“Bagus! Utangmu lunas dan aku takkan mengambil rumah ini setelah Malati jadi istri keempatku!”
Tawa langsung memenuhi ruangan.
Paman dan Bibi dari Malati bahkan tampak bahagia sekali mendengar penuturan dari lintah darat itu.Mereka mengabaikan gadis berhijab itu yang terus menunduk–menahan pedih di hati karena dijadikan penebus utang.
Sungguh, Malati benar-benar tak menyangka Paman dan Bibinya itu begitu kejam!
Seusai pulang kampus, dia mendadak didandani. Kerudungnya bahkan sempat dipaksa untuk ditanggalkan, hanya untuk menyambut lintah darat ini.
Untungnya, Malati dapat mempertahankannya meski harus meronta-ronta.
Andai saja orang tuanya masih hidup, dia pasti tak akan bisa diperlakukan seperti ini!
“Hey, Cantik! Aku ingin melihat wajahmu yang cantik itu!”
Tiba-tiba saja, Hanan Jagal sudah berada di sampingnya.
Tangannya mengangkat dagu Malati kemudian menilik dengan seksama wajah cantiknya yang mirip dengan wanita yang dulu ia kejar, tapi selalu mengabaikannya.
Malati spontan menatap pria tua bangka itu.
Rasa jijik tiba-tiba mengalir di dirinya.
Entah memperoleh ilham dari mana, Malati pun menggerakan bibir mungilnya dengan hati-hati, “Maaf, tapi saya tak bisa menerima lamaran Tuan Hanan,” ucapnya.
“Apa maksudmu? Kau mau mempermainkanku?” bentak Hanan. Jelas sekali, juragan kaya raya itu tak suka mendengar kata penolakan.
Junaedi dan Nia sontak panik. Jika Malati menolak, tamatlah riwayat keduanya!
Bisa-bisa Paman dan Bibi Malati itu menjadi tunawisma bersama kedua anak mereka.
Sayangnya, belum sempat melakukan sesuatu, Malati sudah kembali berbicara, “Maaf, Tuan Hanan. Tapi, saya sudah tidak perawan. Saya mengatakan ini agar Tuan Hanan tidak menyesalinya setelah mengeluarkan biaya besar untuk pesta pernikahan nanti,” bohongnya.
“Sekali lagi, maafkan saya.”
Perkataan Malati jelas membuat syok semua orang yang berada di sana.
Terlebih, air mata penuh penyesalan tampak di wajahnya, hingga paman, bibi, dan dua sepupunya pun percaya dengan drama yang sedang dilakukannya.
“Sialan!” maki Hanan. Ia lalu menatap paman Malati dengan sorot kemarahan. “Juned, katamu keponakanmu masih perawan? Kalau seperti itu aku sudah bisa mendapatkan jalang dengan harga berapapun. Bahkan lelang perawan juga takkan semahal utang yang kau tunggak,” geramnya.
Plak!
Tak tahan dengan kemarahan Hanan, sebuah tamparan pun didaratkan Junaedi tepat di pipi Malati.
“Kau sudah bikin malu keluarga! Kau sudah membubuhkan arang di wajah Om dan Tantemu,” kata Junaedi dengan muntab.
Dia melimpahkan kesalahan pada Malati.
Hal ini jelas membuat orang-orang Hanan yang masih sanksi dengan pernyataan gadis itu–terkejut.
Brak!
Hanan Jagal menggebrak meja, tak terima. “Dengar! Aku sudah cukup sabar menghadapi kecoa seperti kalian! Aku beri waktu kalian seminggu untuk mengemasi barang-barang kalian dari rumah ini! Atau kau tukar gadis ini dengan putrimu yang lain!”
Junaedi dan Nia tersentak mendengar ultimatum Hanan Jagal.
Pria tua itu tak pernah bermain dengan kata-kata. Ia selalu serius.
Tak mungkin, keduanya menyerahkan putri-putri mereka yang sudah dipersiapkan menjadi menantu pengusaha, kan?
Hanya saja, Hanan Jagal dan rombongannya sudah berlalu sebelum berhasil mereka bujuk.
Beberapa saudara jauh Nia juga memutuskan untuk pulang.
Menyadari rencananya hancur, Junaedi pun pergi entah ke mana.
Kini tinggalah Malati dan Nia yang terlihat seperti monster dan akan menelan gadis itu hidup-hidup.
