Jessica nyaris melepas genggamannya pada baskom. Jantungnya berdebar dan tangannya sedikit gemetar.
"Apa itu juga kebenaran?" desak Caroline."Kebenaran atau bukan, tidak ada yang bisa kau lakukan.""Aku akan mencari tahu. Dan jika itu benar, ibu harus mempertanggungjawabkannya di hadapan hukum kerajaan."Jessica tertawa getir. "Apa yang bisa kau lakukan? Kau bahkan tidak punya bukti. Berhenti berkhayal dan jalani hidupmu dengan normal. Kita bertiga bisa hidup normal dan baik - baik saja asal kau tidak serakah untuk mengambil apa yang bukan milikmu.""Tidak. Tidak ada hidup normal setelah ini Bu. Bagaimana bisa hidupku jadi seperti dulu saat aku tahu bahwa aku hanya anak pungut, kekasihku direbut dan kematian ayahku tidak jelas? Silahkan jika Ibu dan Casandra akan hidup normal, aku tidak akan sama seperti dulu," Caroline pergi meninggalkan Jessica yang pura - pura tenang tapi sebenarnya amat cemas.*****Tok Tok Tok!Seseorang mengetuk pintu rumah sore harinya. Jessica membuka pintunya dengan segera."Hai! Kalian tiba lebih cepat dari dugaanku," ucap Jessica dengan merentangkan tangan kepada tamu yang baru saja datang. Sesuai dugaannya, itu adalah adik dan adik iparnya, pasangan Maurel."Di mana Casandra?" tanya Bibi Maurel."Dia belum pulang. Caroline ada di sini," jawab Jessica. "Caroline kemarilah! Paman dan bibimu sudah tiba."Caroline datang dan menyalami paman dan bibinya."Apa kabar paman dan bibi? Senang berjumpa dengan kalian lagi setelah sekian lama," sapanya."Benarkah? Kami baik - baik saja. Bagaimana denganmu? Kau belum menikah? Apa belum ada calonnya?" tanya Bibi Maurel dengan nada yang sangat menyebalkan bagi Caroline."Aku belum punya calon suami," jawab Caroline.'Calon suamiku baru saja direbut oleh keponakan kesayangmu,' ucap Caroline dalam hatinya."Astaga! Bukankah usiamu sudah lebih dari 30 tahun? Kau akan membawa bencana! Ya Tuhan! Kapan pasar pengantin diadakan tahun ini? Kau harus menghadirinya!" saut Paman Maurel.Caroline hanya tersenyum."Sudahlah lupakan dulu masalah itu, ayo masuk. Aku sudah menyiapkan hidangan yang lezat untuk kalian," ujar Jessica.Jessica memandu kedua adiknya untuk menyantap hidangan yang dia masak.Beberapa saat kemudian, seseorang masuk dari pintu utama."Aku pulang," sapa Casandra."Ya Tuhan ini dia keponakanku tersayang. Casandra, dari mana saja kau? Paman dan bibi sudah menunggumu," Bibi Maurel berdiri menyambut Casandra lalu memeluknya dengan hangat."Siapa ini?" tanya Paman Maurel saat melihat seseorang yang datang bersama Casandra."Oh, aku sampai lupa. Perkenalkan, dia Antonie. Dia adalah..." Casandra melirik ke arah Caroline. "...pacarku.""Benarkah? Wah, kau sangat tampan. Ponakanku sangat pintar memilih pasangan. Tapi di sini kau yang beruntung anak muda karena Casandra sangat luar biasa," ujar Bibi Maurel.Antonie hanya tersenyum dan memberi salam kepada Paman dan Bibi Maurel."Caroline, lihatlah Casandra. Dia masih muda tapi dia bisa mencari pasangan yang baik. Kau harus belajar darinya," sambung Paman Maurel."Benar. Casandra luar biasa, dia pintar mencari pasangan," ucap Caroline sambil menyungingkan senyum sinisnya pada Casandra dan Antonie.Basa - basi keluarga itu benar - benar memuakkan bagi Caroline. Baru kali ini Caroline merasa kebencian yang luar biasa kepada orang - orang ini.Dulu dia menerima saja perlakuan Paman dan Bibi Maurel karena dia pikir mereka hanyalah paman dan bibi yang tidak penyayang. Sekarang, dia tahu alasannya, ternyata itu karena mereka tahu dirinya tidak sedarah.Bersama dengan orang - orang munafik ini membuat Caroline ingin muntah.Tok Tok Tok!Pintu kembali diketuk. Kali ini Caroline yang membuka pintu."Apa ini benar kediaman Caroline Walter?" tanya seorang pria dengan pakaian dinas kerajaan yang berdiri di depan pintu rumah Caroline."Ya benar. Itu aku," jawab Caroline."Aku membawa surat perintah dari kerajaan untuk Anda," Pria itu menyodorkan sebuah amplop berisi surat kepada Caroline."Apa ini?""Ini surat perintah untuk menghadiri pasar pengantin pekan depan. Seperti yang Anda ketahui, semua