Setelah ketiga preman itu pergi, wanita itu bertepuk tangan berulang kali, “Sampah sudah beres, tapi aku harus mengepel air kencing preman bodoh itu,” gumamnya. Dan setelah mengingat sesuatu, dia menoleh ke arah Sammy yang bersembunyi tadi, “Hai Boy, ayo keluar. Orang-orang jahat itu sudah pergi.” panggilnya.
Sammy keluar dengan ekspresi yang masih ketakutan, “Oh, kenapa masih takut? Kemarilah dengan Bibi.” panggilnya lagi dan membuat Sammy mendekat perlahan.
“B-bibi, terima kasih. Bibi benar-benar keren seperti Bee,” kata si kecil dengan penuh rasa syukur, menambahkan pujian.
“Bee? Apa maksudnya lebah?”
Sammy menggeleng, dia tidak bermaksud menyebut wanita itu lebah, “Tidak, Bibi. Bee itu robot kuning kesukaanku. Bumble Bee, Bibi. Bibi jago berkelahi seperti Bumblebee.”
Tersenyum canggung sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Wanita itu tidak tahu bagaimana harus menanggapi ketika sikap buruk seperti berkelahi menjadi sesuatu yang luar biasa di mata anak kecil.
“Hmm, jadi apa yang ingin kamu lakukan sekarang? Mau ke mana kamu sampai tersesat di toko ini? Kenapa kamu tidak pulang saja ke rumah sepulang sekolah?”
Berbagai pertanyaan muncul dari wanita yang menolong Sammy, membuatnya harus berkata jujur tentang idenya untuk membolos dan niatnya untuk berziarah ke makam ibunya.
'Anak yang malang...' pikir wanita itu lirih. Tangannya mengulurkan tangan untuk merapikan rambut Sammy, “Lain kali katakan pada Papamu atau orang dewasa lainnya, oke? Sekarang, aku akan mengantarmu pulang dulu, ya? Ziarahlah bersama keluargamu lain kali. Lalu, siapa namamu?”
“Sammy, Bibi. Kalau Bibi? Kenapa Bibi busa hebat melawan preman-preman itu?” Sammy balik bertanya.
Wanita itu tersenyum, “Viona. Panggil saja aku Vio. Dan tolong jangan beritahu siapa pun tentang hal itu, ya? Bisa kan, Sammy?” Sambil menunjukkan jari kelingkingnya untuk dikaitkan ke jari Sammy, wanita bernama Viona itu menjawab.
Ya, namanya adalah Viona Bharadja, seorang wanita cantik dan energik berusia 29 tahun. Ia adalah pemilik Viona Florist yang baru saja beroperasi minggu ini, menggantikan toko bunga sebelumnya yang entah kenapa menjual toko dan bunga-bunga di sana dengan harga murah.
“Ayo, Sammy, aku antar kamu pulang,” ujar Viona yang mulai beranjak merapikan beberapa barangnya yang berantakan karena ulah para preman, ‘Tapi, rumahmu di-, Akh!’ ucapannya terhenti, berganti dengan teriakan dan kemudian hening.
Viona terpeleset air seni preman tadi, membuatnya terhuyung-huyung dan kepalanya terbentur meja kasir. Wanita itu pingsan. Hmm, satu hal yang perlu diingat. Viona pandai berkelahi, tetapi untuk hal-hal kecil seperti itu, dia jelas ceroboh.
Bukankah akan terlihat konyol jika wanita sekuat Bumblebee terpeleset saat buang air kecil? Hihi...
***
Clayton Health Center, sebuah rumah sakit swasta milik keluarga terpandang di ibukota, tempat Viona dirawat.
Sore ini Viona terbangun dengan rasa sakit yang masih terasa di kepalanya. Hal pertama yang dilihatnya adalah seorang pria tampan bak pangeran yang diceritakan dalam novel-novel roman yang sering dibacanya. Pria itu duduk di kursi di samping jendela tepat di sebelahnya.
Pria itu duduk dengan menyilangkan kakinya yang panjang. Mengenakan kemeja bergaris dengan dasi hitam yang diikat rapi di kerah lehernya.
Wajahnya yang sangat tampan bermandikan cahaya matahari pagi, membuat lekukan rahangnya yang tegas semakin menawan di mata Viona. Ekspresinya yang acuh tak acuh memberikan kesan bahwa pria itu adalah seorang Raja yang dingin dan kaku.
Pria tampan yang merasa sedang diperhatikan itu segera menoleh ke arah Viona dengan tatapan tajam. Tatapan matanya bagaikan pisau yang dapat menggores kulit karena begitu tajam, membuat Viona merasa malu, gugup lebih tepatnya, karena aura yang dipancarkan oleh pria tersebut benar-benar mematikan.
