"Nona walter? Apa kau mendengarku?" William melambaikan telapak tangannya di depan wajah Caroline yang hanya bengong menatapnya.
Vivian menyenggol lengan Caroline agar Caroline secepatnya memberi respon."Sst! Caroline, Pangeran sedang bicara kepadamu," ucapnya.Caroline tersentak seolah baru disadarkan dari lamunan panjang. "Maafkan saya Yang Mulia. Saya rasa saya hanya kaget dan bingung. Bagaimana mungkin seorang pangeran ingin menikah dengan saya yang hanya rakyat jelata?"William menyunggingkan senyum manisnya. "Nona, bisakah aku bicara berdua dengan Nona Walter?" ucapnya kepada Vivian yang saat ini matanya sudah berkaca - kaca memandangnya dengan tatapan memuja."Tentu. Tentu Yang Mulia. Silahkan," Vivian pergi menjauh dengan wajah yang ceria luar biasa. Sebelum pergi, dia melontarkan pandangan penuh arti kepada Caroline.Caroline masih tegang. Dia hanya menunggu saja apa yang akan William katakan."Sebelumnya aku harus minta maaf karena telah mengawasimu selama satu bulan ke belakang," William memulai pembicaraan."Anda mengawasi saya?""Ya, Nona Walter. Dan karena itulah aku sedikit banyak tahu tentang latar belakangmu. Aku tahu kau putus sekolah saat kau berada di level menengah atas padahal kau adalah siswa yang pintar. Aku tahu siapa saja keluarga intimu, alamatmu, tempatmu bekerja. Dan aku juga tahu tentang pengkhianatan mantan kekasihmu, Antonie Sebastian.""Tapi... untuk apa Anda mencari tahu semua itu?""Karena kau adalah orang penting bagiku. Tapi sebelum ke topik itu, lihatlah ini dulu," William menyodorkan sebuah ponsel kepada Caroline.Caroline meraihnya. Ada sebuah video yang belum berjalan. Saat Caroline menekan tombol play, jantungnya seperti tertonjok dengan keras. Itu adalah video dirinya yang sedang berbincang dengan Jessica di makam."Ini... Anda mengawasi saya ketika saya dan ibu saya ada di makam ayah?""Lebih tepatnya, orang suruhanku yang mengawasimu dan merekamnya. Seperti yang kau lihat, ibumu bisa saja benar - benar menghabisi nyawa ayahmu. Aku bisa membantumu mencari tahu dan membuat ibumu mendapat hukuman yang setimpal untuknya seandainya memang benar dia pelakunya."Caroline mengalihkan tatapannya dari ponsel ke wajah tampan William. "Benarkah?""Ya. Dan tentu saja, jika kau punya dendam kepada adik dan mantan kekasihmu, aku juga bisa membantumu memberi mereka pelajaran. Nona Walter, jadilah puteri di kerajaanku dan aku akan memberimu uang sebanyak yang kau inginkan serta membantumu membalaskan dendammu kepada ibu, adik dan mantan kekasihmu. Tapi, kau harus menjalankan misi dariku.""Anda akan memberiku uang sebanyak yang saya mau?""Ya.""Bagaimana jika saya minta satu juta dolar?"William tersenyum. "Itu mudah. Aku akan menjadikannya jatah bulananmu.""Bulanan? Apa maksudnya saya akan diberi uang satu juta dolar perbulan?""Benar."Caroline melotot dan menutup mulutnya karena syok. "Anda tidak sedang mempermainkan saya kan?""Tentu saja tidak. Aku seorang pangeran. Sebagai keluarga kerajaan, aku selalu dituntut untuk menepati janji yang aku ucapkan.""Ya Tuhan, apa saya sedang bermimpi?""Tidak, kau tidak sedang bermimpi.""Baiklah. Lalu, misi apa yang harus saya lakukan? Saya harus tahu misi itu dengan jelas supaya saya bisa menilai apakah saya sanggup untuk menjalankannya dan apakah bayaran yang saya terima layak untuknya. Bukankah satu juta dolar perbulan adalah nilai yang besar? Pasti misi itu sangat sulit bukan?"William tertawa kecil. "Ternyata