Joe yang hendak mengejar, dengan cepat didorong oleh Ben, “Apalagi yang ingin kau lakukan? Apa lagi yang kau butuhkan darinya?”
Terdiam dan tidak bisa menjawab. Joe pun bingung mengapa ia begitu tertarik untuk menanggapi keberanian Viona. Duda tampan itu memilih untuk mengabaikan Ben dan beranjak ke kursinya.
“Kenapa kau tidak menjawab?” Ben melanjutkan, “aku tidak sedang bermimpi, kan? Kudengar kau melamar gadis itu tadi. Apa kau sudah mulai move on, bro? Wow, bagus sekali. Aku turut berbahagia untukmu!”
Ben tidak menyembunyikan kebahagiaannya ketika dia berpikir bahwa kakaknya sudah mulai membuka hatinya untuk wanita lagi.
Sebagai adiknya, dia adalah orang yang paling tahu betapa hancurnya kakaknya ketika istrinya meninggal. Hanya Ben yang berada di sisi Joe saat sang kakak memutuskan hubungan dengan orang tua mereka dan memilih untuk membesarkan Sammy seorang diri.
Melihat interaksi Joe dan Viona tadi membuat Ben menaruh harapan baik pada kehidupan kakaknya.
“Diamlah. Berisik sekali.” ujar Joe yang langsung menghentikan tawa adiknya dengan kalimat berikutnya, ”Aku mau pulang. Kau lembur sampai malam.”
“Apa-apaan ini?! Aku harus lembur lagi? Ini kejam, tau!” protesnya dengan segera, tapi kakaknya tetap tidak peduli.
Joe mengabaikan kakaknya dan mulai berjalan keluar dari kamarnya. Setelah pintu tertutup, ia langsung dihampiri oleh sekretarisnya-Shera, “Bos?”
“Atur ulang panggilan untuk wawancara lain untuk wanita itu. Pastikan bagian personalia tidak menyebutkan nama saya. Keputusan untuk menerimanya atau tidak adalah urusanmu. Lakukan seprofesional mungkin sesuai prosedur.” perintahnya.
“Oke, Bos. Ada lagi, Bos?” Shera bertanya.
“Pak Ben ada di dalam. Tolong bantu dia untuk menggantikan saya. Saya mau pulang, anak saya sedang tidak enak badan. Selamat siang, Shera.” jawabnya lengkap dan mulai berjalan meninggalkan sekretarisnya.
Saat dia berjalan, ingatannya tentang Viona kembali dan ini membuat senyum Joe sedikit terangkat sambil bergumam, “Apa yang salah denganku? Kenapa aku bisa luluh dengan perempuan itu?”
***
Seperti yang diperintahkan Joe, manajemen perekrutan karyawan The Eye God Tower segera mengirimkan undangan wawancara ulang kepada Viona. Itulah alasan Viona kembali ke gedung perusahaan Joe yang telah ia tinggalkan kemarin.
Ditambah lagi kabar yang disampaikan Jansen tadi pagi membuat Viona harus segera mendapatkan pekerjaan dari perusahaan Joe.
“Sudah sampai, Bos.” Jansen memotong pembicaraan Viona.
“Apa yang kau katakan tadi adalah berita valid, Jansen? Akan kurobek mulutmu kalau bohong.” Viona yang tersadar dari lamunannya langsung bertanya kepada Jansen dengan serius.
“Kau bisa tanya langsung ke Bos Besar untuk mendapatkan berita yang valid tentang pembelian tanah dari hasil lelang itu, Bos. Aku tidak mungkin berbohong kepadamu.” Jansen menjawab dengan jujur dan itu terlihat dari raut wajahnya.
Kabar tentang lelang tanah yang dimenangkan oleh 'Bos Besar', seperti yang disampaikan Jansen, membuat Viona khawatir. Itu artinya, bangunan panti asuhan yang dulu pernah ditempatinya dan saat ini sedang diperjuangkan oleh Viona, harus segera dipindahkan sebelum anak-anak panti asuhan tidur di pinggir jalan setelah rumah mereka rata dengan tanah.
Pihak panti asuhan juga tidak bisa berbuat apa-apa karena bangunan panti asuhan tersebut dibangun tanpa izin mendirikan bangunan resmi dari pemerintah. Mereka harus rela pindah tanpa ada ganti rugi sepeser pun.
“Bukankah sebaiknya kau pulang dan bicara baik-baik dengan Bos Besar, Bos?” Jansen bertanya dengan hati-hati.
“Kira-kira berapa banyak uang yang harus kudapatkan untuk memindahkan dua puluh anak yatim piatu itu ke tempat yang layak huni?” Alih-alih menjawab pertanyaan Jansen sebelumnya, Viona malah mengganti topik pembicaraan.
