Share

Bab 7 Kejutan

"Nona walter? Apa kau mendengarku?" William melambaikan telapak tangannya di depan wajah Caroline yang hanya bengong menatapnya.

Vivian menyenggol lengan Caroline agar Caroline secepatnya memberi respon.

"Sst! Caroline, Pangeran sedang bicara kepadamu," ucapnya.

Caroline tersentak seolah baru disadarkan dari lamunan panjang. "Maafkan saya Yang Mulia. Saya rasa saya hanya kaget dan bingung. Bagaimana mungkin seorang pangeran ingin menikah dengan saya yang hanya rakyat jelata?"

William menyunggingkan senyum manisnya. "Nona, bisakah aku bicara berdua dengan Nona Walter?" ucapnya kepada Vivian yang saat ini matanya sudah berkaca - kaca memandangnya dengan tatapan memuja.

"Tentu. Tentu Yang Mulia. Silahkan," Vivian pergi menjauh dengan wajah yang ceria luar biasa. Sebelum pergi, dia melontarkan pandangan penuh arti kepada Caroline.

Caroline masih tegang. Dia hanya menunggu saja apa yang akan William katakan.

"Sebelumnya aku harus minta maaf karena telah mengawasimu selama satu bulan ke belakang," William memulai pembicaraan.

"Anda mengawasi saya?"

"Ya, Nona Walter. Dan karena itulah aku sedikit banyak tahu tentang latar belakangmu. Aku tahu kau putus sekolah saat kau berada di level menengah atas padahal kau adalah siswa yang pintar. Aku tahu siapa saja keluarga intimu, alamatmu, tempatmu bekerja. Dan aku juga tahu tentang pengkhianatan mantan kekasihmu, Antonie Sebastian."

"Tapi... untuk apa Anda mencari tahu semua itu?"

"Karena kau adalah orang penting bagiku. Tapi sebelum ke topik itu, lihatlah ini dulu," William menyodorkan sebuah ponsel kepada Caroline.

Caroline meraihnya. Ada sebuah video yang belum berjalan. Saat Caroline menekan tombol play, jantungnya seperti tertonjok dengan keras. Itu adalah video dirinya yang sedang berbincang dengan Jessica di makam.

"Ini... Anda mengawasi saya ketika saya dan ibu saya ada di makam ayah?"

"Lebih tepatnya, orang suruhanku yang mengawasimu dan merekamnya. Seperti yang kau lihat, ibumu bisa saja benar - benar menghabisi nyawa ayahmu. Aku bisa membantumu mencari tahu dan membuat ibumu mendapat hukuman yang setimpal untuknya seandainya memang benar dia pelakunya."

Caroline mengalihkan tatapannya dari ponsel ke wajah tampan William. "Benarkah?"

"Ya. Dan tentu saja, jika kau punya dendam kepada adik dan mantan kekasihmu, aku juga bisa membantumu memberi mereka pelajaran. Nona Walter, jadilah puteri di kerajaanku dan aku akan memberimu uang sebanyak yang kau inginkan serta membantumu membalaskan dendammu kepada ibu, adik dan mantan kekasihmu. Tapi, kau harus menjalankan misi dariku."

"Anda akan memberiku uang sebanyak yang saya mau?"

"Ya."

"Bagaimana jika saya minta satu juta dolar?"

William tersenyum. "Itu mudah. Aku akan menjadikannya jatah bulananmu."

"Bulanan? Apa maksudnya saya akan diberi uang satu juta dolar perbulan?"

"Benar."

Caroline melotot dan menutup mulutnya karena syok. "Anda tidak sedang mempermainkan saya kan?"

"Tentu saja tidak. Aku seorang pangeran. Sebagai keluarga kerajaan, aku selalu dituntut untuk menepati janji yang aku ucapkan."

"Ya Tuhan, apa saya sedang bermimpi?"

"Tidak, kau tidak sedang bermimpi."

"Baiklah. Lalu, misi apa yang harus saya lakukan? Saya harus tahu misi itu dengan jelas supaya saya bisa menilai apakah saya sanggup untuk menjalankannya dan apakah bayaran yang saya terima layak untuknya. Bukankah satu juta dolar perbulan adalah nilai yang besar? Pasti misi itu sangat sulit bukan?"

William tertawa kecil. "Ternyata benar. Kau memang pintar. Mari bertemu lagi esok hari. Aku akan meminta sopir menjemputmu pukul 9 pagi. Aku akan menjelaskan semuanya dengan detail. Setelah itu, kau bisa memutuskan apakah kau akan menerima tawaranku atau tidak."