benar. Kau memang pintar. Mari bertemu lagi esok hari. Aku akan meminta sopir menjemputmu pukul 9 pagi. Aku akan menjelaskan semuanya dengan detail. Setelah itu, kau bisa memutuskan apakah kau akan menerima tawaranku atau tidak.""Baiklah. Besok jam 9 pagi. Di mana saya akan di jemput?""Tunggulah di rumahmu. Sopirku yang akan menjemputmu di sana.""Baik Yang Mulia."William mengangguk lalu memberi tanda kepada pengawalnya bahwa dia sudah selesai berbicara dengan Caroline.Sang Pangeran pun masuk kembali ke dalam limosinnya dan pergi meninggalkan Caroline.Vivian keluar dari persembunyiannya dan segera berlari kecil menghampiri Caroline."Caroline! Apa yang dia katakan? Dia sungguh - sungguh ingin menikahimu?""Itu yang Pangeran katakan. Dia bahkan berjanji memberiku uang satu juta dolar perbulan.""Ya Tuhan! Ini seperti mimpi! Kau harus menerimanya. Setelah itu kau akan kaya raya dan menjadi seorang puteri. Kau bisa menutup mulut Casandra dan semua orang yang menyebalkan itu. Lalu, aku akan menjadi teman seorang puteri kerajaan," Vivian memandang langit sambil berkhayal. "Aku sangat bersemangat. Jika kau jadi puteri, kau tidak akan melupakanku kan?""Tentu saja tidak! Kau adalah teman terbaikku. Tapi ada yang belum kau tahu. Pangeran bilang aku bisa menjadi puteri dan mendapat satu juta dolar asal aku menjalankan misi darinya.""Misi? Misi apa?""Itu yang belum aku ketahui. Tapi besok pukul 9 pagi kami akan bertemu lagi untuk membicarakannya.""Bagus! Perhatikan baik - baik semua penjelasannya. Jangan sampai terlewat sedikitpun. Pastikan misinya masuk akal. Jangan mau jika harus mengorbankan nyawamu.""Tentu saja. Aku tidak akan ceroboh.""Bagus. Sekarang ayo kita pulang."Caroline yang tadinya sudah amat lelah dan mengantuk, menjadi bersemangat kembali karena memikirkan uang satu juta dolar yang akan jadi miliknya.Dia tidak pernah melihat uang sebanyak itu. Tapi jika dia menerima tugas dari Pangeran William, dia akan segera memilikinya.Namin, dia menjadi was - was, apa misi yang Pangeran maksud? Mampukah dia menjalankannya?Caroline memikirkan begitu banyak hal hingga dia tidak sadar bahwa busnya sudah berhenti di dekat rumahnya.Caroline turun dan berjalan menuju rumahnya. Dia pikir, semua orang pasti sudah tidur saat tengah malam seperti ini. Namun, ternyata dia salah."Kau sudah pulang?" Jessica menyapanya di ruang tamu yang lampunya masih menyala dengan terang benderang."Ya. Kalian belum tidur?" tanya Caroline yang melihat semua anggota keluarganya lengkap dengan Paman dan Bibi Maurel berkumpul di ruang tamu."Kami menunggumu karena penasaran," jawab Casandra."Aku dan pamanmu sengaja menunda kepulangan kita untuk mengetahui hasil dari upacara pasar pengantin yang kau hadiri," ucap Bibi Maurel.Caroline menyunggingkan senyumnya. Dia pikir mereka hanya menunggu kesempatan untuk menertawakannya saja."Bagaimana?" tanya Bibi Maurel. "Laki - laki mana yang berminat untuk menikahimu?""Pangeran William," jawab Caroline cuek dan asal. Dia tidak berharap mereka akan mempercayai ucapannya. Dia hanya menjawab pertanyaan dengan jujur.Semua orang tertawa terbahak - bahak. "Lalu, apa kau akan diberi uang saku satu juta dolar perbulan?" saut Paman Maurel yang membuat gelak tawa semakin kencang terdengar."Paman benar. Besok orang kerajaan akan menjemputku untuk bertemu dengan Pangeran."Semua orang tertawa lagi."Caroline, beristirahatlah. Tidak mengapa jika tidak ada laki - laki yang