu bukti apa gerangan yang akan Daniel berikan. "Aku punya banyak foto dan video kebersamaan kita. Kau bisa menilai sedekat apa kita. Kau juga bisa melihat tanggal foto dan video ini diambil. Kau akan tahu bahwa kita masih bersama saat kau sudah menjadi tunangan William," Daniel menyerahkan ponselnya yang telah membuka sebuah folder kepada Caroline. Caroline dibuat terperangah oleh foto - foto dan video itu. Siapapun yang melihat gambar - gambar ini tidak akan percaya bahwa Daniel dan Ariana hanya teman biasa. "Ki- kita terlihat sangat akrab," komentar Caroline."Akrab? Menurutmu hanya akrab?" Daniel mengulas senyum miringnya. "Bagaimana dengan video yang ini?" Daniel menunjukkan satu video lagi. Hanya saja, video kali ini tidak dia simpan di folder yang sama dengan video sebelumnya, melainkan tersimpan di folder privat yang memerlukan kata sandi saat membukanya. Caroline memutar video itu dan jantungnya serasa nyaris melompat dari dadanya.
"Ya. Aku memang menemui mereka beberapa hari yang lalu," Caroline menunduk. Tidak ada gunanya mengelak, semua bukti sudah sangat jelas. "Lantas, kenapa kau tidak melapor padaku? Sebenarnya apa yang kalian bicarakan?" William tidak akan berhenti mencerca Caroline sampai dia mendapatkan jawaban sejelas yang dia mau. "Banyak hal. Kau ingin tahu?" "Ya! Semuanya, ceritakan padaku!" "Baiklah," Caroline mendudukkan dirinya di sofa sebelum dia mulai bicara. William juga duduk di sofa lain yang berada di hadapan Caroline. Jika perbincangan ini akan panjang, dia sudah siap. "Katakanlah!" "Pertama kami membicarakan mengenai hubungan Ariana dan Daniel," Caroline mulai bercerita. Belum apa - apa, William sudah mendengus. "Memangnya apa hubungan mereka? Mereka hanya teman saat kuliah. Kurasa Daniel terobsesi pada Ana." "Jadi, kau mau mendengarku atau tidak? Jika kau hanya ingin mengoceh sendiri maka lupakan saja! Aku tidak akan memberitahumu apapun.""Oke oke baiklah. Teruskan! Aku akan di
"Caroline! Ada apa!?" William segera berlari dan mengetuk pintu kamar mandi. "Aw! Sakit!" rintih Caroline dari dalam kamar mandi. "Caroline, apa yang terjadi?" Tidak ada jawaban dari Caroline selain suara rintih kesakitannya yang terdengar. William mulai panik. Dia tidak ingin mengambil resiko. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada Caroline, maka semua rencananya akan gagal. Maka, dengan sigap, William mendobrak pintu kamar mandi hingga terbuka dengan paksa. "Ah! Apa yang kau lakukan?" Caroline yang terduduk di lantai dalam keadaan tanpa busana dengan panik meraih handuk untuk menutupi tubuhnya. William segera membalikkan badannya secara otomatis. Sejujurnya, ruang kamar mandi pun masih gelap karena lampu belum menyala. William pun tidak melihat apa pun. "Dasar cabul! Kenapa kau menerobos ke kamar mandi saat seorang perempuan sedang mandi?" rutuk Caroline. "Diamlah! Segera pakai handukmu!" "Sudah. Aw!" Caroline berteriak kesakitan lagi saat dia mencoba untuk berdiri. William
'Apa yang kau rasakan?' Caroline ingat saat ciuman pertamanya dengan William dulu, itulah kalimat yang lelaki itu tanyakan. Dulu, tujuannya adalah untuk menguji Caroline. Namun kalimat itu tanpa sengaja terngiang kembali di dalam kepala Caroline, seolah William benar - benar sedang menanyakannya. "Aku tidak merasa biasa saja," gumam Caroline dengan sangat lirih begitu dirinya dan William berhenti berciuman. William tentu saja tidak mendengar gumaman Caroline. Terlebih, tepuk tangan para tamu terdengar amat riuh. Mata Caroline tertunduk. Dia merasa sangat sial, bisa - bisanya jantungnya berdebar kencang saat William mendaratkan bibirnya. Berlainan dengan ekspresi Caroline, semua orang terlihat senang. Bahkan William pun terlihat senang. Lelaki itu benar - benar pandai berakting. Setelah upacara pemberkatan, Caroline menjalani pengukuhan sebagai putri kerajaan. Upacara pengukuhan itu lebih lama, kaku dan melelahkan daripada upacara pemberkatan pernikahannya. Bahkan setelah sele