"Ah, apakah aku akan tertangkap sekarang?" desah Anna seraya melihat sekelilingnya dengan panik. Perjuangannya selama berjam-jam kini terasa amat singkat dan tidak berguna.
Jika ia tertangkap sekarang dan kembali ke hadapan Keith, pria itu pasti akan melakukan hal mengerikan padanya. Dan Anna akan kesulitan untuk pergi lagi, ia yakin.Mungkin, ia tidak akan berdaya sembari menyongsong kematian Tiana.Orang-orang turun satu per satu sementara Anna masih berdiri mematung di tempatnya. Dia menutupi kepalanya dengan tudung jaketnya dan memakai maskernya.“Ah!” Anna refleks mengaduh saat seseorang menyenggolnya. Ia nyaris terjatuh jika saja orang itu tidak menangkapnya.“Maaf, Nona.”Anna melihat seorang lelaki muda yang baru saja menyenggol tubuhnya. Laki-laki itu bertubuh tinggi atletis. Rambut pirangnya lurus sebahu. Mata biru mudanya menyala terang, dan wajahnya terlihat ramah. Secara keseluruhan, laki-laki ini cukup tampan.Tiba-tiba Anna mendapatkan sebuah ide.“Anda baik-baik saja?” Pria itu bertanya karena Anna tidak mengatakan apa pun lagi dan hanya menatapnya.“Ah, ya.” Anna buru-buru menarik diri dari pria tersebut.Di waktu yang singkat–hanya beberapa detik–Anna berhasil mengumpulkan keberaniannya dan bertanya, "Tu-Tuan, bisakah aku meminta tolong?"Pria itu menoleh ke arah Anna. Dia menatap gadis bermasker di depannya dengan tatapan rumit. Setelah beberapa saat, pemuda pirang itu berbisik, "Apa kamu yang sedang mereka cari?""Mu-mungkin," jawab Anna gugup."Tapi kamu dapat yakin kalau aku tidak bersalah," kata Anna berusaha meyakinkan laki-laki di sampingnya. "Aku pergi untuk menyelamatkan nyawaku."Kilatan keterkejutan melintas di kedua bola mata laki-laki itu. Dia segera menarik Anna menuju barisan paling belakang dan kembali berbisik, "Apa kamu memiliki sesuatu untuk menyamar?"Anna menggeleng cepat. "Tidak.""Softlens atau apa pun?" tanya laki-laki itu lagi."Ah, coba aku lihat ke dalam tasku dulu." Perkataan laki-laki di depannya mengingatkan Anna akan sifat Tiana yang pintar berdandan. Dia segera membuka-buka tas jinjing milik Tiana yang dibawanya dan menemukan sepasang softlens berwarna hijau cerah.Anna membuka wadah softlens itu dan memakainya dengan tergesa-gesa. Di sisi lain, pria muda itu berdiri di depannya, membantu untuk menutupi tindakannya."Selesai," kata Anna."Akan lebih baik kalau kamu mempunyai rambut palsu juga," celetuk pria itu Anna menggeleng pelan. "Sayangnya tidak ada.""Apakah rambutmu panjang?" tanya pria itu lagi."Hmm," gumam Anna seraya mengangguk. Dia segera membuka tudung jaketnya dan memperlihatkan rambutnya. Rambut Anna berwarna cokelat dan bergelombang hingga ke punggungnya."Aku tahu ini mungkin akan menyakitkan. Bagaimana kalau kita memangkas rambutmu?" bisik laki-laki itu lagi.Anna tidak banyak berpikir. Dia segera mengangguk untuk menyetujui ide laki-laki di depannya.Keduanya melihat ke arah antrean yang sudah semakin berkurang. Laki-laki itu membuka tasnya, dan mengeluarkan sebuah gunting. "Maaf, kamu bisa pergi untuk merapikan rambutmu setelah ini.""Tidak masalah," jawab Anna seraya mengangguk.Laki-laki itu segera memotong rambut Anna menjadi sebahu tanpa ragu. Setelah