Tersadar akan posisi mereka yang kurang aman, Ana buru-buru melepas cekalan tangan Ray dari lengannya dan segera pindah ke sofa yang ada di seberang meja. Ana meneguk salivanya kasar. Atmosfer di ruangan itu terasa menipis hingga membuatnya gerah dan sesak.
Tidak jauh berbeda dari Ana, Ray juga langsung menyibukkan diri dengan pura-pura merapikan rambutnya yang memang sedikit berantakan. Ray bahkan merasa telingannya memanas dan wajahnya memerah menahan malu yang tiba-tiba menghinggap di hatinya.
Melihat Ana hendak beranjak dari tempatnya, Ray langsung menghentikan gadis itu dengan pernyataannya.
“Ana, saya tau kamu belum bisa menerima semua ini. Pernikahan kita, saya tau kamu sangat tidak menginginkannya. Kamu mungkin beranggapan kalau saya pria paling jahat yang sudah merusak hidup dan masa depanmu.” Ray berhenti sejenak, melihat reaksi Ana atas perkataannya.
“Kamu boleh menyalahkan saya atas semua yang terjadi, sekalipun kita sama-sama tau kalau kamu dan saya tidak melakukan kesalahan apapun seperti apa yang dipikirkan oleh orangtua kita. Saya mengerti betul bagaimana perasaanmu saat ini, karna itu juga, saya membebaskan kamu dari tugas-tugas dan kewajibanmu sebagai seorang istri,” lanjut pria itu seraya menatap Ana yang kembali duduk di tempatnya dengan lekat.
Ray menelisik, memperhatikan perubahan raut Ana yang ternyata tidak ia temukan. Melihat hal itu, ia lantas kembali melanjutkan pernyataannya.
“Saya juga tidak menyangka akan menikah karena hal seperti itu, tapi apa boleh buat. Semuanya sudah terjadi dan tidak bisa diulang lagi. Saya juga merasa semua ini terlalu tiba-tiba. Jadi, kamu tidak perlu bersikap seperti ini. Kamu boleh menyalahkan saya, tapi jangan perlakukan saya seperti musuhmu.”
Ana jadi merasa bersalah mendengar pengakuan Ray barusan. Sepertinya, ia telah melukai perasaan pria itu.
“Satu hal lagi, kamu juga harus tau kalau saya sudah mengetahui ada hubungan apa antara kamu dan Nicholas. Jangan kamu pikir saya tidak peduli dengan masa lalumu, An. Kamu salah. Saya sudah mencaritahu beberapa hal tentangmu dan saya menemukan fakta yang benar-benar membuatku semakin merasa bersalah padamu.’” Ray berujar dengan tegas dan raut wajahnya tampak begitu serius.
“Hubunganmu dan Nicholas, saya ingin kamu segera mengakhirinya. Kali ini, saya tidak peduli jika kamu menganggap saya egois atau apa. Saya sudah memikirkan hal ini matang-matang. Sekalipun kita menikah bukan karena cinta, ssaya tetap tidak mau ada orang ketiga dalam hubungan kita.”
“Hubunganku dan Nicho sudah berakhir. Kamu gak perlu khawatir,” sahut Ana, cepat.
“Kalau saya boleh tau, kapan itu?” Ray menyipit, mencari kebenaran di kedua bola mata istrinya itu.
“Di hari yang sama dengan insiden di club malam itu.”
Setelah berujar demikian, Ana kembali teringat dengan pertengkarannya dan Nicholas sehingga hubungan mereka kandas tak tertolong. Ia yang saat itu sedang galau, memberanikan diri pergi ke club malam bersama Ratna dengan niat untuk bersenang-senang semata. Tapi ternyata, hal itu malah membawa petaka yang sangat merugikan dirinya.
Merugi? Apa menikah dengan Ray bisa dikatakan sebagai suatu hal yang merugikan? Ana membatin, lalu membiarkan pandangannya menatap lekat sosok Ray yang duduk di depannya.
“Jadi, gara-gara itu kamu pergi ke club?” Ray memastikan, bahwa Ana benar-benar sangat mencintai Nicho sehingga gadis itu nekad pergi ke club untuk menghilangkan kesedihannya.
“Begitulah.”
Ray mengangguk kecil menjawab pernyataan singkat Ana. Gadis itu semakin membuatnya untuk lebih waspada lagi dalam mengawasi mantan sepasang kekasih itu.
“Aku juga ingin tau, sejauh apa kamu tau tentang aku dan Nicho?” tanya Ana, kemudian.
