Share

Bab 4 Terbuang

Caroline membeku. Pemandangan yang dilhatnya seperti bagian penutup dari semua mimpi buruknya tentang Antonie.

Antonie, kekasih yang dia cintai, sedang bercumbu mesra dengan adiknya sendiri.

"Hai kalian! Apa yang sedang kalian lakukan?" teriak Vivian membuat dua insan yang tubuh dan bibirnya saling bertaut itu otomatis saling melepaskan diri.

Vivian dan Caroline menghampiri mereka berdua.

"Inikah yang kalian lakukan di belakangku? Kalian menjalin hubungan?" Tidak ada nada tinggi atau bentakan dalam suara Caroline. Hanya kesedihan dan kekecewaan yang disembunyikan dalam ketegaran.

Antonie terdiam.

"Jawab! Mengapa kau diam saja? Antonie!" Nafas Caroline mulai menderu.

"Aku mencintainya," ucap Antonie. "Aku mencintai Casandra. Aku sudah tidak mencintaimu lagi."

"Hah!" Vivian mendengus dengan nada sinis.

"Sejak kapan?" tanya Caroline dengan wajah datarnya. Hanya itu pertanyaan yang mampu keluar dari mulut Caroline kendati hatinya terasa amat perih.

"Sejak lama. Maksudku, kau terlalu sibuk bekerja. Lagipula lihatlah Casandra, dia cantik. Kau juga cantik. Tapi, terkadang bekas luka bakar di pipi kananmu itu membuatku..."

"Membuatmu jijik?" Caroline meletakkan telapak tangannya di pipi kanannya.

"Keterlaluan! Bisa - bisanya kau melontarkan hinaan fisik saat kau sendiri berbuat hina! Dasar laki - laki brengs*k!" Maki Vivian.

"Kau juga Casandra. Kau tidak berperasaan! Mengapa kau bersedia berkencan dengan pacar kakakmu? Apa karena kau sangat kesepian sehingga kau mengkhianati saudaramu sendiri?" lanjut Vivian tidak bisa menahan amarahnya.

"Apa ini hanya kesalahanku dan Antonie? Kami saling mencintai. Apa yang salah dengan cinta? Kau dengar sendiri kan apa kata Antonie? Kau terlalu sibuk bekerja. Aku lah yang memberi Antonie waktu dan perhatian. Dan apa salahku jika aku lebih cantik darimu?" Casandra mengucap kata dengan ringan tanpa beban.

"Diam kau! Dasar tidak tahu diri! Caroline bekerja siang malam supaya kau bisa kuliah. Dia jadi tulang punggung keluarga karena kau sebagai lulusan sarjana tidak becus mencari kerja. Saat dia sibuk kau malah merebut pacarnya. Bukankah kau hidup dan makan dari uang Caroline? Beraninya kau membuka mulutmu untuk menghinanya!" Vivian terus memaki dan menyerang Casandra. Dia bahkan menjambak Casandra dengan membabi buta.

"Hentikan! Apa yang kau lakukan! Lepaskan aku!" Casandra berusaha melepaskan diri.

"Vivian, lepaskan dia. Sudahlah, ayo, lepaskan, jangan buang waktu dengan mereka. Sebaiknya kita pergi," Caroline menarik tubuh Vivian agar sahabatnya itu melepas Casandra.

Caroline terus menarik tubuh Vivian untuk menjauh dari Antonie dan Casandra.

"Kalian akan menyesal! Kalian akan menyesalinya!" Vivian terus berteriak dan memaki sekalipun tubuhnya berhasil diseret menjauh oleh Caroline.

"Tenanglah Vivian! Jangan begini. Biarkan saja mereka. Mereka tidak layak," ucap Caroline.

Vivian berusaha menenangkan dirinya ketika Casandra dan Antonie sudah jauh dari pandangan mereka.

"Keterlaluan. Tuhan akan menghukum mereka," Vivian bicara dengan nafas terengah. "Kenapa kau tenang sekali? Harusnya kau memaki mereka lebih keras daripada aku. Apa hatimu tidak sakit?"

"Hatiku sangat sakit. Tapi itu tidak ada gunanya. Aku harus menyimpan tenagaku untuk hal yang lebih penting. Dari sikap dan cara bicara mereka, mereka benar - benar menganggapku tidak penting. Aku harus tunjukkan bahwa itu tidak akan menghancurkanku sama sekali. Aku juga bisa menganggap mereka tidak penting."

"Jika aku jadi kau, aku akan pergi dari rumah. Apa yang bisa Casandra lakukan saat dia tidak punya sumber uang?"

