Share

6. NGIDAM

Author: A mum to be
last update Last Updated: 2025-02-01 17:40:14

“Mau apa dia?”

Feby jelas kesal bukan main. Waktu berharganya bersama Ares terusik karena panggilan dari istri pertama pria itu. Barulah ia sadar siapa dirinya sekarang.

Sementara kini Ares tengah mengupingi gawai sembari melirik ke arah Feby yang mulai manyun. Tak pelak dia mengusap kepala istri keduanya itu dengan lembut. Seolah memberikan kode bahwa keadaan masih bisa terkendali.

[“Iya, Mi. Papi tahu.”]

[“…”]

[“Iya. Sudah ya. Papi sedang sibuk sekarang.”]

KLIK!

Panggilan selama kurang lebih dua menit tadi pun berakhir. Ares mengembuskan napas lega, sedangkan Feby masih saja kelihatan misuh-misuh.

“Marah ya, hmm?” Ares menjiwil lembut ujung dagu Feby. Pria itu lantas mendaratkan bibirnya di tempat yang sama pula.

Feby yang tak mau merusak suasana pun menggeleng lalu mengubah raut wajahnya menjadi ceria kembali. “Aku kangen. Tahu enggak sih, Mas?”

“Iya, Sayang. Aku ‘kan di sini sekarang.”

Masih banyak lagi kata-kata manis yang diutarakan oleh Ares. Menjadikan Feby terbuai hingga berakhir melanjutkan permainan panas mereka berdua hingga malam semakin larut.

***

Seolah tak pernah puas, kali ini giliran Ares yang mengendalikan Feby. Kegiatan pagi mereka dibuka dengan olahraga di atas ranjang entah untuk ronde yang ke berapa.

Feby jelas merasa menang karena sekarang posisinya bagaikan berada di atas awan. Usianya yang terpaut lebih muda 18 tahun dari Ares membuat suaminya itu ketagihan dengan peran yang mereka mainkan saat ini. Wajar jika istri muda lebih menantang bukan?

“Mas, anak kita bergerak lagi,” kekeh Feby yang tengah menikmati kue di tangan kanannya.

“Oh ya?”

Anggukan Feby membuat Ares yang hanya mengenakan boxer itu mendekatkan diri. Lantas meletakkan tangan di perut buncit tersebut. Hingga beberapa detik kemudian keduanya sama-sama terkekeh.

“Kayaknya dia senang banget karena dijenguk sama …oh ya. Anak kita nanti manggil apa ya? Papa mama atau papi mami?”

“Papa mama lebih menarik,” sahut Ares cepat. Pria itu masih belum menyingkirkan tangannya dari sana. Bahkan kini dia mengelusnya dengan lembut. “Sehat-sehat ya, Nak. Papa sangan menantikanmu.”

“Iya, Pa. Sering-sering jengukin aku dan mama dong,” rengek Feby seolah mewakili suara buah hatinya.

Ares meresponnya dengan senyuman yang mengembang. Menampakkan kedua lesung pipi yang turut menambah ketampanan pria itu. Tentu saja tingkah barusan merupakan salah satu alasan yang membuat Feby semakin terpesona padanya.

“Aku sudah suruh Angga bawakan makanan untuk kita sampai nanti malam. Coba lihat lagi. Ada yang mau kau tambahkan, hmm?”

Entah kenapa tiba-tiba saja Feby memikirkan ide cemerlang. Mungkin inilah saatnya dia membalas perlakukan kasar Angga yang kemarin. Hingga kemudian wanita hamil tersebut mulai mengetuk-ngetuk jemarinya di depan bibir.

“Sebenarnya aku kepengen sesuatu, Mas,” gumam Feby sedikit ragu.

Ares yang selalu mengiyakan permintaannya pun mengerutkan dahi. “Ada apa? Kau mau makan apa, hem?”

“Bukan makanan sih.” Feby menggelengkan kepala dengan cepat.

“Jadi apa, hmm? Perhiasan? Tas baru?”