“Anak sialan! Kau sudah dikasih makan malah menggigit seperti seekor anjing!”
Nia mengamuk, kemudian menjambak kerudung gadis itu dan membenturkan kepalanya ke dinding.
“Ampun Tante!”
Malati memelas. Ia jatuh berjongkok dengan menguncupkan kedua tangannya, melindungi kepalanya agar tidak dibenturkan lagi ke dinding.
Sungguh, kepalanya terasa mau pecah.
“Tiada ampun! Kau harus dikasih pelajaran! Biar tau diri! Malu-maluin keluarga! Semua orang sini sudah tahu kau ini tidak perawan! Malu-maluin!”
Bug!
Nia terus mendorong tubuh mungil Malati hingga terpojok ke dinding.
“Baiklah, karena kau terlanjur jadi jalang kecil, kau akan bekerja di kota ikut Om Setiadji!” ancam Nia tak main-main.
Deg!
Siapa yang tak mengenal Setiadji?
Seorang mucikari yang berkedok penyalur tenaga kerja ke luar kota dan luar negeri.
“Jangan, Tante Nia!” mohon Malati langsung, “aku akan bekerja lebih giat lagi untuk membantu melunasi hutang kalian. Jangan kirim aku ke Om Setiadji! Aku akan melakukan apapun untukmu Tante.”
Malati bahkan langsung memeluk kedua betis Nia.
Namun, Nia sudah gelap mata. Dia justru menyeret kembali tubuh Malati yang ringkih dan mendorongnya hingga terbentur ke dinding untuk kedua kalinya.
Tanpa tedeng aling-aling, wanita paruh baya itu pun langsung menghubungi sang mucikari!
“Stop! Anda sudah melakukan KDRT!”
Suara bariton terdengar dari bibir pintu yang terbuka.
Nia sontak terkejut kala seorang pria berkemeja putih masuk begitu saja meski tanpa dipersilakan oleh sang empunya rumah.
“KDRT?” balasnya Tante Malati itu dengan kasar, “ini namanya sedang memberi pelajaran karena anak ini sudah tidak perawan lagi!!”
“Lagipula, siapa kau?! Ini urusan keluarga kami.”
Nia kembali mendorong Malati hingga terjungkal ke samping.
Untung saja, kepalanya tidak membentur ujung lemari yang sudutnya tajam.
“Aku? Kau tanya siapa aku?” Pria itu melepas kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya–menampilkan wajahnya yang rupawan.
Didekatinya Malati dengan hati-hati. “Sayang, Kau tak usah tinggal di sini lagi! Sudah Mas bilang kita harus segera menikah jadi kau bisa terbebas dari siksaan wanita yang mengaku sebagai walimu!”
Hah?
Malati beberapa kali mengerjapkan matanya. Ia tak paham apa maksud perkataan Aldino Tama Waluyo–kepala sekolahnya waktu SMA ini!
Mengapa pria dewasa itu datang ke rumahnya?
Bukankah beberapa waktu lalu, dia menolak untuk menjadi pembimbing Olimpiade Matematika di sekolahnya dulu?
Lalu, apa maksud perkataannya dengan memanggilnya Sayang?
Di sisi lain, wajah Nia memerah.
Tampak sekali dia sangat emosi. “Siapa dia, anak sialan?” bentaknya, “apa dia yang sudah mengambil keperawananmu!”
