"Cobalah untuk menggunakan perawatan wajah, pakailah pakaian yang lebih baik! Kalau begini, apa gunanya kau memposisikan dirimu sebagai kakakmu untuk sementara waktu kalau adanya kau juga tidak mengubah apapun?"
Lagi, Nyonya Karina berbicara sesuka hati.Alenta hanya bisa memaksakan senyumnya.Dia sendiri tentu saja menginginkan pakaian-pakaian yang bagus dan juga cocok untuk dirinya.Tapi, bagaimana bisa dia membeli pakaian yang bagus dan membeli perawatan wajah jika dia tidak bekerja sama sekali?Padahal, dia ingin menggunakan ijazahnya sebagai sarjana ekonomi.Tapi, kakaknya memaksa dirinya untuk mengurus Elea satu tahun ini.Kakaknya itu juga tak memberikan uang padanya karena menganggap apa yang sedang dilakukan oleh Alenta adalah bentuk balas budi setelah dibiayai kuliahnya."Baik, saya akan mengingat saran Nyonya dengan baik," ujar Alenta patuh.Nyonya Karina berdecih kesal, malas sekali melihat Alenta, sunguh."Sudahlah, kau pergi saja sana! Aku malas melihatmu," usir Nyonya Karina tiba-tiba.Alenta pun memutuskan untuk keluar dari kamar Elea.Kebetulan, sebentar lagi sudah jamnya Elea makan sore. Jadi, Alenta menyibukkan diri menunggu waktu tiba Elea bangun dengan membuatkan makanan untuk Elea.Brokoli, daging ayam,telur, dan sedikit tahu, Alenta haluskan dengan telaten.Setelahnya, dia mengukusnya dengan api sedang. Lalu, dia mencampurkannya bersama dengan kentang rebus yang juga sudah dia haluskan.Meski sederhana sekali, tapi Elea benar-benar menyukai makanan buatan Alenta.Tadinya, Alenta ingin duduk sebentar sembari bermain ponsel menunggu Elea bangun.Tapi, baru saja Alenta duduk dan mengeluarkan ponsel, Elea sudah menangis dan memanggil dirinya.“Bi!”Bergegas Alenta bangkit dari duduknya dan menuju ke kamar Elea."Elea?"Gadis itu terdiam di ambang pintu saat melihat Nyonya Karina tengah mencoba menenangkan Elea.Alenta benar-benar merasa bersalah karena muncul di saat seperti itu.Nyonya Karina pasti sedang mencoba untuk membuat Elea merasa dekat. Sayangnya, cucunya itu lebih menyayangi Alenta ketimbang dirinya."Gendong Elea!" titah Nyonya Karina, namun enggan sekali menatap Alenta.Sungguh, dia sendiri tidak bisa bohong bahwa, cucu pertamanya itu memang benar-benar sangat dekat dengan Alenta, melebihi kedekatan Elea kepada ibu kandungnya sendiri!Alenta sendiri menganggukkan kepalanya.Dengan cepat, dia melangkahkan kaki, lalu mengambil Elea dari gendongan Nyonya Karina.Benar saja, begitu Elea masuk ke dalam gendongannya, Elea langsung berhenti menangis meski suara sesegukan masih terdengar jelas.Melihat itu, Nyonya Karina mendengus. "Aku sudah menghubungi Edward, dia akan pulang lebih cepat hari ini. Jadi, pastikan untuk tidak membuat Putraku kesal dan malas pulang ke rumah!" peringatnya galak.Tanpa basa-basi, wanita tua itu langsung meraih tasnya dan meninggalkan kamar Elea.Ada acara pertemuan dengan teman-teman sosialitanya yang sudah menunggu.Sepertinya, itu lebih baik dibanding berlama-lama dengan cucunya yang selalu saja menolak dekat dengannya.Alenta juga tidak enak dilihat, jadi pergi adalah pilihan yang paling tepat.Alenta terdiam pilu, namun dia segera mengalihkan fokusnya kepada Elea.