Menanggapi apa yang diucapkan oleh Karina, Alenta hanya tersenyum saja. Seperti yang Edward ucapkan, dia akan mulai mengatakan apa yang ingin dia katakan. Alenta juga tidak ingin banyak memikirkan lagi ucapan yang hanya akan menyakiti hatinya saja. Sudah saatnya dia memikirkan diri sendiri, dan jelas hal itu adalah adil untuknya. Seperti yang diinginkan oleh Alenta, Edward juga menjalani harinya sesuai dengan harapan Alenta. Dia tidak terlalu menuntut Alenta, tidak juga terlalu banyak menunjukkan kemarahan yang tidak penting. ***Edward menjabat tangan Dokter yang rencananya akan menangani pengobatan untuk Julia. Setelah empat hari menunggu, akhirnya dokter itu bisa datang ke negara mereka tinggal. "Senang bertemu dengan anda, Dokter Smith." Edward tersenyum setelah mengatakan itu. Dokter Smith menganggukkan kepalanya. Jujur saja, mendengar suara Edward pada sambungan telepon sudah cukup membuatnya yakin bahwa Edwa
Alenta terbangun dari tidurnya, dia tersentak kaget karena ternyata Edward juga ada di sana. Tanpa sadar, bibir Alenta melengkung membentuk senyuman melihat Ayah dan anak itu tidur dengan nyenyak. Edward, pria itu terlihat sangat kelelahan sekali, empat hari tidak pulang ke rumah pastilah dia melakukan banyak hal yang membuatnya sibuk. Alenta perlahan bangkit dari tempat tidur. Dia mengambil jas Edward yang tergeletak begitu saja, lalu membawa sepatunya Edward juga. Setelah meletakkan barang-barangnya Edward di tempat yang Seharusnya, Alenta kini menuju ke dapur. "Apa yang ingin Nona Alenta lakukan?" tanya pelayan rumah saat melihat Alenta masuk ke dapur. Alenta tersenyum. "Aku ingin buat makan siang untuk Elea, sekaligus juga untuk Kakak ipar," jawab Alenta jujur. "Eh," pelayan itu agak terkejut. "Menang masih memanggil Tuan dengan sebutan kakak ipar ya, Nona Alenta?" ledeknya lagi. Alenta memaksakan se
Edward berjalan keluar dari kamar setelah dia membersihkan dirinya. Yah, dia tidak sempat untuk mandi tadi karena melihat Elea dan Alenta yang tertidur lelap sehingga dia merasa mengantuk tiba-tiba. Dia belum makan siang, padahal hari sudah akan sore. Alenta juga pasti sudah menunggunya di bawah. "Selamat siang, Tuan?" sapa pelayan rumah begitu dia melihat kedatangan Edward. Seperti biasanya, Edward akan menganggukkan kepalanya tanpa ekspresi kala mendapatkan sapaan dari pekerja rumahnya. "Di mana Alenta?" tanya Edward karena tak mendapati Alenta di ruang makan. "Ada di tengah, menemani Nona Elea bermain," jawabnya sopan. "Dia sudah makan?" tanya Edward lagi. Pelayan rumah menggelengkan kepalanya. "Belum, Tuan." Edward membuang nafas kasarnya. Alenta selalu saja membuat orang lain merasa tidak boleh meninggalkan atau melewatkan makan di jamnya. Tapi, dia sendiri selalu saja meremehkan dirinya sendiri.
"Panggil aku dengan sebutan yang lain!" perintah Edward dengan tegas. "Jangan memanggilku kakak ipar, tidak mau juga Kak Edward, apalagi tuan muda dan juga Ayahnya Elea." Edward semakin menajamkan matanya, dia ingin memperingatkan kepada Alenta agar tak menganggap ucapannya barusan adalah hal yang bisa dia bantah dan elak. Alenta termenung dalam pemikirannya sendiri, lantas bagaimana dia akan menyebut Edward mulai dari sekarang? Sungguh, apakah perlu memanggil Edward dengan sebutan kakanda? Atau mungkin, yang mulia? batinnya bingung. "Kenapa Kau hanya diam saja seperti itu, Alenta?" tanya lagi Edward karena dia benar-benar menunggu tanggapan dari Alenta. Dipaksakan senyum untuk timbul di wajah Alenta, dia terus bergumam di dalam hatinya karena dia sama sekali tidak tahu panggilan apa yang kira-kira cocok untuk Edward. Namun, Alenta juga tahu benar bahwa kalau dia terus diam dalam kebingungan tidak akan menyelesaikan masalah itu.