Feby meringis. Dia lantas mendekat lalu membisikkan sesuatu tepat di telinga Ares. Setelahnya mengerdipkan mata berulang-ulang sembari menampakkan wajah memelas.

“Sayang?” Ares terkekeh kemudian. “Kau … serius??”

“Hu um.”

Dalam hati Feby memekik kegirangan usai mendengar Ares menyampaikan keinginannya tadi pada Angga. Bisa dibayangkan betapa kesalnya asisten pribadi suaminya tersebut. Namun, dia tidak peduli. Kapan lagi ingin membalaskan dendam mumpung ada kesempatan?

Pintu kamar hotel sudah terbuka lebar. Tak lama kemudian Angga muncul dari sana. Sementara Feby yang baru saja selesai mandi mengintip dari tempatnya berdiri sekarang.

“Maaf ya. Istri saya ngidamnya sedikit aneh,” ucap Ares pada Angga yang sudah berada di kamar mereka kini.

Angga hanya mengangguk sambil memaksakan senyumnya. Pria itu kemudian menunduk tanpa berniat mengatakan apapun.

“Mas,” panggil Feby yang pura-pura tak menyadari keberadaan asisten pribadi suaminya tersebut. Hingga kemudian dia melirik ke arah samping sambil tersenyum licik. “Eh? Angga udah datang. Aku pikir masih lama.”

“Sudah hampir semenit yang lalu, Sayang. Sekarang bagaimana? Kau ingin dia di sini setelah mengantar makanan atau —“

“Ikut bergabung dengan kita saja ya,” potong Feby cepat. “Aku ingin makan sambil lihatin dia yang begini.”

Percayalah. Wajah Angga sudah merah padam sekarang. Sementara Feby bersikap acuh tak acuh sembari menikmati pecel lele yang ada di hadapannya. Bahkan dia sengaja beradegan mesra dengan Ares untuk membuktikan bahwa posisinya sekarang sedang menguntungkan.

Setengah jam sudah berlalu. Kini perut Feby sudah kenyang. Pun begitu juga dengan hatinya yang sedang riang. Terlebih setelah memastikan lagi bahwa Angga masih mengenakan kemeja pink seperti yang dia inginkan tadi.

“Permintaanmu cukup aneh, Sayang. Kenapa pula harus Angga? Kenapa bukan aku saja yang mengenakan kemeja itu, hmm?” gumam Ares sambil geleng-geleng kepala.

Dengan seenak jidatnya Feby malah mengendikkan bahu. “Aku juga heran, tapi ini ‘kan permintaan bayi kita. Mungkin dia kesal karena Angga yang datang ke kamar waktu itu, bukannya kamu.”

“Sayang?”

“Sudah ya, Mas.” Feby mulai merengek manja. “Aku udah puas kok. Oh ya. Makasih ya, Angga. Kau boleh pergi sekarang.”

“Baik. Saya permisi.”

Feby senang bukan main setelah mengerjai Angga tadi. Dalam hati dia merasa puas karena bisa menggunakan kehamilan sebagai ajang balas dendam untuk pria sombong tersebut. Begitulah akibat karena berani membuatnya kesal.

Menikmati matahari tenggelam merupakan keindahan yang tengah dirasakannya dan Ares sekarang. Dalam posisi duduk berdekatan di balkon kamar, mereka sibuk membahas seputar penyambutan kelahiran sang calon buah hati.

“Aku pilih sesar aja ya, Mas. Takut kalau harus lahiran normal,” kata Feby di sela-sela perbincangan mereka. “Lagian biar memey aku tetap rapet. Bisa terus manjain dirimu.”

Ares tergelak mendengar pernyataan vulgar barusan. Pria itu mengangguk sambil mengusap pelan rambut tipis yang tumbuh di area rahangnya. “Terserah kau saja. Yang penting kau senang, Sayang. Anak kita juga sehat dan selamat.”

“Ya udah. Kalau masalah tanggal kapan ya bagusnya? Mas kapan ada waktu sampai setidaknya minggu keempan di bulan depan?”

