Sekembalinya mereka ke rumah, Edward langsung meninggalkan rumah dengan alasan adanya pekerjaan di luar.
Saat ini, Elea sedang tidur. Alenta mengeluarkan satu persatu pakaian yang dia beli di pusat belanja tadi, dia menatap semua pakaian yang ia beli itu dengan kikuk.Alenta jarang sekali menggunakan dress, dia merasa benar-benar tidak pantas dan tidak nyaman. Tapi, ucapan Karina selaku Ibu mertuanya sekarang begitu membekas di kepalanya.Alenta menelan salivanya sendiri, pikirannya rancu dan gelisah.Dia mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, mencoba melihat apakah ada notifikasi pesan dari ibunya atau tidak."Kenapa ibu sama sekali tidak pernah membalas pesan dariku?" gumam Alenta sedih.Sebenarnya, Alenta hanya ingin tahu bagaimana keadaan kakaknya saat ini, tapi dia tidak pernah mendapatkan balasan pesan yang diinginkan dari Ibu ataupun Ayahnya.Sampai saat ini, Alenta juga masih tidak diberikan izin untuk bertemu dengan kakaknya. Ibunya bilang, dia takut kalau nanti Alenta akan mencelakai kakaknya meskipun secara tidak sengaja.Tok tok....Suara ketukan pintu terdengar membuat Alenta membalikkan badannya untuk melihat siapa orang yang mengetuk pintu kamarnya.Saat itu, pintu kamar Elea memang tidak ditutup. Jadi, Siapa yang datang tentu saja bisa langsung melihatnya.Alenta menatap pelayan rumah karena dia lah yang datang. "Ada apa?" tanyanya penasaran."Nyonya Karina meminta Nona Alenta untuk segera datang ke ruang tengah. Nyonya Karina tidak bisa berlama-lama karena ada keperluan di luar nanti," tuturnya.Alenta mengangguk paham, sebenarnya dia masih belum siap bertemu Karina. Tapi, tidak mungkin juga menghindari Ibu mertuanya sendiri."Aku akan segera keluar," ujarnya segera.Alenta meletakkan pakaian yang dia beli di ujung ruangan agar tak mengganggu penglihatan Karina nanti saat dia masuk ke dalam kamar Elea, melihat cucunya.Alenta berjalan dengan segera, menuju ke ruang tengah.Alenta memaksakan senyumnya. Dia benar-benar mencoba untuk mengontrol dirinya. "Selamat malam, Nyonya?" sapanya sopan.Alenta masih saja menyebut Ibu mertuanya dengan sebutan "Nyonya" karena memang seperti itulah cara Alenta memanggil Karina sebelumnya.Karina juga nampak tak suka didekati, saat Alenta berbicara sedikit lebih santai dulu Dia juga sering menatap Alenta sinis. Jadi, pada akhirnya Alenta memutuskan untuk tetap berbicara dengan sangat formal, dan tak berani mencoba dekat dengan Karina.Karina meletakkan cangkir teh yang saat itu dia gunakan untuk menyeruput teh hangat. Dia membuang nafasnya, tatapanya masih saja sinis dan menunjukkan secara jelas bahwa dia tidak menyukai Alenta."Duduk!" titahnya tanpa menatap Alenta.Alenta menganggukkan kepalanya, bergegas dia mengambil posisi untuk duduk dengan jarak yang tak berani dekat dengan Karina.Sebentar karena menatap Alenta, lalu segera dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang dia letakkan di sebelah duduknya."Nih!" ucapnya sinis sembari melemparkan botol berisi pil kepada Alenta. "Jangan lupa untuk meminum pil penunda kehamilan itu, pastikan kau tidak pernah hamil anaknya Edward!"Alenta tercengang menatap pil tersebut, dia ingin bertanya tapi tidak berani."Aku tidak mau memiliki cucu kalau asalnya darimu, aku yakin benar cucuku nanti akan cacat kalau dilahirkan olehmu."Karina langsung membuang arah pandangannya, kesal sekali melihat Alenta padahal Alenta hanya diam.Alenta menggigit bibir bawahnya, mengambil botol pil yang dilemparkan ke arahnya, kini berada di pangkuannya."Baik," jawab Alenta pilu.Alenta mencengkram erat pil itu, mencoba untuk tidak menangis.Hatinya sakit sekali mendengar apa yang diucapkan Karina barusan, tapi dia juga tahu dia tidak diizinkan untuk protes.Karina mengambil tas yang sejak tadi berada di sebelahnya, mengaitkan pada lengannya seraya bangun dari posisi duduknya."Jangan lewatkan satu hari pun tanpa meminum pil penunda kehamilan itu!" titahnya tegas. "Kalau sampai kau melanggar perintahku, kau sendirilah yang akan tahu bagaimana fatal akibat dari perbuatan itu!"Karina langsung saja menjalankan kakinya, meninggalkan Alenta di sana.Sebenarnya, dia ingin sebentar untuk melihat cucunya. Tapi, karena di luaran sana sudah ada hal yang harus dia urus, jadilah dia berpikir untuk besok saja datang lagi ke rumah Edward untuk menemui cucunya.