Jansen menarik napas panjang sebelum menjawab, “Lima Ratus Juta Rupiah. Kurasa uang sebanyak itu bisa untuk membeli rumah yang cukup besar untuk anak-anak, Bos.”
“Jumlah yang sangat banyak. Dari mana aku akan mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat?” Lagi-lagi, bukannya menanggapi perkataan Jansen, Viona malah bergumam sendiri, dan itu membuat Jansen sedikit kesal.
“Hanya ada dua kemungkinan. Kau menang lotre atau pulang dan berbicara dengan Big Boss. Selain itu-,”
“Lupakan saja. Otakmu terlalu kecil untuk memikirkan hal-hal besar.” Viona langsung mencibir. Ternyata sejak awal ia sudah mendengarkan ocehan Jansen, “Aku mau turun sekarang, dan kuminta kau jangan terus mengikutiku. Aku ingin bebas, tau?”
“Terserah kau saja, Bos. Tapi aku akan tetap mengamatimu dari jauh. Semoga berhasil, Bos!” Jansen berkata pada Viona dan setelah itu, dia mengemudikan mobilnya kembali.
“Terserahmu,” gumam Viona lalu berjalan masuk ke dalam gedung besar tempat ia akan memulai perjalanan barunya-The Eye God Tower.
Karena kehebohan yang ditimbulkan Joe kemarin dan juga lalu lintas yang padat di ibukota, Viona datang terlambat. Untungnya, Jansen ada di sana dan langsung mengajaknya untuk melakukan wawancara ulang di kantor besar tersebut.
Viona segera berlari ke dalam, sebelum sampai di ruangan HRD yang harus ditujunya, Viona didorong oleh satpam yang berjaga di sana.
“Maaf, Pak. Saya terlambat. Bisa antar saya ke bagian ini?” Viona menyapa mereka sambil menyodorkan email tentang ruangan mana yang harus ia tuju. Namun kedua petugas keamanan di depannya hanya bertukar pkamung dan saling menggelengkan kepala.
“Ini sudah terlambat, Nona. Di kantor ini, tidak ada yang suka dengan orang yang terlambat. Waktu adalah uang!” salah satu satpam mencibir Viona.
“Tapi datang terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali, bukan begitu, Pak? Siapa tahu ternyata saya masih punya nasib baik dan menunggu saya di dalam? Apa kalian berdua ingin ini menjadi masalah bagi kalian?” Pernyataan Viona membuat mereka bingung karena apa yang dikatakannya mungkin saja benar.
Setelah berpikir sejenak, kedua petugas keamanan di depan Viona saling bertukar pkamung hingga akhirnya mereka mengambil keputusan, “Baiklah, Nona. Mari kami antar ke dalam.” kata petugas yang sebelumnya mencibir Viona.
Viona berseru senang dalam hati. Dengan harapan yang tinggi, ia mengikuti langkah satpam yang membawanya ke sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu terlihat sudah ada beberapa orang yang menunggu.
“Permisi, Ny. Daisy. Saya mengantarkan Nona ini. Katanya beliau datang karena ada undangan wawancara.” Petugas keamanan itu menyapa dan memberitahukan kedatangan Viona.
Seketika itu juga, tatapan mata seorang wanita berusia 40-an bernama Daisy melirik ke arah Viona, disusul dengan tatapan mata seorang pria berpakaian rapi dengan kacamata bertengger di hidungnya, seolah menilai cara berpakaian dan penampilan Viona saat ini.
“Silakan duduk dan mulai perkenalkan diri kamu.” Satu kalimat tegas tanpa basa-basi keluar dari mulut Ny. Daisy.
Viona menegakkan posisinya dan dengan tenang mulai memperkenalkan diri kepada kedua penilai di depannya. Perlahan tapi pasti, ia dapat masuk ke dalam percakapan dan dengan cepat mengubah ekspresi kedua penilai dari sinis menjadi santai.
Baik Ibu Daisy maupun pria yang menjadi rekannya tampak terpesona pada Viona, yang ternyata sangat cerdas ketika ditanyai banyak pertanyaan sulit.
Ibu Daisy dan rekannya menghentikan pertanyaan mereka sejenak. Mereka berdua terlihat berdiskusi tanpa melibatkan Viona.
'Apa? Sudah cukup? Tapi kenapa mereka kebanyakan bertanya tentang keluarga dan anak-anak? Bukankah ini perusahaan gadget ternama di negeri ini? Apa hubungannya dengan keluarga dan anak-anak?
Viona bergumam. Ia bingung mengapa sebagian besar pertanyaan yang diajukan oleh Ibu Daisy tidak berhubungan dengan perusahaan.