“Terserah kau saja,” jawab Ares kemudian.

Feby semakin senang mendengar penuturan barusan. “Jadi Mas siap kapanpun aku akan lahiran nanti?”

Gelengan sang suami membuat senyum di paras cantik Feby perlahan memudar. Seketika dia tahu bahwa pria yang ia cintai itu tak akan mungkin bisa mendampinginya.

“Hei! Jangan mulai lagi dong, Sayang. Kau lupa ya siapa suamimu ini, hmm?” gumam Ares yang kemudian mendekap erat tubuhnya dari samping.

“Iya,” balas Feby yang menundukkan kepala.

Sadarlah, Feb. Jangankan menampakkan diri di depan publik, bahkan untuk pulang ke rumah saja tidak akan pernah terjadi.

Itulah yang tengah dirutuki oleh Feby sekarang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Rahasia SANG BUPATI    72. EXTRA BAB

    Empat tahun telah berlalu sejak malam penuh bintang itu. Kehidupan memang tak selalu mulus, tapi Feby dan Sandi telah membuktikan bahwa cinta dan kebersamaan adalah kunci untuk melewati segalanya.Pagi itu, rumah mereka dipenuhi aroma wangi kue yang baru dipanggang. Feby sedang menyiapkan sarapan di dapur sambil sesekali tertawa melihat tingkah Kayla yang kini sudah duduk di bangku SD dan sibuk membantu dengan celemek kebesaran. Haikal, yang kini mulai beranjak remaja, duduk di meja makan, menggambar sesuatu di bukunya."Haikal, kamu gambar apa, Nak?" tanya Feby sambil mengaduk adonan kue.Haikal mengangkat bukunya, memperlihatkan gambar sederhana keluarga mereka—Feby, Sandi, dirinya, dan Kayla berdiri di taman, dengan tulisan di bawahnya: Keluargaku adalah rumah terbaik.Feby tersenyum, hatinya meleleh."Bagus banget! Mama bangga sama kamu."Kayla langsung menyela, “Aku juga mau gambar, Ma! Tapi aku gambar rumah kita da

  • Istri Rahasia SANG BUPATI    71. AKHIRNYA

    “Rindu kami tidak berarti apapun jika dibandingkan kebahagian Kak Feby,” gumam Zaki dengan tulus.Feby menatap adik bungsunya dengan terkejut, tetapi juga tersentuh. "Zaki. Makasih ya. Kakak enggak akan bisa melewati semua ini tanpa dukungan kalian semua."Sandi yang duduk di sebelah Feby merangkul bahunya. "Benar. Kita sudah menjadi tim yang hebat."Malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, Feby merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Semua konflik yang pernah mengusik hidupnya telah usai. Bella telah meminta maaf, dan mereka telah berdamai.Sementara Ares, mantan suaminya itu telah menghilang dari hidup mereka setelah terlibat kasus korupsi besar, namun Feby merasa kuat untuk membesarkan Haikal dan Kayla tanpa bantuan Ares. Kini, hanya ada cinta dan kebahagiaan di rumah mereka.Di dalam hatinya, Feby tahu bahwa hidup akan terus membawa tantangan. Tetapi, dengan keluarga yang mencintainya dan suami ya

  • Istri Rahasia SANG BUPATI    70. INDAH

    Tiga bulan kemudian …Feby berdiri di depan cermin, mengenakan gaun sederhana namun elegan. Kilauan gaun itu memantulkan cahaya lembut dari jendela, memberi kesan bahwa hari ini adalah hari yang spesial. Meskipun hari ini bukanlah hari besar untuk dirinya, Feby tetap merasakan kebahagiaan yang begitu dalam. Pernikahan Rania—anak tirinya, yang sudah seperti anak kandungnya sendiri—telah membuat segala ketegangan yang dulu menyelimuti mereka berubah menjadi ketenangan."Dulu, rasanya semua masalah tak ada habisnya," gumam Feby sambil tersenyum kecil kepada dirinya sendiri. Gaun itu sempurna, dan semua sudah siap untuk perayaan hari ini.Feby tersentak ketika mendengar suara langkah kaki mendekat dari belakang. Itu adalah Sandi, suaminya. "Kau sudah siap, Sayang?" tanyanya lembut, berdiri di ambang pintu.Feby berbalik dan tersenyum, menatap Sandi yang tampak gagah dengan setelan jasnya. "Siap, tapi aku masih merasa sedikit gugup," jawabny

