Tidak ada gunanya larut dalam kesedihan. Feby harus sadar bahwa inilah jalan hidup yang ia pilih. Pernikahannya dengan Ares sebentar lagi akan menghadirkan buah cinta mereka. Jadi lebih baik fokus pada tujuan ke depan saja. Itulah yang ia pikirkan sekarang.
“Masih memikirkan obrolan kita yang tadi?” tanya Ares yang sudah berada tepat di sampingnya.
Feby menggeleng sambil tersenyum manis. “Enggak, Mas. Aku cuma masih kangen. Oh ya. Besok Mas jam berapa harus balik dari sini?”
“Setelah menyuapimu sarapan tentunya.”
Ares mengecup singkat bahu Feby yang terbuka itu lalu mendaratkan kepalanya di sana. Perlakuan lembut yang tentu saja mampu meredam rasa sedih di hati sang istri.
“Masih ada waktu sekitar sembilan jam lagi sampai sarapan pagi. Boleh temani aku nonton?” tanya Feby kemudian.
Anggukan cepat pria tampan tersebut membuat Feby bersemangat kembali. Dirinya pun bergegas menyambar remote TV lalu memilih saluran yang dianggap menarik.
Sebenarnya bukan apa yang mereka lihat di layar kaca sana menjadi fokus utama. Namun, kebersamaan seperti saat ini merupakan waktu yang amat berharga. Terlebih memang entah kapan lagi keduanya bisa bersua.
***
Sudah berulang kali Feby menutup mulutnya dengan telapak tangan. Wajar memang lantaran jam telah menunjukkan pukul dini hari. Namun, wanita berbadan dua tersebut masih enggan beranjak dari sofa tunggal yang tengah ia tempati bersama sang suami.
“Sayang, kita tidur saja yuk!” ajak Ares juga pada akhirnya.
“Mas udah ngantuk ya?” tanya Feby dengan suara yang terdengar berat.
Ares pun tersenyum. “Bukan aku, Feb. Kau dan anak kita yang perlu istirahat. Lihatlah. Sudah jam satu pagi.”
“Mas, aku belum—“
Feby menjeda rengekan manjanya begitu sang suami bergerak cepat. Pria itu menggendongnya ala bridal style hingga sampai ke atas ranjang.
CUP!
Satu kecupan berhasil mendarat sempurna di ujung dagu Ares. Membuat suaminya tersebut juga melakukan hal serupa. Kali ini bahkan sudah menjalar ke bagian tubuh yang lain.
“Kita lanjut besok saja ya?” gumam Ares dengan napas yang sudah terengah-engah karena menahan gejolak di dalam dadanya.
“Kalau aku maunya …sekarang?” Feby malah menahan kedua lengan suaminya dengan erat. Sama sekali tak ingin melepaskan pertautan mereka saat ini. “Mas?”
“As you wish, Baby.”
Waktu terasa sangat cepat berlalu. Feby yang masih belum puas mengusir rasa rindunya pada Ares tak ingin membuka mata. Terlebih saat menghidu aroma bubur ayam yang sudah berada di dalam kamar. Pertanda bahwa sebentar lagi mereka akan berpisah.
Ares sedang mengupingi gawainya dengan satu tangan sibuk mengelus rambut Feby. Merasa istrinya sama sekali belum beranjak dari ranjang, dia pun mendaratkan jemarinya di area pinggang. Jelas sang empu pada akhirnya menyerah juga.
“Mas, udah ih!” kekeh Feby yang sudah kegelian karena tingkah suaminya itu.
Bangun atau aku akan menggelitikimu di tempat yang lain?
Begitulah kata-kata yang dilontarkan Ares walaupun tanpa suara. Meskipun demikian, Feby langsung memahaminya.
[“Oke, Angga. Satu jam lagi saya sampai di lobby. Tunggu di sana saja.”]
Panggilan tadi pun berakhir. Sementara Feby yang baru mendudukkan diri lekas mengerucutkan bibirnya.
“Masih juga jam delapan,” rengek Feby manja.
“Ayolah, Feb. Jangan terus mengulur waktu.”
Suara dingin barusan membuat Feby cukup tahu diri. Wanita itu mengembuskan napas kasar lalu mengekori langkah kaki sang suami. Tak lupa singgah sebentar ke toilet untuk mencuci wajah dan menyikat giginya.
Kini pasangan suami istri tersebut makan dalam diam. Ares begitu telaten menyuapi Feby dengan sendok yang sama. Lagi-lagi cara manis yang tentu membuat istrinya itu hanyut dalam pesona sang Bupati Kembang.
Masih ada setengah jam untuk bersama. Feby memanfaatkan waktu yang ada untuk mendekap tubuh kekar suaminya erat-erat. Seolah mereka tidak akan berjumpa dalam waktu yang lama. Sementara Ares? Dia hanya menikmati momen yang ada dengan tangan tak henti mengelus punggung istri mudanya itu.
“Mas,” ucap Feby dengan kepala yang sedikit mendongak. Ares bergumam pelan lalu mengalihkan pandangannya pada wanita itu. “Aku mau nanya sesuatu.”
