Kini Malati menggigit bibir bawahnya. “Dia Pak Aldino, Tante. Kepala sekolah di Madrasah Aliyah Al Fatma,” jawabnya–memberanikan diri.
Nia menatap nyalang Aldino. “Jadi, ada urusan apa kau datang ke mari?”
Dihampirinya pria itu dengan pongah.
Namun, Aldino tampak tak terpengaruh dengan “tekanan” Nia.
“Dengar, Nyonya. Putri Melati ini adalah calon istri saya! Jadi, jangan coba-coba menyentuhnya seujung kuku sekalipun apalagi melukainya!” peringat pria itu.
“Cih! Berani sekali kau!” Nia mendecih dengan tatapan jijik pada Aldino. Ia memindai penampilan Aldino yang rapi dengan tubuh mirip binaragawan.
Tanpa sadar, Nia yang pecinta sinetron ini menyusun skenario aneh di kepalanya.
Wanita paruh baya itu berpikir jika Aldino adalah seorang mafia.
Mungkin, kepala sekolah hanyalah profesi samarannya?
Dan Malati … anak itu diam-diam telah menjadi sugar baby pria itu!
Toh, zaman sekarang apapun bisa terjadi, kan?
Tangan Nia mengepal, marah. Ia tak terima Malati bermain di belakang mereka.
“Malati, cepat usir pria ini!” bentaknya sembari menudingkan telunjuknya ke hadapan wajah Aldino.
Nia paling tidak suka urusannya diintervensi oleh orang lain.
“Baik,” ucap Malati lirih.
Meski jalannya sempoyongan mirip orang mabuk, dia berusaha menegakkan tubuh mungilnya agar bisa mengusir Aldino yang baru saja berbicara ngawur di depan bibinya.
Untungnya, Aldino peka dan langsung mengikutinya.
***
“Sebelumnya, terima kasih karena sudah menyelamatkan saya dari amukan tante saya, Pak,” ucap Malati begitu keduanya sudah keluar dari area rumah, “Mohon, maaf. Tapi, sepertinya sekarang Bapak tau ‘kan kenapa saya belum menandatangani surat kerja dari Bapak?”
Gadis pendiam itu terpaksa harus banyak bicara menghadapi Aldino.
Ia mengira kedatangan kepala sekolahnya saat SMA itu berkaitan dengan Olimpiade Nasional yang akan berlangsung.
Sebagai pemenang setiap Olimpiade tiga tahun berturut-turut, Malati memang diharapkan berkontribusi sebagai alumni dengan mengajar mereka.
Hanya saja, Aldino tampak menggelengkan kepala. “Saya serius dengan perkataan saya! Saya akan menikahimu! Tapi secara siri karena kau masih terlalu muda,” ucapnya.
“Hah? Menikahi saya? Saya tidak paham.”
Malati mendongak, ia pintar dalam ilmu hitung tapi ia tidak pandai menangkap perkataan orang dewasa.
“Baiklah, pasang telingamu! Saya hanya akan mengatakan ini sekali! Saya tak ingin mengulangi kata-kata saya. Saya bukan teller bank yang menjelaskan tutorial merampok bank,” ucapnya.
“Kita menikah. Saya akan menebus rumahmu dari si lintah darat sialan. Saya akan melunasi hutang om dan tantemu yang brengsek. Saya akan menanggung biaya pendidikanmu hingga kau mau meneruskan ke jenjang S3 sekali pun!”
“Hah?” beo Malati tanpa sadar.Aldino tampak kesal melihat respon perempuan di depannya. Hanya saja, dia menahan diri.
“Ini serius. Hanya saja, pernikahan kita hanyalah kontrak selama kurun waktu yang tidak ditentukan! Saya yang menentukan kapan pernikahan itu akan berakhir. Saya tunggu jawabanmu, dua kali dua puluh empat jam!” jelasnya setelah terjeda.
“Hah? Apa?” Malati masih kebingungan. Setelah kepalanya terbentur, sepertinya ia tak bisa berpikir jernih.