  • Istri Rahasia SANG BUPATI    69. BERDAMAI

    “SURPRISE!!”Feby tertegun. Di hadapannya berdiri Sukma dan Zaki, adik-adik yang sudah lama tak ia jumpai. Sukma yang kini sibuk dengan pekerjaannya sebagai ASN dan Zaki terakhir kali ia dengar balik dari perantauan, tampak membawa tumpukan kado di tangan mereka. Namun, yang membuat Feby lebih terkejut adalah dua anak kecil yang berlari menghampirinya dengan tawa riang. Siapa lagi kalau bukan Haikal dan Kayla, buah hatinya yang sudah lama tinggal bersama Ares, mantan suaminya."Mama!" pekik Haikal. Tawa mereka menggema, dan seketika hati Feby mencair bersamaan dengan air bening yang menggenang di pelupuk matanya.Feby tersenyum penuh haru, matanya mulai memanas oleh air mata yang tak terbendung. "Kalian... kalian semua di sini?"Sukma mengangguk, menepuk bahu kakaknya. "Tentu saja, Kak. Hari ini ulang tahunmu. Kami enggak akan melewatkan kesempatan buat kasih kejutan."Zaki tersenyum jahil, menyerahkan sebuket bunga mawar merah. "Happy

  • Istri Rahasia SANG BUPATI    68. MIMPIKAH??

    “Sudahlah, Ran. Jangan dengerin ayahmu. Dia ngawur,” ucap Feby dengan begitu cepat. Rania yang tadinya menggerutu seketika terbahak. Terlebih setelah melihat wajah ibu tirinya yang bersemu merah itu. Dia pun paham maksud dari omongan sang papa.“Iya iya. Ya udah nih!” Rania menyerahkan kotak P3K yang ada di tangannya. “Mbak, hmm maksudku Mbak Feby, eh mama ya? Atau —““Panggil aku seperti biasanya aja, Ran,” potong Feby cepat. Tangannya mengusap lembut pundak Rania dengan penuh kasih sayang. “Kau hanya punya satu ibu di dunia ini dan aku enggak akan bisa menggantikannya. Jadi meskipun aku adalah istri ayahmu, kita masih bisa menjadi teman ‘kan?”“Feby, kenapa gitu?” protes Sandi yang merasa keberatan.Feby terbahak lalu berkata, “Apa s

  • Istri Rahasia SANG BUPATI    67. GETARAN

    Feby menelan ludahnya dengan gugup. Udara malam terasa semakin menyesakkan, meski angin dingin menyentuh kulitnya. Sandi menariknya semakin dekat, hingga wajah mereka hanya beberapa inci terpisah.Kini mata Feby bergetar, tidak yakin dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia bisa merasakan napas suaminya yang hangat menyapu pipinya.“Kenapa harus panggil Om, hmm?” bisik Sandi, matanya tajam namun lembut. “Aku ini suamimu, bukan ‘Om’.”Feby mencoba mengalihkan pandangannya, tetapi tidak bisa. Mata mereka saling terkunci, dan dia tahu jika Sandi sedang menantinya. Menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Perasaan pun menjadi campur aduk, antara rasa canggung, ragu, dan keinginan untuk menyerahkan diri pada momen ini.Dengan lembut, Sandi mengusap pipi Feby menggunakan ibu jarinya. Sentuhan barusan membuat jantung Feby berdegup kencang, begitu keras hingga rasanya bisa terdengar. Perlahan, Sandi menundukkan wajahnya lebih dekat lagi, bibirnya hampir menyentuh bibir Feby ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status