7 Hari Kemudian
"Cantik sekali! Sempurna. Kau seperti puteri kerajaan. Sayang sekali usiaku masih 29 tahun 9 bulan. Jika saja pasar pengantin diadakan 3 bulan lagi, aku akan hadir bersamamu," celoteh Vivian saat menemani Caroline dirias pada pagi hari menjelang pembukaan pasar pengantin."Tidak ada puteri kerajaan dengan bekas luka bakar di wajah seperti ini," ucap Caroline menyentuh bekas luka di pipi kanannya. "Antonie bilang ini menjijikkan.""Itu bukan hal besar. Jika punya uang, bekas luka itu bisa dengan mudah hilang. Tapi kecantikan alamimu tidak bisa dibeli. Aku yakin hari ini seseorang yang setampan Pangeran William akan meminangmu menjadi istrinya."Caroline tertunduk. Dia tidak yakin akan ada yang tertarik padanya, apalagi yang setampan William Harrington, pangeran negeri ini. Dan kalaupun ada, bisakah dia jatuh cinta lagi saat dia baru saja patah hati karena Antonie."Ayo bersiap. Sebentar lagi acaranya di mulai," Vivian menuntun Caroline.Di panggung, wakil kerajaan sedang membuka acara. Beberapa petugas wara - wiri melakukan pemeriksaan identitas dan presensi."Siapa namamu?" tanya seorang petugas yang menghampiri Caroline."Caroline Walter.""Sebentar, biar kuperiksa. Nah, ini dia. Caroline Walter puteri dari James Walter dan Jessica John?""Ya benar," Caroline mengangguk."Baiklah tunjukkan kartu identitasmu. Aku harus mencocokkannya."Caroline mengikuti arahan petugas."Oke sudah cocok semuanya. Di mana keluargamu? Di sini tertulis kau masih memiliki ibu dan adik perempuan," tanya petugas itu."Mereka tidak bisa hadir," jawab Caroline."Aku menggantikan keluarga Walter untuk menemani Caroline," saut Vivian."Baiklah, silahkan tanda tangan di sini dan ambil kartu pendampingmu," Petugas menyerahkan selembar kertas untuk ditandatangani oleh Vivian."Baiklah. Sudah lengkap semua. Pakailah mahkota ini Nona Walter sebagai tanda kau adalah peserta. Semoga keberuntungan menghampirimu hari ini," Setelah menjalankan tugasnya, petugas itu pun pergi lalu menghampiri peserta lain.Setelah melalui pendataan, Caroline dan Vivian memasuki area pasar pengantin. Di dalam lapangan luas yang sudah di dekorasi ala kerajaan, banyak orang lalu lalang. Beberapa di antara mereka adalah keluarga peserta perempuan dan beberapa dari pihak pria yang mencari pasangan.Hingga menjelang sore hari, tidak ada satu pun orang yang mengajak Caroline bicara baik pria ataupun keluarga pria."Apa yang mereka semua lakukan? Mereka lebih suka gadis - gadis dengan dandanan menor dan wajah palsu," protes Vivian."Sudahlah. Biarkan saja. Aku tidak berharap dapat pasangan dari acara ini. Jika aku tidak mendapat pasangan dan semua orang memaksaku menikah, aku mungkin akan kabur ke luar negeri," ucap Caroline."Kau benar. Ternyata acara ini tidak ada gunanya. Mata laki - laki sekarang sudah buta. Kabur saja ke luar negeri. Para feminis yang menentang trandisi ini pasti akan membantu kita," celoteh Vivian."Permisi," seorang pria datang mendekat. "Bolehkah aku berkenalan denganmu?""Boleh, nama dia Caroline Walter," ucap Vivian."Bukan dia, tapi kau. Aku ingin berkenalan denganmu," ucap lelaki itu lagi sambil mengulurkan tangan kepada Vivian."Apa kau bodoh? Aku tidak memakai mahkota. Aku bukan peserta! Enyahlah kau bodoh!" Vivian mengusir lelaki itu dengan kasar.Lelaki itu terlihat kecewa namun akhirnya dia pergi juga."Jangan terlalu kasar Vivian. Dia hanya tertarik padamu dan ingin berkenalan.""Jika hanya ingin berkenalan dengan sembarang perempuan untuk apa datang kemari? Harusnya dia fokus pada yang menjadi peserta di acara ini."Caroline tersenyum melihat tingkah sahabatnya dan super semangat mencarikannya jodoh."Lihat itu, dengan luka seperti itu apa mungkin dia akan laku?" ucap seorang bibi - bibi tidak jauh dari tempat Caroline dan Vivian. Pandangan matanya mengarah ke Caroline.Suara bibi itu terlalu keras untuk disebut sebagai bisikan. Caroline dan Vivian bisa mendengarnya dengan sangat jelas."Apa lihat - lihat!? Apa wanita tua seperti kalian tidak punya pekerjaan lain selain membicarakan orang lain? Bukankah kalian lebih baik fokus meminum minuman herbal agar tulang - tulang kalian tidak keropos?" saut Vivian yang emosinya tersulut mendengar ocehan bibi itu.Vivian bahkan hendak menghampiri bibi itu namun dicegah oleh Caroline."Vivian, ini acara kerajaan. Lebih baik jangan membuat