“Apa?”
“Kenapa Mas mau nikahin aku?” tanyanya tiba-tiba.
Seketika kedua alis Ares bertaut usai mendengar pertanyaan barusan. Dia bahkan mengurai pelukan mereka detik itu juga.
“Kenapa kau bertanya begitu??” ucap Ares malah balik bertanya. “Setelah semua yang kulakukan, kau masih bertanya juga??”
Sadar bahwa atomosfer mereka mulai berubah, jantung Feby langsung berdentum hebat. Dia pun menggeleng lalu memasang wajah memelasnya.
“Enggak kok,” kilahnya kemudian. “A-aku merasa beruntung aja bisa jadi istrimu, Mas. Soalnya kemarin waktu di salon, banyak ibu-ibu sosialita pada ngomongin pria jahat. Aku jadi kepikiran.”
Ares tak merespon penjelasan tadi lantaran ponselnya berdering. Pria itu kemudian bangkit dari duduknya dan segera menyambar setelan jas yang berada di lengan sofa.
“Aku pergi dulu.”
“Ciumnya mana?” rengek Feby manja.
Feby tak ingin perpisahan mereka kali ini meninggalkan kesan buruk. Jadilah dia berupaya keras untuk mengalihkan perhatian Ares.
Usahanya berhasil. Ares mengubah mimik wajahnya kembali manis seperti sedia kala. Pria itu mendaratkan kecupan di dahi, kedua pipi serta bibir Feby. Bahkan juga melakukan hal yang sama pada perut buncit istrinya tersebut.
“Jaga dirimu,” gumam Ares kemudian.
“Mas juga ya. I love you.”
Ares membalasnya dengan pelukan hangat juga sedikit remasan lembut di kedua bokong Feby. “Kau tetap yang terbaik, Sayang.”
Kerlingan nakal sang suami membuat kedua pipi Feby langsung merona. Dirinya langsung tahu ke mana arah pembicaraan barusan. Seketika dia merasa menang jika dibandingkan oleh sang istri pertama.
***
“Kalau bisa lahiran normal kenapa harus milih operasi sih, Feb?”Feby yang baru saja melakukan reservasi ruangan untuk jadwal persalinannya mengembuskan napas kasar. “Aku enggak mau ngerasain sakit pas lahiran, Bu. Belum lagi kalau dijahit. Iuhh! Pasti bakalan ngilu dan perih. Enggak deh.”
“Namanya juga mau jadi ibu. Pengorbanannya harus gitu.”
“Aku ‘kan ada duit, Bu. Jadi ya bebas milih. Mas Ares aja enggak masalah kok,” kata Feby yang masih saja keras kepala.
Ibunya tak bisa berkata-kata. Lantas hanya menggeleng melihat kelakuan Feby yang merasa seperti di atas angin.
“Suamimu gimana? Sudah dikasih kabar tanggalnya kapan?”
Feby mengangguk cepat. “Dia udah tahu, tapi ya tetap aja enggak bisa datang.”
“Kau harus terima kenyataan memang. Sampai kapanpun kau tidak akan pernah bisa bersatu dengan Ares.”
“IBU!!”
Wanita paruh baya yang menjadi lawan bicara Feby itu terhenyak kaget usai mendengar suara lantang tersebut. “Kenapa kau marah??”
“Ibu kenapa ngomong gitu sih?”
Sang ibu malah tergelak. “Hei! Seharusnya kau buka mata lebih lebar lagi. Dia tidak akan pernah meninggalkan keluarganya hanya demi seorang wanita simpanan!”
***
Empat tahun telah berlalu sejak malam penuh bintang itu. Kehidupan memang tak selalu mulus, tapi Feby dan Sandi telah membuktikan bahwa cinta dan kebersamaan adalah kunci untuk melewati segalanya.Pagi itu, rumah mereka dipenuhi aroma wangi kue yang baru dipanggang. Feby sedang menyiapkan sarapan di dapur sambil sesekali tertawa melihat tingkah Kayla yang kini sudah duduk di bangku SD dan sibuk membantu dengan celemek kebesaran. Haikal, yang kini mulai beranjak remaja, duduk di meja makan, menggambar sesuatu di bukunya."Haikal, kamu gambar apa, Nak?" tanya Feby sambil mengaduk adonan kue.Haikal mengangkat bukunya, memperlihatkan gambar sederhana keluarga mereka—Feby, Sandi, dirinya, dan Kayla berdiri di taman, dengan tulisan di bawahnya: Keluargaku adalah rumah terbaik.Feby tersenyum, hatinya meleleh."Bagus banget! Mama bangga sama kamu."Kayla langsung menyela, “Aku juga mau gambar, Ma! Tapi aku gambar rumah kita da
