Percakapan para wanita tadi ternyata masih mengusik pikiran Feby. Bahkan ketika ia sudah kembali ke rumahnya.
Tidak. Ares bukanlah termasuk pria yang dibicarakan oleh kaum sosialita tersebut. Suaminya jelas berbeda karena sudah terbukti dengan bersedia terlibat dalam pernikahan walaupun secara siri. Itulah yang berusaha Feby tanamkan di dalam benaknya sekarang. Hingga dering ponsel berhasil membuyarkan lamunannya dalam hitungan detik. “Halo, Mas!” sapa Feby dengan senyum yang merekah. Seketika wajah tampan Ares mampu menghipnotis rasa galaunya. [“Maaf ya, Sayang. Kita tidak jadi bertemu lagi. Tadi malam anak-anakku merengek ingin dibacakan dongeng. Mana mungkin aku menolak bukan?”] Feby mengangguk-angguk. Berusaha mengerti walaupun saat ini tengah berperang dengan hatinya sendiri. “Aku ngerti kok. Lagian memang kalau kita ketemuan risikonya besar, tapi … lain kali jangan suruh Angga yang datang.” [“Iya, maaf ya. Aku takut mood-mu memburuk karena sedang hamil. Makanya aku suruh dia yang berikan kalung itu. Kau suka?”] “Suka,” balas Feby cepat walaupun dia hanya melihat sekilas lantaran masih terbesit rasa kesal di hati. Setelahnya perbincangan mereka berhenti begitu saja. Sudah menjadi hal yang biasa karena memang waktu yang tidak memungkinkan. Apa Feby sakit hati? Jangan ditanya lagi. Inilah risiko yang harus dirasakan karena berani menjadi seorang istri simpanan. *** Perut semakin membuncit. Kandungan Feby sudah memasuki usia delapan bulan. Sampai sekarang pun dia dan sang suami masih belum bersua juga. Meskipun begitu, aliran dana yang diterima selalu mengucur deras. Jadilah dia tidak terlalu memikirkan nasib malang yang sempat melanda hati seperti saat sebelumnya. “Suaminya belum pulang ya, Bu?” Feby yang tengah berbaring di ranjang pemeriksaan menunjukkan cengiran kudanya. “Minggu lalu dia ke sini, Dok. Cuma sekarang udah balik kerja lagi.” Sang dokter pun mengangguk pelan usai menangkap foto terbaik janin yang ada di kandungan Feby. “Paham sih saya. Harus kuat hati dan mental memang ya kalau tengah hamil gini. Bisa aja mungkin sampai melahirkan suaminya enggak bisa nemenin. Soalnya ada saudara yang punya suami sebagai pengabdi negara juga kayak Ibu nasibnya.” UHUK! UHUK!! Adalah sang ibu yang terbatuk usai mendengar kalimat dari dokter barusan. Sementara Feby langsung mendelikkan pandangan sebagai ungkapan protesnya. “Abdi negara ya?” Ibunya malah mengulang dua kata barusan sambil geleng-geleng kepala. Berhubung sang dokter sudah kembali ke meja kerjanya, kini hanya tinggal Feby dan wanita yang melahirkannya itu yang ada di dalam ruang pemeriksaan. “Apa? Mana mungkin aku ngomongin Mas Ares di depan orang, Bu! Karirnya bisa hancur,” desis Feby yang mulai kesal. “Kau bilang suamimu kerja apa, heh? Polisi atau tentara? Pintar juga kau mengarang ternyata.” “Aku enggak ngarang,” ketus Feby yang sudah berdiri dari posisi berbaringnya tadi. “Suamiku memang kerja untuk negara juga. Jadi ya terserah dokter mau nyimpulin gimana.” “Ya ya. Terserah kau sajalah.” Ibunya tak lagi ingin berdebat. Kali ini kedua wanita beda usia tersebut terlihat kompak ketika berada di toko perlengkapan bayi. Sejenak melupakan perang dingin di antara mereka lantaran terlalu asyik berbelanja. Wajar memang. Terlebih karena ini adalah momen manis untuk menyambut kelahiran cucu pertama bagi ibunya pula. Bahkan Zaki pun turut menjadi amat antusias juga. “Stroller ‘kan udah dibeli, Zak. Kau lupa ya?” tegur ibunya. Adik lelaki Feby itu kemudian terkekeh. “Yang ini lucu, Bu. Lihat! Bisa dipake sampai anaknya Kak Feby umur enam bulan. Multifungsi loh. Ganti popok juga oke di sini.” “Sudah. Ambil saja,” putus Feby yang tidak merasa keberatan walaupun nominal harganya terkesan cukup mahal bagi sang ibu. Semua perintilan untuk menyambut kelahiran sang anak sudah dirasa lengkap. Ketiga orang itu barulah pergi setelah dua jam berkeliling lamanya. Feby yang merasa kelelahan pun segera mengupingi gawai untuk memanggil tukang pijat langganan. Namun, niatan tadi terhenti begitu melihat pesan masuk dari benda pipih tersebut. [Aku stay dua hari untukmu. Bersiaplah.] Saking senangnya Feby pun bertepuk tangan