Kini Malati menggigit bibir bawahnya. “Dia Pak Aldino, Tante. Kepala sekolah di Madrasah Aliyah Al Fatma,” jawabnya–memberanikan diri.Nia menatap nyalang Aldino. “Jadi, ada urusan apa kau datang ke mari?”Dihampirinya pria itu dengan pongah.Namun, Aldino tampak tak terpengaruh dengan “tekanan” Nia.“Dengar, Nyonya. Putri Melati ini adalah calon istri saya! Jadi, jangan coba-coba menyentuhnya seujung kuku sekalipun apalagi melukainya!” peringat pria itu.“Cih! Berani sekali kau!” Nia mendecih dengan tatapan jijik pada Aldino. Ia memindai penampilan Aldino yang rapi dengan tubuh mirip binaragawan.Tanpa sadar, Nia yang pecinta sinetron ini menyusun skenario aneh di kepalanya.Wanita paruh baya itu berpikir jika Aldino adalah seorang mafia. Mungkin, kepala sekolah hanyalah profesi samarannya? Dan Malati … anak itu diam-diam telah menjadi sugar baby pria itu! Toh, zaman sekarang apapun bisa terjadi, kan? Tangan Nia mengepal, marah. Ia tak terima Malati bermain di belakang mereka. “
Karena merasa letih, Malati ketiduran dan terbangun saat mendengar suara azan magrib. Ia bangun dan berjalan tertatih-tatih menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Kemudian ia menunaikan sholat magrib dan mendaras beberapa ayat alquran. Setelah merasa tenang, Malati ingin menemui paman dan bibinya. Ia akan meminta maaf atas kekisruhan yang telah ia buat. “Om,” panggil Malati pada adik ayahnya tersebut. Hanya saja, Junaedi tak menyahut. Ia melemparkan pandangannya pada bunga anggrek layu-yang tumbuh bertengger di pohon jambu air.Pria paruh baya itu terlihat semrawut. Sesekali ia menghisap sebatang rokok dan mengepulkan asapnya ke udara.“Om Jun, aku mau minta maaf.”Malati mengatakan kalimat itu dengan perasaan campur-aduk, antara sedih, kecewa dan marah pada keadaan. Sayangnya, Junaedi justru mendengus. “ “Dulu, Bapakku juragan sapi seperti Hanan Jagal. Lima anaknya hidup berkecukupan dan bisa bersekolah hingga perguruan tinggi.” “Bahkan, Bapak mengangkat Kang Gunawan, y
Sesuai kesepakatan Malati dan Aldino, keluarga Waluyo pun mendatangi keluarga Malati. Setelah melihat siapa yang datang, barulah Junaedi dan Nia sadar jika apa yang tempo hari Aldino katakan benar--pria itu akan meminang keponakan satu-satunya. Dengan pongah, Nia pun meminta uang lebih sebagai bentuk kompensasi karena telah mengambil keponakannya.Hanya saja, ia tak menyangka dengan ucapan Aldino selanjutnya. "Jika demikian, kami akan memberikan satu miliar," ucap pria tampan itu tanpa keraguan."Satu Miliar?" pekik Nia dan Junaedi. Keduanya lalu tersenyum. Mereka jelas dengan senang hati menyerahkan Malati setelah dijanjikan uang yang melebihi nominal utang mereka!Aldino pun mengangguk. "Hanya saja, pernikahan kami tidak boleh bocor ke publik," ucap Aldino tegas, "dan sertifikat rumah juga harus dipegang oleh Malati."Kali ini, mata Nia membelalak. Jelas, dia tak setuju. Namun, seolah tahu apa yang hendak dilakukan keduanya, Aldino tiba-tiba berkata, "Tenang saja, kalian boleh
Seingat Malati dalam surat perjanjian dikatakan bahwa mereka akan tinggal di rumah kakek Aldino-Eyang Waluyo di mana hanya ditinggali oleh Aldino seorang dan pekerja rumah tangga, karena Eyang Waluyo menetap di Salatiga, Jawa tengah. Sehingga mereka bisa tidur terpisah di kamar masing-masing. “Maaf, Pak. Bukankah kamar kita terpisah?” hardik Malati yang berusaha mengalihkan matanya dari atas kepala ranjang berukuran king size. Ada sebuah foto raksasa Aldino yang menampilkan otot-otot tubuh bagian atasnya. Setahu Malati, Aldino memang penggemar olahraga gym dan senang membentuk otot-otot tubuhnya. Tapi, sampai memajang foto...? “Dengar! Eyang Waluyo akan datang kemari. Dia sedang berada di perjalanan. Kau tahu, bagaimana nanti reaksinya ketika dia mengetahui jika kita menikah tetapi tidak tinggal sekamar? Sandiwara kita akan ketahuan!” jelas Aldino menyadarkan gadis itu dari lamunan. “Sekalipun kau tidur telanjang di atas ranjangku, aku tak tertarik padamu! Kau bukan seleraku.” Ald
