Berkaca dari masalahnya, dan bagaimana perilaku Firheith sebelumnya. Mutia yang gampang terprovokasi oleh Jerome kini tak menggubris suaminya itu yang terus memanggil. "Lajukan mobilnya, Jer!" suruh Mutia bersikeras. Bukankah ini kemauannya? Lalu kenapa Jerome pura-pura bingung? "Tapi kan, kita akan ke kantor polisi Mutia?" "Lain kali saja, Jer!" jawab Mutia ketus sembari mengalihkan perhatiannya dari Firheith yang mengetuk kaca mobil sebelahnya duduk. Jerome menarik sudut bibirnya, merasa senang melihat Firheith mengemis-ngemis seperti itu dendamnya sedikit terbalaskan. ‘Kau pikir merebut kepunyaan orang lain akan membuatmu aman, Fir? Tidak! Sudah waktunya aku mengambil Mutia dan anak kalian di rahim Mutia? Sungguh, aku tak sudi! Aku akan mencari cara untuk melenyapkannya!’ batin Jerome berniat buruk. Sementara itu, Firheith tak pantang menyerah. Dia ingat tujuannya dan setelah tahu Gabriel tak bersalah, Firheith semakin percaya diri menemui istrinya itu. "Buka kaca jendelanya
Gabriel langsung keluar dari mobil pasca berhenti. Situasi jalanan yang ramai membuat Gabriel yang buru-buru harus berhati-hati menyebrang. "Pak, tunggu!" Gabriel memanggil seseorang yang dikenalinya dengan pakaian compang-camping. "Berhenti! Tolong berhenti sebentar saya ingin bicara!" Sayangnya orang itu sekalipun tak menggubris Gabriel. Sopir keheranan dengan yang dilakukan Gabriel lalu menahan senyum. "Dia pergi sejauh ini hanya ingin mencari orang gila? Pakai bahasa Inggris lagi? Mana dia mengerti? Ada-ada saja kelakuan bule zaman sekarang." Tanpa sopir itu tahu, sebenarnya orang yang dianggap tak waras itu mengerti perkataan Gabriel. Bahkan mengenalnya tapi berpura-pura sebaliknya. "Aku harus cepat pergi sebelum Gabriel menemuiku," kata orang itu berjalan dengan cepat saat Gabriel mengikutinya dari belakang. "Goddamn it! Dia memang Ekadanta, walau rambutnya menggimbal, wajah dan tubuhnya burik seperti pakaiannya itu? Ck, gila!" gumam Gabriel mengatainya, "Apa tujuan dia beg
Sejurus kemudian mobil telah sampai di rumah Mutia. Kedua jantung Ayah dan putranya itu berdebar kencang padahal hanya melihat depan rumah itu. "Kita turun, Fir!" suruh Gabriel duluan tanpa menunggu dibukakan sopir. Firheith menyusulnya. Gabriel berdiri di tepi jalan, mengatur napas dan nyalinya sebelum menemui istri dari mendiang temannya. Rumah itu tampak sepi dan pintunya tertutup rapat. Mungkinkah penghuninya keluar? Dan tak ada siapapun di dalam! "Pa."Gabriel menoleh pada Firheith. Seakan tahu arti tatapan putranya, Gabriel langsung menjawab, "Ketuklah pintunya."Firheith mengangguk. Hanya dengan sekali ketukan, seorang wanita paruh baya menggunakan kebaya putih membuka pintu. "Siapa?" tanya Ida sebelum pintunya terbuka dengan lebar. Firheith dan Gabriel sesaat bertukar pandangan. "Saya, Bu." "Fi-Fir??"Tubuh Ida tersentak dan membeku melihat Firheith di hadapannya tiba-tiba. "Maafkan saya, Bu." Gegas Firheith merendahkan diri dengan memegangi tangan Ida. "Saya tidak be
"Kau yakin dengan keputusanmu bercerai dari Fir, Muti?" tanya Ida pada putrinya yang beranjak ke ruang tamu menemui Jerome siang itu. Ida sengaja menemui Mutia di kamar dan membahas topik itu sebelum Mutia keluar. Tapi Mutia tetap kukuh bercerai, bahkan kedatangan Jerome bermaksud untuk menemani putrinya ke kantor polisi membuka kembali laporan kematian Ekadanta yang sudah ditutup sejak lama. "Keputusan Mutia sudah benar, Bu Ida." Jerome menyahut ketika Mutia terlihat berjalan ke arah ruang tamu. Pandangan Ida dan Mutia tersapu ke Jerome yang bangkit dari duduk. Menyapa Ida dengan anggukan dan senyuman. Tapi entah kenapa dari awal bertemu Jerome, Ida tak begitu menyukainya walau pria itu bersikap ramah? "Maaf Nak Jerome, ini urusan keluarga kami. Tolong jangan ikut campur," ucap Ida sopan.Tapi Mutia yang tak enak dengan Jerome, karena ibunya yang terlalu sarkas. Lalu membisikkan sesuatu pada ibunya, "Bu, jangan begitu. Jerome ke sini niatnya baik.""Iya, Bu. Tolong maafkan saya
Firheith teralihkan suara Celine yang begitu geger. Kini ia sendiri pun dapat melihat Glady berdiri tegak di depannya setelah lama lumpuh, sehingga pria itu refleks menjatuhkan ponselnya ke lantai. “Ma.”Sepasang mata Glady basah memandangi putranya, tangannya menggapai wajah Firheith yang bergeming sebelum ia peluk. “Tolong dengarkan mama kali ini, Sayang. Percaya mama, kalau papamu tidak membunuh ayahnya Mutia? Tolong jangan salah paham, ya?” bisik Glady coba membujuk. Sontak Firheith melepas tangan Glady dari tubuhnya. Dan tanpa berkata apapun Firheith sedikit menjauhi ibunya itu, hingga Glady merasa cemas karena ia melihat ketidak percayaan Firheith dari tatapannya yang lesu. “Jika papa terbukti membunuh Tuan Ekadanta, silakan kau bunuh papa,” ucap Gabriel tiba-tiba mengejutkan keluarganya.Celine syok dan hampir terhuyung lalu Adam merangkulnya. “Kau baik-baik saja, Celine?” tanya Adam khawatir. Hubungan keduanya kini membaik lantaran Celine berhasil memenangkan hati duda
Sebelumnya….“Mutia, tolong dengarkan aku sebentar?”Wanita itu tampak menghela napas, mulanya dia tak ingin mengangkat ponselnya yang terus berdering jika bukan Ida—ibunya. Sayangnya yang malah dia dengar pertama kali adalah suara Jerome, pria yang masih kerabatnya dan menyukai Mutia namun dia tolak. “Kenapa kau masih menggangguku Jer? Sudah kukatakan, lupakan aku karena aku sudah menikah.”Takut Mutia memutus telepon, Jerome yang berstatus pengacara itu pun mengatakan sesuatu yang membuat Mutia syok. “Aku tahu siapa yang membunuh Paman Ekadanta.”Hening, Mutia coba mengatur napasnya dan jantungnya yang berubah cepat.“Siapa?”Dengan suara lirih Jerome mengatakan sesuatu yang mengejutkan. “Pembunuh ayahmu adalah Tuan Gabriel!”Kedua bola mata Mutia Aurora terbelalak, tubuhnya bahkan sedikit terdorong ke dinding mendengar itu. Lalu dengan logikanya Mutia berusaha mencerna ketegangan yang menguasainya, dia tersenyum kaku sambil menggeleng.“Tidak mungkin, Papa Gabriel itu orang