Share

PERASAAN ANEH YANG MENGUSIK HATI

Jam kosong tiba. Mengubah suasana kelas yang tenang menjadi riuh kala dosen yang mengajar telah pergi meninggalkan ruangan. Para mahasiswa juga demikian, segera keluar untuk menghirup udara segar atau mencari kesenangan lain yang dapat meredakan penat di kepala mereka.

Sementara itu, para mahasiswi yang merupakan fans dari seorang Ray, kini bersorak heboh setelah beberapa jam menahan diri untuk tetap tenang selama proses belajar berlangsung setelah mendengar cerita dari Tasya dan Amel. Tampaknya, kedua sejoli itu telah berhasil menyebar berita yang paling ditunggu-tunggu oleh seantero kampus.

“Tasya, lo harus ceritain ke gue semua yang lo tau tentang Dosen Ray. Gue gak mau tau.” Dinda dengan heboh menghampiri Tasya.

Padahal biasanya gadis berkulit sawo matang itu paling anti berdekatan dengan Tasya dan Amel. Mereka sudah seperti musuh bebuyutan yang selalu cekcok hanya karena hal sepele.

“Iya, Tas. Gue mau denger juga. Kalau benar Dosen Ray dan Miss Rahel jadian, kita harus ngerayain kabar baik ini,” imbuh mahasiswa lainnya yang berdiri di sebelah kanan Tasya.    

“Santai, guys, santai. Gue akan kasih tau semua yang gue tau tentang Dosen Ray. Mulai dari pendidikannya, mantan-mantannya sampai tipe perempuan yang bisa jadi istri Dosen Ray,” balas Tasya dengan senyum mengembang sambil bersedekap.

            “Sekarang, Tas. Gue udah penasaran banget. Mungkin aja, gue termasuk salah satu perempuan yang jadi tipe Dosen Ray,” tukas Dinda, lagi.

            “Bener tuh. Cepetan kasih tau kita gimana tipe istrinya Dosen Ray.”

            Tasya tertawa senang melihat para temannya yang berjumlah sekitar 20 orang begitu antusias mengetahui semua hal tentang Ray. Sejenak, gadis berponi itu melirik Ana lalu berujar,    

            “Oke, tak kenal maka tak sayang. Jadi pertama-tama, kalian harus tau kalau Dosen Ray itu anak tunggal dari keluarga kaya raya. Mamanya pemilik butik yang paling terkenal di kota ini dan setahu gue papanya seorang direktur di perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan, tapi gue lupa apa namanya. Kalau kalian menikah dengan Dosen Ray, udah pasti kalian jadi menantu kesayangan Nyonya Maya dan Om Robi.” Tasya mulai membeberkan beberapa hal dasar yang ia ketahui tentang Ray.

“Dan setahu gue, Ray itu paling suka sama cewek yang imut kecil kayak Amel gini. Putih, cantik, rajin, pintar, sholehah dan jago masak, karna Dosen Ray juga jago masak. Menurut informasi yang gue dapat, Dosen Ray juga pernah jadi juri di sebuah acara perlombaan memasak di luar negeri yang ditanyangkan di TV sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu. Kalau kalian pengen liat, kalian bisa tonton sendiri di TV online, mungkin masih ada,” lanjut gadis itu.

 Sementara para mahasiswi lainnya mendengarkan perkataan Tasya, Ana dan Ratna bergegas pergi dari ruangan itu setelah sebelumnya berpamitan kepada Dinda. Keduanya tetap bungkam saat mendengar pernyataan Tasya hingga mereka keluar dari kelas dan sampai ke lantai dasar bagian belakang fakultas yang berhadapan langsung dengan taman dan pepohonan rimbun.

Mood Ana benar-benar hancur. Lagi-lagi, ia mendengar perihal Ray yang sangat tidak ingin ia ketahui. Mengetahui fakta yang dikatakan oleh Tasya hanya semakin membuat moodnya rusak. Imut kecil? Rajin? Solehah? Pandai memasak?

Ayolah, memangnya ada perempuan spek bidadari yang nyaris sempurna seperti itu? Ray mau cari kemana tipe wanita seperti itu? Sialnya lagi, Ana merasa beberapa dari tipe ideal itu tidak ada pada dirinya. Pandai memasak? Jangan ditanya. Sudah pasti ia hanya akan membakar dapur kesayangan Ray kalau mencobanya, seperti dua tahun yang lalu saat berada di rumah Ratna. 

“Menikah saja dengan chef atau ustadzah. Kenapa malah sama Miss Rahel kalo tipenya memang begitu?” sarkas Ana, kesal.

Ratna yang mendengar gerutuan tersebut tersenyum kecil. Ia tahu betul apa yang menyebabkan temannya itu kesal.