mau denganmu, jangan terlalu stress. Masuklah ke kamar!" ucap Jessica melunak. Yang lain berhenti tertawa namun wajah mereka masih menunjukkan cemoohan terhadap Caroline."Oke," Caroline tidak peduli. Dia pergi ke kamarnya."Kasihan dia. Lama - lama dia benar - benar akan menjadi gila," Caroline mendengar ucapan Casandra saat dia hendak membuka pintu kamarnya.Caroline menghela nafas. Dia tidak akan ambil pusing. Dia memutuskan untuk istirahat mempersiapkan dirinya menemui William Harrington esok hari.Caroline terus mendesah. Mengeluarkan suara seksi yang membuat gairah William semakin memuncak. Dia memiliki keinginan yang besar untuk menghentikan aktifitas ini secepatnya agar mereka tidak semakin jauh. Namun sentuhan William seolah menjadi candu yang baru bagi Caroline. "Aku... tidak bisa..." ucap Caroline yang tentu saja berkebalikan dengan isi hatinya. Kini, William telah melepaskan celana dalam Victoria Secret yang dia kenakan dan mulai memainkan jari - jarinya di antara kedua paha Caroline. "Ini sangat basah, ternyata kau juga menginginkannya Caroline," ucap William lirih. Kalimat - kalimat erotis yang keluar dari bisikan William membuat Caroline semakin sulit untuk menguasai dirinya. "Hentikan William, kita tidak boleh begini... kita tidak bisa aakh..." ucapan Caroline terputus dengan lenguhan nikmatnya karena William tiba - tiba melesakkan miliknya di bawah sana. "Akh... William, apa yang kau lakukan? Itu... sakit..." Caroline merintih. William sedikit terkejut karena
"Eeengh...," Caroline merintih saat dirinya berusaha keras untuk tersadar dari koma. "Kau sudah bangun?" William segera menekan tombol perawat saat melihat tanda - tanda kesadaran pada Caroline. Segera, dokter kerajaan masuk bersama beberapa orang perawat. Mereka melakukan beberapa pemeriksaan pada Caroline. Suara para tenaga kesehatan dan juga gumaman William terdengar samar - samar di telinga Caroline. Pergerakan mereka juga tidak lebih dari sekedar bayangan yang saling bekelebat. Caroline masih belum punya tenaga untuk tersadar sepenuhnya. Matanya masih berat dan badannya masih sulit digerakkan. Dalam waktu singkat, dia kembali pingsan. *****Caroline terbangun lagi di ruangan yang berbeda dari sebelumnya. Tidak seperti percobaan pertama, tubuhnya kali ini terasa lebih ringan walaupun masih susah digerakkan. "Caroline, kau sudah sadar? Apa kau bisa mendengarku?" tanya William. "Ya, aku bisa mendengarmu," jawab C
Jantung Caroline berdetak kencang menunggu bukti apa gerangan yang akan Daniel berikan. "Aku punya banyak foto dan video kebersamaan kita. Kau bisa menilai sedekat apa kita. Kau juga bisa melihat tanggal foto dan video ini diambil. Kau akan tahu bahwa kita masih bersama saat kau sudah menjadi tunangan William," Daniel menyerahkan ponselnya yang telah membuka sebuah folder kepada Caroline. Caroline dibuat terperangah oleh foto - foto dan video itu. Siapapun yang melihat gambar - gambar ini tidak akan percaya bahwa Daniel dan Ariana hanya teman biasa. "Ki- kita terlihat sangat akrab," komentar Caroline."Akrab? Menurutmu hanya akrab?" Daniel mengulas senyum miringnya. "Bagaimana dengan video yang ini?" Daniel menunjukkan satu video lagi. Hanya saja, video kali ini tidak dia simpan di folder yang sama dengan video sebelumnya, melainkan tersimpan di folder privat yang memerlukan kata sandi saat membukanya. Caroline memutar video itu dan jantungnya serasa nyaris melompat dari dadanya.