"Dia akan memintanya dari Antonie. Jika aku pergi dari rumah, bagaimana dengan ibu?"

"Benar juga. Bawa ibumu pergi. Ceritakan perbuatan Casandra padanya. Oh, atau mungkin yang lebih tepat adalah usir Casandra dari rumah. Ibumu akan membelamu kan?"

Caroline terdiam. Dia mendadak teringat ucapan ibunya saat di makam. Jika benar dia bukan anak kandung dan ibunya yang mencelakai ayahnya karena membela Casandra, maka tidak mungkin ibu akan membelanya dibanding Casandra.

"Ibu akan sedih. Aku rasa cara ekstrim seperti itu bukan solusi. Aku lelah. Aku ingin cepat pulang dan tidur."

"Baiklah ayo kita pulang saja."

*****

Setibanya di rumah, Jessica sudah tidur dan Casandra belum pulang.

Caroline segera masuk ke kamarnya lalu membaringkan tubuh lelahnya di ranjang hingga dia tertidur.

Pagi harinya, terdengar suara sibuk di dapur yang ternyata adalah Jessica yang sedang memasak banyak hidangan.

Caroline menghampirinya, hendak bertanya ada apa gerangan ibunya memasak begitu banyak menu.

"Kau sudah bangun? Bantu ibu memasak ayam panggang dan kentang tumbuk. Hari ini paman dan bibi Maurel akan berkunjung. Sudah lama mereka tidak ke kota. Kita harus menyambutnya."

Caroline mengangguk mendengar perintah Jessica. Ternyata itu alasannya, paman dan bibinya akan datang. Hal ini membuat suasana hati Caroline semakin tidak enak. Dia tahu, Paman dan Bibi Maurel tidak terlalu menyukainya, mereka seringkali melontarkan ucapan yang menyakitkan.

"Aku tidak lihat Casandra," ucap Caroline memulai pembicaraan sambil menguleni ayam dengan bumbu.

"Dia menginap di rumah temannya," jawab Jessica singkat seolah tidak terlalu peduli.

"Apa temannya itu Antonie?"

Jessica mengangkat kepalanya dari adonan kentang yang dia tumbuk. "Mungkin," jawabnya sambil menunduk dan kembali menumbuk kentang.

"Jadi, rupanya ibu sudah tahu. Ibu tahu bahwa Casandra menjalin hubungan dengan Antonie? Bukankah ibu tahu bahwa Antonie adalah pacarku?"

"Mereka saling mencintai."

"Lalu bagaimana dengan aku? Perasaanku tidak penting? Aku juga anak ibu!"

Jessica masih fokus menumbuk kentang tanpa memberi respon apapun atas ucapan Caroline.

"Kenapa ibu diam? Apa karena aku bukan anak kandung ibu? Aku hanya anak pungut jadi perasaanku tidak penting. Karena itulah Casandra lebih penting. Benarkah begitu?"

"Apa yang kau katakan?" Jessica berhenti menumbuk kentang dan memutar tubuhnya menghadap Caroline.

"Itu yang ibu katakan saat ibu sedang mabuk di makam ayah tempo hari. Ibu bilang aku bukan anak kandung ayah dan ibu. Ayah menemukanku di bak sampah. Aku hanya seorang anak pungut."

Tanpa Caroline duga, Jessica tertawa mendengar penuturannya. "Jadi, aku mengatakannya saat mabuk? Baiklah, berarti kau sudah tahu kebenarannya. Maka aku tidak perlu repot - repot menjelaskan keberpihakanku pada Casandra."

"Apa ibu sama sekali tidak menyayangiku?"

"Berhenti mengoceh! Kau mau membantu memasak atau tidak? Jika kau di sini hanya ingin protes ini itu, lebih baik menjauhlah dari dapur! Aku hanya ingin memasak dengan tenang," Jessica merebut baskom berisi ayam yang sudah dibumbui dari tangan Caroline. "Pergilah! Aku akan masak sendiri."

Caroline melangkah pergi dengan hati yang teriris. Air matanya mulai menetes, dia tidak sanggup menahannya lagi. Dia benar - benar merasa terbuang. Baik Antonie, Casandra dan ibunya, mereka semua menganggapnya tidak penting. Mereka tidak pernah mencintainya.

"Bukan hanya itu yang ibu katakan saat di makam," Caroline menghentikan langkahnya lalu berbalik. "Ibu juga bilang bahwa ibu lah yang mengakhiri hidup ayah. Ibu mengakui bahwa ibu telah membunuh ayah."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status