“Maaf, tapi aku benar-benar tidak mengerti apa maksud dari semua ini. Bagaimana mungkin aku bekerja di rumah pribadi Presiden Direktur?” Viona menyuarakan kebingungannya.
“Itu dia, Nona. Saya akan menjelaskan detailnya kepada kamu. Menurut penilaian murni kami, kamu diterima untuk bekerja dan menjadi bagian dari The Eye God Tower tetapi tidak dipekerjakan di perusahaan tetapi di rumah pribadi presiden direktur sebagai pengasuh anak dan asisten pribadi presiden direktur.”
“Perusahaan akan menggajimu dengan gaji yang layak. Kamu akan mendapatkan lima ratus juta rupiah untuk pekerjaan kamu selama masa kontrak satu tahun.”
“Untuk detail pekerjaan apa saja yang harus kamu lakukan, Direktur Utama sendiri yang akan menjelaskannya kepada kamu setelah kamu setuju untuk menandatangani kontrak kerja.”
“Kami akan memberikan waktu kepada kamu untuk memikirkan hal ini selama tiga hari mulai hari ini. Karena jika masa tenggang waktu tersebut terlewati, kesempatan ini akan diberikan kepada orang lain dalam antrian pelamar kerja.”
“Tolong berikan tanggapan kamu, Nona Viona. Kami menunggu keputusan kamu melalui email. Dan terima kasih atas waktu dan kesempatannya hari ini. Senang bertemu dengan kamu,”
Ibu Daisy menjelaskan secara detail mengenai kontrak kerja yang harus dipertimbangkan oleh Viona. Meski masih bingung, Viona tetap menanggapinya dengan tenang.
“Terima kasih, Bu, Pak. Saya akan memberikan jawaban secepatnya. Sekali lagi, terima kasih.” Viona tersenyum senang, berterima kasih kepada Ibu Daisy dan rekan-rekannya.
Setelah itu, Viona meninggalkan gedung Menara Dewa Mata dengan hati yang masih ragu-ragu.
“Lima ratus juta selama setahun bekerja dengan pria aneh itu. Apa aku tidak akan menjadi gila karenanya?” Viona menggerutu mengingat sikap Joe yang tidak masuk akal dan menjengkelkan.
Namun setelah mengingat kebutuhan mendesak akan panti asuhan, ia segera menarik napas dalam-dalam, “Apakah tidak ada pilihan lain bagiku, Tuhan?”
'Mungkin hanya ada dua. Kau menang lotre atau pulang dan berbicara baik-baik dengan Bos Besar, Bos.’
Di tengah keraguannya, kata-kata Jansen sebelumnya muncul.
“Sial. Aku tidak akan pulang. Aku akan tetap di sini tidak peduli seberapa keras si tua bangka itu memojokkanku.” gerutunya sambil mengingat wajah seorang pria tua yang dipanggil Jansen dengan sebutan ‘Bos Besar’.
Viona memutuskan untuk pergi ke tempat yang membuatnya nyaman untuk menghentikan pikirannya yang kacau. Ia harus memikirkan keputusannya untuk mengambil tawaran kontrak kerja tersebut atau mencari cara lain untuk mendapatkan uang bagi panti asuhan.
Sementara itu, setelah Viona pergi, Nyonya Daisy terlihat melaporkan hasil wawancara Viona kepada sekretaris Joe, “Nona Shera, wawancara telah selesai dan hasilnya telah diputuskan. Saya dan rekan memutuskan untuk menerima Nona Viona Bharadja untuk menerimanya. Namun untuk keputusan Nona Viona apakah menerima atau menolak, mari kita tunggu bersama.”
***
Sepulang kerja, Sammy kecil menatap Joe dengan penuh harap. Sang Papa, yang sejak awal menjanjikan kabar gembira kepadanya, kini mulai memenuhi janjinya. Dari balik jaketnya, Joe mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya kepada anaknya.
“Ada pesan video untukmu, coba buka,” kata Joe sambil tersenyum.
Seketika si kecil tersenyum karena ia yakin itu tentang Bibi Bee, dan ketika melihat wajah Viona di layar ponsel Papanya, Sammy menjadi lebih senang lagi.
'Hai, Sammy. Apa kamu masih ingat dengan Bibi Bee? Eh, tidak. Bibi Viona. Bagaimana kabarmu, Nak? Semoga kamu cepat sembuh, oke? Terima kasih sudah membantuku. Kamu sudah terlihat seperti Bumble Bee versi kecil, tau? Kamu keren, Sammy!’
'Cepat sembuh ya, supaya kamu bisa cepat kembali sekolah dan semakin pintar. Semoga nanti kita bisa bertemu lagi, ya? Sampai jumpa, pahlawanku... Muuaah!’