itu, dia segera memberikan potongan rambut Anna kepada wanita itu. "Simpan di dalam tasmu.""Terima kasih," jawab Anna. Anna merasa sedikit sedih karena dia selalu menyukai rambut panjang. Namun, keadaan saat ini sangat mendesak."Sekarang, ayo kita keluar," kata laki-laki itu."Terima kasih, Tuan–""Benjamin Thompson. Panggil aku Ben," jelas Ben."Terima kasih, Ben," kata Anna. Meskipun dia menggunakan masker, Ben masih bisa melihat sudut matanya yang melengkung karena tersenyum.Keduanya berjalan berdampingan. Ben bisa merasakan tubuh Anna yang menegang ketika mereka semakin mendekati pintu."Pura-pura batuk." Pemuda pirang itu kembali."Apa?" tanya Anna bingung."Pura-pura batuk agar mereka tidak mencurigai maskermu," jelas Ben lagi.Anna segera menuruti perkataan Ben. Dia sesekali terbatuk pelan. Di sisi lain, Ben menarik tangan Anna lalu melingkarkannya di lengannya.Anna menoleh dan menatap Ben dengan tatapan terkejut. Ben tersenyum lalu mengedipkan mata kirinya. "Aku akan membantumu keluar dari sini," bisik pria itu.Tidak lama kemudian, Anna dan Ben berada di pintu bus. Keduanya melihat 3 orang pria berseragam polisi sedang berdiri di depan pintu bus. Ketiga orang itu menatap Ben dan Anna dari ujung kepala hingga ujung kaki."Siapa nama kalian?" tanya polisi yang paling depan."Anna Silverlake," jawab Anna."Benjamin Thompson," jawab Ben."Apa dia bersamamu?" tanya polisi itu kepada Ben seraya menunjuk Anna."Ya, dia kekasihku. Apakah ada masalah, Pak?" tanya Ben."Kami sedang mencari seorang gadis bernama Tiana Wilson," jawab polisi itu. Dia menatap Anna kembali dan merasa sedikit ragu ketika melihat matanya yang berwarna hijau. Berdasarkan ciri-ciri Tiana, gadis itu memiliki bola mata berwarna coklat. Dia lalu menambahkan, "Bisakah kamu membuka maskermu?""Uhuk! Uhuk! Maaf, Pak. Flu saya cukup berat, saya takut akan menulari Anda," jawab Anna.Polisi itu mengernyitkan keningnya, lalu kembali berkata, "Kalau begitu, tolong buka tudung jaketmu.Jantung Anna berdetak kencang. Tangannya sedikit bergetar ketika dia menyentuh tudung jaketnya. Setelah beberapa saat, dia memberanikan diri untuk membukanya."Tidak cocok. Gadis itu berambut panjang sepunggung," kata polisi itu. "Maafkan kami karena telah mengganggu. Silakan lanjutkan perjalan kalian.""Terima kasih," jawab Anna. Dia merasa sangat lega dan buru-buru menarik Ben menjauhDi belakang mereka, polisi tadi berkata kepada dua rekannya, "Ayo kita periksa bus lainnya."Anna menyeret Ben hingga keduanya cukup jauh dari ketiga polisi itu. Setelah beberapa saat, Anna berbalik dan melepaskan genggaman tangan Ben. "Ben, terima kasih banyak.""Sama-sama," jawab Ben terlihat ikut lega. "Sekarang, ke mana kamu akan pergi?"Anna menjadi waspada ketika mendengar Ben menanyakan tujuannya. Dia tidak ingin menjawab pertanyaan ini. Semakin sedikit orang yang tahu ke mana dia akan pergi, itu semakin baik.Ben melihat sorot mata Anna yang terlihat bingung. Dia salah menduga kalau Anna tidak punya tempat tujuan. Dia lalu berbisik untuk menyarankan kepada Anna, "Aku akan pergi ke Oaktree. Bagaimana kalau kamu juga pergi ke sana untuk sementara waktu? Aku pikir tempat itu akan cocok untuk persembunyianmu. Dan juga, semua hal di sana tidak terlalu mahal.""Benarkah?" tanya Anna terlihat senang. "Aku memang berencana pergi ke sana!"Ben mengangkat kedua alisnya ketika mendengar perkataan Anna, "Kalau begitu, bagus! Ayo, kita segera pergi untuk membeli tiket kereta!"