Suara dering ponsel menghentikan langkah Aksa. Beberapa detik setelah menutup panggilan telepon, Aksa melangkah tergesa-gesa meninggalkan Agnes. Lupa akan niatnya untuk menyapa wanita itu. Entah kenapa dia merasa seperti pernah bertemu dengannya. Ucapan syukur mengalir bak tetesan hujan dalam hati Agnes. Tak henti dan tak pernah putus. Hampir saja penyamarannya terbongkar. Dia tidak pandai berbohong. Selama berada dalam lift, Agnes menimbang-nimbang apakah dia akan menikmati makan siang yang sudah sangat terlambat—atau makan malam yang terlalu awal—di restoran hotel tersebut atau di luar. Ketika lift berdenting diiringi pintu yang menyibak dengan sendirinya, Agnes memutuskan untuk menikmati kuliner di luar hotel. Hari pertama tiba di negeri singa itu tidak terlalu buruk bila diawali dengan wisata kuliner. Membaur bersama penduduk lokal dan para pelancong lainnya, Agnes menikmati sajian halal dengan suapan perlahan. Membiarkan rasa yang dicecap lidahnya meresap dalam. Tanpa sadar Ag
Bruuk! “Akh!” Agnes merintih kesakitan. Tubuh kekar seorang pria baru saja menabraknya dengan kekuatan penuh. Membuatnya jatuh tersungkur. Agnes tidak tahu apakah dia harus menangis atau bersyukur atas musibah yang baru menimpanya itu. Pastinya, posisi jatuhnya kini menjadi kamuflase yang sangat bagus untuk melepaskan kembali alat penyadap miliknya. Sebelum sang penabrak menyadari keberadaan benda itu di belakang kursi santai, tangan kiri Agnes meraih benda itu, seolah-olah dia sedang berusaha menggapai sandaran kursi tersebut untuk membantunya berdiri. “Are you alright?” tanya sang penabrak yang tak lain ternyata Seth. “I’m sorry. I didn’t do it on purpose.” Seth mengulurkan tangan. Bermaksud ingin membantu Agnes berdiri. “Get your hand off her!” sentak Pamela pada Seth. Didorongnya tubuh lelaki itu dengan kasar. Perhatian Pamela beralih pada Agnes. Dia pun membantu sahabatnya itu untuk bangkit. “Kamu enggak apa-apa?” “Lo, kalian dari Indonesia juga?” kaget Seth. Pamela mengab
Malam sudah sangat larut. Agnes masih belum jua dapat memejamkan mata. Tubuhnya golak-golek di atas kasur. Hati dan pikirannya tak mau diajak kompromi untuk segera menginvansi alam mimpi. Keduanya terlalu sengit berdebat tentang Aksa. Agnes masih belum menemukan benang merah mengapa Aksa harus rela menerima siksa dari para rentenir karena uang seratus juta, padahal dia adalah pemilik perusahaan ternama. Perusahaannya menjadi salah satu sponsor untuk kegiatan pameran perhiasaan berkelas internasional. Itu artinya aset perusahaannya tidak bisa dianggap main-main. Mengingat orang tuanya yang bekerja sebagai pejabat di negeri kelahirannya, Agnes sedikit menangkap kewajaran dari kekayaan yang dimiliki Aksa. Sedetik kemudian, dia meragukan pendapatnya sendiri. Keluarga Aksa sepertinya tidak tahu apa-apa tentang hal itu. Buktinya, mereka selalu memandang rendah Aksa, bahkan menendangnya dari rumah sejak lebih dari lima tahun yang lalu. “God! Aku seperti beli kucing dalam karung!” Agnes m
Tatapan Agnes masih terpaku pada wajah Gugun. Bibirnya masih enggan melontar kata. Rasa malu lantaran pernah salah sangka membelit erat kepercayaan dirinya. “Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan, Nona!” Berpikir bahwa ada kemungkinan wanita di depannya itu segan untuk mulai bicara, akhirnya Gugun membuka percakapan. “Kalau kau datang tanpa tujuan, sebaiknya kau pulang.” Gugun yakin, Agnes tidak mungkin terbang sejauh itu hanya untuk mampir menyapa. Mereka bukan teman. Dia juga tidak bodoh. Pasti wanita itu sengaja datang untuk menemuinya setelah menyelidiki latar belakang kehidupannya. Teguran Gugun menyatukan kembali kesadaran Agnes yang terpecah-belah. Agnes membersihkan tenggorokannya yang tersumbat karena rasa grogi dengan sebuah dehaman kecil. “Aku ke sini untuk beberapa hal,” tutur Agnes. “Pertama, aku ingin minta maaf atas kesalahpahaman yang pernah terjadi beberapa waktu yang lalu.” Bola mata Gugun memancarkan sebersit kilat yang menyimpan misteri. Pengakuan teru