*******“Hah….” Alenta menghela napas.Setelah kepergian Nyonya Karina, dia memutuskan untuk membawa Elea masuk ke dalam kamar mandi untuk memandikannya, lalu memberi makan.Untungnya, Elea terlihat sudah pulih.Nafsu makan anak itu kembali kala memakan makanan buatan Alenta dengan sangat lahap.Meski tidak sampai bersih, tetapi lebih baik dibanding saat sakit.Tanpa terasa, waktu menunjukkan pukul 7 malam.Alenta pun memutuskan untuk meminta satu pelayan rumah membantunya untuk menjaga Elea sebentar untuk mandi.Meski Alenta belum pernah melahirkan sama sekali, tapi dia sama seperti para ibu lainnya.Alenta tak bisa menikmati momen mandi karena takut Elea akan tersadar bahwa dia tidak berada di dekat anak itu, hingga menangis.Jadi setelah mengganti pakaiannya, Alenta berjalan keluar dari kamar untuk melihat Elea dengan handuk di kepalanya yang masih terpasang.Sayangnya, langkah kaki Alenta terhenti saat kedua bola matanya melihat Edward berada di ruang tengah.Pria itu tengah menatap Elea yang sedang bermain bersama dengan pelayan rumah sebelum akhirnya menyadari keberadaan Alenta."Ada yang harus kita bahas segera. Kalau tidak hari ini, takutnya aku tidak memiliki waktu luang untuk membicarakannya," ucap Edward sembari menatapnya.Alenta terdiam sebentar, lalu menganggukkan kepalanya.Diikutinya Edward menuju ke ruang kerja yang digunakan oleh pria itu untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang tidak sempat dikerjakan di kantornya.Alenta mencoba untuk tenang, sepertinya dia memiliki firasat tidak baik.***"Surat perjanjian kemarin itu dibuat oleh Ibuku dan juga kedua orang tuamu. Namun, ada beberapa poin yang ingin aku revisi dan aku ingin menambahkan juga," ucap Edward begitu keduanya duduk berhadapan di ruangan pribadi pria itu."Poin yang akan ditambah adalah aku akan memberikan kartu belanja untukmu karena kau sekarang istriku.” “Lalu, jika ada yang datang kesini, pastikan untuk tidak membuat kecurigaan apapun. Katakan saja kau pengasuh Elea atau adik iparku," tambah Edward sembari menatap Alenta dengan sorot matanya yang tak terbantahkan.Alenta sendiri hanya bisa tersenyum kelu sembari mengangguk.Dia tidak punya pilihan selain menyetujuinya.Toh, pendapatnya tak penting untuk pria itu atau siapa pun, kan?Hanya saja, Alenta benar-benar berharap tak mendengar apa yang diucapkan oleh Edward setelahnya.“Lalu, kau juga harus menyiapkan segalanya yang aku butuhkan, termasuk di ranjang. Bagaimanapun juga, aku adalah pria normal.”Sejak hari dimana Edward dan juga Alenta membicarakan tentang kesepakatan, Edward jadi sedikit lebih banyak meluangkan waktu untuk tinggal di rumah.Bermain bersama Elea sesekali, meski tetap saja masih banyak waktu yang di habiskan dengan pekerjaannya.Alenta memilih untuk menyibukkan diri selama Elea bersama Ayahnya. Tapi, semua itu tidak pernah bertahan lama karena Elea sebentar-sebentar justru mencari keberadaan Alenta.Tak memiliki pilihan lain, pada akhirnya Alenta datang untuk menemui keponakan yang sudah bagaikan anak untuknya."Bibi!" Teriak Elea girang.Elea mengulurkan kedua tangannya, tak perduli saat itu dia sedang berada di gendongan Ayahnya.Edward tak menunjukkan ekspresi apapun. Dia membiarkan saja Elea terus seperti itu.Alenta tentu saja merasa tidak tega, dia segera mengambil Elea dari gendongan Edward."Bi, makan..." pintanya segera.Alenta tersenyum, dia mengangguk karena paham benar apa yang diinginkan oleh Elea."Camilanmu sudah Bibi siapkan, kita ambil sekaran