Malati bisa merasakan aura tak sedap yang menguar dari air muka Eyang Waluyo saat menatapnya. Sepertinya keberadaan dirinya tak dikehendaki. Barangkali karena perbedaan status sosial menjadi masalahnya. Apalagi Malati hanyalah seorang gadis yatim piatu dan berasal dari keluarga strata sosial menengah ke bawah. Ternyata alasan dicantumkannya ‘Malati harus bersikap baik dan ramah pada Eyang Waluyo’ adalah ini.Sepertinya, pria tua ini memang ketus, keras dan dingin. Tak ada manis-manisnya. Rupanya watak Aldino menurun dari eyangnya ini. Bahkan ... masih mending Aldino, setidaknya ia memiliki jiwa seorang guru alias kebapakan yang sedikit hangat. Hanya sedikit! Khusus untuk anak didik yang penurut saja. “Eyang, saya Malati,” ucap Malati lagi. Ia yang tak pandai berbasa-basi, mengerahkan seluruh keberaniannya hanya sekedar untuk memperkenalkan diri.“Saya sudah tahu, baru saja Aldino mengatakannya.” Eyang Waluyo menjawab dengan nada dingin kembali. “Oalah, siapa Cah Ayu ini? Pilihan
Sementara percakapan ketiganya berlangsung, Eyang Waluyo tengah terbaring lemah di atas ranjang.Perjalanan lewat udara cukup membuatnya merasa letih karena usianya yang sudah renta dan penyakit kronis yang dideritanya. Seorang pengawal setianya hendak memeriksa ke dalam kamar di mana ia istirahat. Ia ingin memastikan kondisi majikannya apakah baik-baik saja atau tidak. Sengaja, ia membawakan secangkir teh melati favoritnya. Tok tok tok!Mendengar pintu diketuk, pria dengan rambut dipenuhi uban itu pun mempersilakannya masuk. “Masuklah!” “Tuan, apa Anda butuh sesuatu?” tanya sang pengawal yang sudah setia menemaninya bertahun-tahun. Melihat kedatangan pengawalnya, terbesit ide di kepala Eyang Waluyo. Ia bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang. “Bagas, tolong kau cari tahu semua hal tentang istri Aldino!” titah pria tua berwatak keras tersebut bernada serius. Ia mencium gelagat yang aneh pada pernikahan cucu kesayangannya. Terlalu mendadak dan wanita yang ia nikahi ...
Malam ini Malati tidur dengan begitu pulas hingga dengkuran halus terdengar. Tak pernah merasakan begitu nikmat menjemput mimpi seperti malam-malam sebelumnya yang senantiasa dipenuhi mimpi buruk yang menyiksa.Tidur di atas kasur yang empuk tanpa ada yang mengusiknya merupakan sebuah berkah luar biasa bagi gadis yang disibukan dengan segudang aktifitasnya seharian. Kini indera pendengarannya selamat dari suara sopran bibinya yang senang sekali mengganggu waktu istirahatnya, menyuruh ini dan itu seperti pada pelayan. Suhu pendingin ruangan semakin menenggelamkan tubuh mungil Malati di balik selimut wol yang hangat. Ia tersenyum dalam tidurnya.Sayup-sayup suara azan subuh menggelitik telinga Malati. Ia sudah terbiasa bangun dini hari, namun hari itu, ia baru bisa bangun menjelang subuh. Perlahan ia membelakan matanya yang terasa berat, berusaha beradaptasi dengan intensitas cahaya yang menerobos masuk melalui retina matanya.Malati tersentak ketika terbangun di kamar asing.“Aku di m
Hari ini usai sarapan pagi yang sedikit dramatis, Aldino mengantarkan Malati berangkat ke kampus. Jika pernikahan yang terjadi normal, seharusnya mereka saat ini tengah menikmati Honeymoon. Sayangnya, mereka menikah secara diam-diam sehingga tidak ada orang lain yang tahu soal status pernikahan mereka kecuali keluarga terdekat.Jarak kediaman Aldino dan kampus Prabu Agung Cakrabuana sekitar sepuluh delapan sehingga cukup lama menghabiskan waktu di perjalanan.Sepanjang perjalanan, atmosfer terasa hening mirip pemakaman.Aldino mengira jika Malati masih marah soal morning kiss yang ia lakukan pagi tadi di hadapan Eyang Waluyo dan Bude Ratna. Pasalnya, setelah pagi tadi Malati berwajah muram, meski sebelumnya selalu muram. Namun kini semakin muram. Begitulah pikiran yang berseliweran di kepala Aldino.Ragu-ragu, Aldino ingin membahas soal perkara tadi, namun ia gengsi. Toh, dalam perjanjian tertulis Malati harus bisa bersandiwara dengan baik sebagai istrinya.Sebaliknya, meski Malati k