“Kamu gak perlu tau. Yang pasti, saya tidak akan mengusik kehidupan kalian selagi kamu bersikap dan bertindak sesuai dengan statusmu sekarang.” tegas Ray, penuh penekanan.
“Kuharap kamu mengerti dengan semua yang kukatakan,” lanjutnya.
Ana terdiam, mengulum bibirnya membentuk sebuah garis lurus. Ray yang seperti ini persis seperti ketika ia berada di kampus. Ray yang tegas dan mendominasi membuatnya tidak bisa berkutik atau sekedar menumpahkan segala keluh kesah yang masih terpendam di hatinya. Ana tahu kalau Ray mengerti seperti apa perasaannya, tapi ia masih belum puas kalau belum mengungkapkan hal-hal yang sering merusak moodnya belakangan ini.
Ana ingin Ray tahu kalau ia sangat-sangat membenci pernikahan mereka dan nyaris membenci pria itu juga. Tapi, ketika melihat Ray bangkit dari tempatnya, Ana jadi mengurungkan niatnya untuk memberitahu Ray kalau ia benci dengan situasi dan status mereka saat ini.
“Kembalilah ke kamar dan segera tidur. Besok pagi kamu ada kelas tambahan dengan Miss Rahel,” imbuh Ray, lalu pergi meninggalkan Ana yang masih diam di tempatnya.
“Ternyata kamu juga udah tahu jadwal kuliahku.” Ana menatap sendu punggung lebar Ray yang perlahan menjauh dan menghilang di balik pintu kamar yang kokoh.
***
Beberapa minggu kemudian, Ray dan Ana kembali mengulang aktivitas mereka untuk yang kesekian kalinya. Mobil hitam yang dikemudi oleh Ray kini tampak melambat sebelum akhirnya berhenti di tempat biasa, tidak jauh dari gerbang utama, saat para mahasiswa belum berdatangan.
Begitu mobil berhenti, Ana segera turun dan berjalan menuju gerbang utama sambil menenteng beberapa buku tanpa menoleh ke belakang lagi. Penampilan gadis itu tidak jauh berbeda dari hari-hari biasanya, dengan blouse putih ala Korea sebagai atasannya yang dipadukan dengan celana jeans hitam yang membuat lekukan kaki jenjangnya terlihat jelas. Hanya saja, ada sedikit tambahan aksesori di rambut gadis itu sehingga menambah kesan manis dan feminim.
Saat hendak memasuki gedung fakultas, Ana tanpa sengaja bertemu dengan Ratna dan mereka berjalan bersama menuju lantai 3 di mana kelas mereka berada.
“Makin cantik aja lo, An. Keliatan lagi happy juga,” tukas Ratna, begitu mereka tiba di kelas.
“Apaan deh. Biasa aja kok,” sanggah Ana.
“Gimana hubungan lo sama Dosen Ray? Udah sampai ke tahap itu belum?” Ratna tersenyum pernuh arti.
“Tahap apaan? Ada-ada aja lo.”
“Udah deh, jujur aja sama gue. Mumpung kita cuma berdua yang ada di kelas ini. Kalau yang lain pada datang, gue juga gak berani ngungkit soal hubungan lo sama Dosen Ray. Gue takut kena denda karna melanggar perjanjian di atas materai itu.” Ratna yang duduk tepat di sebelah Ana sengaja menyikut lengan temannya itu, bermaksud menggoda Ana.
“Diem deh. Itu urusan orang dewasa. Anak kecil gak boleh kepo.” Ana berujar sarkas.
“Ups, itu artinya kalian udah unboxing dong. Waw, gimana? Mantap gak?”
“Diam. Bukan urusan lo.”
“Gak jujur artinya udah.” Ratna tersipu malu setelah menyimpulkan sendiri maksud dari kebungkaman Ana.
Ratna bahkan tidak bisa menyembunyikan senyum malu-malunya yang malah membuat Ana bergidik ngeri.
“Lo mikirnya kejauhan,” sarkas gadis itu lagi, lalu kembali menyibukkan diri dengan ponselnya.
“Biarin. Siapa suruh lo gak jujur sama gue.”
“Itu privasi, Rat. Lo tau atau nggak juga gak akan merubah apapun.”
“Maksud lo?”
“Udahlah Rat. Gue kurang suka kalau kita bahas hubungan gue sama Ray. Gue benci sama dia. Gue masih belum bisa nerima kehadiran dia dan status gue yang sekarang.”
“Tapi, lo yang sekarang keliatan lebih bahagia dibandingkan sama Nicho dulu.” Ratna mencoba membuka pemikiran Ana yang sudah terlanjut membenci keadaannya yang sekarang.
