Share

BAB 4

Entah bagaimana ceritanya, Herin berhasil membujuk Edward dan kedua orangtuanya terkait pernikahan sementara antara pria itu dan Alenta.

Sebuah surat perjanjian pun dibuat untuk mengamankan posisi Julia.

Intinya adalah Alenta harus menurut pada Edward dan tidak boleh menuntut apapun dari pria itu. Elea juga tak boleh memanggilnya ibu.

Selain itu, Alenta tidak boleh menghamburkan uang Edward ataupun mengenalkan diri sebagai istrinya Edward dengan orang luar.

Perjanjian ini benar-benar hanya menguntungkan Edward dan sangat merugikan Alenta!

Saat dua bulan Julia terbaring di rumah sakit, pernikahan itu pun digelar dengan amat tertutup dan tidak tercatat secara sah pada catatan sipil.

Hanya para orang tua dan juga saksi dari luar sebanyak dua orang yang menghadirinya.

Sepanjang acara, Alenta benar-benar tak berekspresi sama sekali.

Dia sudah lelah untuk menangis. Berat badannya bahkan turun drastis! Dari 48 kg kini menjadi 40 kg saja. Padahal, tinggi gadis itu 163 cm.

Setelah acara pernikahan itu selesai, seluruh anggota keluarga pun langsung pergi tanpa memberi selamat.

“Jagalah Elea dengan baik,” ucap Edward lalu pergi tak lama setelahnya.

Alenta pun mengangguk.

Dia cukup sadar diri bahwa dirinya harus menjaga Elea dan merawatnya dengan baik. Sampai kapanpun, tak mungkin dia bisa membangkitkan gairah Edward. Jadi, sepertinya perkiraan sang ibu kurang tepat.

"Bi!" panggil Elea yang membuat Alenta tersadar dari lamunannya.

Gadis itu sontak bangkit dari sisi tempat tidur, lalu bergegas untuk melihat Elea.

Digendongnya anak itu dan bergegas ke dapur.

Bayi cantik itu memang belum makan.

Dengan telaten, Alenta pun menyiapkan makanan dan memasukkan suap demi suap ke mulut Elea.

Setelah makanannya habis, Alenta akan membersihkannya dan menemani aktivitas, hingga bocah itu kembali tertidur.

Begitulah hari-hari yang dihabiskan Alenta selama menjadi seorang istri dan ibu pengganti.

Edward benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. Dua atau tiga hari sekali, pria itu melihat keadaan Julia di rumah sakit.

Edward seperti lupa keberadaan Alenta dan juga Elea….

Jujur, Alenta merasa nyaman. Hanya saja, tidak ketika Elea demam tinggi.

Berulang kali dicobanya untuk menghubungi Edward, tapi pria itu tak kunjung menjawabnya.

"Sayang, maaf ya? Ayahmu sepertinya sedang sangat sibuk sekali," ujar Alenta pedih.

Meski gadis kecil itu sudah mendapat perawatan terbaik dari dokter keluarga, tetapi Alenta merasa sangat penting untuk memberitahu Edward. Biar bagaimanapun, pria itu adalah ayah keponakannya ini.

"Bi, Bi, Bi,...." igau Elea tiba-tiba.

Tak tahan melihat Elea meringik saat tertidur, Alenta segera membawa tubuh mungil itu ke dalam pelukannya.

"Bibi di sini, Sayang." Alenta sontak mengusap punggung Elea dan berbisik terus di telinganya.

Dia berharap rasa sakit gadis kecil kesayangannya itu dapat pergi secepatnya.

Sayangnya, begitu terbangun, Alenta terkejut kala menemukan Ibu Edward atau yang biasa dipanggil Nyonya Karina tampak marah di ambang pintu.

"Kenapa kau tidak menghubungiku? Padahal, cucuku demam tinggi semalam, tapi kau sok hebat sekali dengan membiarkan saja dan tidak menghubungiku?!" bentaknya sembari menatap tajam.

Alenta sendiri terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa.

Sebenarnya, dia tidak memiliki nomor telepon Nyonya Karina ataupun Tuan Hendrik, selaku orang tua dari Edward.

Namun, mereka tampaknya tidak akan pernah bisa menerima alasan semacam itu.

"Jadi, apa yang dokter keluarga katakan tentang kondisi cucuku?" tanya Nyonya Karina masih dengan ekspresi wajahnya yang sinis.

"Dokter bilang, itu hanya demam biasa saja, Nyonya. Syukurlah, subuh tadi suhu tubuh Elea juga sudah tidak sepanas semalam," jawab Alenta dengan nada bicaranya yang sopan dan juga takut.

Yah, Nyonya Karina sejak dulu memang sama sekali tak pernah menyukai Alenta.

Padahal, Alenta sendiri tak pernah berinteraksi banyak dengan wanita itu.

"Apa Edward tidak pulang semalam?" tanya Nyonya Karina lagi.

Alenta menunduk sembari menggelengkan kepalanya.

Hal ini membuat Nyonya Karina menatap Alenta jengah. "Ck! Tentu saja dia tidak betah di rumah. Istri sementaranya saja tidak enak dilihat seperti ini."

Deg!

Alenta tercekat.

Namun, ia mencoba menenangkan dirinya.

Hanya saja, hinaan Nyonya Karina sepertinya tak berhenti.

"Jarimu yang berlebih satu itu, apa kau sama sekali tidak memiliki niat untuk membuangnya supaya kau terlihat sedikit lebih normal?”

Nyonya Karina semakin menatap hina Alenta, dari ujung kaki hingga ujung kepalanya.

“Kalau kau memiliki kecacatan fisik, setidaknya kau harus mengimbanginya dengan wajah cantik! Atau setidaknya, milikilah otak yang cerdas seperti kakakmu supaya kau lebih berguna," ujarnya sinis.

Alenta pikir, hinaan itu akan berhenti namun itu tidak terjadi.

"Tubuhmu yang sekurus itu, sepertinya orang gila pun tidak akan memiliki minat sama sekali untuk melirik ke arahmu," timpalnya lagi.

Alenta semakin menunduk.

Meskipun tidak sepenuhnya salah, tapi Alenta begitu sensitif soal kecacatan fisik yang selama ini menjadi sumber rasa rendah dirinya.

Susah payah, dia berusaha menganggapnya sebagai keunikan dan pemberian Tuhan kepadanya. Tapi, kini hancur begitu saja akibat ucapan mertua sementaranya itu.

Alenta tidak membalas ucapan Nyonya Karina, dia biarkan saja telinganya mendengar ucapan menyakitkan itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status