“Huh, hah, hoh! Apa kau keong?” kesal Aldino, “Oh, iya. Soal olimpiade, kau juga harus melakukan bimbingan! Tidak boleh menolak!”
Setelahnya, Aldino pergi begitu saja dari hadapan gadis malang itu.
Hilang bak ditelan banjir rob.
Malati terdiam–memikirkan kejadian hari ini.
Dia lega karena Hanan Jagal membatalkan rencana pernikahan dengannya. Namun kelegaannya tak berlangsung lama karena bibinya berencana akan menjualnya kepada seorang mucikari.
Saat ia begitu down, Aldino datang untuk menyelamatkannya dengan sebuah perjanjian yang tak kalah aneh.“Sudah kau usir dia?” salak Nia menyadarkan Malati dari lamunan.
Belum sempat menjawab, tangannya tiba-tiba ditarik menuju ke sofa ruang tamu lagi.
“Su-dah,” jawab Malati tergeragap.
“Sekarang kau berkemaslah! Om Setiadji besok akan mengantarmu ke Jakarta! Kau tak bisa membantah lagi! Kau harus bantu keuangan keluarga. Kecuali kau mau kita semua tinggal di jalanan menjadi pengemis.”
Nia duduk dengan bersedekap tangan di dada.
Deg!
“Sebentar lagi, aku lulus kuliah, Tante. Aku akan melamar kerja ke kantor biar dapat gaji gede,” ucap Malati menjelaskan, “aku tidak akan merepotkan Om dan Tante."
Sejak SMP, memang gadis itulah yang membiayai hidupnya.
Malati selalu mendapat beasiswa. Dan tiap pulang sekolah, dia menjadi buruh cuci dan setrika untuk tetangga mereka.
Begitu SMA, dia bahkan mulai menjadi pelayan paruh waktu di kafe yang menerimanya.
Bila ada waktu, dia juga akan mengajar anak di sekitar rumah.
Biaya rumah tangga juga ia yang tanggung karena sang paman suka berjudi dan tante serta sepupunya sangatlah hedon.
Alih-alih tersentuh, Nia malah menatap sinis.
“Lancang sekali kau? Kau bilang tak menyusahkan Om dan Tantemu ini? Lalu kau makan dan memakai baju dari mana?” hardiknya.
Tangannya mencengkram kerudung Malati hingga terlepas dari kepalanya karena saking gemas.
“Sakit, Tante!” pekik Malati sudah tak kuat lagi. Rambutnya seakan rontok dan lepas dari kepalanya. Wanita paruh baya itu menyeret tubuh Malati hingga masuk ke dalam kamar mandi. Ia mencelupkan kepala gadis itu ke dalam bak mandi.
“Tan-te!”
Malati sulit bernafas. Tak hanya satu kali, Nia kembali menarik lagi kepalanya kemudian mencelupkannya lagi ke dalam bak mandi.
“Mama, apa yang kau lakukan? Kau bisa membunuh Malati!”
Junaedi yang baru saja tiba–langsung memeluk istrinya yang bersikap berlebihan. Nia memang ringan tangan meski ia seorang perempuan.
“Jangan mimpi kau bisa ke kampus lagi! Lagipula, tak ada gunanya sekolah tinggi-tinggi untuk para perempuan! Mau S1, S2, S kul-kul sekalian, pasti lari ke dapur juga.”
“Sumur! Dapur! Kasur!” teriak Nia di depan muka Malati yang pucat pasi.
Nia memberontak dalam pelukan suaminya. Ia benar-benar geram dan benci pada keponakannya.
“Mama, sudah!”
Junaedi terus memeluk tubuh Nia. Kemudian Junaedi menatap keponakannya dan menyuruhnya pergi dengan isyarat matanya.
Malati lantas pergi ke kamarnya dengan perasaan yang berdenyut pilu.
Ia mengurung diri dan menangis di sana. Ia duduk dan menenggelamkan kepalanya di antara ke dua lututnya, meratapi nasibnya.
Tiba-tiba ia teringat akan tawaran kepala sekolah.
Haruskah ia menerima pernikahan kontrak untuk mengatasi masalah finansial keluarganya?
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.