Tangan Sammy refleks terangkat untuk melambaikan tangan ke layar ponsel sementara Viona juga melambaikan tangan sebelum video singkat itu berakhir.
“Bagaimana, sudah membaik?” Joe bertanya dengan lembut dan Sammy mengangguk.
Namun, setelah beberapa saat, si kecil kembali murung dan terdiam. Sebagai Papanya, Joe dapat dengan mudah menebak apa yang sedang dipikirkan oleh si kecil. Tapi, itu adalah ide yang konyol bagi Joe Clayton.
Ayah tunggal yang sudah lima tahun belakangan ini merawat putranya seorang diri itu paham bahwa video singkat Viona masih belum cukup untuk si kecil. Sammy ingin bertemu langsung dengan penolongnya, Bibi Bee, dan itu adalah sesuatu yang belum bisa dipenuhi oleh Joe.
Karena itulah pria itu hanya mengabaikan sikap murung putranya seolah-olah dia tidak mengerti, dan pengabaian ini berlangsung hingga malam hari saat Ben pulang ke rumah.
“Sammy, berhentilah menonton video itu. Matamu bisa sakit, tau. Paman akan pegang tab-mu dulu supaya kamu bisa makan. Paman juga ingin melihat seperti apa video itu.” Ben mendekati Sammy dengan rasa ingin tahu yang besar. Dia baru saja diberitahu bahwa video Viona telah dikirim ke tablet Sammy.
Si kecil dengan cepat meletakkan tabletnya di dadanya dan membalikkan badannya ke samping, membelakangi semua orang. Dia berjalan menjauh dari sana, memilih untuk duduk di depan televisi besar di ruang tunggu.
“Ben, jangan usil. Dia cuma diam saja dan menghindar. Aku sudah kehabisan akal untuk membujuknya makan. Sammy baru saja akan makan ketika aku membiarkan dia memegang tab yang ada video perempuan itu sore ini.” Joe berbicara dengan intonasi rendah kepada adiknya.
“Tidakkah kau menyadari kalau anakmu merindukan perempuan itu?” dengan hampir berbisik, Ben bertanya dengan serius.
“Mungkin bisa dibilang begitu. Tapi aku masih tidak tahu mengapa Sammy sangat menyukai perempuan itu. Aku tidak bisa membiarkan orang asing mendekati Sammy seperti sebelumnya. Mereka semua penjilat dan sampah.”
“Tapi kau tidak bisa menyamaratakan semua orang seperti dulu, dan kurasa Sammy juga menjadi lebih mawas diri, Joe. Aku yakin dia sudah tahu mana orang yang baik dan buruk untuknya. Anakmu tahu siapa yang benar-benar menyayanginya.” Kata-kata Ben kepada kakaknya membuat Joe menatap Sammy yang sedang berbaring di sofa panjang sambil menonton tabletnya.
“Tapi itu benar, Joe. Menurutku Viona adalah perempuan yang baik dan tulus. Jadi aku tidak akan terlalu terkejut kalau kau dan anakmu langsung menyukainya,” Ben berucap sambil menaikkan dan menurunkan alisnya.
“Diam. Urus saja artis baru yang akan mengiklankan produk baru kita.” Joe menghardik dan ingin mengganti topik pembicaraan.
“Astaga, kau terlihat seperti kucing pemalu, hei?” Ben langsung menggoda. Namun godaan itu langsung berhenti ketika Joe mengangkat tangannya yang berisi pisau daging di depan adiknya.
“Jangan gila dulu, Bro. Rumah sakit jiwa penuh dengan caleg gagal, haha!” lanjutnya berteriak sambil berlari meninggalkan tempat itu, tanpa melupakan ejekannya pada Joe.
***
Di sebuah bangku panjang di taman kota, Viona berbaring di sana. Matanya terbuka melihat bintang-bintang yang menghiasi malam.
Ketika wanita cantik itu memejamkan mata sejenak, beberapa adegan dari masa lalu mulai muncul dan menambah kebingungannya.
'Apa yang ingin kau lakukan setelah kita kembali dari tugas militer? Apakah kau akan pergi ke kota lain atau kau akan menjalankan bisnis keluargamu?
Pertanyaan itu terlontar dari bibir seorang wanita yang sedang berada di atas pohon sambil mengamati daerah sasarannya.
'Entahlah, aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah kita kembali dari perang ini?’
Dari semak-semak di bawah pohon tak jauh dari perempuan itu, Viona menjawab pertanyaan rekannya melalui alat komunikasi canggih mereka. Viona pun demikian, matanya mengamati pergerakan di sekelilingnya.