Alenta keluar dari ruangan kerja Edward. Pinggangnya sakit, pegal sampai ingin berjalan normal saja sepertinya membutuhkan waktu beberapa saat lagi. Di dalam tadi, Edward benar-benar mengerjainya habis-habisan. Entah memang benar cara memanggilnya yang masih salah, atau memang Edward sengaja melakukan itu untuk mengambil keuntungan darinya. Mencoba untuk tetap berjalan, Alenta pada akhirnya sampai di depan tangga. “Sejak kapan tangga jadi sepanjang ini, ya?” gumam Alenta sembari menatap tangga rumah Edward yang panjangnya seperti berkali lipat dari biasanya. Alenta merengut sedih, Sepertinya dia tidak bisa turun dari tangga dengan keadaan kakinya yang gemetar hebat ditambah pinggangnya yang seperti berdenyut-denyut tertusuk ribuan jarum. Memejamkan matanya sebentar sembari membuang nafas, berpegangan pada pegangan tangga erat-erat dan akhirnya Alenta memaksakan dirinya untuk menuruni tiap anak tangga. “Bibi... Bibi...” pang
“Ayah, mau itut!” Pinta Elea saat Edward akan berangkat bekerja. Sudah menjadi kebiasaan baru bagi Elea, setiap Edward akan berangkat bekerja setiap pagi. Sekitar satu Minggu ini, Elea mulai dekat dengan Ayahnya. Selama beberapa waktu terakhir ini, Edward memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan Elea, sementara malam dia gunakan benar-benar dengan Alenta. Pria brengsek itu benar-benar tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, hampir tidak pernah Alenta nyenyak tidur kecuali saat dia sedang datang bulan. “Masalahnya, Ayah tidak bisa membawamu karena Ayah harus rapat siang nanti,” ujar Edward mencoba memberikan pengertian kepada Elea. Elea yang berada di dalam gendongan Alenta mencoba untuk terus menyodorkan tangannya, namun dengan berat hati Edward tak bisa mengajak Elea. Alenta tersenyum senang, pada akhirnya dia bisa melihat Edward dan Elea dekat layaknya anak dan Ayah pada umumnya. “Maaf ya, Elea? Beso
“Berhentilah untuk terus menyalahkan dan merendahkan Alenta, ibu. Jangan melakukan itu lagi, ibu benar-benar keterlaluan!” Edward menatap ibunya marah, memperingati ibunya agar tak terus menerus melakukan kesalahan yang sama. Karina membuang tatapannya, dia benar-benar malas melihat ekspresi wajah Edward saat itu. Alenta sudah pergi ke kamarnya, Elea pun juga ikut karena Edward tahu benar akan menjadi sekeras apa nada bicaranya nanti. Edward kembali menatap Ibunya, dia yang kesal sebenarnya ingin berbicara dengan lebih keras lagi agar Ibunya tak mengelak. Namun, mengingat siapa ibunya, tentu saja Edward cukup sadar diri bahwa membentak ibunya adalah hal yang salah. Karina kembali menatap Edward. Tatapan matanya yang selalu saja curiga itu terarahkan kepada Edward. “Kenapa kau membelanya terus, Edward?” tanya Karina yang merasa begitu penasaran. Edward membuang nafasnya, pertanyaan Ibunya barusan benar-benar membuat Edward
“Ada apa?” tanya Alenta yang penasaran karena melihat ekspresi wajah Edward berubah begitu menerima panggilan telepon. Dia takut, sungguh dia takut terjadi sesuatu dengan kakaknya. Edward mengakhiri sambungan telepon, menatap Alenta sejenak dengan segala pemikirannya. “Julia sudah bangun, aku akan ke rumah sakit sekarang!”Alenta tersenyum senang, matanya mulai ingin menangis karena bahagia mendengar kabar itu. “Aku ikut, boleh?” Pinta Alenta terlihat begitu berharap. Edward terdiam sebentar. “Tinggallah di rumah, aku akan mengabarkan padamu kondisinya, oke?”Alenta memaksakan senyumnya, dia kecewa tapi tidak boleh memprotes hal itu. Pada akhirnya, Alenta hanya bisa menganggukkan kepalanya saja. Edward bangkit, turun dari tempat tidur untuk berjalan menuju lemari. Dia mengeluarkan satu setel pakaian rumahan yang akan dia gunakan untuk pergi ke rumah sakit. Edward berjalan kembali mendekati Alenta