"Sudah, Sya, jangan nangis terus. Ini sudah mau sampai di pesantren loh. Ummi dan abah nanti pasti bingung kenapa kamu nangis?" Didin berusaha menenangkan Syamil yang masih terus terisak. Pria dewasa itu sekuat tenaga menahan tawanya karena ia teringat akan dirinya di masa lalu yang pernah juga sepeti Syamil. Menangis dari pesantren sampai pulang ke rumah, sampai masuk kamar, sampai besoknya lagi he he... (Kalian bisa baca kisah serunya dalam judul 'Sepuluh Juta Satu Minggu- di aplikasi Fizz0) "Sya, itu lihat, Abah udah nunggu depan pintu. Udahan nangisnya, Sya!" Kata Didin lagi sambil menepikan mobil di garasi rumah. Mesin mobil pun ia matikan. Didin turun lebih awal, bahkan dengan segala rasa sayangnya, ia membawakan tas ransel Syamil. Abah haji terheran-heran melihat putranya sampai dengan wajah merah dan meneteskan air mata. "Ya Allah, kamu kenapa, Sya? Kenapa sampai rumah nangis?" tanya abah bingung. Syamil tidak menjawab, ia hanya mencium punggung tangan abahnya, mengucapkan
"Ke mana Syamil?" tanya Hanum saat semua teman-teman kelompoknya sudah berkumpul di rumahnya, untuk mengerjakan tugas kelompok di hari minggu. "Syamil balik ke Jakarta, Num, katanya ada urusan. Emangnya gak bilang sama lo? Bukannya kalian dekat?" jawab Zizi yang kini tengah membuka laptopnya. Hanum menggeleng. Semangatnya yang menggebu-gebu untuk kerja kelompok l, mendadak sirna karena ketidakhadiran Syamil. Ia sengaja mengusulkan agar kerja kelompok di rumahnya saja, agar Syamil mau masuk ke dalam rumahnya. Pemuda itu memberikan privat les pada adik lelakinya dan hanya mau belajar di saung depan saja. Syamil belum pernah sama sekali masih ke dalam rumahnya. "Syamil mungkin lupa," jawab Hanum tersenyum, menutupi rasa sedihnya. "Tunggu ya, aku ambilkan camilan untuk kalian." Hanum masuk ke dalam rumah. Sejak semalam ia belajar bikin kue dengan pembantunya, agar bisa ia pamerkan pada Syamil, tetapi pemuda itu malah tidak datang. "Ini, silakan cicipi." Hanum membawa dua piring risol
"Siapa, Syamil? Bukannya kamu naksir temen kampus kamu yang namanya Hanum? Ummi masih ingat ucapan kamu waktu itu. Ummi gak suka kalau anak Ummi berbohong." Syamil terdiam. Laila yang ada di belakang tubuh ummi-nya hanya bisa menggelengkan kepala. Ia menyesali ucapan Syamil yang tidak terkontrol saat ada di rumah. "Lalu, ibu-ibu muda siapa yang hampir bikin kamu goyah? Ck, istighfar, Nak. Kamu itu wajibnya kuliah, bukan dekat sama perempuan, apalagi pacaran! Itu tidak ridho lahir dan batin ya, Sya." Pemuda itu hanya mengangguk saja. "Iya, Mi, Syamil janji akan belajar dengan baik." Syamil menunduk, tidak berani menatap wajah ummi-nya. Bu Umi tahu, putranya tidak mau menjawab karena tidak mau membuatnya kembali jatuh sakit. Lagi pula, anak muda seperti Syamil memang sedang dalam masanya seperti itu. Ia tidak mau terlalu memaksa karena khawatir malah Syamil main belakang. "Yah, Mi, namanya juga bocah. Udah sana ngapain kek, Sya. Dari tadi ngelonin Syam terus! Isiin bensin motor deh,
"Saya gak ada niat untuk menjalin hubungan dengan siapapun, Pak Hadi. Mohon maaf. Kita masih bisa berteman kok, jangan khawatir. Saya udah tua juga, gak mikirin yang begitu. Anak saya juga udah gede. Malu kalau cinta-cintaan. Maaf ya, Pak Hadi." Pria itu tersenyum sambil mengangguk. "Saya mengerti, Mbak. Saya terlalu dadakan kali ya, kayak tahu bulat." Ratih yang tadinya begitu tegang, menjadi rileks karena guyonan Hadi.Mereka pun berbincang ringan, Rafli pun ikut bergabung bersama ibunya dan juga Hadi. Remaja itu sesekali menimpali percakapan dua orang dewasa yang bisa dibilang pembicaraan ringan seputar harga sembako dan kebijakan pemerintah. Rafli pun sesekali ikut membicarakan teman-teman di sekolahnya. Tidak terasa sudah pukul sembilan lebih lima belas menit. Besok adalah hari senin, Rafli sekolah, ia pun harus bekerja. "Saya pamit pulang kalau begitu ya, Mbak Ratih. Terima kasih sudah mau menerima saya bertamu malam-malam." Hadi berdiri hendak menyalami Ratih, tetapi wanita