“Lalu, bagaimana dengan alamat kamu? Di resume kamu, tertulis alamat kamu saat ini adalah sebuah toko bunga di Distrik Kuning, dan setahu saya, area itu adalah aset milik perusahaan ini. Bisa kamu jelaskan, Nona Viona?” Nyonya Daisy bertanya lagi.
“Saya lahir di kota ini, tapi tumbuh dan tinggal di Bangkok. Beberapa bulan yang lalu saya baru saja kembali ke kota ini dan memutuskan untuk menetap di negara ini. Anda bisa melihat identitas saya di surat lamaran kerja saya.”
“Dan ketika saya mendapatkan tempat tinggal dan toko untuk membuka usaha, ternyata pemilik toko sebelumnya telah menipu saya. Saya menyesal karena tidak berhati-hati dan ternyata ruko tersebut telah menjadi aset perusahaan ini,”
Viona menjawab dengan jujur dan dengan sikapnya yang tenang dalam menyampaikan semuanya, membuat Ibu Daisy dan rekan-rekannya mengambil keputusan.
Setelah menunggu beberapa saat, Ibu Daisy akhirnya menyatakan keputusannya, “Oke, kami sudah memutuskan. Kamu diterima sebagai bagian dari The God Eye Tower, tapi tidak ditugaskan di kantor ini.”
Ucapan Nyonya Daisy langsung membuat Viona bingung, “Apa maksudnya, Bu? Saya tidak mengerti,”
“Ini sedikit membingungkan untuk dijelaskan, tapi sebenarnya, perusahaan ini tidak memiliki lowongan untuk karyawan baru.” Bu Daisy menjelaskan lagi, namun hal ini membuat Viona semakin bingung, “Kamu diterima dan akan ditempatkan di rumah Direktur Utama untuk bekerja di sana,”
“Apa?”
"Maaf, aku tidak memiliki kewajiban untuk menjawab pertanyaan yang menurutku bersifat pribadi. Dan lagi, kurasa sikapmu salah, Tuan,""Walau aku tidak mengenalmu ataupun tahu seberapa akrabnya hubunganmu dengan Wakil Presdir, tapi kau tidak dibenarkan untuk duduk di kursinya. Silahkan turun dari sana dan duduklah bersamaku di sofa,"Sikap Milea yang berani membuat Ben menyunggingkan senyumnya, meski kebodohan Milea sangat fatal kali ini. Ia melakukan kesalahan terbesar dengan tidak mengenali atasannya sendiri.Ben hanya tersenyum mengikuti perintah Milea yang sudah memasuki peran sebagai sekretaris Wakil Presdir yang baik. Ben bangkit dari kursi kebesarannya dan berjalan mendekati Milea yang lebih dulu duduk di sofa, tempat duduknya semula.Tapi langkah Ben terlihat aneh karena saat ini bukannya ia seharusnya berjalan ke sofa di seberang Milea, tapi Ben malah terlihat mendekati Milea dan mengurung Milea hingga tersudut bersandarkan kepala sofa dengan tidak nyaman."Untuk nyali seorang
"Kau Milea?" Dita bertanya dengan sedikit bingung saat melihat dengan langsung penampilan Milea saat ini.Benar saja, Milea memang terlihat seperti pria. Ya, pria yang cantik."Ya, benar. Namaku Milea Anandita. Aku yang melamar pekerjaan di perusahaan ini, Nona." jawab Milea panjang."Apa penampilanmu memang seperti ini sehari-hari?" Dita bertanya bingung."Hmm, tergantung, Nona. Aku bisa jadi apa saja sesuai kebutuhan, hehe." jawab Milea setengah tertawa, "Tapi, walau penampilanku aneh seperti ini, percayalah, aku bisa menjalankan tugas sekretaris dengan baik. Dan aku yakin bisa membantu meringankan tugas Wakil Presdir dengan pengalaman bekerjaku, Nona." sambung Milea yakin."Hmm, boleh juga. Baiklah, kurasa aku menyukaimu dan setuju agar kau menjadi sekretaris Wakil Presdir. Tapi—,” ucap Dita setengah menggantung."Kau seorang wanita. Meskipun saat ini kau berpenampilan sebagai pria, di masa depan siapa yang akan tahu apakah kau akan mengubah penampilanmu dan malah berbalik menggoda