Viona yang tidak terbiasa diawasi dengan begitu intens merasa canggung dan terganggu. Apalagi saat pria itu melihat tingkah konyolnya yang menyeka air liur dari sudut bibirnya.
'Ya ampun, sungguh memalukan. Kenapa sampai ngiler seperti ini?” umpatnya dalam hati.
Mengabaikan rasa tidak nyaman yang disebabkan oleh tatapan tajam pria itu, Viona memberanikan diri untuk bertanya, “Maaf, Pak. Bagaimana aku bisa sampai di sini? Siapa yang membawaku ke sini?”
“Dan apakah kamu melihat seorang anak kecil, mungkin berumur sembilan tahun kalau tidak salah. Hmm, aku rasa namanya Sammy.”
“Anak kecil berseragam sekolah?” kata pria itu, mengangkat alisnya ketika mendengar penjelasan Viona. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke kanan, lalu menjawab pertanyaan Viona dengan nada suara yang datar, “Maksudmu anak itu?”
Viona mengikuti tatapan pria itu, yang kaku seperti patung es yang tidak tahu kapan akan mencair. Dan dia menemukan si kecil tampan yang sedang tertidur lelap.
“Ya, benar, itu anaknya!” jawabnya spontan, namun segera Viona menutup bibirnya. Tanpa menunggu jawaban dari pria itu, Viona perlahan-lahan beranjak dari tempat tidurnya.
“Nyenyak sekali, syukurlah dia tidak kaget,” Viona bergumam, tetapi pria di dekatnya masih bisa mendengarnya. Viona merasa lega, akhirnya ia dapat menolong si kecil. Viona mengalihkan pkamungannya ke pria yang masih duduk santai dan menatapnya dengan tajam.
“Hei, Pak, kamu siapanya anak ini?” Viona bertanya, berulang kali memastikan bahwa mereka berdua mirip.
“Hmm, aku Papanya. Terus kenapa?” jawab pria itu dengan nada yang masih datar.
Viona kembali memastikan kemiripan mereka, dan setelah itu menarik napas dalam-dalam sebelum mengungkapkan kekecewaannya.
“Oh, jadi kamu Papanya?” Viona bertanya lagi. Dia berdehem sejenak, agar bisa berbicara dengan lancar pada pria tampan yang sudah lama terdiam, “Ahem, apa kau tahu orang tua macam apa kau yang dengan cerobohnya membiarkan anak kecil berjalan dan tersesat di tokoku?”
“Coba pikirkan, jika anak ini tidak sengaja menjadi target penculikan preman yang sedang mabuk dan butuh uang? Kalau dia dijual seharga lima juta saja, mereka bisa nge-fly sampai mati, tau!” Viona meninggikan nada bicaranya pada pria itu. Terlihat jelas bahwa kali ini ia sedang emosi, mengingat ketakutan Sammy saat itu.
Pria di depannya terlihat bergerak, membenarkan posisi duduknya, tapi tatapannya tajam ke arah Viona.
“Kamu diam dan dengarkan aku dulu!” Viona langsung memotong.
“Aku diam sejak tadi,” pria itu menjawab tak acuh.
“Benar juga,” guman Viona spontan, “Tapi kau tidak lihat wajah anakmu pucat pasi ketakutan saat didekati preman-preman di sana, kan? Dia ketakutan! Lalu, di mana kau, yang katanya papanya?”
“Permisi, Tuan Clayton. “Dokter sudah datang, ya...” kata seorang perawat yang terlihat membuka pintu lebar-lebar. Dari sana masuklah seorang pria berkacamata yang disebut-sebut oleh dokter yang ingin memeriksa kondisi pasien di ruangan itu.
“Halo, Tuan Joe Clayton...” kata dokter itu.
Viona terdiam, namun bukan karena dokter yang datang dan menghampirinya untuk memeriksanya. Namun, nama yang disebut perawat tadi terasa familiar.
“J-Joe Clayton?” Viona tergagap menyebutkan namanya.
Joe Clayton, Presiden Direktur The Eye God Tower, sebuah perusahaan ternama yang baru tiga hari lalu Viona datang untuk melamar pekerjaan. Tentu saja dia bisa mengenali calon bos besarnya sendiri. Namun karena wajah orang kaya ini jarang terekspos oleh media, Viona tidak langsung mengenalinya.