bagai anak kecil. Membuat ibu dan adiknya melongo keheranan. “Pasti nih karena Mas Ares ya? Biar kutebak, dia mau ke sini ‘kan?” Feby tidak menjawab. Wanita itu hanya terkekeh sembari mengetikkan balasan untuk pesan barusan. Setelahnya dia pun segera melipir ke salon. Menyiapkan diri sebaik mungkin untuk menyambut kedatangan sang suami. Tak tanggung-tanggung. Feby memilih paket khusus pengantin untuk memanjakan dirinya. Terlebih harus ia akui bahwa hormon kehamilan turut menunjang keinginan bermesraan dengan sang suami. Malam pun tiba. Seperti biasa. Feby akan menanti prianya di dalam kamar hotel. Lantaran sudah lama tidak bertemu, jadilah dia dilanda kegugupan luar biasa. Terlebih rindu yang ia tahan dengan susah payah akan terbayarkan sebentar lagi. “Hai!” sapa Ares dengan senyum dan wajah tampan yang sudah ada di depan mata Feby. Sungguh rasanya seperti mimpi. Setelah hampir tiga bulan mereka tidak bertemu langsung, kali ini orang yang ia cintai berdiri tegak di hadapannya. Feby bahkan meletakkan telapak tangan kanannya untuk membelai lembut pipi pria tersebut. “Aku pikir Mas enggak datang,” rengek Feby yang lekas menghamburkan diri ke pelukan suaminya. Dia tergelak saat menyadari perut buncit yang menghalangi pertautan mereka kini. “Kau makin cantik, Sayang. Padahal sedang hamil,” bisik Ares yang baru saja mendaratkan bokongnya di atas ranjang. Pria itu kemudian menyingsingkan lengan kemeja dan menyambar lembut kedua kaki Feby. Feby tersenyum malu. Rasa kesal yang selama ini terpendam mendadak terbang entah ke mana. Berganti menjadi tumpukan cinta dan kasih yang mengalir seiring dengan manisnya perlakuan Ares saat ini. Sang suami bahkan sudi untuk memijat kakinya yang sedikit membengkak. Jelas ia merasa spesial dan telah membuang jauh pikiran negatif terkait pria jahat di luaran sana. “Aku kangen, Mas.” “I’m here, Baby.” Bukan hanya Ares yang tergoda dengan pesona Feby. Hal ini juga berlaku sebaliknya. Sebagai seorang wanita yang haus akan pujian dan perlakuan lembut, jelas suaminya itu telah memberikan apa yang ia inginkan. Lagi. Feby terbuai dengan pria berusia matang tersebut. Bahkan sejenak melupakan siapa statusnya sekarang. “Mas,” rengek Feby setelah pertempuran panas yang mereka lakukan. “Ya, Sayang. Kau semakin hot,” kekeh Ares usai menggeram penuh kepuasan. “Kau memang pintar.” “Aku akan memberikan yang terbaik untuk suamiku ini.” Feby pun mengerling nakal. Tidak peduli jika lelah tengah ia rasakan. Wanita itu bersiap hendak menawarkan diri lagi. Namun, suara jeritan ponsel berhasil merebut atensi keduanya. Wajah Ares yang tadi dipenuhi gairah mendadak tegang usai melihat nama sang pemanggil. Pria itu buru-buru berdehem dan menegakkan badan. “Siapa, Mas?” tanya Feby yang langsung manyun. “Widya.”Empat tahun telah berlalu sejak malam penuh bintang itu. Kehidupan memang tak selalu mulus, tapi Feby dan Sandi telah membuktikan bahwa cinta dan kebersamaan adalah kunci untuk melewati segalanya.Pagi itu, rumah mereka dipenuhi aroma wangi kue yang baru dipanggang. Feby sedang menyiapkan sarapan di dapur sambil sesekali tertawa melihat tingkah Kayla yang kini sudah duduk di bangku SD dan sibuk membantu dengan celemek kebesaran. Haikal, yang kini mulai beranjak remaja, duduk di meja makan, menggambar sesuatu di bukunya."Haikal, kamu gambar apa, Nak?" tanya Feby sambil mengaduk adonan kue.Haikal mengangkat bukunya, memperlihatkan gambar sederhana keluarga mereka—Feby, Sandi, dirinya, dan Kayla berdiri di taman, dengan tulisan di bawahnya: Keluargaku adalah rumah terbaik.Feby tersenyum, hatinya meleleh."Bagus banget! Mama bangga sama kamu."Kayla langsung menyela, “Aku juga mau gambar, Ma! Tapi aku gambar rumah kita da