Kantor pusat The Eye God Tower…"Cory, bagaimana dengan penerimaan sekretaris baru yang kuajukan padamu? Apa kau sudah mulai menjalankan perintahku?" tanya Dita pada sahabatnya Cory yang merupakan Manajer Departemen HRD di Eye God Tower."Sudah. Tenang saja. Aku tidak mungkin mengecewakanmu, Dita." jawab Cory santai, "Tapi, aku tidak yakin kau akan menerima wanita-wanita yang melamar ke kantor hari ini." lanjut Cory ragu."Why not? Apa ada yang salah dengan persyaratanku?" tanya Dita bingung."Hmm, entahlah. Aku tidak yakin. Silahkan kau lihat sendiri data-data pemohon pekerjaan itu. Duduklah dulu di sofa, aku akan memanggil bawahanku untuk membawa data mereka," ucap Cory seraya mempersilahkan Dita menunggu dengan santai."Apa ada yang aneh? Sepertinya persyaratan mencari sekretaris handal untuk Direktur sudah cukup standart,” Dita masih bingung."Bukan itu masalahnya. Tunggulah sebentar lagi, kau akan tahu apa yang kumaksud saat ini." ucap Cory.Beberapa menit kemudian, sekretaris Co
Kelahiran si kembar Sophia dan Sean membuat kebahagiaan keluarga Clayton menjadi lebih sempurna. Baik Angie dan bayinya, ketiganya dipulangkan dari rumah sakit dengan keadaan sehat dan bugar.Pasca Angie melahirkan secara Caesar, Joe tentu saja memerlukan banyak waktu luang di rumah untuk membantu istrinya menjaga ketiga anak mereka, karena tidak mungkin Nyonya Neta atau Tuan Royce yang terus berada di rumah mereka.Meskipun mempekerjakan Nanny, tapi Angie dan Joe berusaha memberikan waktu full untuk anak-anak mereka.Dan sudah pasti jika ceritanya seperti itu, maka ada Ben yang menjadi tumbal perusahaan. Tidak main-main, bahkan itu sampai menginjak 6 bulan. Hahaha…Sementara itu, malam hari di kantor The Eye God Tower."Sayang. Cepatlah selesaikan pekerjaanmu! Ini sudah terlalu malam." rengek seorang wanita seksi bernama Dita.Dita Sagala, itulah nama lengkap dari wanita cantik di hadapan Ben yang sudah terlihat bosan menunggu sang pacar.Faktanya, Dita adalah wanita baik dan dari ke
"Angie, kau tidak apa-apa, kan? Bagaimana perasaanmu? Kau butuh sesuatu?” Tanya Ben beruntun pada Angie.Kini Angie sudah berada di ruangan rawat. Sementara si kembar masih di ruang perawat untuk dibersihkan.“I’m OK, Ben,”“Ada yang sakit tidak? Perlu kupanggilkan dokter?” Kini ia bertanya khawatir. Raut wajah pucat kakak iparnya itu jelas sekali dilihatnya.“Tidak perlu. Terima kasih. Kau terlihat kacau,” jawab Angie sambil tersenyum ringan dan sesekali meringis.Kondisi Angie yang tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal mengharuskannya menjalani operasi caesar. Tapi semua itu tidka masalah, yang terpenting Angie dan kedua bayinya sehat. Itulah yang sangat penting bagi mereka semua.“Angie, terima kasih untuk semuanya,” Ben berucap lagi, kali ini wajahnya memerah menahan tangis.“Terima kasih untuk apa?”“Terima kasih karena kau datang ke keluarga kami. Membawa cahaya kebahagiaan bagi Sammy dan kakakku, tentu saj aaku juga bahagia melihat keduanya bahagia,” Ben kini menang
Angie berjalan pelan ke arah tangga sejak kehamilannya mendekati bulan kelahiran. Joe memang sengaja mengganti kamar mereka ke lantai satu, alasannya tentu saja agar Angie tidak harus bolak-balik naik turun tangga.Angie mendongak ke atas. Ini adalah hari minggu Sammy dan Ben sepertinya belum bangun, terbukti mereka yang belum turun ke bawah sejak tadi.Baru saja Angie hendak naik ke anak tangga pertama, wanita itu tiba-tiba memegangi perutnya yang terasa sakit.Angie meringis sambil memegang pegangan tangga supaya tidak jatuh. “Ya ampun, Nyonya! Nyonya tidak apa-apa?” tanya seorang asisten rumah tangga yang kebetulan lewat dengan teh di tangannya. Wanita paruh baya itu menaruh tehnya lalu beralih menghampiri Angie lagi. Dia menahan tubuh Angie agar tidak jatuh.“Bibi, sakit sekali,” lirih Angie.“Tuan Joe, Tuan Ben! Lihatlah Nyonya. Nyonya kesakitan!” Teriak asisten rumah tangga tersebut.Joe yang baru saja keluar kamar dan mendengar suara teriakan langsung berjalan terdesak. Sement