Share

BAB 3 Penyamaran

"Ah, apakah aku akan tertangkap sekarang?" desah Anna seraya melihat sekelilingnya dengan panik. Perjuangannya selama berjam-jam kini terasa amat singkat dan tidak berguna.

Jika ia tertangkap sekarang dan kembali ke hadapan Keith, pria itu pasti akan melakukan hal mengerikan padanya. 

Dan Anna akan kesulitan untuk pergi lagi, ia yakin.

Mungkin, ia tidak akan berdaya sembari menyongsong kematian Tiana.

Orang-orang turun satu per satu sementara Anna masih berdiri mematung di tempatnya. Dia menutupi kepalanya dengan tudung jaketnya dan memakai maskernya.

“Ah!” Anna refleks mengaduh saat seseorang menyenggolnya. Ia nyaris terjatuh jika saja orang itu tidak menangkapnya.

“Maaf, Nona.”

Anna melihat seorang lelaki muda yang baru saja menyenggol tubuhnya. Laki-laki itu bertubuh tinggi atletis. Rambut pirangnya lurus sebahu. Mata biru mudanya menyala terang, dan wajahnya terlihat ramah. 

Secara keseluruhan, laki-laki ini cukup tampan.

Tiba-tiba Anna mendapatkan sebuah ide.

“Anda baik-baik saja?” Pria itu bertanya karena Anna tidak mengatakan apa pun lagi dan hanya menatapnya.

“Ah, ya.” Anna buru-buru menarik diri dari pria tersebut.

Di waktu yang singkat–hanya beberapa detik–Anna berhasil mengumpulkan keberaniannya dan bertanya, "Tu-Tuan, bisakah aku meminta tolong?"

Pria itu menoleh ke arah Anna. Dia menatap gadis bermasker di depannya dengan tatapan rumit. 

Setelah beberapa saat, pemuda pirang itu berbisik, "Apa kamu yang sedang mereka cari?"

"Mu-mungkin," jawab Anna gugup.

"Tapi kamu dapat yakin kalau aku tidak bersalah," kata Anna berusaha meyakinkan laki-laki di sampingnya. "Aku pergi untuk menyelamatkan nyawaku."

Kilatan keterkejutan melintas di kedua bola mata laki-laki itu. Dia segera menarik Anna menuju barisan paling belakang dan kembali berbisik, "Apa kamu memiliki sesuatu untuk menyamar?"

Anna menggeleng cepat. "Tidak."

"Softlens atau apa pun?" tanya laki-laki itu lagi.

"Ah, coba aku lihat ke dalam tasku dulu." Perkataan laki-laki di depannya mengingatkan Anna akan sifat Tiana yang pintar berdandan. Dia segera membuka-buka tas jinjing milik Tiana yang dibawanya dan menemukan sepasang softlens berwarna hijau cerah.

Anna membuka wadah softlens itu dan memakainya dengan tergesa-gesa. Di sisi lain, pria muda itu berdiri di depannya, membantu untuk menutupi tindakannya.

"Selesai," kata Anna.

"Akan lebih baik kalau kamu mempunyai rambut palsu juga," celetuk pria itu 

Anna menggeleng pelan. "Sayangnya tidak ada."

"Apakah rambutmu panjang?" tanya pria itu lagi.

"Hmm," gumam Anna seraya mengangguk. Dia segera membuka tudung jaketnya dan memperlihatkan rambutnya. Rambut Anna berwarna cokelat dan bergelombang hingga ke punggungnya.

"Aku tahu ini mungkin akan menyakitkan. Bagaimana kalau kita memangkas rambutmu?" bisik laki-laki itu lagi.

Anna tidak banyak berpikir. Dia segera mengangguk untuk menyetujui ide laki-laki di depannya.

Keduanya melihat ke arah antrean yang sudah semakin berkurang. Laki-laki itu membuka tasnya, dan mengeluarkan sebuah gunting. 

"Maaf, kamu bisa pergi untuk merapikan rambutmu setelah ini."

"Tidak masalah," jawab Anna seraya mengangguk.

Laki-laki itu segera memotong rambut Anna menjadi sebahu tanpa ragu. Setelah itu, dia segera memberikan potongan rambut Anna kepada wanita itu. 

"Simpan di dalam tasmu."

"Terima kasih," jawab Anna. Anna merasa sedikit sedih karena dia selalu menyukai rambut panjang. Namun, keadaan saat ini sangat mendesak.

"Sekarang, ayo kita keluar," kata laki-laki itu.

"Terima kasih, Tuan–"

"Benjamin Thompson. Panggil aku Ben," jelas Ben.

"Terima kasih, Ben," kata Anna. Meskipun dia menggunakan masker, Ben masih bisa melihat sudut matanya yang melengkung karena tersenyum.

Keduanya berjalan berdampingan. 

Ben bisa merasakan tubuh Anna yang menegang ketika mereka semakin mendekati pintu.

"Pura-pura batuk." Pemuda pirang itu kembali.

"Apa?" tanya Anna bingung.