wanita yang belum menikah hingga berusia 30 tahun, harus hadir di pasar pengantin.""Oh. Begitu rupanya. Terimakasih."Caroline menutup pintunya."Benar kan? Terimalah nasibmu dan hadirlah ke pasar pengantin sebelum kau membawa petaka untuk seluruh negeri," ucap Paman Maurel.7 Hari Kemudian"Cantik sekali! Sempurna. Kau seperti puteri kerajaan. Sayang sekali usiaku masih 29 tahun 9 bulan. Jika saja pasar pengantin diadakan 3 bulan lagi, aku akan hadir bersamamu," celoteh Vivian saat menemani Caroline dirias pada pagi hari menjelang pembukaan pasar pengantin. "Tidak ada puteri kerajaan dengan bekas luka bakar di wajah seperti ini," ucap Caroline menyentuh bekas luka di pipi kanannya. "Antonie bilang ini menjijikkan.""Itu bukan hal besar. Jika punya uang, bekas luka itu bisa dengan mudah hilang. Tapi kecantikan alamimu tidak bisa dibeli. Aku yakin hari ini seseorang yang setampan Pangeran William akan meminangmu menjadi istrinya." Caroline tertunduk. Dia tidak yakin akan ada yang tertarik padanya, apalagi yang setampan William Harrington, pangeran negeri ini. Dan kalaupun ada, bisakah dia jatuh cinta lagi saat dia baru saja patah hati karena Antonie. "Ayo bersiap. Sebentar lagi acaranya di mulai," Vivian menuntun Caroline. Di panggung, wakil kerajaan se
"Nona walter? Apa kau mendengarku?" William melambaikan telapak tangannya di depan wajah Caroline yang hanya bengong menatapnya. Vivian menyenggol lengan Caroline agar Caroline secepatnya memberi respon. "Sst! Caroline, Pangeran sedang bicara kepadamu," ucapnya. Caroline tersentak seolah baru disadarkan dari lamunan panjang. "Maafkan saya Yang Mulia. Saya rasa saya hanya kaget dan bingung. Bagaimana mungkin seorang pangeran ingin menikah dengan saya yang hanya rakyat jelata?" William menyunggingkan senyum manisnya. "Nona, bisakah aku bicara berdua dengan Nona Walter?" ucapnya kepada Vivian yang saat ini matanya sudah berkaca - kaca memandangnya dengan tatapan memuja. "Tentu. Tentu Yang Mulia. Silahkan," Vivian pergi menjauh dengan wajah yang ceria luar biasa. Sebelum pergi, dia melontarkan pandangan penuh arti kepada Caroline. Caroline masih tegang. Dia hanya menunggu saja apa yang akan William katakan. "Sebelumnya aku harus minta maaf karena telah mengawasimu selama satu bulan
"Kau mau pergi?" tanya Jessica kepada Caroline yang sedang mengenakan sepatunya. "Iya. Aku harus menemui seseorang," jawab Caroline. "Apa kau akan bertemu dengan Pangeran William?" tanya Casandra dengan nada mengejek. "Benar. Aku tahu kau tidak percaya. Tapi, kau juga harus tahu bahwa aku tidak peduli dengan pendapatmu," jawab Caroline cuek. "Terserah. Bersenang - senanglah menghibur dirimu sendiri," Casandra berlalu sambil membuang muka. "Caroline, santailah sedikit!" ucap Bibi Maurel yang tiba - tiba datang dari kebun belakang rumah. "Aku tahu hidupmu kacau. Pendidikan rendah, tidak cantik, penghasilan pas - pasan dan perawan tua, tapi kau harus tetap waras. Berhentilah berkhayal dan membual soal Pangeran William. Semua orang tahu itu mustahil. Apa yang sedang coba kau perbuat?" "Tenanglah Bi," balas Caroline dengan santai sambil memasang tali sepatunya. "Aku tidak gila. Dan aku tidak butuh sorak sorai dari kalian. Kalian bebas untuk meragukan semua ucapanku ataupun meremehkank
"Di- dia..." Caroline terbata. "Dia adalah Ariana Bellwood," ucap William. "Siapa dia Yang Mulia? Dia sangat mirip dengan saya." "Bukan mirip, tapi sama persis. Dia adalah kekasihku, calon istriku yang seharusnya menjadi puteri kerajaan dua bulan lagi. Tapi seseorang mencoba mencelakainya hingga dia koma seperti sekarang." Caroline masih terdiam menunggu penjelasan lebih lanjut. "Keadaannya yang koma telah aku rahasiakan dari semua orang. Mereka semua berpikir Ariana sedang membantuku menjalankan tugas negara ke New York. Siapa pun yang berusaha membunuhnya pasti sedang mengira bahwa usahanya gagal total. Dia mungkin sedang merencanakan cara lain untuk mencelakai Ariana setelah Ariana kembali." "Berminggu - minggu aku berusaha membuat dia sadar. Aku mendatangkan alat - alat canggih hingga dokter dari luar negeri, tapi semuanya gagal. Lalu, satu bulan yang lalu, aku menerima laporan dari salah satu orangku bahwa ada seorang wanita yang wajahnya sama persis dengan wajah Ariana. Itu
