“Reiner, kalau dia adalah Aruna, apa sikapmu akan sama?”
Pertanyaan Alenta itu membuat Reiner terdiam.“Nak, walaupun memang benar Violet bukanlah wanita yang sebenarnya ingin kau nikahi, tapi kenyataannya dia adalah istrimu sekarang.” Alenta menatap dengan tatapan yang dalam kepada Reiner lalu melanjutkan, “Perlakukan lah dia dengan baik, karena itu adalah kewajibanmu sebagai seorang suami.”Reiner menghela nafasnya, malas sebenarnya di pagi hari ini harus membicarakannya hal yang serius seperti itu. “Bu, bisakah pagi ini kita sarapan saja dengan damai?” pinta Reiner.Mendengar ucapan putranya itu, Alenta pun berdecih sebal. “Masalahnya, wajahmu itu sama sekali tidak membuat Ibu merasa butuh perasaan santai. Sebagai bocoran sedikit, dulu ayahmu juga memperlakukan ibu dengan sangat tidak baik. Jadi, Ibu tahu sekali bagaimana rasanya menjadi istri yang harus mengalami nasib menyedihkan seperti itu,” bisik Alenta kepada Reiner.Edward mAruna memekik kesakitan ketika kakinya terpeleset dan tubuhnya terjatuh di area kandang anjing milik Ron. “Ah! Aduh....” Anjing itu terus menggonggong keras, membuat Aruna semakin ketakutan. Kandang itu tidak terlalu luas, Aruna sudah berusaha berhati-hati, namun nasib buruk tetap menimpanya. “Ya Tuhan, bagaimana ini?” gumam Aruna, memegangi bagian belakangnya yang terasa sakit. Air mata Aruna mengalir deras, ia merasa sangat takut dan tertekan. Tugasnya untuk membersihkan kandang anjing tersebut terasa sangat menakutkan.Anjing itu terikat, namun nyalakannya semakin keras dan terus mencoba melepaskan diri untuk menyerang Aruna. ‘Guk guk guk guk’ nyalak anjing itu semakin menakutkan. Aruna menahan napas sejenak, menyeka air matanya, dan mencoba mengumpulkan keberanian untuk mendekati anjing itu. Sambil menggenggam sapu dan alat pembersih lainnya, ia melangkah perlahan ke depan. Hatinya berdebar kencang
“Bukan begitu cara memberi makan, kau perlu masuk ke dalam.” ucap seseorang di belakang Aruna. Mendengar itu, Aruna membalikkan tubuhnya. Orang itu adalah, Ron! Terkejut, namun tidak berani bereaksi berlebihan. “Masuklah kedalam, sepertinya daging yang kau berikan masih kurang,” Ron tersenyum smirk, matanya yang penuh dengan kebencian menggulung keberanian Aruna yang hanya seujung kuku itu. “A-Aku, minta maaf karena tidak berani masuk sampai dalam kandangnya, Tuan Ron,” ucap Aruna. Tubuhnya gemetar takut, tapi Ron tidak perduli. Tatapan sinis, seolah tidak begitu perduli dengan nyawa Aruna membuat Gadis itu semakin tak berani terlalu lama melihat ekspresi Ron.
“Meminta nomor telepon, terus mengajak bicara, apa anda tahu bahwa tindakan semacam itu juga bisa menjadi tindak kriminal?” Reiner semakin menajamkan tatapan matanya kepada Rey. Dahi Violet menurut bingung mendengar ucapan Reiner barusan. Mungkin, dipaksa untuk dihubung-hubungkan memang bisa masuk dalam tindakan menganggu kenyamanan. Tapi, Kenapa juga Reiner bereaksi terlalu keras terhadap Rey. Kesal, Rey membalas tatapan Reiner yang menunjukkan permusuhan itu. “Tuan Presdir, sebenarnya Anda ini kenapa, sih?” tanyanya keheranan. Reiner terlihat semakin tidak suka, membuat Violet langsung bisa menyadarinya. Violet merasa tidak nyaman, dia tidak ingin Rey mendapatkan masalah nantinya. Reflek Violet meraih pergelangan tangan Rey, membawanya untuk menjauh dari Reiner. Melihat itu, Reiner hanya bisa tersenyum kesal. “Violet, berani sekali kau memegang lengan pria di depan mataku. Walaupun kita bukan pasangan suami ist