"Pura-pura batuk agar mereka tidak mencurigai maskermu," jelas Ben lagi.

Anna segera menuruti perkataan Ben. Dia sesekali terbatuk pelan. Di sisi lain, Ben menarik tangan Anna lalu melingkarkannya di lengannya.

Anna menoleh dan menatap Ben dengan tatapan terkejut. Ben tersenyum lalu mengedipkan mata kirinya. 

"Aku akan membantumu keluar dari sini," bisik pria itu.

Tidak lama kemudian, Anna dan Ben berada di pintu bus. Keduanya melihat 3 orang pria berseragam polisi sedang berdiri di depan pintu bus. Ketiga orang itu menatap Ben dan Anna dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Siapa nama kalian?" tanya polisi yang paling depan.

"Anna Silverlake," jawab Anna.

"Benjamin Thompson," jawab Ben.

"Apa dia bersamamu?" tanya polisi itu kepada Ben seraya menunjuk Anna.

"Ya, dia kekasihku. Apakah ada masalah, Pak?" tanya Ben.

"Kami sedang mencari seorang gadis bernama Tiana Wilson," jawab polisi itu. Dia menatap Anna kembali dan merasa sedikit ragu ketika melihat matanya yang berwarna hijau. Berdasarkan ciri-ciri Tiana, gadis itu memiliki bola mata berwarna coklat. Dia lalu menambahkan, "Bisakah kamu membuka maskermu?"

"Uhuk! Uhuk! Maaf, Pak. Flu saya cukup berat, saya takut akan menulari Anda," jawab Anna.

Polisi itu mengernyitkan keningnya, lalu kembali berkata, "Kalau begitu, tolong buka tudung jaketmu.

Jantung Anna berdetak kencang. Tangannya sedikit bergetar ketika dia menyentuh tudung jaketnya. Setelah beberapa saat, dia memberanikan diri untuk membukanya.

"Tidak cocok. Gadis itu berambut panjang sepunggung," kata polisi itu. "Maafkan kami karena telah mengganggu. Silakan lanjutkan perjalan kalian."

"Terima kasih," jawab Anna. Dia merasa sangat lega dan buru-buru menarik Ben menjauh

Di belakang mereka, polisi tadi berkata kepada dua rekannya, "Ayo kita periksa bus lainnya."

Anna menyeret Ben hingga keduanya cukup jauh dari ketiga polisi itu. Setelah beberapa saat, Anna berbalik dan melepaskan genggaman tangan Ben. 

"Ben, terima kasih banyak."

"Sama-sama," jawab Ben terlihat ikut lega. "Sekarang, ke mana kamu akan pergi?"

Anna menjadi waspada ketika mendengar Ben menanyakan tujuannya. Dia tidak ingin menjawab pertanyaan ini. Semakin sedikit orang yang tahu ke mana dia akan pergi, itu semakin baik.

Ben melihat sorot mata Anna yang terlihat bingung. Dia salah menduga kalau Anna tidak punya tempat tujuan. 

Dia lalu berbisik untuk menyarankan kepada Anna, "Aku akan pergi ke Oaktree. Bagaimana kalau kamu juga pergi ke sana untuk sementara waktu? Aku pikir tempat itu akan cocok untuk persembunyianmu. Dan juga, semua hal di sana tidak terlalu mahal."

"Benarkah?" tanya Anna terlihat senang. "Aku memang berencana pergi ke sana!"

Ben mengangkat kedua alisnya ketika mendengar perkataan Anna, "Kalau begitu, bagus! Ayo, kita segera pergi untuk membeli tiket kereta!"

***

“Semua tampak tidak menarik–”

Kata-kata Anna terputus saat ia merasakan gelombang rasa mual dari perutnya. 

Secepat yang ia bisa, dia berlari ke kamar mandi dan akhirnya memuntahkan semua isi perutnya ke dalam wastafel di kamar mandi. 

Setelah beberapa saat, dia akhirnya merasa lebih tenang. Anna menatap wajahnya di cermin. 

"Mengapa akhir-akhir ini aku selalu muntah saat makan?" pikirnya.

Dua bulan berlalu dengan cepat setelah ia kabur dari kediaman Wilson. 

Kini Anna menempati sebuah rumah kecil yang berada di pojok Oaktree. Rumah itu hanya berjarak 5 rumah dari rumah yang ditempati Ben. Anna hanya membawa uang sedikit uang yang diambilnya dari Keith. 

Anna bekerja di sebuah toko roti milik keluarga Ben. Meskipun gajinya tidak terlalu besar, tapi itu cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Semuanya tampak normal dan damai hingga akhirnya Anna menyadari suatu hal: belakangan ini, semua makanan yang ia lihat membuatnya mual alih-alih lapar.

Hingga tadi saat ia memaksakan diri untuk menyantap serela, ia merasakan desakan kuat untuk muntah.

“Apakah–”

Tiba-tiba, adegan panas antara Keith dan Tiana melintas di dalam pikiran Anna. Kedua matanya membola dan wajahnya perlahan menjadi pucat. 

"M-mungkinkah aku … hamil?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status