William merengkuh tubuh Caroline hingga tubuh mereka menempel. Satu tangannya melingkar di pinggul sementara tangan yang satu lagi menyentuh tengkuk Caroline. Caroline membeku dan tubuhnya terasa kaku. Dia bingung bagaimana akan merespon selain menerima ciuman itu dengan canggung. Setelah beberapa saat mengecup bibir manis Caroline, William melepas tautan bibir mereka dan berkata, "Apa yang kau rasakan Nona Walter?" Caroline mengerjapkan matanya. Sejujurnya dia bingung akan menjawab apa. Tidak ingin ambil pusing, Caroline hanya menjawab, "Tidak ada. Saya... tidak merasakan apapun Yang Mulia." "Bagus! Kau lulus ujian. Pertahankan seperti itu untuk seterusnya. Ke depannya, di saat - saat tertentu kita mungkin harus terpaksa berciuman. Saat itu terjadi, jangan pernah merasakan apapun. Ingat perjanjian kita, no love, no sex." Caroline mengangguk. "Baik Yang Mulia." "Oh ya, berlatihlah mulai sekarang memanggilku William. Atau mungkin Will. Panggil aku Will! Karena begitulah Ariana me
"Lihatlah dia! Dia masih terus mengigau tentang pangeran," cibir Casandra. "Biarkah saja. Nanti juga dia lelah sendiri. Ayo kita bersiap untuk arisan saja," ucap Jessica. Tok! Tok! Tok!Seseorang mengetuk pintu. "Siapa itu?" gumam Jessica. "Casandra coba bukalah pintunya!" Casandra mengikuti perintah Jessica untuk membuka pintu. Dia mendapati seorang pria muda berpakaian jas berdiri tepat di depan pintu. "Siapa ya? Mencari siapa?" tanya Casandra. "Saya ditugaskan untuk menjemput Nona Caroline Walter dan membantunya pindah ke rumah baru," jawab pria itu. "Caroline Walter? Siapa itu? Tidak ada yang bernama Carolin di sini," saut Jessica saat Casandra terlihat kebingungan dan tidak memberi jawaban apapun. "Bukankah ini kediaman keluarga Walter?" "Benar. Tapi tidak ada yang bernama Caroline," Jessica terus berpura - pura. "Nyonya, kemarin saya menjemput Nona Caroline di rumah ini juga. Kau lihatlah ini," Pria itu menunjukkan lencana kerajaan di dadanya kirinya. "Aku ditugaskan
Casandra menelan ludahnya. Tubuhnya menjadi kaku seperti patung. Dia syok mendengar penuturan William. Jessica tidak ada pilihan lain selain bangkit dan dengan tergesa membuka pintu kamar Caroline. Caroline segera berlari menuju William."Will!" panggilnya. Sengaja ingin menunjukkan kedekatannya dengan William. "Kau baik - baik saja Carol?" William merangkul Caroline di hadapan semua orang, membuat semua mata melotot tidak percaya. Caroline hanya mengangguk. "Apa kita akan berangkat sekarang?" "Tentu saja. Ayo!" William menuntun Caroline. "Tunggu!" ucap Jessica. "Yang Mulia, bukankah Anda mengatakan akan menikahi Caroline kami? Lantas, bukankah itu artinya kita akan menjadi keluarga? Lebih baik kita makan bersama untuk saling mengakrabkan diri bukan?" Casandra mengangguk - angguk dengan semangat. "Hmm... itu tergantung jawaban Caroline. Carol, katakan padaku, apa mereka keluargamu?" Caroline men
"Sudah matang semuanya, sini makanlah!" William meletakkan hasil masakannya di meja makan. "Wah! Kelihatan enak," Caroline mendudukkan dirinya di kursi makan. William mulai melahap isi makanan dalam piringnya. "Ayo makanlah! Apa kau tidak suka pasta?" "Tidak. Aku sangat suka pasta. Aku hanya sedikit canggung. Aku makan semeja dengan seorang putera mahkota dan makanan ini dia yang masak." "Bukankah aku sudah bilang untuk membiasakan dirimu?" William terlihat cuek dan terus menyantap makanannya. "Kau benar. Aku hanya belum terbiasa. Dan... kau agak berbeda dengan citra pangeran yang ada di pikiranku." "Memangnya seperti apa citra pangeran yang kau tahu?" William menatap Caroline dengan penasaran. "Hmm... aku pikir seorang pangeran hanya ingin dilayani. Lalu jika dia keluar, akan ada banyak bodyguard yang mengikutinya. Dan terhadap para perempuan, dia akan bersikap sedingin es." William tertawa. Ini bukan k