Share

Bab 2

Kini Malati menggigit bibir bawahnya. “Dia Pak Aldino, Tante. Kepala sekolah di Madrasah Aliyah Al Fatma,” jawabnya–memberanikan diri.

Nia menatap nyalang Aldino. “Jadi, ada urusan apa kau datang ke mari?”

Dihampirinya pria itu dengan pongah.

Namun, Aldino tampak tak terpengaruh dengan “tekanan” Nia.

“Dengar, Nyonya. Putri Melati ini adalah calon istri saya! Jadi, jangan coba-coba menyentuhnya seujung kuku sekalipun apalagi melukainya!” peringat pria itu.

“Cih! Berani sekali kau!” Nia mendecih dengan tatapan jijik pada Aldino. Ia memindai penampilan Aldino yang rapi dengan tubuh mirip binaragawan.

Tanpa sadar, Nia yang pecinta sinetron ini menyusun skenario aneh di kepalanya.

Wanita paruh baya itu berpikir jika Aldino adalah seorang mafia.

Mungkin, kepala sekolah hanyalah profesi samarannya?

Dan Malati … anak itu diam-diam telah menjadi sugar baby pria itu!

Toh, zaman sekarang apapun bisa terjadi, kan?

Tangan Nia mengepal, marah. Ia tak terima Malati bermain di belakang mereka.

“Malati, cepat usir pria ini!” bentaknya sembari menudingkan telunjuknya ke hadapan wajah Aldino.

Nia paling tidak suka urusannya diintervensi oleh orang lain.

“Baik,” ucap Malati lirih.

Meski jalannya sempoyongan mirip orang mabuk, dia berusaha menegakkan tubuh mungilnya agar bisa mengusir Aldino yang baru saja berbicara ngawur di depan bibinya.

Untungnya, Aldino peka dan langsung mengikutinya.

***

“Sebelumnya, terima kasih karena sudah menyelamatkan saya dari amukan tante saya, Pak,” ucap Malati begitu keduanya sudah keluar dari area rumah, “Mohon, maaf. Tapi, sepertinya sekarang Bapak tau ‘kan kenapa saya belum menandatangani surat kerja dari Bapak?”

Gadis pendiam itu terpaksa harus banyak bicara menghadapi Aldino.

Ia mengira kedatangan kepala sekolahnya saat SMA itu berkaitan dengan Olimpiade Nasional yang akan berlangsung.

Sebagai pemenang setiap Olimpiade tiga tahun berturut-turut, Malati memang diharapkan berkontribusi sebagai alumni dengan mengajar mereka.

Hanya saja, Aldino tampak menggelengkan kepala.  “Saya serius dengan perkataan saya! Saya akan menikahimu! Tapi secara siri karena kau masih terlalu muda,” ucapnya.

“Hah? Menikahi saya? Saya tidak paham.”

Malati mendongak, ia pintar dalam ilmu hitung tapi ia tidak pandai menangkap perkataan orang dewasa.

“Baiklah, pasang telingamu! Saya hanya akan mengatakan ini sekali! Saya tak ingin mengulangi kata-kata saya. Saya bukan teller bank yang menjelaskan tutorial merampok bank,” ucapnya.

“Kita menikah. Saya akan menebus rumahmu dari si lintah darat sialan. Saya akan melunasi hutang om dan tantemu yang brengsek. Saya akan menanggung biaya pendidikanmu hingga kau mau meneruskan ke jenjang S3 sekali pun!”

“Hah?” beo Malati tanpa sadar.

Aldino tampak kesal melihat respon perempuan di depannya. Hanya saja, dia menahan diri.

“Ini serius. Hanya saja, pernikahan kita hanyalah kontrak selama kurun waktu yang tidak ditentukan! Saya yang menentukan kapan pernikahan itu akan berakhir. Saya tunggu jawabanmu, dua kali dua puluh empat jam!” jelasnya setelah terjeda.

“Hah? Apa?” Malati masih kebingungan. Setelah kepalanya terbentur, sepertinya ia tak bisa berpikir jernih.

“Huh, hah, hoh! Apa kau keong?” kesal Aldino, “Oh, iya. Soal olimpiade, kau juga harus melakukan bimbingan! Tidak boleh menolak!”

Setelahnya, Aldino pergi begitu saja dari hadapan gadis malang itu.

Hilang bak ditelan banjir rob.