"Syamil, kamu mau bilang apa tadi sama Abah? Kenapa jadi bengong?" lamunan Syamil buyar saat merasa pundaknya ada yang menyentuh. Pemuda itu menggeleng. "Gak ada, Bah, besok pagi sehabis subuh Syamil berangkat. Udah bilang sama Mas Ibnu. Nanti dia yang antar ke terminal. Syamil besok kuliah jam sepuluh, jadi agak longgar bisa berangkat subuh, Bah," terang Syamil. Aba Haji pun mengangguk paham. Lalu ia mengeluarkan dompet dari dalam saku baju koko-nya. "Ini, ambil buat ongkos kamu. Sisanya buat bekal makan sampai nanti awal bulan, Abah kirimin lagi." Syamil menerima uang saku pemberian abahnya dengan canggung. Ia harusnya sadar diri dan tidak terlalu berlebihan memikirkan Hani. Ia masih muda dan fokusnya saat ini kuliah. Uang saja ia masih mengandalkan orang tuanya, tidak mungkin ia malah senang wanita lain, padahal ia masih kecil.Bagaimanapun Hani sudah lebih dewasa darinya dan pasti Hani bisa menjaga diri. Hani juga memiliki kakak yang sayang padanya. Wanita itu dan bayinya pasti
Hari berganti minggu, minggu pun terlewati begitu saja, berganti dengan bulan. Tiga bulan sudah berlalu sejak Hani menitipkan bayinya di sebuah pesantren. Ia sudah mulai menikmati alur kehidupan yang membawanya menjadi pedagang online tanpa stok barang. Alias dropship. Setiap harinya, Hani bisa mengumpulkan keuntungan lima puluh ribu rupiah, tanpa modal barang, hanya modal kuota saja. Sangat lumayan banyak bagi pedagang online pendatang baru seperti dirinya. Ia bisa membayar iuran kamar sebesar tiga ratus lima puluh ribu per bulan, membayar patungan token listrik lima puluh ribu per bulan. Sisanya untuk makan dan juga ia tabung. Ia harus giat menabung, agar putranya bisa segera ia ambil kembali. Hani, temen kampus ada yang mau order mukena yang kamu jual. Sebuah pesan masuk dari Zahra. Hani tersenyum senang. Teman-teman di kampusnya banyak sekali yang order barang padanya. Mulai dari mukena, aksesoris kerudung, kaus kaki dan barang lainnya. Ada satu hal lagi yang dilakukan oleh Han
"Kamu tadi siang lihat sendiri kakak kamu mencari ke kampus sampai seminggu dua kali. Apa kamu gak rindu? Apa kamu gak mau memberitahu kakak kamu, saat ini kamu ada di mana dan kamu baik-baik saja. Ia pasti sangat mencemaskan kamu, Hani. Ada banyak kejahatan di luar sana, meskipun kalian mungkin bukan adik kakak yang super akur, tetapi pikiran buruk tentang kejahatan di luar sana yang bisa saja menimpa kamu, pasti membuat kakak kamu cemas. Ini hanya saran saja, Hani. Oke, kalau kamu tidak berniat untuk ikut bersama kakak kamu lagi, tetapi kamu harus muncul dan memberitahu bahwa kamu baik-baik saja." Zahra menasihati Hani, saat gadis itu menemani Hani yang tengah menyetrika di kamarnya. Tidak ada sahutan dari Hani. Ia bukan tidak mau bertemu kakaknya, kalau ia ke sana, pasti kakaknya menanyakan bayinya dan ia tidak mungkin akan diam saja saat tahu bayi adiknya malah dititipin ke orang lain. Hadi mungkin akan marah besar, mengingat hanya dialah yang sangat antusias dengan kehamilan Ha
Assalamu'alaikum, Syamil, masih ingat saya? Saya Jadi, kakaknya Hani. Beberapa hari lalu, Hani menelepon saya dan mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan saat ini bekerja di Jakarta, tapi Hani gak bilang tinggal di mana karena teleponnya langsung ditutup. SendHadi mengirimkan pesan pada Syamil. Ia baru teringat pesan pemuda itu yang mengatakan bahwa untuk memberitahunya bila ada kabar dari Hani. "Mas, ini kopinya," ujar Ratih sembari menaruh cangkir kopi di atas meja. "Terima kasih, Sayang." Hadi tersenyum begitu senang. Ini hari kedua ia dan Ratih resmi menjadi suami istri, secara nikah siri. Baru dua hari dan ia merasa bagaikan menjadi raja. Semua dilayani oleh Ratih. Rafli juga senang bicara dengan bercanda ringan dengannya. Rumahnya yang dulu sepi, kini menjadi ramai karena ada istri dan anak sambung yang sudah remaja. "Bagaimana hari ini, apa toko rame?" tanya Ratih. Hadi mengangguk sambil menyesap kopi buatan sang Istri baru. "Rafli mana?" Hadi mencari keberadaan putra sam