Saat itu keduanya tengah menjalankan misi untuk menghadapi pasukan pemberontak negara di daerah konflik di perbatasan Thailand. Dan, kedua wanita itu terpilih sebagai pasukan penembak jitu.
‘Aku? Hmm, mari kita dengarkan apa yang akan aku lakukan selanjutnya.’
'Di Indonesia, aku memiliki seorang nenek yang membesarkan aku hingga aku menjadi tentara seperti sekarang ini. Dia sudah tua, tetapi dia masih harus mengurus panti asuhan tempat aku dibesarkan.’
“Setelah aku kembali dari misi ini, aku akan mengajukan proposal untuk pindah ke kota itu sehingga aku dapat membantu nenekku mengurus panti asuhannya.’
“Semua gaji yang diperoleh sebagai tentara akan aku berikan kepada nenekku dan juga-,
‘Bang!’
Suara rekan Viona berhenti bersamaan dengan suara tembakan, diikuti dengan suara benda jatuh dari pohon.
'Kucing Hitam tertembak. Mata Elang tetap di tempat. Musuh mendekat. Roger!’ sebuah suara peringatan terdengar di telinga Viona saat itu.
'Aku mengerti. Siap!’ jawabnya dengan cepat.
Hati Viona terasa panas dan sakit, menahan tangis yang tidak bisa ia keluarkan. Matanya merah dan dipenuhi air mata kesedihan, tetapi tetap waspada terhadap situasi.
Tidak lama kemudian, suara rentetan tembakan terdengar dan salah satunya berasal dari senapan laras panjang milik Viona yang menembaki pasukan pemberontak negara.
Semua kenangan menyedihkan itu membuat Viona membuka matanya. Ia menyadari bahwa air mata telah membasahi matanya.
“Aku akan mewujudkan mimpimu, Viona. Meskipun nenekmu sudah meninggal, aku akan menjaga panti asuhanmu...”
"Maaf, aku tidak memiliki kewajiban untuk menjawab pertanyaan yang menurutku bersifat pribadi. Dan lagi, kurasa sikapmu salah, Tuan,""Walau aku tidak mengenalmu ataupun tahu seberapa akrabnya hubunganmu dengan Wakil Presdir, tapi kau tidak dibenarkan untuk duduk di kursinya. Silahkan turun dari sana dan duduklah bersamaku di sofa,"Sikap Milea yang berani membuat Ben menyunggingkan senyumnya, meski kebodohan Milea sangat fatal kali ini. Ia melakukan kesalahan terbesar dengan tidak mengenali atasannya sendiri.Ben hanya tersenyum mengikuti perintah Milea yang sudah memasuki peran sebagai sekretaris Wakil Presdir yang baik. Ben bangkit dari kursi kebesarannya dan berjalan mendekati Milea yang lebih dulu duduk di sofa, tempat duduknya semula.Tapi langkah Ben terlihat aneh karena saat ini bukannya ia seharusnya berjalan ke sofa di seberang Milea, tapi Ben malah terlihat mendekati Milea dan mengurung Milea hingga tersudut bersandarkan kepala sofa dengan tidak nyaman."Untuk nyali seorang
"Kau Milea?" Dita bertanya dengan sedikit bingung saat melihat dengan langsung penampilan Milea saat ini.Benar saja, Milea memang terlihat seperti pria. Ya, pria yang cantik."Ya, benar. Namaku Milea Anandita. Aku yang melamar pekerjaan di perusahaan ini, Nona." jawab Milea panjang."Apa penampilanmu memang seperti ini sehari-hari?" Dita bertanya bingung."Hmm, tergantung, Nona. Aku bisa jadi apa saja sesuai kebutuhan, hehe." jawab Milea setengah tertawa, "Tapi, walau penampilanku aneh seperti ini, percayalah, aku bisa menjalankan tugas sekretaris dengan baik. Dan aku yakin bisa membantu meringankan tugas Wakil Presdir dengan pengalaman bekerjaku, Nona." sambung Milea yakin."Hmm, boleh juga. Baiklah, kurasa aku menyukaimu dan setuju agar kau menjadi sekretaris Wakil Presdir. Tapi—,” ucap Dita setengah menggantung."Kau seorang wanita. Meskipun saat ini kau berpenampilan sebagai pria, di masa depan siapa yang akan tahu apakah kau akan mengubah penampilanmu dan malah berbalik menggoda