"Ada apa?" Tanya Edward. Matanya menatap Alenta dengan tatapan penuh tanya. Mendengar pertanyaan dari Edward, Alenta bergegas mengatakan maksud kedatangannya ke sana. "Boleh aku membawa Elea ikut ke pusat belanja, kak?"Alenta menatap Edward dengan tatapan memohon, dia tidak mungkin meninggalkan Elea di rumah untuk tinggal bersama dengan Ayahnya dan juga pelayan rumah. Elea pasti akan menangis mencarinya nanti. Edward berpikir sebentar, tentu lah dia dia tidak bisa menolak karena tahu benar bagaimana Elea yang tidak bisa jauh dari Alenta. Edward membuang nafasnya. "Aku akan mengantar kalian," ucap Edward. Mengingat Julia celaka karena sebuah kecerobohan, Edward tengah mencoba meminimalisir bahaya baru datang. Elea adalah anaknya, tidak mungkin dia tidak perduli. Alenta memaksakan senyumnya. Padahal, dia hanya ingin pergi berdua saja dengan Elea, pasti canggung sekali kalau Edward ikut bersama mereka. "Kalau begitu, aku pergi dulu ke kamar Elea. Aku harus mengganti pakaian Ele
Sekembalinya mereka ke rumah, Edward langsung meninggalkan rumah dengan alasan adanya pekerjaan di luar.Saat ini, Elea sedang tidur. Alenta mengeluarkan satu persatu pakaian yang dia beli di pusat belanja tadi, dia menatap semua pakaian yang ia beli itu dengan kikuk.Alenta jarang sekali menggunakan dress, dia merasa benar-benar tidak pantas dan tidak nyaman. Tapi, ucapan Karina selaku Ibu mertuanya sekarang begitu membekas di kepalanya.Alenta menelan salivanya sendiri, pikirannya rancu dan gelisah.Dia mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, mencoba melihat apakah ada notifikasi pesan dari ibunya atau tidak."Kenapa ibu sama sekali tidak pernah membalas pesan dariku?" gumam Alenta sedih.Sebenarnya, Alenta hanya ingin tahu bagaimana keadaan kakaknya saat ini, tapi dia tidak pernah mendapatkan balasan pesan yang diinginkan dari Ibu ataupun Ayahnya.Sampai saat ini, Alenta juga masih tidak diberikan izin untuk bertemu dengan kakaknya. Ibunya bilang, dia takut kalau nanti Alen
Mendengar ucapan Edward, Alenta sontak membeku.Dia menggigit bibir bawahnya, matanya mulai memerah, tubuhnya juga mulai gemetar takut."Kak, apa yang akan kakak ipar lakukan?" tanya Alenta gugup.Edward membuang kemejanya ke sembarang arah begitu saja, kembali menatap Alenta sebentar sebelum pada akhirnya dia kembali menahan tangan Alenta, berakhir dengan mencium bibir Alenta secara kasar dan paksa."Ugh!" Pekik Alenta.Alenta pasrah, dia sedih dan tidak rela. Dia ingin melakukan hal semacam itu dengan suami yang sesungguhnya kelak, bukan dengan kakak iparnya.Memang, kakak iparnya juga adalah suaminya sekarang. Tapi, bayangan Julia jelas saja menghantui dirinya.Edward tak perduli, dia hanya ingin mendapatkan apa yang dia inginkan saat itu. Dia menyentuh tubuh Alenta semaunya, tak melihat sama sekali Alenta yang diam namun terlihat tidak rela.Malam itu, Edward benar-benar melakukannya.Suara lenguhan yang keluar dari mulut Edward terdengar memenuhi ruangan.Sementara Alenta, dia me
Sayangnya, Alenta hanya bisa mengangguk untuk merespons Edward, sehingga sarapan itu bisa berakhir tanpa perdebatan.Akan tetapi, Alenta tak bisa mengontrol dirinya, begitu tiba di kamar Elea.Dia tiba-tiba saja menangis.Hanya saja, begitu melihat Elea, Alenta gegas mengusapnya. Memang benar Elea belum memahami masalahnya, tapi dia tak ingin menggangu psikis keponakan kesayangannya itu.Jadi, satu-satunya yang Alenta bisa lakukan adalah mencoba untuk menghubungi Ibunya. Dia penasaran sekali dengan bagaimana keadaan kakaknya. Tapi, Ibunya justru membentaknya dengan kasar. "Tidak usah sok perduli, Alenta! Lakukan saja tugasmu dengan benar dan jangan mencoba untuk menemui Julia!" Seperti itulah ucapan Ibunya dari seberang telepon tadi. Alenta sedih sekali, tapi dia bisa apa?Sudah, dia tidak ingin terus saja menangis. Alenta bergegas berjalan mendekati Elea yang sudah mulai bangun dari tidur siangnya. Alenta menepuk wajahnya, dia mencoba tersenyum sebaik mungkin saat Elea mulai m