keributan."Vivian mengurungkan niatnya dan memilih mendengarkan Caroline. Dia mengatur nafas untuk meredakan emosinya.Namun, hingga menjelang tengah malam, masih tidak ada seorang pun yang menghampiri Caroline. Beberapa lelaki yang awalnya mendekat mendadak mundur saat mereka melihat bekas luka Caroline.Di menit - menit terakhir upacara pasar pengantin, Caroline sudah merasa sangat lelah. Dia mulai merasa dandannya berat dan ingin segera bersantai di kamarnya.Sebenarnya, Caroline memang tidak berharap menemukan cinta pada acara ini. Hanya saja, melihat kenyataan semua orang jijik melihatnya cukup membuat hatinya merasa merana."Lima belas menit lagi acara akan ditutup. Sudah sangat sepi di sini. Sudah banyak yang menemukan calon pasangan. Hanya ada beberapa orang lagi termasuk kita. Benar - benar melelahkan," ucap Vivian."Beberapa dari mereka memutuskan untuk pulang lebih awal. Apa menurutmu kita juga harus pulang lebih awal?" tanya Caroline."Baiklah. Ayo pulang saja. Sudah lebih dari 15 jam kita di sini, 15 menit lagi tidak akan ada bedanya."Caroline mengangguk setuju. Mereka pun bersiap untuk pulang.Saat mereka baru saja keluar dari pintu keluar, sebuah limosin berhenti menghadang langkah mereka.Sopir dari Limosin itu turun dan membuka pintu penumpang. Seorang pria dengan tuksedo mahal turun dari kursi penumpang.Pria itu terlihat sangat maskulin. Matanya yang biru, hidung mancung dan rahangnya yang tegas membuat ketampanannya tak terelakkan."I- itu, bukankah itu William Harrington? Pangeran William?" ucap Vivian terbata. Matanya melotot dan bibirnya menganga menatap Sang Pangeran yang hanya berjarak beberapa meter di depannya."Benar. Itu dia. Apa yang dia lakukan di sini? Menurutmu kita harus menyingkir? Sepertinya kita akan menghalangi jalannya.""Benar. Kita minggir saja. Ayo," Vivian menarik Caroline."Tunggu!" seorang pria memanggil Caroline dan Vivian, membuat langkah kedua gadis itu terhenti."Pangeran William ingin bicara. Tetaplah di tempat kalian," ucap Pria itu.Vivian dan Caroline bertukar pandangan. Mereka ragu, namun tidak bisa melawan perintah.William berjalan dengan anggun menghampiri mereka hingga dia berhenti tepat di hadapan Caroline."Caroline Walter?" ucapnya."Ya benar Yang Mulia," jawab Caroline."Aku menghadiri pasar pengantin hari ini untuk meminangmu Nona Walter," ungkap William.Caroline dan Vivian terpaku. Mulut mereka menganga, merasa tidak percaya dengan apa yang mereka dengar."Ma- Maaf yang Mulia, saya pikir saya salah tangkap. Apakah Yang Mulia berkenan mengulang perkataan Anda barusan?" Caroline bicara dengan sedikit terbata."Aku bilang, aku ke sini untuk meminangmu. Caroline Walter, menikahlah denganku dan menjadi puteri di Kerajaan Amber Hill."Caroline terus mendesah. Mengeluarkan suara seksi yang membuat gairah William semakin memuncak. Dia memiliki keinginan yang besar untuk menghentikan aktifitas ini secepatnya agar mereka tidak semakin jauh. Namun sentuhan William seolah menjadi candu yang baru bagi Caroline. "Aku... tidak bisa..." ucap Caroline yang tentu saja berkebalikan dengan isi hatinya. Kini, William telah melepaskan celana dalam Victoria Secret yang dia kenakan dan mulai memainkan jari - jarinya di antara kedua paha Caroline. "Ini sangat basah, ternyata kau juga menginginkannya Caroline," ucap William lirih. Kalimat - kalimat erotis yang keluar dari bisikan William membuat Caroline semakin sulit untuk menguasai dirinya. "Hentikan William, kita tidak boleh begini... kita tidak bisa aakh..." ucapan Caroline terputus dengan lenguhan nikmatnya karena William tiba - tiba melesakkan miliknya di bawah sana. "Akh... William, apa yang kau lakukan? Itu... sakit..." Caroline merintih. William sedikit terkejut karena
"Eeengh...," Caroline merintih saat dirinya berusaha keras untuk tersadar dari koma. "Kau sudah bangun?" William segera menekan tombol perawat saat melihat tanda - tanda kesadaran pada Caroline. Segera, dokter kerajaan masuk bersama beberapa orang perawat. Mereka melakukan beberapa pemeriksaan pada Caroline. Suara para tenaga kesehatan dan juga gumaman William terdengar samar - samar di telinga Caroline. Pergerakan mereka juga tidak lebih dari sekedar bayangan yang saling bekelebat. Caroline masih belum punya tenaga untuk tersadar sepenuhnya. Matanya masih berat dan badannya masih sulit digerakkan. Dalam waktu singkat, dia kembali pingsan. *****Caroline terbangun lagi di ruangan yang berbeda dari sebelumnya. Tidak seperti percobaan pertama, tubuhnya kali ini terasa lebih ringan walaupun masih susah digerakkan. "Caroline, kau sudah sadar? Apa kau bisa mendengarku?" tanya William. "Ya, aku bisa mendengarmu," jawab C