“Tunggu!” Ucapan spontan Viona berhasil membuat perhatian semua orang di ruangan itu terfokus padanya, “Jadi kalau dia adalah Joe Clayton, apakah itu berarti Sammy adalah anak emas keluarga Clayton?”
Viona langsung mendapat anggukan serentak dari dokter dan dua perawat di sana.
‘Mati aku. Aku sebodoh ini sampai-sampai mengumpat calon bos besarku!’ umpatnya dalam hati. Kemudian, dia menoleh lagi ke calon bosnya, “Benarkah aku menolong anak emas keluarga Clayton? Itu bukan mimpi, kan?” Sekali lagi, semua orang mengangguk, kecuali Joe.
Viona kembali ke tempat tidur pasiennya, membiarkan dokter memeriksa kondisinya. Dengan patuh, wanita itu menjawab pertanyaan-pertanyaan dokter kepadanya. Tubuhnya terlalu lemah karena ia masih tidak percaya bahwa ia telah membantu penerus keluarga Clayton yang digadang-gadang sebagai keluarga bisnis paling top di negeri ini.
“Tuan Presiden, tampaknya Tuan Muda Samuel dan Nona ini dalam keadaan baik. Syukurlah, benturan di kepala Nona Viona tidak menyebabkan sesuatu yang tidak diinginkan. Kami akan segera memberikan laporan kesehatan secara rinci. Kami permisi dulu, Tuan.” Dokter melaporkan hasil pemeriksaannya dan pergi setelah Joe memberikan anggukan singkat.
Setelah dokter dan perawat pergi, Joe melirik ke arah Viona lagi, seakan-akan dia tahu ekspresi wanita di depannya saat ini, yang sedang memikirkan apa yang akan dia dapatkan setelah menolong anaknya.
“Sebut satu permintaan.” Dengan nada datar, Joe berbicara sambil menatap Viona.
"Maaf, aku tidak memiliki kewajiban untuk menjawab pertanyaan yang menurutku bersifat pribadi. Dan lagi, kurasa sikapmu salah, Tuan,""Walau aku tidak mengenalmu ataupun tahu seberapa akrabnya hubunganmu dengan Wakil Presdir, tapi kau tidak dibenarkan untuk duduk di kursinya. Silahkan turun dari sana dan duduklah bersamaku di sofa,"Sikap Milea yang berani membuat Ben menyunggingkan senyumnya, meski kebodohan Milea sangat fatal kali ini. Ia melakukan kesalahan terbesar dengan tidak mengenali atasannya sendiri.Ben hanya tersenyum mengikuti perintah Milea yang sudah memasuki peran sebagai sekretaris Wakil Presdir yang baik. Ben bangkit dari kursi kebesarannya dan berjalan mendekati Milea yang lebih dulu duduk di sofa, tempat duduknya semula.Tapi langkah Ben terlihat aneh karena saat ini bukannya ia seharusnya berjalan ke sofa di seberang Milea, tapi Ben malah terlihat mendekati Milea dan mengurung Milea hingga tersudut bersandarkan kepala sofa dengan tidak nyaman."Untuk nyali seorang
"Kau Milea?" Dita bertanya dengan sedikit bingung saat melihat dengan langsung penampilan Milea saat ini.Benar saja, Milea memang terlihat seperti pria. Ya, pria yang cantik."Ya, benar. Namaku Milea Anandita. Aku yang melamar pekerjaan di perusahaan ini, Nona." jawab Milea panjang."Apa penampilanmu memang seperti ini sehari-hari?" Dita bertanya bingung."Hmm, tergantung, Nona. Aku bisa jadi apa saja sesuai kebutuhan, hehe." jawab Milea setengah tertawa, "Tapi, walau penampilanku aneh seperti ini, percayalah, aku bisa menjalankan tugas sekretaris dengan baik. Dan aku yakin bisa membantu meringankan tugas Wakil Presdir dengan pengalaman bekerjaku, Nona." sambung Milea yakin."Hmm, boleh juga. Baiklah, kurasa aku menyukaimu dan setuju agar kau menjadi sekretaris Wakil Presdir. Tapi—,” ucap Dita setengah menggantung."Kau seorang wanita. Meskipun saat ini kau berpenampilan sebagai pria, di masa depan siapa yang akan tahu apakah kau akan mengubah penampilanmu dan malah berbalik menggoda
