Share

Keputusan Besar

"Daddy!"

Arya mendelik terkejut begitu mendapati Neo berdiri di ambang pintu kamarnya. Kontan, pria jangkung itu menaruh telunjuk di depan bibir---kode agar bocah sipit itu diam.

"Kenapa Daddy tidak kembali ke kamarku?!" Neo malah berteriak semakin kencang.

Arya yang takut Abia terbangun oleh teriakan sang putra, segera berlari dan menyeret Neo keluar. Setelah menutup pintu dengan pelan dan hati-hati, pria itu menyorot putranya tajam.

"Daddy kan sudah menyuruhmu tidur. Kenapa kau ke sini? Lalu apa maksudmu berteriak seperti tadi? Bibi Abia sedang tidur, jangan sampai kau mengganggu istirahatnya!" tegur Arya tegas.

"Daddy marah padaku?" tanya bocah sipit itu malah hampir menangis.

Arya mengusap wajahnya frustasi. "Bukan begitu, Neo! Kau---"

"Daddy sudah tidak menyayangiku lagi? Apa dia akan jadi mama tiriku?" tanya Neo menyela ucapan Arya.

Mengabaikan pertanyaan putranya, Arya segera mengangkat tubuh Neo kemudian menggendongnya menuju kamar.

"Aku tidak mau mama tiri! Di film yang kutonton, mereka hanya baik di depan tapi jahat di belakang." Neo terus mengoceh saat Arya membaringkannya di ranjang bocah itu.

"Tidurlah, Neo! Besok kau harus sekolah," tegur Arya tidak ingin menggubris ucapan putranya.

"Aku tidak mau mama tiri, Daddy! Aku akan membenci Bibi Abia jika dia menikah dengan Daddy!" teriak Neo masih bersikeras dengan pendiriannya.

"Tidurlah, Bintang Neo Prasaja!" Mendengar nada menyeramkan Ayahnya, Neo akhirnya memejamkan mata.

Tidak butuh waktu lama untuk mendapati bocah sipit itu akhirnya benar-benar terlelap. Arya menghela napas kasar.

Andai saja putranya tahu. Jika tidak bertemu Abia 7 tahun lalu, mungkin Neo tidak akan pernah ada sampai hari ini.

***

Begitu bangun pagi ini, Abia mendapati seorang bocah sipit berdiri di sisi ranjangnya. Abia yakin dia adalah bocah dalam figura foto yang selalu terpajang rapi pada ruangan Arya di kantor.

Dia pasti Bintang Neo Prasaja. Putra seorang Arya Januar Malik yang entah mendapat marga dari mana.

"Bibi!" panggilnya nyaris seperti teriakan.

Abia bangkit duduk sambil mengucek mata.

"Kau Neo, ya? Hai!" sapa Abia ramah sambil hendak mengusap gemas puncak kepala bocah itu.

Tetapi, Neo menepisnya keras.

"Argh!" Abia meringis.

Luka bekas injakan Ayahnya masih terasa jelas. Jangankan ditepis sekeras itu, disentuh saja rasanya sangat nyeri.

"Neo!" Teriakan dari ambang pintu mengalihkan atensi keduanya.

"Kenapa kau memukul Bibi Abia?! Dia sedang sakit!" bentak Arya pada putranya marah.

"Eh, maaf, Pak. Tadi saya yang lancang asal menyentuh dia. Tolong jangan marahi Neo," sela Abia panik.

"Kau diam saja! Dia putraku, aku berhak memarahinya," balas Arya tajam.

Abia mengangguk kikuk. Membiarkan saja kali ini Arya mulai mengomeli bocah sipit itu lagi.

"Apa Daddy pernah mengajarimu untuk berbuat kasar apalagi memukuli orang lain?! Apa Daddy pernah menyuruhmu bersikap tidak sopan terutama kepada orang yang lebih tua?!" Arya bertanya setengah membentak.

Neo menggeleng sambil menunduk dalam. Abia dapat melihat mata bocah 7 tahun itu tampak berkaca-kaca. Dia jadi merasa bersalah sekarang.

"JAWAB DADDY, NEO!" Bahkan, Abia juga ikut terlonjak kaget mendengar bentakan sang atasan.

"Aku benci Bibi Abia!" teriak Neo sebelum kemudian berlari keluar kamar.

Abia memandangi kepergian bocah itu dengan perasaan diliputi sesal. Andai saja dia tidak berniat menyentuh kepala Neo tadi. Pasti dia tidak akan dimarahi separah ini.

"Pak Arya seharusnya tidak memarahinya sekasar itu. Dia hanya anak kecil," tegur Abia sambil menunduk takut. Tidak berani menatap wajah CEO Star Group tersebut.