"Ya. Aku memang menemui mereka beberapa hari yang lalu," Caroline menunduk. Tidak ada gunanya mengelak, semua bukti sudah sangat jelas. "Lantas, kenapa kau tidak melapor padaku? Sebenarnya apa yang kalian bicarakan?" William tidak akan berhenti mencerca Caroline sampai dia mendapatkan jawaban sejelas yang dia mau. "Banyak hal. Kau ingin tahu?" "Ya! Semuanya, ceritakan padaku!" "Baiklah," Caroline mendudukkan dirinya di sofa sebelum dia mulai bicara. William juga duduk di sofa lain yang berada di hadapan Caroline. Jika perbincangan ini akan panjang, dia sudah siap. "Katakanlah!" "Pertama kami membicarakan mengenai hubungan Ariana dan Daniel," Caroline mulai bercerita. Belum apa - apa, William sudah mendengus. "Memangnya apa hubungan mereka? Mereka hanya teman saat kuliah. Kurasa Daniel terobsesi pada Ana." "Jadi, kau mau mendengarku atau tidak? Jika kau hanya ingin mengoceh sendiri maka lupakan saja! Aku tidak akan memberitahumu apapun.""Oke oke baiklah. Teruskan! Aku akan di
"Caroline! Ada apa!?" William segera berlari dan mengetuk pintu kamar mandi. "Aw! Sakit!" rintih Caroline dari dalam kamar mandi. "Caroline, apa yang terjadi?" Tidak ada jawaban dari Caroline selain suara rintih kesakitannya yang terdengar. William mulai panik. Dia tidak ingin mengambil resiko. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada Caroline, maka semua rencananya akan gagal. Maka, dengan sigap, William mendobrak pintu kamar mandi hingga terbuka dengan paksa. "Ah! Apa yang kau lakukan?" Caroline yang terduduk di lantai dalam keadaan tanpa busana dengan panik meraih handuk untuk menutupi tubuhnya. William segera membalikkan badannya secara otomatis. Sejujurnya, ruang kamar mandi pun masih gelap karena lampu belum menyala. William pun tidak melihat apa pun. "Dasar cabul! Kenapa kau menerobos ke kamar mandi saat seorang perempuan sedang mandi?" rutuk Caroline. "Diamlah! Segera pakai handukmu!" "Sudah. Aw!" Caroline berteriak kesakitan lagi saat dia mencoba untuk berdiri. William
'Apa yang kau rasakan?' Caroline ingat saat ciuman pertamanya dengan William dulu, itulah kalimat yang lelaki itu tanyakan. Dulu, tujuannya adalah untuk menguji Caroline. Namun kalimat itu tanpa sengaja terngiang kembali di dalam kepala Caroline, seolah William benar - benar sedang menanyakannya. "Aku tidak merasa biasa saja," gumam Caroline dengan sangat lirih begitu dirinya dan William berhenti berciuman. William tentu saja tidak mendengar gumaman Caroline. Terlebih, tepuk tangan para tamu terdengar amat riuh. Mata Caroline tertunduk. Dia merasa sangat sial, bisa - bisanya jantungnya berdebar kencang saat William mendaratkan bibirnya. Berlainan dengan ekspresi Caroline, semua orang terlihat senang. Bahkan William pun terlihat senang. Lelaki itu benar - benar pandai berakting. Setelah upacara pemberkatan, Caroline menjalani pengukuhan sebagai putri kerajaan. Upacara pengukuhan itu lebih lama, kaku dan melelahkan daripada upacara pemberkatan pernikahannya. Bahkan setelah sele