***“Semua tampak tidak menarik–”Kata-kata Anna terputus saat ia merasakan gelombang rasa mual dari perutnya. Secepat yang ia bisa, dia berlari ke kamar mandi dan akhirnya memuntahkan semua isi perutnya ke dalam wastafel di kamar mandi. Setelah beberapa saat, dia akhirnya merasa lebih tenang. Anna menatap wajahnya di cermin. "Mengapa akhir-akhir ini aku selalu muntah saat makan?" pikirnya.Dua bulan berlalu dengan cepat setelah ia kabur dari kediaman Wilson. Kini Anna menempati sebuah rumah kecil yang berada di pojok Oaktree. Rumah itu hanya berjarak 5 rumah dari rumah yang ditempati Ben. Anna hanya membawa uang sedikit uang yang diambilnya dari Keith. Anna bekerja di sebuah toko roti milik keluarga Ben. Meskipun gajinya tidak terlalu besar, tapi itu cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.Semuanya tampak normal dan damai hingga akhirnya Anna menyadari suatu hal: belakangan ini, semua makanan yang ia lihat membuatnya mual alih-alih lapar.Hingga tadi saat ia memaksakan diri untuk menyantap serela, ia merasakan desakan kuat untuk muntah.“Apakah–”Tiba-tiba, adegan panas antara Keith dan Tiana melintas di dalam pikiran Anna. Kedua matanya membola dan wajahnya perlahan menjadi pucat. "M-mungkinkah aku … hamil?""Tidak, tidak! Aku tidak mungkin hamil! Kami hanya melakukannya sekali, tidak mungkin akan semudah itu, bukan?" sangkal Anna di dalam hatinya.Anna keluar dari kamar mandi dan membuang sisa sereal di atas meja. Dia sama sekali tidak bisa makan lagi. Kemudian, ia menyambar tas selempangnya dan berjalan keluar dari pintu menuju tempat bekerjanya.Lonceng yang tergantung di atas pintu Toko Roti Delicious berbunyi ketika Anna membuka pintu. Wangi roti yang segar memenuhi ruangan, menyeruak masuk ke dalam indra penciuman Anna, membuat perutnya sedikit bergejolak tanpa sadar.Ben yang sedang menata roti di dalam etalase menoleh ketika mendengar seseorang membuka pintu. Wajahnya seketika berubah cerah ketika melihat siapa yang datang, “Anna!”"Selamat pagi," sapa Anna seraya berjalan menuju loker di belakang kasir.“Apakah Anna sudah datang?” Seorang wanita paruh baya melihat keluar melalui pintu dapur.“Selamat pagi, Nyonya Thompson!” Anna menyapa Serena Thompson, ibu Benjamin, yang juga m
Tiga tahun kemudian ....“Tuan Wilson! Ada kabar baik!” Zack memasuki ruang kerja Keith dengan tergesa-gesa. Dia bahkan tidak mengetuk pintunya dan masuk begitu saja.Keith yang sedang sibuk membaca berkas-berkas di atas meja mendongakkan kepala untuk melihat ke arah orang kepercayaannya itu. Keningnya mengernyit dan dia terlihat kesal. “Begitu penting hingga kamu melupakan sopan santunmu?”Melihat tatapan tidak senang Keith, Zack akhirnya mencoba mengendalikan diri. “Tuan Wilson, maafkan aku. Tapi aku memiliki hal yang sangat penting untuk aku laporkan kepadamu.”“Hal penting?” Keith mengangkat kedua alisnya, menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap Zack dengan tatapan tajam. “Apakah kamu menemukannya?”“Ya!” jawab Zack penuh semangat.Raut wajah Keith menegang sesaat, tetapi kembali santai di detik berikutnya. Dia bertanya kepada Zack dengan nada dingin, “Katakan di mana dia sekarang.”“Nyonya berada di sebuah kota kecil bernama Oaktree. Beliau menyewa rumah kecil dan bekerj