“Udah, An, jangan dipikirin. Mau kayak apapun tipe istri idaman Ray, tetap kamu pemenangnya. Urusan memasak, kamu bisa belajar pelan-pelan,” ucapnya, mencoba menghibur Ana.

“Gue lagi gak mikirin apapun kok, Na. Cuma bete aja liat Dinda mau dibohongi sama Mak Lampir itu.” Ana mengeles, sekaligus mengatai Tasya dengan sebutan aneh yang lagi-lagi berhasil membuat Ratna tertawa.

“Iya deh iya. Kalo gitu lo mau makan apa? Biar sekalian gue pesan.”

Ana memberitahu Ratna menu apa yang sedang ingin ia makan, lalu melanjutkan langkah menuju tempat di mana Agung, Roy dan Nicho berada.

“Hai, Guys,” sapanya seraya tersenyum tipis, yang dibalas oleh ketiga pria itu dengan senyum pula.

“Gimana situasi di kelas? Udah aman?” tanya Agung begitu Ana duduk di bangku kosong yang ada di depannya.

“Masih sama. Meraka lagi dengerin cerita Tasya,” jawab Ana, seadanya.

Tidak heran pria itu bertanya demikian, karena tadi suasana di kelas memang cukup berisik dan heboh sebelum mereka pergi. Roy dan Agung bahkan sempat mengingatkan para fans Dosen Ray itu untuk tidak heboh dan bersikap biasa saja. Sayangnya, kedua pria itu malah mendapat amukan dari para mahasiswi yang tidak terima ditegur oleh mereka.

“Cewe-cewe zaman sekarang memang rada aneh. Udah gak punya urat malu. Sampai segitunya mengidolakan seseorang,” timpal Roy, yang duduk di antara Agung dan Nicho.

“Zaman sekarang emang mulai susah nyari cewe yang bagus.” Nicho ikut menambahi.

“Mereka hanya mengidolakan Dosen Ray, bukan berarti mereka gak bagus,” sanggah Ana, cepat.

Sepasang mantan kekasih itu lalu saling menatap selama beberapa detik, sebelum akhirnya Ana memutus kontak mata mereka dan menyibukkan diri dengan ponsel.

Agung dan Roy saling pandang lalu mengedikkan bahu melihat percikan-percikan aneh yang mulai terpancar di antara mantan sepasang kekasih itu. Mereka lantas mengalihkan pembicaraan agar suasana tidak memanas. Tentu saja, ketiga pria itu membahas perihal debat para calon presiden yang sedang menjadi topik hangat sejak kemarin malam.

Beberapa saat kemudian, Ratna ikut bergabung bersama mereka bersamaan dengan datangnya makanan yang dipesan. Alhasil, kelima mahasiswa semester pertama itu menikmati makanan mereka sambil membahas topik sebelumnya dan saling melempar argument serta mendukung kubu masing-masing.

“An, lo udah nemu buku yang lo cari waktu itu?”

Di saat yang lainnya asik mengobrol dan berdebat, Nicho mengajak Ana membicarakan topik lain yang menurutnya lebih menyenangkan.

Merasa dirinya sedang diajak bicara, Ana lantas menoleh pada Nicho setelah menghabiskan suapan terakhir di piringnya.

“Belum. Kenapa?” tanyanya, setelah meneguk jus jeruk.

“Gue juga belum ketemu. Gimana kalau kita beli online aja? Biar gue yang checkout.”

“Boleh. Kasih tau aja berapa harganya, biar gue bayar.”

“Oke, nanti gue kabari lagi.” Kemauan Nicho terpenuhi, membuat senyumnya seketika mengembang seraya membiarkan pandangannya menatap Ana dengan teduh.

Ana jelas tau kalau saat ini Nicho sedang menatapnya dengan lekat. Tapi, ia mengabaikan hal tersebut dan menyibukkan diri dengan memandangi setiap sudut kantin dan sesekali memperhatikan mahasiswa atau mahasiswi yang menarik perhatiannya.

Niat hati ingin merilekskan pikiran setelah sebelumnya kacau balau karena persoalan Ray dan Rahel, Ana malah dibuat mematung begitu melihat kedua dosen itu memasuki area kantin. Tatapaan Ana terpaku melihat kedekatan Ray dan Rahel yang sedang berjalan berdampingan menuju stand penjual minuman yang berada cukup jauh dari tempatnya duduk.

Sudah pasti, Ray tidak melihat ataupun menyadari keberadaannya, sehingga Ana bisa memanfaatkan hal tersebut untuk memantau sejauh mana kedekatan kedua dosennya itu.

Dasar munafik. Ternyata lo lebih suhu dari gue. Semua kepedulian lo ternyata gak ada artinya, Ana membatin tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok Ray dan Rahel yang entah sedang menertawakan apa.

Kedua orang itu duduk di bangku kantin yang berada di pojok, yang berbatasan dengan dinding beton bercat putih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status