Kantor pusat The Eye God Tower…"Cory, bagaimana dengan penerimaan sekretaris baru yang kuajukan padamu? Apa kau sudah mulai menjalankan perintahku?" tanya Dita pada sahabatnya Cory yang merupakan Manajer Departemen HRD di Eye God Tower."Sudah. Tenang saja. Aku tidak mungkin mengecewakanmu, Dita." jawab Cory santai, "Tapi, aku tidak yakin kau akan menerima wanita-wanita yang melamar ke kantor hari ini." lanjut Cory ragu."Why not? Apa ada yang salah dengan persyaratanku?" tanya Dita bingung."Hmm, entahlah. Aku tidak yakin. Silahkan kau lihat sendiri data-data pemohon pekerjaan itu. Duduklah dulu di sofa, aku akan memanggil bawahanku untuk membawa data mereka," ucap Cory seraya mempersilahkan Dita menunggu dengan santai."Apa ada yang aneh? Sepertinya persyaratan mencari sekretaris handal untuk Direktur sudah cukup standart,” Dita masih bingung."Bukan itu masalahnya. Tunggulah sebentar lagi, kau akan tahu apa yang kumaksud saat ini." ucap Cory.Beberapa menit kemudian, sekretaris Co
Kelahiran si kembar Sophia dan Sean membuat kebahagiaan keluarga Clayton menjadi lebih sempurna. Baik Angie dan bayinya, ketiganya dipulangkan dari rumah sakit dengan keadaan sehat dan bugar.Pasca Angie melahirkan secara Caesar, Joe tentu saja memerlukan banyak waktu luang di rumah untuk membantu istrinya menjaga ketiga anak mereka, karena tidak mungkin Nyonya Neta atau Tuan Royce yang terus berada di rumah mereka.Meskipun mempekerjakan Nanny, tapi Angie dan Joe berusaha memberikan waktu full untuk anak-anak mereka.Dan sudah pasti jika ceritanya seperti itu, maka ada Ben yang menjadi tumbal perusahaan. Tidak main-main, bahkan itu sampai menginjak 6 bulan. Hahaha…Sementara itu, malam hari di kantor The Eye God Tower."Sayang. Cepatlah selesaikan pekerjaanmu! Ini sudah terlalu malam." rengek seorang wanita seksi bernama Dita.Dita Sagala, itulah nama lengkap dari wanita cantik di hadapan Ben yang sudah terlihat bosan menunggu sang pacar.Faktanya, Dita adalah wanita baik dan dari ke
"Angie, kau tidak apa-apa, kan? Bagaimana perasaanmu? Kau butuh sesuatu?” Tanya Ben beruntun pada Angie.Kini Angie sudah berada di ruangan rawat. Sementara si kembar masih di ruang perawat untuk dibersihkan.“I’m OK, Ben,”“Ada yang sakit tidak? Perlu kupanggilkan dokter?” Kini ia bertanya khawatir. Raut wajah pucat kakak iparnya itu jelas sekali dilihatnya.“Tidak perlu. Terima kasih. Kau terlihat kacau,” jawab Angie sambil tersenyum ringan dan sesekali meringis.Kondisi Angie yang tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal mengharuskannya menjalani operasi caesar. Tapi semua itu tidka masalah, yang terpenting Angie dan kedua bayinya sehat. Itulah yang sangat penting bagi mereka semua.“Angie, terima kasih untuk semuanya,” Ben berucap lagi, kali ini wajahnya memerah menahan tangis.“Terima kasih untuk apa?”“Terima kasih karena kau datang ke keluarga kami. Membawa cahaya kebahagiaan bagi Sammy dan kakakku, tentu saj aaku juga bahagia melihat keduanya bahagia,” Ben kini menang
Angie berjalan pelan ke arah tangga sejak kehamilannya mendekati bulan kelahiran. Joe memang sengaja mengganti kamar mereka ke lantai satu, alasannya tentu saja agar Angie tidak harus bolak-balik naik turun tangga.Angie mendongak ke atas. Ini adalah hari minggu Sammy dan Ben sepertinya belum bangun, terbukti mereka yang belum turun ke bawah sejak tadi.Baru saja Angie hendak naik ke anak tangga pertama, wanita itu tiba-tiba memegangi perutnya yang terasa sakit.Angie meringis sambil memegang pegangan tangga supaya tidak jatuh. “Ya ampun, Nyonya! Nyonya tidak apa-apa?” tanya seorang asisten rumah tangga yang kebetulan lewat dengan teh di tangannya. Wanita paruh baya itu menaruh tehnya lalu beralih menghampiri Angie lagi. Dia menahan tubuh Angie agar tidak jatuh.“Bibi, sakit sekali,” lirih Angie.“Tuan Joe, Tuan Ben! Lihatlah Nyonya. Nyonya kesakitan!” Teriak asisten rumah tangga tersebut.Joe yang baru saja keluar kamar dan mendengar suara teriakan langsung berjalan terdesak. Sement