Jantung Caroline berdetak kencang menunggu bukti apa gerangan yang akan Daniel berikan. "Aku punya banyak foto dan video kebersamaan kita. Kau bisa menilai sedekat apa kita. Kau juga bisa melihat tanggal foto dan video ini diambil. Kau akan tahu bahwa kita masih bersama saat kau sudah menjadi tunangan William," Daniel menyerahkan ponselnya yang telah membuka sebuah folder kepada Caroline. Caroline dibuat terperangah oleh foto - foto dan video itu. Siapapun yang melihat gambar - gambar ini tidak akan percaya bahwa Daniel dan Ariana hanya teman biasa. "Ki- kita terlihat sangat akrab," komentar Caroline."Akrab? Menurutmu hanya akrab?" Daniel mengulas senyum miringnya. "Bagaimana dengan video yang ini?" Daniel menunjukkan satu video lagi. Hanya saja, video kali ini tidak dia simpan di folder yang sama dengan video sebelumnya, melainkan tersimpan di folder privat yang memerlukan kata sandi saat membukanya. Caroline memutar video itu dan jantungnya serasa nyaris melompat dari dadanya.
"Ya. Aku memang menemui mereka beberapa hari yang lalu," Caroline menunduk. Tidak ada gunanya mengelak, semua bukti sudah sangat jelas. "Lantas, kenapa kau tidak melapor padaku? Sebenarnya apa yang kalian bicarakan?" William tidak akan berhenti mencerca Caroline sampai dia mendapatkan jawaban sejelas yang dia mau. "Banyak hal. Kau ingin tahu?" "Ya! Semuanya, ceritakan padaku!" "Baiklah," Caroline mendudukkan dirinya di sofa sebelum dia mulai bicara. William juga duduk di sofa lain yang berada di hadapan Caroline. Jika perbincangan ini akan panjang, dia sudah siap. "Katakanlah!" "Pertama kami membicarakan mengenai hubungan Ariana dan Daniel," Caroline mulai bercerita. Belum apa - apa, William sudah mendengus. "Memangnya apa hubungan mereka? Mereka hanya teman saat kuliah. Kurasa Daniel terobsesi pada Ana." "Jadi, kau mau mendengarku atau tidak? Jika kau hanya ingin mengoceh sendiri maka lupakan saja! Aku tidak akan memberitahumu apapun.""Oke oke baiklah. Teruskan! Aku akan di
"Caroline! Ada apa!?" William segera berlari dan mengetuk pintu kamar mandi. "Aw! Sakit!" rintih Caroline dari dalam kamar mandi. "Caroline, apa yang terjadi?" Tidak ada jawaban dari Caroline selain suara rintih kesakitannya yang terdengar. William mulai panik. Dia tidak ingin mengambil resiko. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada Caroline, maka semua rencananya akan gagal. Maka, dengan sigap, William mendobrak pintu kamar mandi hingga terbuka dengan paksa. "Ah! Apa yang kau lakukan?" Caroline yang terduduk di lantai dalam keadaan tanpa busana dengan panik meraih handuk untuk menutupi tubuhnya. William segera membalikkan badannya secara otomatis. Sejujurnya, ruang kamar mandi pun masih gelap karena lampu belum menyala. William pun tidak melihat apa pun. "Dasar cabul! Kenapa kau menerobos ke kamar mandi saat seorang perempuan sedang mandi?" rutuk Caroline. "Diamlah! Segera pakai handukmu!" "Sudah. Aw!" Caroline berteriak kesakitan lagi saat dia mencoba untuk berdiri. William
'Apa yang kau rasakan?' Caroline ingat saat ciuman pertamanya dengan William dulu, itulah kalimat yang lelaki itu tanyakan. Dulu, tujuannya adalah untuk menguji Caroline. Namun kalimat itu tanpa sengaja terngiang kembali di dalam kepala Caroline, seolah William benar - benar sedang menanyakannya. "Aku tidak merasa biasa saja," gumam Caroline dengan sangat lirih begitu dirinya dan William berhenti berciuman. William tentu saja tidak mendengar gumaman Caroline. Terlebih, tepuk tangan para tamu terdengar amat riuh. Mata Caroline tertunduk. Dia merasa sangat sial, bisa - bisanya jantungnya berdebar kencang saat William mendaratkan bibirnya. Berlainan dengan ekspresi Caroline, semua orang terlihat senang. Bahkan William pun terlihat senang. Lelaki itu benar - benar pandai berakting. Setelah upacara pemberkatan, Caroline menjalani pengukuhan sebagai putri kerajaan. Upacara pengukuhan itu lebih lama, kaku dan melelahkan daripada upacara pemberkatan pernikahannya. Bahkan setelah sele