Kini Alenta kembali ke rumah milik Julia dan Edward, sesuai yang diperintahkan oleh kedua orang tuanya.
Sejak tadi, Elea terus menangis mencari keberadaan Alenta. Memang dibanding memanggil Ibu yang biasanya akan sering dilakukan oleh para bayi saat pertama kali bisa mengucapkan sebuah kata, Elea justru mengucapkan kata Bibi. Alenta pun langsung memeluk Elea erat setelah mengambilnya dari gendongan pelayan di rumah itu."Maafkan saya yang tidak bisa menenangkannya, Nona Alenta. Saya benar-benar sudah mencobanya dengan sebisa saya, tetapi Nona Elea benar-benar terus mencari keberadaan Anda." Dia tentu saja tahu bahwa saat ini seluruh anggota keluarga sedang pusing karena Nyonya rumahnya sedang berada di dalam rumah sakit. Tapi, Elea terus menangis, hingga dia terpaksa menghubungi Edward dan menyampaikan tentang kondisi bayi satu tahun itu.Sementara itu, Alenta memaksakan senyumnya. “Tidak apa, Bi.”Tentu saja, dia tahu benar bahwa keponakannya itu memang tidak terbiasa dengan siapapun, selain dirinya. Bahkan, Julia pun tak mampu menenangkannya kalau bayi itu mulai menangis. Maklum saja, Julia lebih sering menghabiskan waktunya untuk berada di kantor dan menemui teman-temannya dibandingkan mengurus Elea. Bahkan sejak usia Elea enam bulan, Julia memutuskan untuk berhenti memberikan ASI dan menggantinya dengan susu formula.Kakak Alenta itu tidak ingin terus-terusan direpotkan dan rasa ngilu dari memompa asinya.Di sisi lain, pelayan rumah itu mengangguk. Dia pun meminta izin untuk kembali ke dapur.Hal ini membuat Alenta semakin erat memeluk Elea. “Maafkan, Bibi.” Dia terus berbisik di telinga keponakannya itu berkali-kali.Selain pada kakak dan keluarganya, Alenta merasa bersalah pada keponakannya itu karena telah membuat ibunya terbaring di rumah sakit.Tak lama, Elea pun akhirnya tertidur pulas.Alenta sontak merebahkan tubuh keponakannya di tempat tidurnya.Setelahnya, gadis itu terduduk sembari menatap wajah keponakannya yang saat ini sedang tertidur pulas. Dia menahan isak tangisnya kala mengingat apa yang terjadi hari ini kepada kakak perempuannya. Bahkan seharian itu, Alenta hanya menyibukkan diri untuk mengurus Elea untuk menebus rasa bersalahnya. Dia tidak makan, tidak minum, bahkan juga tidak tidur semalaman. Tanpa terasa, satu minggu berlalu.Hanya saja, belum ada kabar baik tentang kondisi kakaknya.Alenta bahkan ditolak untuk menjenguknya. Namun, hari ini, Ibunya mendadak datang.Begitu mendengar kabar dari pelayan rumah, Alenta sontak bergegas berlari meninggalkan keponakannya yang sudah tertidur nyenyak. Dia ingin menanyakan bagaimana kondisi Julia saat itu. “Ibu, bagai-”"Menikahlah dengan Edward!" potong Herin cepat.Alenta menatap Ibunya dengan tatapan terkejut. Dia sampai lupa untuk bernafas hingga beberapa detik.Sebenarnya, hatinya benar-benar meronta. Dia memiliki begitu banyak pertanyaan, tapi semua tertahan di tenggorokannya."Kenapa? Kenapa aku harus menikah dengan kakak ipar?" Pertanyaan itu akhirnya lolos dari bibir Alenta karena terdorong oleh perasaan kecewa terhadap Ibunya.Namun, Herin justru menatap Alenta dengan tatapan dingin. "Tentu saja karena kau sudah membuat kakakmu koma seperti sekarang ini, maka kaulah yang harus menggantikan kakakmu sampai nanti kakakmu bangun dari koma." "Uruslah Elea dan layani Edward dengan baik dalam hal apapun! Hanya itu yang bisa kau lakukan saat kami semua mengusahakan perawatan terbaik agar kakakmu bisa bangun," ucap Herin lagi.Alenta menyeka air matanya. Ditatapnya sang ibu dengan tatapan serius, lalu berkata, "Aku pasti akan merawat Elea dengan sangat baik. Aku janji akan merawat dan menyayangi Elea lebih daripada aku menyayangi nyawaku sendiri!”“Tapi, aku tidak mau menikah dengan kakak ipar, Bu. Itu tidak pantas untuk dilakukan! Kakak pasti akan sangat membenciku dan akan menuduhku merebut suaminya nanti.”Plak!Herin bangkit dari duduknya, lalu menampar wajah Alenta. "Kakakmu koma! Bisa bangun atau tidak, juga belum bisa dipastikan!” “Entah satu bulan, satu tahun, 2 tahun, atau bahkan 10 tahun, tidak akan ada yang tahu kapan kakakmu akan bangun! Kakakmu pasti akan lebih marah jika nanti wanita lain menggantikan posisinya meskipun hanya sebentar!” bentaknya.“Ingat, Kakak iparmu itu adalah seorang pria! Dengan penampilan dan kekayaan yang dia miliki, tentu saja mudah untuk mendapatkan wanita yang dia inginkan di luaran sana!" Alenta terperangah tak percaya mendengar Ibu kandungnya sendiri meminta dirinya untuk menjadi pengganti sementara. Walaupun memang benar dia tidak sehebat Julia, apakah dapat dibenarkan seorang ibu kandung meninggikan putrinya yang lain, dan merendahkan serendah-rendahnya putrinya yang satunya lagi?“Bu–”“Tidak ada penolakan,” tegas Herin sembari menatap Alenta dingin. Walaupun dia sadar ini terlalu kejam, tetapi itu adalah pilihan yang terbaik untuk saat ini.Edward, pria itu memiliki banyak sekali kelebihan di dalam dirinya yang pasti akan membuat wanita-wanita di luaran sana mencoba untuk mendekatinya dan memanfaatkan keadaan Julia yang sedang koma. Ketimbang putri tersayangnya itu ditinggalkan oleh suaminya saat bangun dari koma, maka akan lebih baik dia mengorbankan putri keduanya. Alenta memang tidak secantik dan secerdas Julia. Namun, Herin yakin putri keduanya itu setidaknya bisa melayani Edward dengan baik di atas tempat tidur. Dengan memilih Alenta, dia juga bisa meminta putrinya untuk menjauh sejauh mungkin dari Edward begitu Julia bangun.Setelah berkata demikian, Herin pun meraih tasnya lalu berjalan meninggalkan Alenta.Hanya saja, dia sempat menghentikan langkah kakinya untuk memperingatkan Alenta. "Kau tidak bisa memilih, Alenta. Setidaknya, sekali saja lakukan permintaan orang tuamu dengan benar. Jadilah anak yang berbakti, sehingga kau akan mendapatkan pengakuan yang sama seperti yang Julia dapatkan."Tanpa kata, Herin kembali meninggalkan Alenta yang masih menangis dengan pilu di tempatnya tadi.“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R