“Rindu kami tidak berarti apapun jika dibandingkan kebahagian Kak Feby,” gumam Zaki dengan tulus.Feby menatap adik bungsunya dengan terkejut, tetapi juga tersentuh. "Zaki. Makasih ya. Kakak enggak akan bisa melewati semua ini tanpa dukungan kalian semua."Sandi yang duduk di sebelah Feby merangkul bahunya. "Benar. Kita sudah menjadi tim yang hebat."Malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, Feby merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Semua konflik yang pernah mengusik hidupnya telah usai. Bella telah meminta maaf, dan mereka telah berdamai.Sementara Ares, mantan suaminya itu telah menghilang dari hidup mereka setelah terlibat kasus korupsi besar, namun Feby merasa kuat untuk membesarkan Haikal dan Kayla tanpa bantuan Ares. Kini, hanya ada cinta dan kebahagiaan di rumah mereka.Di dalam hatinya, Feby tahu bahwa hidup akan terus membawa tantangan. Tetapi, dengan keluarga yang mencintainya dan suami ya
Tiga bulan kemudian …Feby berdiri di depan cermin, mengenakan gaun sederhana namun elegan. Kilauan gaun itu memantulkan cahaya lembut dari jendela, memberi kesan bahwa hari ini adalah hari yang spesial. Meskipun hari ini bukanlah hari besar untuk dirinya, Feby tetap merasakan kebahagiaan yang begitu dalam. Pernikahan Rania—anak tirinya, yang sudah seperti anak kandungnya sendiri—telah membuat segala ketegangan yang dulu menyelimuti mereka berubah menjadi ketenangan."Dulu, rasanya semua masalah tak ada habisnya," gumam Feby sambil tersenyum kecil kepada dirinya sendiri. Gaun itu sempurna, dan semua sudah siap untuk perayaan hari ini.Feby tersentak ketika mendengar suara langkah kaki mendekat dari belakang. Itu adalah Sandi, suaminya. "Kau sudah siap, Sayang?" tanyanya lembut, berdiri di ambang pintu.Feby berbalik dan tersenyum, menatap Sandi yang tampak gagah dengan setelan jasnya. "Siap, tapi aku masih merasa sedikit gugup," jawabny
“SURPRISE!!”Feby tertegun. Di hadapannya berdiri Sukma dan Zaki, adik-adik yang sudah lama tak ia jumpai. Sukma yang kini sibuk dengan pekerjaannya sebagai ASN dan Zaki terakhir kali ia dengar balik dari perantauan, tampak membawa tumpukan kado di tangan mereka. Namun, yang membuat Feby lebih terkejut adalah dua anak kecil yang berlari menghampirinya dengan tawa riang. Siapa lagi kalau bukan Haikal dan Kayla, buah hatinya yang sudah lama tinggal bersama Ares, mantan suaminya."Mama!" pekik Haikal. Tawa mereka menggema, dan seketika hati Feby mencair bersamaan dengan air bening yang menggenang di pelupuk matanya.Feby tersenyum penuh haru, matanya mulai memanas oleh air mata yang tak terbendung. "Kalian... kalian semua di sini?"Sukma mengangguk, menepuk bahu kakaknya. "Tentu saja, Kak. Hari ini ulang tahunmu. Kami enggak akan melewatkan kesempatan buat kasih kejutan."Zaki tersenyum jahil, menyerahkan sebuket bunga mawar merah. "Happy
“Sudahlah, Ran. Jangan dengerin ayahmu. Dia ngawur,” ucap Feby dengan begitu cepat. Rania yang tadinya menggerutu seketika terbahak. Terlebih setelah melihat wajah ibu tirinya yang bersemu merah itu. Dia pun paham maksud dari omongan sang papa.“Iya iya. Ya udah nih!” Rania menyerahkan kotak P3K yang ada di tangannya. “Mbak, hmm maksudku Mbak Feby, eh mama ya? Atau —““Panggil aku seperti biasanya aja, Ran,” potong Feby cepat. Tangannya mengusap lembut pundak Rania dengan penuh kasih sayang. “Kau hanya punya satu ibu di dunia ini dan aku enggak akan bisa menggantikannya. Jadi meskipun aku adalah istri ayahmu, kita masih bisa menjadi teman ‘kan?”“Feby, kenapa gitu?” protes Sandi yang merasa keberatan.Feby terbahak lalu berkata, “Apa s
Feby menelan ludahnya dengan gugup. Udara malam terasa semakin menyesakkan, meski angin dingin menyentuh kulitnya. Sandi menariknya semakin dekat, hingga wajah mereka hanya beberapa inci terpisah.Kini mata Feby bergetar, tidak yakin dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia bisa merasakan napas suaminya yang hangat menyapu pipinya.“Kenapa harus panggil Om, hmm?” bisik Sandi, matanya tajam namun lembut. “Aku ini suamimu, bukan ‘Om’.”Feby mencoba mengalihkan pandangannya, tetapi tidak bisa. Mata mereka saling terkunci, dan dia tahu jika Sandi sedang menantinya. Menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Perasaan pun menjadi campur aduk, antara rasa canggung, ragu, dan keinginan untuk menyerahkan diri pada momen ini.Dengan lembut, Sandi mengusap pipi Feby menggunakan ibu jarinya. Sentuhan barusan membuat jantung Feby berdegup kencang, begitu keras hingga rasanya bisa terdengar. Perlahan, Sandi menundukkan wajahnya lebih dekat lagi, bibirnya hampir menyentuh bibir Feby ya