Share

BAB 5

"Cobalah untuk menggunakan perawatan wajah, pakailah pakaian yang lebih baik! Kalau begini, apa gunanya kau memposisikan dirimu sebagai kakakmu untuk sementara waktu kalau adanya kau juga tidak mengubah apapun?"

Lagi, Nyonya Karina berbicara sesuka hati.

Alenta hanya bisa memaksakan senyumnya.

Dia sendiri tentu saja menginginkan pakaian-pakaian yang bagus dan juga cocok untuk dirinya.

Tapi, bagaimana bisa dia membeli pakaian yang bagus dan membeli perawatan wajah jika dia tidak bekerja sama sekali?

Padahal, dia ingin menggunakan ijazahnya sebagai sarjana ekonomi.

Tapi, kakaknya memaksa dirinya untuk mengurus Elea satu tahun ini.

Kakaknya itu juga tak memberikan uang padanya karena menganggap apa yang sedang dilakukan oleh Alenta adalah bentuk balas budi setelah dibiayai kuliahnya.

"Baik, saya akan mengingat saran Nyonya dengan baik," ujar Alenta patuh.

Nyonya Karina berdecih kesal, malas sekali melihat Alenta, sunguh.

"Sudahlah, kau pergi saja sana! Aku malas melihatmu," usir Nyonya Karina tiba-tiba.

Alenta pun memutuskan untuk keluar dari kamar Elea.

Kebetulan, sebentar lagi sudah jamnya Elea makan sore. Jadi, Alenta menyibukkan diri menunggu waktu tiba Elea bangun dengan membuatkan makanan untuk Elea.

Brokoli, daging ayam,telur, dan sedikit tahu, Alenta haluskan dengan telaten.

Setelahnya, dia mengukusnya dengan api sedang. Lalu, dia mencampurkannya bersama dengan kentang rebus yang juga sudah dia haluskan.

Meski sederhana sekali, tapi Elea benar-benar menyukai makanan buatan Alenta.

Tadinya, Alenta ingin duduk sebentar sembari bermain ponsel menunggu Elea bangun.

Tapi, baru saja Alenta duduk dan mengeluarkan ponsel, Elea sudah menangis dan memanggil dirinya.

“Bi!”

Bergegas Alenta bangkit dari duduknya dan menuju ke kamar Elea.

"Elea?"

Gadis itu terdiam di ambang pintu saat melihat Nyonya Karina tengah mencoba menenangkan Elea.

Alenta benar-benar merasa bersalah karena muncul di saat seperti itu.

Nyonya Karina pasti sedang mencoba untuk membuat Elea merasa dekat. Sayangnya, cucunya itu lebih menyayangi Alenta ketimbang dirinya.

"Gendong Elea!" titah Nyonya Karina, namun enggan sekali menatap Alenta.

Sungguh, dia sendiri tidak bisa bohong bahwa, cucu pertamanya itu memang benar-benar sangat dekat dengan Alenta, melebihi kedekatan Elea kepada ibu kandungnya sendiri!

Alenta sendiri menganggukkan kepalanya.

Dengan cepat, dia melangkahkan kaki, lalu mengambil Elea dari gendongan Nyonya Karina.

Benar saja, begitu Elea masuk ke dalam gendongannya, Elea langsung berhenti menangis meski suara sesegukan masih terdengar jelas.

Melihat itu, Nyonya Karina mendengus. "Aku sudah menghubungi Edward, dia akan pulang lebih cepat hari ini. Jadi, pastikan untuk tidak membuat Putraku kesal dan malas pulang ke rumah!" peringatnya galak.

Tanpa basa-basi, wanita tua itu langsung meraih tasnya dan meninggalkan kamar Elea.

Ada acara pertemuan dengan teman-teman sosialitanya yang sudah menunggu.

Sepertinya, itu lebih baik dibanding berlama-lama dengan cucunya yang selalu saja menolak dekat dengannya.

Alenta juga tidak enak dilihat, jadi pergi adalah pilihan yang paling tepat.

Alenta terdiam pilu, namun dia segera mengalihkan fokusnya kepada Elea.

*******

“Hah….” Alenta menghela napas.

Setelah kepergian Nyonya Karina, dia memutuskan untuk membawa Elea masuk ke dalam kamar mandi untuk memandikannya, lalu memberi makan.

Untungnya, Elea terlihat sudah pulih.

Nafsu makan anak itu kembali kala memakan makanan buatan Alenta dengan sangat lahap.

Meski tidak sampai bersih, tetapi lebih baik dibanding saat sakit.

Tanpa terasa, waktu menunjukkan pukul 7 malam.

Alenta pun memutuskan untuk meminta satu pelayan rumah membantunya untuk menjaga Elea sebentar untuk mandi.

Meski Alenta belum pernah melahirkan sama sekali, tapi dia sama seperti para ibu lainnya.

Alenta tak bisa menikmati momen mandi karena takut Elea akan tersadar bahwa dia tidak berada di dekat anak itu, hingga menangis.

Jadi setelah mengganti pakaiannya, Alenta berjalan keluar dari kamar untuk melihat Elea dengan handuk di kepalanya yang masih terpasang.

Sayangnya, langkah kaki Alenta terhenti saat kedua bola matanya melihat Edward berada di ruang tengah.

Pria itu tengah menatap Elea yang sedang bermain bersama dengan pelayan rumah sebelum akhirnya menyadari keberadaan Alenta.

"Ada yang harus kita bahas segera. Kalau tidak hari ini, takutnya aku tidak memiliki waktu luang untuk membicarakannya," ucap Edward sembari menatapnya.

Alenta terdiam sebentar, lalu menganggukkan kepalanya.

Diikutinya Edward menuju ke ruang kerja yang digunakan oleh pria itu untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang tidak sempat dikerjakan di kantornya.

Alenta mencoba untuk tenang, sepertinya dia memiliki firasat tidak baik.

***

"Surat perjanjian kemarin itu dibuat oleh Ibuku dan juga kedua orang tuamu. Namun, ada beberapa poin yang ingin aku revisi dan aku ingin menambahkan juga," ucap Edward begitu keduanya duduk berhadapan di ruangan pribadi pria itu.

"Poin yang akan ditambah adalah aku akan memberikan kartu belanja untukmu karena kau sekarang istriku.”

“Lalu, jika ada yang datang kesini, pastikan untuk tidak membuat kecurigaan apapun. Katakan saja kau pengasuh Elea atau adik iparku," tambah Edward sembari menatap Alenta dengan sorot matanya yang tak terbantahkan.

Alenta sendiri hanya bisa tersenyum kelu sembari mengangguk.

Dia tidak punya pilihan selain menyetujuinya.

Toh, pendapatnya tak penting untuk pria itu atau siapa pun, kan?

Hanya saja, Alenta benar-benar berharap tak mendengar apa yang diucapkan oleh Edward setelahnya.

“Lalu, kau juga harus menyiapkan segalanya yang aku butuhkan, termasuk di ranjang. Bagaimanapun juga, aku adalah pria normal.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status