“Pulang?” Alis Anna mengernyit ketika mendengar kata “pulang”. Dia sama sekali tidak menyembunyikan penolakan di wajahnya. “Siapa yang mau pulang denganmu?”Raut wajah Keith tidak kalah sengit. Dia menatap Anna dengan tajam, seolah-olah ribuan pisau sedang tertuju pada wanita di depannya itu.Anna menelan ludahnya dengan susah payah, memberanikan diri untuk menentang Keith, “Kenapa aku harus ikut pulang denganmu? Aku memiliki kehidupanku sendiri di sini dan kamu tidak bisa mengaturku!”“Tiana.” Keith sedikit memiringkan kepalanya saat memanggil nama Tiana. Kata-kata yang diucapkannya penuh dengan penekanan. “Apakah kamu tahu statusmu? Kamu adalah Nyonya Wilson. Istriku.” “Lagi pula,” lanjut Keith. “Anak itu … adalah putraku, bukan?”Anna menarik napasnya dalam-dalam, berusaha membuat dirinya setenang mungkin. Entah sudah berapa kali dia membayangkan adegan ketika Keith berdiri di depan pintu rumahnya seperti saat ini. Anna pikir dirinya bisa tenang. Namun nyatanya, dia hanya mengh
“Tiana?” Keith kembali memanggil Anna, namun wanita itu sama sekali tidak bereaksi.Di sisi lain, Anna masih tenggelam dalam pikirannya. Dia menimbang-nimbang apa yang harus dia lakukan.Selama 3 tahun hidup di dalam dunia novel ini, dia tidak pernah bisa menemukan cara untuk kembali ke dunianya. Bahkan dia tidak kembali ketika pingsan setelah melahirkan. Pada akhirnya, Anna hanya bisa memaksakan diri untuk menerima kondisinya.Kematian Tiana seharusnya terjadi setelah 1 tahun dia memasuki novel. Tapi, meskipun itu sudah terlewat, bukan berarti Anna tidak benar-benar akan mati, bukan? Keith bisa menemukannya, bagaimana kalau keluarganya bisa menemukannya juga?Keith terdiam. Memberikan waktu kepada istrinya untuk berpikir. Dia bahkan bisa melihat wajah tertekan istrinya.Setelah beberapa saat, Anna akhirnya mengambil sebuah keputusan bulat. Dia mendongakkan kepalanya, menatap wajah Keith dan berkata dengan tegas, “Archer memang anakmu. Baiklah, kami akan ikut pulang denganmu.”Keith
“Wah, Mama, lihat! Ada sapi!” seru Archer penuh semangat. Suara celotehan Archer dan jawaban Anna terdengar sepanjang jalan, Zack dan Keith duduk di kursi depan, sedangkan Anna dan Archer menempati kursi belakang. Anna sesekali melirik ke arah kaca spion tengah dan bertatapan dengan sepasang mata yang menatapnya dengan tajam. Anna hanya melemparkan senyum tipis, lalu kembali memalingkan wajahnya dan bercanda dengan Archer.Zack sebenarnya merasa sedikit bingung dengan tingkah laku tuannya. Dia menginginkan istri dan anaknya pulang bersamanya, namun dia sama sekali tidak terlihat bahagia.“Ah, sepertinya hari-hari Nyonya akan sulit,” desah Zack di dalam hatinya.Hanya dalam satu jam perjalanan, Archer sudah tidur di pangkuan Anna. Anna menatap lembut dan membelai rambut anaknya. Semua gerak-geriknya tidak lepas dari perhatian Keith.“Apakah kamu tidak ingin menanyakan tentang keadaan keluargamu?” tanya Keith tiba-tiba.Anna tertegun dan gerakan tangannya berhenti sejenak di udara. Sete