“Ntah lah. Gue gak tau. Sekarang ini, gue gak mau terlalu mikirin apa yang terjadi. Gue mau fokus sama kuliah gue aja,” ujar Ana, mengalihkan pandangannya dari layar pipih itu sejenak.
“Oke deh. Gue harap lo bisa bahagia sama Dosen Ray.”
Tepat setelah Ana mengangguk kecil membalas pernyataan Ratna, Tasya dan Amel tiba di kelas dan mengambil tempat tepat di bangku yang ada di depan Ana dan Ratna. Sebelum duduk, Tasya sempat melirik Ana sekilas lalu memutar bola matanya kesal.
“Mel, lo tau gak kalau kemarin gue liat Dosen Ray sama Miss Rahel jalan berdua di mall? Kayanya mereka bener-bener udah jadian deh,” ucap gadis itu, kemudian.
“Serius lo, Tas?”
“Serius lah. Gue liat mereka jalan sambil gandengan tangan gitu. Dosen Ray juga perhatian banget loh. Dia gak malu bawain slingbagnya Miss Rahel.”
“Oh my God. Demi apa, Tas? Kita harus sebarin kabar baik ini ke temen-temen lainnya.”
Di saat kedua sejoli itu asik membicarakan dosen Ray dan miss Rahel, Ratna yang duduk di sebelah Ana lantas menatap temannya itu.
“Jangan mudah percaya, An. Belum tentu itu benar,” bisiknya, kemudian.
Ana bungkam tak menyahut. Sorot matanya seketika berubah datar setelah mendengar percakap kedua teman sekelasnya itu. Ada sesuatu yang aneh mengusik hati dan pikirannya. Moodnya yang tadi sangat baik, seketika berubah hanya karena mendengar percakapan yang sangat tidak ingin ia dengar itu.
Pantas aja kemarin kamu pulang telat, jadi ini alasannya, Ray, batin gadis itu, lesu.
Selesai membayar belanjaan, Ana dan Ray bergegas meninggalkan kasir. Ray sibuk dengan trolli yang kini berisi beberapa bungkus plastik putih belanjaan mereka, sedangkan Ana berjalan di sampingnya sambil sesekali mengecek ponsel. Berhenti di depan lift, Ana dan Ray langsung masuk bersama dengan para pengunjung mall lainnya. Terdapat sekitar 6 hingga 9 orang yang berada di dalam lift tersebut sehingga membuat Ana terjepit di pojokan, di antara Ray dan pria jangkung berjaket merah yang tidak kalah tampan dari Ray. Ana tampak santai sambil memainkan ponselnya, juga tidak segan membalas senyuman yang dilemparkan oleh pria asing tersebut. Melihat hal itu, Ray langsung menarik lembut tangan kanan Ana hingga gadis itu menempel padanya lalu memasukkan tangan Ana ke dalam saku jaket denim yang ia kenakan. Ana menoleh, menatap Ray yang ternyata juga sedang menatapnya dengan lekat. Ray kemudian mengedikkan bahunya acuh lalu kembali menatap lurus ke depan, seolah ia tidak melakukan hal aneh
Beberapa hari telah berlalu sejak Ana kembali dari rumah sakit. Kini, kondisi gadis itu benar-benar pulih dan kembali fit. Ana dan Ray juga kembali melanjutkan aktivitas mereka sebagai dosen dan mahasiswi. Mereka pergi dan pulang bersama ke tempat tujuan yang sama pula, yaitu rumah dan kampus yang menjadi saksi bisu hubungan mereka yang seperti roller coaster, naik turun yang menimbulkan rasa takut juga menyenangkan. Langit sore tampak begitu indah dari biasanya, entah itu hanya perasaan Ana saja atau apa, yang jelas kini senyum gadis itu tampak indah menghiasi wajahnya yang cantik dan mulus berseri. Ray yang sedang menyetir bahkan juga ikut tersenyum melihat hal tersebut. Pikiran Ana lagi-lagi melayang mengingat percakapannya dengan Sasa beberapa waktu lalu saat di rumah sakit. Pertanyaan Sasa mengenai apakah dirinya tidak merasa beruntung menikah dengan Ray kembali Ana tanyakan pada dirinya sendiri. Jujur saja, Ana mulai merasa sedikit bangga dan beruntung, setelah tadi ia lagi