"Tadi memang saya yang salah. Saya yang tiba-tiba ingin memegang kepalanya," sambung Abia jujur.

"Kuambilkan sarapan dulu," ucap Arya sambil berbalik dan berlalu dari kamar.

Beberapa saat kemudian, pria jangkung itu kembali dengan senampan berisi obat, nasi beserta lauk, juga segelas air. Abia jadi semakin merasa tidak enak menyadari pria yang bergelar bosnya di kantor itu malah melayaninya.

"Saya benar-benar merasa tidak enak. Bapak seharusnya tidak melayani saya seperti ini," ungkap Abia begitu Arya meletakkan nampan itu di atas nakas.

"Kau kan memang merepotkan. Jadi jangan terlalu dipikirkan." Entah itu bentuk kalimat menenangkan atau kejam, pikir Abia.

"Kalau begitu, apa Pak Arya bisa mengantar saya pulang setelah ini? Saya tidak mau lebih merepotkan lagi. Atau kalau tidak bisa, tolong beri saya ongkos taksi setidaknya sampai kontrakan saya. Ponsel saya hilang," pinta Abia mencoba menahan malu.

Arya berdecak kesal. Dia sudah berusaha bersikap baik. Tapi sepertinya, Abia memang lebih senang dikasari.

"Jika ingin cepat pulang, sembuhlah terlebih dahulu. Aku akan membiarkanmu pulang jika kondisimu sudah benar-benar baik," sahut Arya sambil meraih piring berisi nasi dan lauk.

"Jadi sekarang makanlah! Kau ingin cepat sembuh, kan? Atau kau memang senang berlama-lama di sini?" tanya Arya sambil menyodorkan sesendok nasi ke depan mulut Abia.

"S-saya bisa makan sendiri, Pak. Tidak perlu disuapi," tolak Abia canggung.

"Apa susahnya memakan ini?! Kau seharusnya beruntung seorang bos sepertiku mau menyuapi pegawainya!" Arya menggeram tidak sabar.

Abia mengangguk sebelum kemudian melahap sesendok nasi yang disodorkan Arya. Anehnya, saat mengunyah makanan itu, bayangan saat Arya menolongnya malah melintas di benak.

Makan dengan disuapi begini entah kenapa juga membuat perasaannya menghangat. Belum pernah ada yang merawat Abia sebaik ini. Sungguh.

Biasanya, dulu saat mengadu sakit pada Bisma, sang ayah malah semakin memukulinya. Dia bilang Abia hanya mencari alasan untuk tidak bekerja.

"Kenapa kau menangis?!" panik Arya begitu mendapati satu-persatu cairan bening jatuh di pipi tirus perempuan itu.

Abia yang tersadar dari lamunannya hanya menggeleng. Tidak tahu harus menjelasakan perasaannya bagaimana.

"Apa tubuhmu sakit lagi? Atau makanannya terlalu pedas? Perlu kupanggilkan dokter?" Pertanyaan beruntun Arya justru semakin membuat Abia menangis lebih keras.

Abia tidak tahu bahwa Arya bisa bersikap sepeduli ini. Bosnya yang sebelumnya paling dia benci, mulai bersikap manusiawi.

"Jangan diam saja! Aku bingung harus melakukan apa," geram Arya antara panik sekaligus kesal.

"Ma-af. Saya ... s-saya hanya tidak terbiasa diperlakukan begini. Pak Arya terlalu baik," jelas perempuan itu jujur.

Arya menghela napas lega. "Dasar cengeng! Setidaknya menangislah hanya saat kau bersedih! Kau membuatku bingung sekaligus khawatir," cerca Arya.

Abia mengangguk patuh.

"Aku memang baik. Tapi ... jangan pernah lupa soal ganti rugimu," ucap Arya malah mengingatkan Abia pada hal yang membebaninya beberapa waktu belakangan.

"Tapi, Pak, saya tidak punya uang sebanyak itu. Tapi saya juga tidak mau dipenjara!" ucap Abia panik.

"Jadi?" tanya Arya sambil menaikkan sebelah alisnya dengan senyum miring.

"Saya bersedia menikah dengan Pak Arya. Dengan syarat, pernikahan kita dirahasiakan dari rekan-rekan sekantor. Selain untuk melunasi ganti rugi, saya juga ingin membalas budi," jawab Abia yakin. "Pak Arya sudah menyelamatkan hidup saya kemarin," sambung perempuan itu.

"Pilihan yang tepat," timpal Arya sambil tersenyum.

Semoga saja, Abia tidak menyesali keputusan besarnya kali ini. Menikah dengan Arya ... tidak seburuk itu, kan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status