Malati terdiam–memikirkan kejadian hari ini.

Dia lega karena Hanan Jagal membatalkan rencana pernikahan dengannya. Namun kelegaannya tak berlangsung lama karena bibinya berencana akan menjualnya kepada seorang mucikari.

Saat ia begitu down, Aldino datang untuk menyelamatkannya dengan sebuah perjanjian yang tak kalah aneh.

“Sudah kau usir dia?” salak Nia menyadarkan Malati dari lamunan.

Belum sempat menjawab, tangannya tiba-tiba ditarik menuju ke sofa ruang tamu lagi.

“Su-dah,” jawab Malati tergeragap.

“Sekarang kau berkemaslah! Om Setiadji besok akan mengantarmu ke Jakarta! Kau tak bisa membantah lagi! Kau harus bantu keuangan keluarga. Kecuali kau mau kita semua tinggal di jalanan menjadi pengemis.”

Nia duduk dengan bersedekap tangan di dada.

Deg!

“Sebentar lagi, aku lulus kuliah, Tante. Aku akan melamar kerja ke kantor biar dapat gaji gede,” ucap Malati menjelaskan, “aku tidak akan merepotkan Om dan Tante."

Sejak SMP, memang gadis itulah yang membiayai hidupnya.

Malati selalu mendapat beasiswa. Dan tiap pulang sekolah, dia menjadi buruh cuci dan setrika untuk tetangga mereka.

Begitu SMA, dia bahkan mulai menjadi pelayan paruh waktu di kafe yang menerimanya.

Bila ada waktu, dia juga akan mengajar anak di sekitar rumah.

Biaya rumah tangga juga ia yang tanggung karena sang paman suka berjudi dan tante serta sepupunya sangatlah hedon.

Alih-alih tersentuh, Nia malah menatap sinis.

“Lancang sekali kau? Kau bilang tak menyusahkan Om dan Tantemu ini? Lalu kau makan dan memakai baju dari mana?” hardiknya.

Tangannya mencengkram kerudung Malati hingga terlepas dari kepalanya karena saking gemas.

“Sakit, Tante!” pekik Malati sudah tak kuat lagi. Rambutnya seakan rontok dan lepas dari kepalanya. Wanita paruh baya itu menyeret tubuh Malati hingga masuk ke dalam kamar mandi. Ia mencelupkan kepala gadis itu ke dalam bak mandi.

“Tan-te!”

Malati sulit bernafas. Tak hanya satu kali, Nia kembali menarik lagi kepalanya kemudian mencelupkannya lagi ke dalam bak mandi.

“Mama, apa yang kau lakukan? Kau bisa membunuh Malati!”

Junaedi yang baru saja tiba–langsung memeluk istrinya yang bersikap berlebihan. Nia memang ringan tangan meski ia seorang perempuan.

“Jangan mimpi kau bisa ke kampus lagi! Lagipula, tak ada gunanya sekolah tinggi-tinggi untuk para perempuan! Mau S1, S2, S kul-kul sekalian, pasti lari ke dapur juga.”

“Sumur! Dapur! Kasur!” teriak Nia di depan muka Malati yang pucat pasi.

Nia memberontak dalam pelukan suaminya. Ia benar-benar geram dan benci pada keponakannya.

“Mama, sudah!”

Junaedi terus memeluk tubuh Nia. Kemudian Junaedi menatap keponakannya dan menyuruhnya pergi dengan isyarat matanya.

Malati lantas pergi ke kamarnya dengan perasaan yang berdenyut pilu.

Ia mengurung diri dan menangis di sana. Ia duduk dan menenggelamkan kepalanya di antara ke dua lututnya, meratapi nasibnya.

Tiba-tiba ia teringat akan tawaran kepala sekolah.

Haruskah ia menerima pernikahan kontrak untuk mengatasi masalah finansial keluarganya?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Pie Mar
Assalamualaikum, Hello My lovely Reader, makasih ya sudah singgah di novel Pie yang terbaru. Novel Istri Rahasia Kepala Sekolah. Jangan lupa support novelnya dengan ngasih gem and komen. Semoga Allah membalas kebaikan kalian semua. Amin. Ini novel spin off Dinodai Sebelum Malam Pertama
goodnovel comment avatar
Wagia Ningsih
masih bab 2 kali ya jadi masih belum tau siapa pelakonnya tapi bikin penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status