“Jadi, itu yang saat ini sedang kau pikirkan, Violet?” Mendengar pertanyaan dari Reiner, Violet pun menelan ludahnya. “Bu-Bukan seperti itu, Presdir Reiner. Saya cuma,” Violet ragu untuk meneruskan ucapannya. Reiner tersenyum miring, tahu sekali bahwa yang sedang dirasakan oleh Violet adalah, malu! “Cepat naik ke atas tempat tidur, pijat tubuhku!” titah Reiner. Ucapan Reiner barusan benar-benar membuat wajah Violet memerah. Malu sekali, sampai-sampai dia tidak berani melihat Reiner sekarang. “B-Baik, Presdir Reiner!” Violet mulai melangkahkan kakinya. Sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi bersimpuh menghadap ke Reiner. Sudah dalam posisi tengkurap, Violet langsung menggerakkan tangannya untuk memijat kaki Reiner. Takut kalau nanti akan terasa sakit, dia benar-benar memijat dengan lembut. “Aku jelas mengatakan padamu untuk memijat, ta
Violet dan Reiner tiba di tempat bermain ski yang dipenuhi dengan salju putih yang luas dan menggoda. Banyak pengunjung yang datang pada hari itu, menjadikan suasana semakin meriah. Namun, Violet merasa terasing dari kebahagiaan itu. Dia tak bisa menikmati bulan madu mereka, sebab dia tidak pandai bermain ski, berbeda dengan Reiner yang terampil dan mahir. “Sudahlah, bagus aku duduk saja dan melihat Presdir Reiner. Kakiku masih sangat aku butuhkan, jangan sampai patah,” gumamnya. Reiner dengan lincahnya meluncur di atas salju, menunjukkan trik-trik bermain ski yang memukau. Violet hanya bisa memandangi pria yang kini adalah suaminya dari kejauhan, menyesali ketidakmampuannya untuk bergabung dengannya. Senyum tipis terukir di wajahnya, mencoba menutupi rasa kecewanya. “Presdir Reiner memang berbakat dalam banyak hal, sayang sekali Kak Aruna justru memilih pilihan yang tidak masuk akal,
Violet menatap ‘sesuatu yang panas’ menurut Reiner. “Mau sampai kapan kau akan memelototinya?” tanya Reiner. Violet menelan salivanya sendiri, tidak menyangka kalau sesuatu yang panas menurut Reiner adalah bubur abalon yang terkenal di negara itu. “Cepatlah, kita tidak banyak waktu lagi karena hotel juga jauh dari sini. Malam nanti, kita juga harus datang untuk makan malam,” ucap Reiner mengingatkan Violet tentang daftar kegiatan yang disiapkan oleh Alenta. Mengangguk dengan cepat, Violet tidak ingin kalau Reiner sampai bicara dua kali. Mudah emosi, tentu tidak perlu untuk dipancing, kan. Batinnya. Reiner bangkit dari duduknya, “Aku ke toilet dulu,” ucap Reiner. “Baik, Presdir Reiner.” jawabnya. Violet kembali memakan bubur abalon panas yang masih banyak di mangkuknya. Tidak
Aruna menarik napas dalam-dalam, merasakan sakit di dadanya yang sesak akibat menangis. Di bawah tekanan Ron, ia terpaksa naik ke loteng untuk membersihkannya, meskipun jelas-jelas Ron tahu bahwa ia sangat takut ketinggian. “Aku benar-benar meremehkan Tuan Ron. Dia ternyata sangat jahat, bahkan tidak lebih baik ketimbang iblis!” gumam Aruna di dalam hati. Walaupun loteng rumah dua lantai itu tidak terlalu tinggi, langkah Aruna terasa berat dan gemetar karena kejadian yang baru saja dilakukan Ron padanya. “Ahhhhh” Aruna berpegangan pada tuang penyangga, tubuhnya semakin gemetar sehingga takut sekali Aruna untuk melangkah lagi. Nekat, sejenak menyingkirkan rasa takutnya dengan tidak mengingat bahwa dia berada di loteng, Aruna mulai bisa sedikit lega, dan mulai mengerjakan itu. Setelah selesai mem
“Apa kau sangat suka tebar pesona?” tanya Reiner sinis. Mendengar pertanyaan itu, Violet pun merasa kesal. Sudah cukup dia bersabar, sejak tadi terus mendengarkan ocehan Reiner tentang pertanyaan yang sama. Tebar pesona, rasanya Violet sendiri jadi kesal mendengar kata itu. Padahal, dia tidak pernah melakukan hal semacam itu, tapi selalu dituduh berkali-kali. “Sebenarnya, Saya ingin sekali melakukan itu. Namun, sebelum saya sempat melakukannya, para pria itu saja yang selalu datang lebih dulu.” Reiner melotot kaget, biasanya Violet tidak seberani itu. “Kau, siapa yang memberikan keberanian padamu?!” Violet tidak ingin menjawab, sudah terlalu menumpuk kekesalan yang ia rasakan. Melihat Violet tidak ingin merespon, Reiner pun jadi semakin kesal. “Berani kau mengacuhkan