Setelah mengenakan pakaiannya, Ray kembali melirik Ana yang sedang memainkan ponsel. Gadis itu tampak asik dengan benda pipih itu sehingga tidak menyadari kehadirannya. Lebih tepatnya, Ana sengaja mengabaikan Ray karena masih kesal pada pria itu. Ray berhemem, membasahi tenggorokannya yang kering lalu berdiri di samping kanan ranjang.“Berhenti main ponsel. Kamu harus istrirahat,” ujarnya tegas, lalu mengambil ponsel tersebut dari tangan Ana. “Ray, apa-apaan sih kamu? Balikin!” “Kamu harus istirahat.” Ulang Ray lagi, penuh penekanan. “Gak mau. Balikin dulu ponsel aku.” “Nggak.”“Balikin, Ray.”“Gak. Kamu istirahat dulu.”Ana menghembuskan napas kasar. Kedua tangannya terkepal kuat melihat kelakuan Ray. Pria itu mengabaikannya. “Menyebalkan,” gerutu Ana seraya memalingkan wajahnya.Bertepatan dengan Ana dan Ray yang saling mengabaikan, pintu di ruangan itu tampak terbuka dan menampilkan dua sosok yang begitu Ana kenal. Sontak, senyum di wajah gadis itu mengembang sempurn
Ray kembali memasuki ruangan serba putih itu setelah kembali dari rumah mengambil ponsel dan perlengkapan yang mungkin akan dibutuhkan oleh Ana. Kali ini, pria itu tidak datang sendiri, melainkan bersama kedua orangtua Ana yang juga baru tiba. Ray sudah mewanti-wanti dirinya akan menerima amarah dari keluarga Ana, tapi hal itu tidak kunjung terjadi setelah hampir setengah jam mereka berada di ruangan tersebut.“Ray, kamu sudah makan malam, Nak?” Lela, mama Ana, mendekati Ray yang duduk di sofa sudut lalu ikut bergabung bersama pria itu sebelum melontarkan pertanyaan. “Sudah, Ma, tadi sore di kantin kampus.”Ray kembali khawatir, takut mama mertuanya bertanya lebih lanjut.“Kamu gak perlu takut. Kami tidak akan menyalahkan kamu atas apa yang terjadi pada Ana. Ini bukan yang pertama kalinya dia seperti ini, tapi mungkin ini yang paling parah. Sejak kecil, Ana memang susah diatur dalam urusan makan, hingga membuatnya terkena mag dan jadi separah ini.”Ray menatap wajah mertuany
“Ana, bangun, An. Ana, sadar.” Ray panik, buru-buru mengangkat tubuh Ana yang terkulai lemas ke atas tempat tidur. “Ana, kamu dengar suaraku? Tolong sadarlah, An.” Ray menepuk-nepuk lembut pipi Ana agar gadis itu segera membuka matanya. Ray bingung. Bertanya-tanya apa yang telah terjadi kepada gadis itu. Seraya berupaya menyadarkan Ana, Ray mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar tersebut. Tatapannya kemudian tertuju pada kaleng-kaleng dan kotak minuman yang ada di atas meja depan sofa. “Kita harus ke rumah sakit sekarang.”Tidak buang-buang waktu, Ray langsung menggendong Ana ala bridal style dan membawa gadis itu keluar kamar. Sepertinya, Ray mulai tahu apa yang sedang terjadi kepada istrinya itu.Takut, cemas dan khawatir menjadi satu memenuhi perasaan dan tubuh Ray. Dengan rasa gelisah, ia mengendari mobil dan membelah kegelapan malam agar segera sampai ke rumah sakit terdekat. Ray yang sedang mengemudi sesekali menoleh ke belakang, melihat Ana yang terkulai lemas di ba
Siapa yang tidak suka bolos? Mungkin sebagian dari mahasiswa sangat menyukai hal tersebut. Bahkan, tidak sedikit juga yang rela pura-pura sakit agar bisa menghindari tugas atau dosen yang akan mengajar di kelas saat itu. Namun berbeda dengan Ana yang semakin merana karena sengaja bolos untuk menghindari berbagai pertanyaan teman-temannya. Bagaimana tidak, Ana sendiri saja sangat syok melihat wajahnya yang terlihat bengkak dan jelek karena kebanyakan menangis, apa lagi teman-temannya. Mereka pasti heran dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi padanya. Sungguh, Ana belum bisa menerima serangan pertanyaan rudal yang mungkin akan ditujukan kepadanya. Terlebih lagi, dosen yang mengajar kali ini adalah miss Rahel, yang membuatnya semakin membulatkan tekat untuk bolos. Setelah seharian mengurung diri di dalam kamar, Ana akhirnya bangkit dari tempat tidur dan turun ke lantai dasar untuk mencari sesuatu yang bisa ia makan. Sungguh, ia merasa sangat lapar dan kepalanya terasa pusing, sepe