Share

Pernikahan Rahasia

"Apa ini bisa disebut menikah?"

Pertanyaan dengan nada sinis itu hanya ditanggapi Abia dengan anggukan polos. Selepas akad, Abia menolak acara resepsi dan sejenisnya. Bahkan meski Arya menawarkannya pesta paling sederhana.

Tentu saja Abia tahu 'sederhana' di mata Arya berbeda makna. Jadi, Abia memilih menolak. Alasannya satu saja, perempuan itu tidak mau rekan sekantornya mengetahui pernikahan mereka.

"Apa menikah dengan seorang duda sepertiku begitu memalukan bagimu?" tanya Arya lagi. Tidak habis pikir.

"Bukan begitu, Pak! Saya malah takut Pak Arya yang malu karena menikah dengan perempuan miskin dan jelek seperti saya," sanggah Abia cepat.

"Dengan penampilan seperti ini, apa kau masih merasa jelek?" Arya bertanya takjub.

Abia mengangguk jujur. Arya mengusap wajah frustasi. Demi Tuhan, jika saja bisa mengatakannya, Arya akan memberi tahu Abia seberapa cantiknya dia sekarang.

Dengan gaun putih susu yang elegan, rambut cokelat terang yang dibuat berantakan namun tetap terlihat menawan, juga netra abu-abu yang berbinar manis. Siapa yang berani mengatakan Abia jelek tentu saja punya masalah mata, pikir pria itu.

"Yang jelas, saya sudah memenuhi ganti ruginya. Saya sudah jadi istri Pak Arya sekarang. Jadi tolong setujui syarat saya juga. Saya tidak ingin orang-orang kantor mengetahui tentang kita," pinta Abia memelas yang sejenak membuat Arya berpikir.

Harus memberi syarat apa agar mereka impas?

"Kalau begitu, aku juga punya beberapa syarat." Arya menyahut cepat.

"Apa?"

"Berhenti memanggilku Pak Arya dan jangan menggunakan bahasa formal saat kita tidak bekerja," jawab pria jangkung itu serius.

Abia menggaruk pipinya kikuk. "Sepertinya susah, Pak. Saya sudah terbiasa begini---"

"Kalau kau tidak bisa menerima syaratku, aku juga tidak bisa," sela Arya final.

"Untuk bahasa formal, mungkin saya bisa. Tapi untuk panggilan ... saya bingung harus memanggil apa," gumam Abia ragu.

"Mas," ucap Arya cepat.

"Hah?"

"Panggil aku Mas Arya. Aku suka panggilan itu," putus Arya seolah tidak mau dibantah.

Belum sempat protes, pria itu sudah keluar dari kamar.

"M-mas?" gumam Abia tidak percaya dengan panggilan barunya.

Oh ayolah, baju pengantin bahkan masih melekat di tubuhnya. Bagaimana bisa Abia lupa kalau sekarang dia sudah menyandang gelar istri CEO Star Group---Arya Januar Malik. Ya ... meski pernikahan mereka dirahasiakan sih.

"Mas Arya?" gumam Abia sekali lagi sambil tersenyum geli.

Abia tahu itu panggilan yang normal. Terutama untuk pasangan suami istri. Tapi, menyebutnya membuat perut Abia serasa tergelitik.

Ada perasaan lucu juga senang yang aneh. Abia juga tidak tahu namanya apa.

***

"Neo, ayo sarapan dulu!"

Seperti kegiatan rutinnya seminggu belakangan, Abia memanggil putra sang atasan. Bisa juga disebut putra tirinya.

Tidak ada yang berbeda dari pernikahan mereka kemarin selain status. Abia dan Arya tetap tidur di kamar berbeda. Hanya saja, sekarang mereka tinggal seatap.

"Kau sarapan saja dulu! Dia tidak menyukaimu, kenapa kau terus mencari perhatian?" tanya Arya mulai kesal dan terusik oleh teriakan sang istri.

Dia sudah sangat lelah melihat bagaimana Abia berusaha merawat Neo. Di saat bocah sipit itu malah mengabaikan bahkan semakin membencinya.

"Saya---"

"Aku, Abia! Gunakan 'aku'!" potong Arya tajam.

"Aku tidak mencari perhatian! Aku hanya ingin merawatnya dengan baik. Pak Arya---"

"Mas!" potong pria itu lagi.

Abia mendengkus jengkel. "Mas Arya sepertinya jarang memperhatikannya. Apalagi saat dia akan berangkat sekolah," sambung perempuan itu sambil mengoreksi panggilannya dengan nada sedikit canggung.