“Tiana!” Nada suara Keith semakin berat, seolah-olah menuntut Anna untuk mematuhinya.Anna mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekati telinga Keith lalu berbisik pelan, “bisakah kamu berbicara dan bersikap lebih lembut kepada kami? Kalau kamu setuju, aku akan memberitahu Archer untuk memanggilmu ‘Papa’.”Wajah Keith sudah sehitam dasar panci. Dia tidak menduga Anna akan berani mengajukan permintaan kepadanya. Dia menggertakkan gigi dan bertanya dengan suara rendah, “apakah kamu sedang mempermainkanku?”“Mengapa? Bukankah kamu menjemput kami untuk memperbaiki hubungan kita?” bisik Anna berterus terang.“Dalam mimpimu!” dengus Keith dingin.“Lalu, mengapa kamu terus mencariku dan mengajakku pulang?” celetuk Anna kesal. Dia tidak tahu mengapa laki-laki ini sangat sulit untuk dibujuk.Keith terdiam, sama sekali tidak terlihat berniat menjawab pertanyaan Anna.“Baiklah, kalau begitu silahkan menikmati panggilan ‘Paman’,” desah Anna seraya menyandarkan tubuhnya kembali ke kursi mobil. Kei
Keith menghembuskan nafas berat, setelah itu dia memerintahkan Zack, “bawa Archer ke dalam kamarnya.”“Baik, Tuan,” jawab Zack patuh. Dia tidak berani menunda lagi dan bergegas menggandeng Archer, membawanya masuk ke dalam rumah.Keith menatap Anna, lalu berkata dengan nada tidak senang, “ini semua salahmu.”“Hei, daripada menyalahkanku, bagaimana kalau kita memikirkan solusinya?” celetuk Anna seraya berjalan mendekat.Keith menatap Anna dengan waspada, “solusi? Solusi apa?”“Bagaimana kalau begini. Setiap kali ada Archer, kamu berpura-puralah bersikap lembut kepadaku. Kita tunjukan kepadanya kalau hubungan kita baik-baik saja. Aku yakin dia akan mulai membuka hatinya kepadamu,” saran Anna.“Tidak. Aku bisa membuatnya menyukaiku tanpa bantuanmu,” tolak Keith seraya berjalan pergi meninggalkan Anna.Anna menggeleng pelan dan berkata di dalam hatinya, “Keith benar-benar keras kepala.” Setelah itu, dia berlari mengikuti Keith masuk ke dalam rumah.Anna melihat sekeliling ketika memasuki
Keith berjalan menaiki tangga, menuju kamar yang telah dia sediakan untuk Archer. Kamar itu terletak tidak jauh dari kamarnya dan juga kamar Anna. Hanya dipisahkan oleh ruang keluarga.Setelah sampai di depan pintu kamar, Keith menarik nafasnya dalam-dalam, menenangkan dirinya sejenak. Dia selalu tenang setiap kali menghadapi bisnis-bisnis besar. Namun entah mengapa, dia menjadi gelisah ketika harus menghadapi anak yang belum genap berusia 3 tahun.Setelah Keith merasa sedikit tenang, dia memberanikan dirinya untuk mengetuk pintu.Tok! Tok! Tok!Hening. Tidak ada jawaban dari dalam kamar.Keith mengerutkan alisnya, lalu kembali mengetuk pintu. Akhirnya, sebuah suara bayi terdengar dari dalam ruangan.“Siapa?” tanya Archer.“Ini aku … ini Papa,” jawab Keith tegang.Hening. Tidak ada jawaban lagi dari balik pintu.“Archer, bisakah Papa masuk? Papa ingin mengobrol denganmu,” tanya Keith lagi.Akhirnya, suara langkah kaki berjalan mendekati pintu. Tanpa sadar, sudut bibir Keith menyungg