Kantor pusat The Eye God Tower…"Cory, bagaimana dengan penerimaan sekretaris baru yang kuajukan padamu? Apa kau sudah mulai menjalankan perintahku?" tanya Dita pada sahabatnya Cory yang merupakan Manajer Departemen HRD di Eye God Tower."Sudah. Tenang saja. Aku tidak mungkin mengecewakanmu, Dita." jawab Cory santai, "Tapi, aku tidak yakin kau akan menerima wanita-wanita yang melamar ke kantor hari ini." lanjut Cory ragu."Why not? Apa ada yang salah dengan persyaratanku?" tanya Dita bingung."Hmm, entahlah. Aku tidak yakin. Silahkan kau lihat sendiri data-data pemohon pekerjaan itu. Duduklah dulu di sofa, aku akan memanggil bawahanku untuk membawa data mereka," ucap Cory seraya mempersilahkan Dita menunggu dengan santai."Apa ada yang aneh? Sepertinya persyaratan mencari sekretaris handal untuk Direktur sudah cukup standart,” Dita masih bingung."Bukan itu masalahnya. Tunggulah sebentar lagi, kau akan tahu apa yang kumaksud saat ini." ucap Cory.Beberapa menit kemudian, sekretaris Co
Kelahiran si kembar Sophia dan Sean membuat kebahagiaan keluarga Clayton menjadi lebih sempurna. Baik Angie dan bayinya, ketiganya dipulangkan dari rumah sakit dengan keadaan sehat dan bugar.Pasca Angie melahirkan secara Caesar, Joe tentu saja memerlukan banyak waktu luang di rumah untuk membantu istrinya menjaga ketiga anak mereka, karena tidak mungkin Nyonya Neta atau Tuan Royce yang terus berada di rumah mereka.Meskipun mempekerjakan Nanny, tapi Angie dan Joe berusaha memberikan waktu full untuk anak-anak mereka.Dan sudah pasti jika ceritanya seperti itu, maka ada Ben yang menjadi tumbal perusahaan. Tidak main-main, bahkan itu sampai menginjak 6 bulan. Hahaha…Sementara itu, malam hari di kantor The Eye God Tower."Sayang. Cepatlah selesaikan pekerjaanmu! Ini sudah terlalu malam." rengek seorang wanita seksi bernama Dita.Dita Sagala, itulah nama lengkap dari wanita cantik di hadapan Ben yang sudah terlihat bosan menunggu sang pacar.Faktanya, Dita adalah wanita baik dan dari ke
"Angie, kau tidak apa-apa, kan? Bagaimana perasaanmu? Kau butuh sesuatu?” Tanya Ben beruntun pada Angie.Kini Angie sudah berada di ruangan rawat. Sementara si kembar masih di ruang perawat untuk dibersihkan.“I’m OK, Ben,”“Ada yang sakit tidak? Perlu kupanggilkan dokter?” Kini ia bertanya khawatir. Raut wajah pucat kakak iparnya itu jelas sekali dilihatnya.“Tidak perlu. Terima kasih. Kau terlihat kacau,” jawab Angie sambil tersenyum ringan dan sesekali meringis.Kondisi Angie yang tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal mengharuskannya menjalani operasi caesar. Tapi semua itu tidka masalah, yang terpenting Angie dan kedua bayinya sehat. Itulah yang sangat penting bagi mereka semua.“Angie, terima kasih untuk semuanya,” Ben berucap lagi, kali ini wajahnya memerah menahan tangis.“Terima kasih untuk apa?”“Terima kasih karena kau datang ke keluarga kami. Membawa cahaya kebahagiaan bagi Sammy dan kakakku, tentu saj aaku juga bahagia melihat keduanya bahagia,” Ben kini menang
Angie berjalan pelan ke arah tangga sejak kehamilannya mendekati bulan kelahiran. Joe memang sengaja mengganti kamar mereka ke lantai satu, alasannya tentu saja agar Angie tidak harus bolak-balik naik turun tangga.Angie mendongak ke atas. Ini adalah hari minggu Sammy dan Ben sepertinya belum bangun, terbukti mereka yang belum turun ke bawah sejak tadi.Baru saja Angie hendak naik ke anak tangga pertama, wanita itu tiba-tiba memegangi perutnya yang terasa sakit.Angie meringis sambil memegang pegangan tangga supaya tidak jatuh. “Ya ampun, Nyonya! Nyonya tidak apa-apa?” tanya seorang asisten rumah tangga yang kebetulan lewat dengan teh di tangannya. Wanita paruh baya itu menaruh tehnya lalu beralih menghampiri Angie lagi. Dia menahan tubuh Angie agar tidak jatuh.“Bibi, sakit sekali,” lirih Angie.“Tuan Joe, Tuan Ben! Lihatlah Nyonya. Nyonya kesakitan!” Teriak asisten rumah tangga tersebut.Joe yang baru saja keluar kamar dan mendengar suara teriakan langsung berjalan terdesak. Sement