“Anda akan datang, Tuan?” Peter—asisten pribadi Gugun—menunggu dengan sabar di depan meja bosnya itu. “Undangan makan siang ini begitu mendadak,” sahut Gugun. “Aku tidak yakin bisa menghadirinya.” “Tapi, Tuan … undangan itu Tuan Seth sendiri yang mengantarnya kemari.” “Apa?!” “Benar, Tuan. Tadi dia ingin menemui Anda secara langsung,” beritahu Peter. “Hanya saja ….” Peter tak meneruskan kata-katanya. Keraguan mengikat lidahnya. Sebelah alis Gugun terangkat tinggi. Dia meletakkan penanya. Tatapannya kini menusuk tajam bola mata Peter. “Tu–Tuan Seth tidak ingin mengganggu kebersamaan Anda dengan Nona Aileen.” “Hubungi dia secepatnya!” titah Gugun. “Bilang aku akan datang.” “Siap, Tuan!” Peter membungkuk, lalu undur diri. Gugun bersandar pada kursi putarnya. Jari-jarinya saling terkait. Seth menyempatkan diri untuk mengantar undangan itu secara langsung ke kantornya. Padahal, sebenarnya lelaki itu bisa saja meneleponnya. “Mencurigakan!” desis Gugun. “Apa ini ada hubungannya deng
Agnes baru saja selesai membersihkan wajah dari sisa-sisa make-up. Wajahnya terasa ringan dan segar. Masih tersisa waktu lebih dari satu jam sebelum check-out dari hotel. Tidak buruk jika dia memanfaatkan waktu tersebut untuk tidur siang sejenak. Tiga puluh menit pun sudah cukup. Agnes hendak merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk hotel tersebut ketika suara ketukan pintu memaksanya untuk menunda keinginan itu. Berpikir bahwa itu mungkin Pamela yang berubah pikiran, Agnes bergegas membuka pintu. “Ka–kamu?” Aksa mematung selama beberapa detik, sama terkesimanya dengan Agnes. “Agnes?!” desisnya. Agnes tersadar dari kekagetannya. Secepatnya dia membanting pintu. Sial! Dia salah menduga. Ternyata orang yang berdiri di depan pintu kamarnya adalah Aksa. Lebih sial lagi, dia sudah tidak dalam mode penyamaran. Dia tampil dengan wajah asli. Aksa mendorong pintu kamar Agnes agar tidak tertutup. Lelah dan mengantuk membuat Agnes kalah tenaga dari Aksa. Lelaki itu berhasil masuk. Tatapan ta
“Mau ngapain?” Gugun mencekal pergelangan tangan Seth. “Ngetuk pintulah! Kau pikir apa lagi yang akan kulakukan?” “Tidak baik mengganggu privasi orang!” “Ini bukan masalah mengganggu privasi atau bukan,” sewot Seth. “Ini tentang sebuah pembuktian. Benar enggak Aksa tadi ke sini?” “Jangan bilang aku tidak pernah memperingatkanmu!” Seth mengabaikan wejangan Gugun. Dia yakin sekali bahwa Aksa pasti menemui perempuan bernama Red itu. Seth mengetuk pintu kamar. Semakin lama suaranya bertambah kencang. Di sampingnya, Gugun tegak mematung sambil melempar pandang ke segala arah. Memperhatikan kalau-kalau ada penghuni kamar lain yang terganggu dengan keributan yang ditimbulkan Seth. “Sudahlah! Ayo kembali! Kita tunggu di kamar saja!” ajak Gugun. “Tidak. Aku akan tetap menunggu di sini.” “Sampai kapan? Ya kalau Aksa di dalam sana. Kalau tidak? Buang-buang waktu!” “Aku sangat yakin dengan firasatku.” Kembali Seth mengetuk pintu. Aksa baru saja keluar dari kamar mandi dengan tubuh terba
“Kau bisa membawa ini bersamamu.” Aksa meletakkan beberapa dokumen dan barang penting di depan mata Gugun. Gugun masih tergugu, memandangi kertas yang terkembang di genggaman tangannya. Perlahan dia mulai melipat kertas itu. Dia juga melipat amplop itu menjadi lipatan kecil, lalu memasukkan ke kantong pada bagian dalam jas yang dikenakannya. Dengan jari-jari yang masih gemetar, dia menarik tanda pengenal dari dalam dompetnya. Dia juga merogoh saku. Mengeluarkan sebuah ponsel dari sana. “Ini nomor pribadiku,” ujarnya saat meletakkan gawai itu di atas meja. Aksa dan Agnes serentak menghela napas lega. Begitu pula Seth. “Pilihan yang sangat bijak, Bro!” puji Seth seraya menepuk pundak Gugun. Agnes sudah melangkah ke pintu. Gugun mengiringinya dengan perasaan berkecamuk tak menentu. Langkah Gugun terhenti kala dia merasakan tangan Aksa menahan pundaknya. Dia menoleh, lalu memeluk saudara kembarnya itu selama beberapa waktu. “Apa kau ingin aku membelikan sesuatu untuk istri dan anak