Edward menyerahkan tas kantornya kepada Alenta begitu juga dengan jas yang ia gunakan. Dia membiarkan Alenta mengurus barang-barangnya seperti kebiasaan mereka beberapa waktu terakhir ini. Edward bergegas masuk ke dalam kamar mandi, sementara Alenta sudah bersiap untuk menyiapkan pakaian ganti untuk Edward. Setelah semuanya selesai, Alenta bergegas meninggalkan kamar untuk menuju ke dapur. Makanan sudah tidak lagi hangat, jadi dia perlu menghangatkan sebentar untuk Edward makan nanti. Edward keluar dari kamar mandi, dia langsung menggunakan pakaian yang sudah disiapkan oleh Alenta. "Kak," panggil Alenta pelan. "Makanannya sudah siap," ucap Alenta memberitahu. "Hem...." jawab Edward singkat. Alenta juga belum makan, jadi dia berniat untuk makan dengan Edward. Tapi, niatnya itu sedikit terganggu saat Elea terbangun dari tidurnya. Edward keluar dari kamarnya, bergegas dia berjalan menuju meja makan. Dia sempat mendengar Elea yang menangis tapi dia tidak melakukan apapun karena dia
"Ibuku menghubungiku, dia mengatakan bahwa Kau membiarkan Elea makan sendiri. Makanan berantakan ke mana-mana, Apa itu benar?" tanya Edward, menatap Alenta dengan tatapan yang terlihat serius. Alenta terdiam sebentar, Sebenarnya dia tidak ingin menanggapi pertanyaan itu dan meminta maaf saja agar semuanya selesai dengan cepat. Akan tetapi, jika Alenta terus seperti itu, maka Karina dan juga Edward akan terus berpikir seenaknya saja tanpa pernah mau mencari tahu lebih dulu apa maksud tindakan Alenta. Alenta menghembuskan nafas panjangnya, dia menatap Edward sedikit berani lalu berkata, "membiarkan Elea makan sendiri sedini mungkin adalah hal yang harus diajarkan para orang tua. Walaupun Aku memang bukan ibunya Elea, tapi aku berusaha memenuhi semua itu."Alenta mulai merasakan suaranya yang gemetar menahan tangis, ini adalah kali pertama dia membantah ucapan Edward sehingga dia merasa sangat ketakutan sendiri. "Mengajarkan Elea untuk bersikap mandiri, mengembangkan keterampilan moto
Alenta terdiam membeku, Ia benar-benar sedang berpikir keras apa maksud Edward dengan menyibakkan selimut dan menunjukkan kedua kakinya? "Kenapa masih diam saja?" tanya Edward terlihat sedikit kesal. Alenta agak ragu untuk balik bertanya, tapi pada akhirnya dia memutuskan untuk bertanya kepada Edward karena dia benar-benar tidak mengerti harus melakukan apa."Aku harus bagaimana, kak?" tanya Alenta gugup. Edward menghela nafasnya, menatap Alenta dengan tatapan yang sedikit sebal lalu berkata, "tentu saja, pijat kakiku!" Titahnya tegas. Alenta terdiam sebentar, dia menganggukkan kepalanya dengan cepat. Setelah itu, Alenta berjalan mendekati Edward. Alenta naik ke atas tempat tidur, dengan posisi bersimpuh dia mulai menyentuh kaki Edward dengan kedua tangannya. Alenta sebenarnya memang terbiasa memijat, hanya saja memijat Ibunya dan memijat Edward tentu saja tidak bisa disamakan kekuatan tangannya. Edward berdecak, ekspresi yang terlihat tidak nyaman itu membuat Alenta semakin ter