"Oleh karena itulah aku mencarikannya Ibu. Karena aku tidak bisa melakukan semua itu, aku terlalu sibuk." Arya menjawab santai.

"Seharusnya Mas Arya menjadikanku asisten rumah tangga atau babby sitter saja. Bukan istri. Meski tanpa status istri, aku pasti tetap bisa merawat Neo," komentar Abia yang mendadak membuat naf su makan Arya menurun.

"Siapa kau berani mengaturku?! Terserah aku ingin menjadikanmu apa! Atau kau sudah siap mengganti rugi?" sergah Arya yang kontan membuat Abia diam. Tidak lagi berani berbicara.

"Jika kau belum ingin sarapan, pergilah! Aku muak mendengar ocehanmu," usir Arya pedas.

Abia mengangguk sebelum kemudian bangkit dari meja makan. Beberapa saat kemudian, dia sudah berlari menuju kamar Neo. Dia pasti akan memaksa memakaikan sepatu atau seragam putranya setelah ini.

"Bagaimana bisa aku menyia-nyiakan uang 5 milyarku untuk perempuan berisik dan merepotkan seperti dia?" gumam Arya tidak habis pikir sambil menyendokkan nasi gorengnya dengan brutal.

"Sialan, untung saja dia sangat cantik."

***

"Kaus kakimu salah. Warna yang kiri dan kanannya berbeda," tegur Abia begitu masuk ke kamar Neo.

Bocah sipit itu mendelik sebal. "Aku tahu! Aku punya mata untuk melihatnya!" balas Neo sombong.

Abia mengangguk-angguk saja. Kali ini, tangan perempuan itu beralih pada kancing seragam putih merah putra tirinya yang terbuka.

"Karena kau harus memasang dasi, kau harus mengaitkan kancingnya hingga ke paling atas. Agar terlihat rapi," jelas Abia sambil mengancingkan seragam Neo.

Dia sebenarnya tidak terima. Tapi, karena penjelasan Abia terdengar ada benarnya, Neo diam saja. Membiarkan Abia bahkan sedikit menyisir rambut pirangnya.

"Nah, begini sudah tampan. Apa kau mau Bibi mengantarmu ke sekolah juga?" tanya Abia semangat. Tidak memedulikan wajah masam dan tidak bersahabat sang putra.

Neo menggeleng keras. "Aku tidak akan sekolah jika Bibi yang mengantarnya. Aku akan bolos!" teriak bocah itu tegas.

"Yasudah, tidak apa-apa. Kalau begitu, Bibi berangkat kerja dulu, ya?" pamit Abia sambil meletakkan tas sekolah putranya di atas ranjang.

Baru saja akan berbalik pergi, tangan mungil Neo menahan jemari kelingking Abia. Perempuan itu menoleh heran sekaligus bingung.

"Ada apa?"

"Bibi tidak perlu bersikap sok baik. Aku tahu semua ibu tiri itu sebenarnya jahat. Jadi jangan coba menipuku!" peringat Neo dengan wajah serius yang justru membuat Abia tertawa.

Pemikiran dan khayalan anak kecil memang mengerikan.

***

"Kenapa kau lama sekali?!" teriak Arya marah begitu melihat Abia baru keluar menuju teras rumah.

Abia mengerjap terkejut begitu mendapati pria itu rupanya menunggu. Ia pikir Arya sudah berangkat lebih dulu tadi.

"Pak---eh, Mas menungguku?" tanya Abia yang hanya ditanggapi Arya dengan putaran bola mata malas.

"Menurutmu?" tanya pria itu dengan nada menjengkelkannya.

"Tapi kita tidak bisa berangkat bersama, Mas. Takutnya yang lain malah curiga," ucap Abia serius.

Arya menghela napas kasar. "Seharusnya aku memang tidak menunggu pegawai tidak tahu diri sepertimu."

Belum sempat menyahut lagi, mobil Arya sudah melesat meninggalkan halaman rumah. Abia berlari mengejar tapi sudah terlalu jauh. Perempuan itu cemberut sambil terus berjalan di bahu jalan---berniat menuju halte bus.

"Padahal aku belum mengatakan tidak mau. Dia sudah asal pergi saja," gumam Abia sedikit sebal.

TIN TIN TIIIN!

Klakson beruntun juga tidak sabaran dari belakang membuat Abia menoleh. Rupanya, seorang pria berkacamata hitam melongokkan kepala dari kaca jendela.

"Cepat masuk! Kau butuh tumpangan, kan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status