“Rindu kami tidak berarti apapun jika dibandingkan kebahagian Kak Feby,” gumam Zaki dengan tulus.Feby menatap adik bungsunya dengan terkejut, tetapi juga tersentuh. "Zaki. Makasih ya. Kakak enggak akan bisa melewati semua ini tanpa dukungan kalian semua."Sandi yang duduk di sebelah Feby merangkul bahunya. "Benar. Kita sudah menjadi tim yang hebat."Malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, Feby merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Semua konflik yang pernah mengusik hidupnya telah usai. Bella telah meminta maaf, dan mereka telah berdamai.Sementara Ares, mantan suaminya itu telah menghilang dari hidup mereka setelah terlibat kasus korupsi besar, namun Feby merasa kuat untuk membesarkan Haikal dan Kayla tanpa bantuan Ares. Kini, hanya ada cinta dan kebahagiaan di rumah mereka.Di dalam hatinya, Feby tahu bahwa hidup akan terus membawa tantangan. Tetapi, dengan keluarga yang mencintainya dan suami ya
Tiga bulan kemudian …Feby berdiri di depan cermin, mengenakan gaun sederhana namun elegan. Kilauan gaun itu memantulkan cahaya lembut dari jendela, memberi kesan bahwa hari ini adalah hari yang spesial. Meskipun hari ini bukanlah hari besar untuk dirinya, Feby tetap merasakan kebahagiaan yang begitu dalam. Pernikahan Rania—anak tirinya, yang sudah seperti anak kandungnya sendiri—telah membuat segala ketegangan yang dulu menyelimuti mereka berubah menjadi ketenangan."Dulu, rasanya semua masalah tak ada habisnya," gumam Feby sambil tersenyum kecil kepada dirinya sendiri. Gaun itu sempurna, dan semua sudah siap untuk perayaan hari ini.Feby tersentak ketika mendengar suara langkah kaki mendekat dari belakang. Itu adalah Sandi, suaminya. "Kau sudah siap, Sayang?" tanyanya lembut, berdiri di ambang pintu.Feby berbalik dan tersenyum, menatap Sandi yang tampak gagah dengan setelan jasnya. "Siap, tapi aku masih merasa sedikit gugup," jawabny
“SURPRISE!!”Feby tertegun. Di hadapannya berdiri Sukma dan Zaki, adik-adik yang sudah lama tak ia jumpai. Sukma yang kini sibuk dengan pekerjaannya sebagai ASN dan Zaki terakhir kali ia dengar balik dari perantauan, tampak membawa tumpukan kado di tangan mereka. Namun, yang membuat Feby lebih terkejut adalah dua anak kecil yang berlari menghampirinya dengan tawa riang. Siapa lagi kalau bukan Haikal dan Kayla, buah hatinya yang sudah lama tinggal bersama Ares, mantan suaminya."Mama!" pekik Haikal. Tawa mereka menggema, dan seketika hati Feby mencair bersamaan dengan air bening yang menggenang di pelupuk matanya.Feby tersenyum penuh haru, matanya mulai memanas oleh air mata yang tak terbendung. "Kalian... kalian semua di sini?"Sukma mengangguk, menepuk bahu kakaknya. "Tentu saja, Kak. Hari ini ulang tahunmu. Kami enggak akan melewatkan kesempatan buat kasih kejutan."Zaki tersenyum jahil, menyerahkan sebuket bunga mawar merah. "Happy
“Sudahlah, Ran. Jangan dengerin ayahmu. Dia ngawur,” ucap Feby dengan begitu cepat. Rania yang tadinya menggerutu seketika terbahak. Terlebih setelah melihat wajah ibu tirinya yang bersemu merah itu. Dia pun paham maksud dari omongan sang papa.“Iya iya. Ya udah nih!” Rania menyerahkan kotak P3K yang ada di tangannya. “Mbak, hmm maksudku Mbak Feby, eh mama ya? Atau —““Panggil aku seperti biasanya aja, Ran,” potong Feby cepat. Tangannya mengusap lembut pundak Rania dengan penuh kasih sayang. “Kau hanya punya satu ibu di dunia ini dan aku enggak akan bisa menggantikannya. Jadi meskipun aku adalah istri ayahmu, kita masih bisa menjadi teman ‘kan?”“Feby, kenapa gitu?” protes Sandi yang merasa keberatan.Feby terbahak lalu berkata, “Apa s
Feby menelan ludahnya dengan gugup. Udara malam terasa semakin menyesakkan, meski angin dingin menyentuh kulitnya. Sandi menariknya semakin dekat, hingga wajah mereka hanya beberapa inci terpisah.Kini mata Feby bergetar, tidak yakin dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia bisa merasakan napas suaminya yang hangat menyapu pipinya.“Kenapa harus panggil Om, hmm?” bisik Sandi, matanya tajam namun lembut. “Aku ini suamimu, bukan ‘Om’.”Feby mencoba mengalihkan pandangannya, tetapi tidak bisa. Mata mereka saling terkunci, dan dia tahu jika Sandi sedang menantinya. Menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Perasaan pun menjadi campur aduk, antara rasa canggung, ragu, dan keinginan untuk menyerahkan diri pada momen ini.Dengan lembut, Sandi mengusap pipi Feby menggunakan ibu jarinya. Sentuhan barusan membuat jantung Feby berdegup kencang, begitu keras hingga rasanya bisa terdengar. Perlahan, Sandi menundukkan wajahnya lebih dekat lagi, bibirnya hampir menyentuh bibir Feby ya