"Baiklah. Besok jam 9 pagi. Di mana saya akan di jemput?"

"Tunggulah di rumahmu. Sopirku yang akan menjemputmu di sana."

"Baik Yang Mulia."

William mengangguk lalu memberi tanda kepada pengawalnya bahwa dia sudah selesai berbicara dengan Caroline.

Sang Pangeran pun masuk kembali ke dalam limosinnya dan pergi meninggalkan Caroline.

Vivian keluar dari persembunyiannya dan segera berlari kecil menghampiri Caroline.

"Caroline! Apa yang dia katakan? Dia sungguh - sungguh ingin menikahimu?"

"Itu yang Pangeran katakan. Dia bahkan berjanji memberiku uang satu juta dolar perbulan."

"Ya Tuhan! Ini seperti mimpi! Kau harus menerimanya. Setelah itu kau akan kaya raya dan menjadi seorang puteri. Kau bisa menutup mulut Casandra dan semua orang yang menyebalkan itu. Lalu, aku akan menjadi teman seorang puteri kerajaan," Vivian memandang langit sambil berkhayal. "Aku sangat bersemangat. Jika kau jadi puteri, kau tidak akan melupakanku kan?"

"Tentu saja tidak! Kau adalah teman terbaikku. Tapi ada yang belum kau tahu. Pangeran bilang aku bisa menjadi puteri dan mendapat satu juta dolar asal aku menjalankan misi darinya."

"Misi? Misi apa?"

"Itu yang belum aku ketahui. Tapi besok pukul 9 pagi kami akan bertemu lagi untuk membicarakannya."

"Bagus! Perhatikan baik - baik semua penjelasannya. Jangan sampai terlewat sedikitpun. Pastikan misinya masuk akal. Jangan mau jika harus mengorbankan nyawamu."

"Tentu saja. Aku tidak akan ceroboh."

"Bagus. Sekarang ayo kita pulang."

Caroline yang tadinya sudah amat lelah dan mengantuk, menjadi bersemangat kembali karena memikirkan uang satu juta dolar yang akan jadi miliknya.

Dia tidak pernah melihat uang sebanyak itu. Tapi jika dia menerima tugas dari Pangeran William, dia akan segera memilikinya.

Namin, dia menjadi was - was, apa misi yang Pangeran maksud? Mampukah dia menjalankannya?

Caroline memikirkan begitu banyak hal hingga dia tidak sadar bahwa busnya sudah berhenti di dekat rumahnya.

Caroline turun dan berjalan menuju rumahnya. Dia pikir, semua orang pasti sudah tidur saat tengah malam seperti ini. Namun, ternyata dia salah.

"Kau sudah pulang?" Jessica menyapanya di ruang tamu yang lampunya masih menyala dengan terang benderang.

"Ya. Kalian belum tidur?" tanya Caroline yang melihat semua anggota keluarganya lengkap dengan Paman dan Bibi Maurel berkumpul di ruang tamu.

"Kami menunggumu karena penasaran," jawab Casandra.

"Aku dan pamanmu sengaja menunda kepulangan kita untuk mengetahui hasil dari upacara pasar pengantin yang kau hadiri," ucap Bibi Maurel.

Caroline menyunggingkan senyumnya. Dia pikir mereka hanya menunggu kesempatan untuk menertawakannya saja.

"Bagaimana?" tanya Bibi Maurel. "Laki - laki mana yang berminat untuk menikahimu?"

"Pangeran William," jawab Caroline cuek dan asal. Dia tidak berharap mereka akan mempercayai ucapannya. Dia hanya menjawab pertanyaan dengan jujur.

Semua orang tertawa terbahak - bahak. "Lalu, apa kau akan diberi uang saku satu juta dolar perbulan?" saut Paman Maurel yang membuat gelak tawa semakin kencang terdengar.

"Paman benar. Besok orang kerajaan akan menjemputku untuk bertemu dengan Pangeran."

Semua orang tertawa lagi.

"Caroline, beristirahatlah. Tidak mengapa jika tidak ada laki - laki yang mau denganmu, jangan terlalu stress. Masuklah ke kamar!" ucap Jessica melunak. Yang lain berhenti tertawa namun wajah mereka masih menunjukkan cemoohan terhadap Caroline.

"Oke," Caroline tidak peduli. Dia pergi ke kamarnya.

"Kasihan dia. Lama - lama dia benar - benar akan menjadi gila," Caroline mendengar ucapan Casandra saat dia hendak membuka pintu kamarnya.

Caroline menghela nafas. Dia tidak akan ambil pusing. Dia memutuskan untuk istirahat mempersiapkan dirinya menemui William Harrington esok hari.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status