***Edward menenggak habis segelas alkohol yang dituangkan oleh bartender untuknya."Lagi, Tuan?" tanya bartender itu.Edward menggelengkan kepalanya, dia tahu dia sudah agak pusing jadi tidak boleh meminum alkohol lagi."Jam berapa sekarang?" tanya Edward.Bartender itu melihat ke pergelangan tangannya lalu menjawab, "pukul 23:12 menit, Tuan."Edward membuang nafasnya, ternyata waktu memang cepat berjalan.Edward mengeluarkan kartu pembayaran, menyodorkan kepada bartender lalu berkata, "Tolong bantu aku!"Bartender itu dengan segera menganggukkan kepalanya, meraih kartu pembayaran yang disodorkan oleh Edward menuju ke meja kasir.Setelah minumannya dibayar, Edward memutuskan untuk segera pulang ke rumah.Walaupun dia agak mabuk, tapi untungnya Edward masih bisa berkonsentrasi untuk mengendarai mobilnya sampai ke rumah dengan selamat.Begitu masuk ke dalam rumah, dia tidak sengaja melihat Alenta tengah berjalan dari arah dapur menuju kamar Elea.Ada botol susu dibawa Alenta.Edward menatap Alenta yang tidak melihat ke arahnya karena penerangan di ruang depan sebelum masuk ke arah di mana Edward berada lampunya dalam keadaan mati."Kenapa dia menggunakan dress semacam itu di saat begini?" gumam Edward sedikit kesal.Edward menjalankan kakinya, menuju ke kamar Elea.Dia langsung membuka pintu kamar Elea yang dalam keadaan tidak terkunci.Alenta yang ada di dalam sana tersentak kaget mendengar pintu dibuka, lalu tiba-tiba saja Edward ada di ambang pintu."Kak Edward?" panggilnya lirih. "Ada apa, kak?" tanya Alenta bingung.Saat itu Elea sedang meminum susu yang ada di dalam botol. Elea sudah fasih memegang botol susu sehingga Alenta hanya perlu berikan saja botol susu di saat Elea butuh tanpa perlu memeganginya.Edward berjalan mendekati Alenta, tatapannya sangat aneh sehingga membuat Alenta ngeri.Edward langsung meraih pergelangan tangan Alenta, menyeretnya untuk keluar dari kamar Elea, menuju ke kamarnya.Alenta benar-benar terkejut. Dia takut, tapi jelas akan sangat aneh Jika dia berteriak.Begitu sampai di dalam kamar, Edward langsung menghempaskan tubuh Alenta ke atas tempat tidur.Bugh!Alenta menatap Edward dengan tatapan terkejut, dia ingin bertanya apa yang ingin dilakukan oleh Edward, tapi rasa takut yang tiba-tiba saja dia rasakan seolah menutup mulutnya rapat-rapat.
Terlebih, Edward menahan tubuh Alenta, seolah tak ingin membiarkan Alenta lepas darinya.
"Kak, aku," ucapnya ragu.
Edward sendiri hanya menatap Alenta yang kini berada di bawah kungkungannya dengan dingin.
"Kenapa kau menggunakan dress seperti ini di saat malam hari?" tanyanya sedikit kesal.
Alenta menggigit bibir bawahnya, dia bingung sekali, bolehkah dia menjawab pertanyaan dari kakak iparnya barusan?
Alenta terlalu takut saat ini.
Sembari mengumpulkan keberanian, dia pun mulai mengalihkan pandangan dengan menoleh ke arah samping.
Di sisi lain, Edward tiba-tiba melepaskan tangan Alenta yang sempat dia tahan.
Hal ini jelas membuat Alenta merasa cukup lega.
Dia pikir dia sudah bisa lepas dari kakak ipar yang juga suaminya itu. Namun, itu sungguh hanya ada pada imajinasi Alenta saja.
Begitu melepaskan cengkraman tangannya, Edward justru membuka satu per satu kancing kemejanya. "Aku bukan orang yang sabaran. Jadi, kau harus terbiasa melayaniku mulai malam ini," ucapnya dengan tatapan yang begitu tajam.
Deg!
Mendengar ucapan Edward, Alenta sontak membeku.Dia menggigit bibir bawahnya, matanya mulai memerah, tubuhnya juga mulai gemetar takut."Kak, apa yang akan kakak ipar lakukan?" tanya Alenta gugup.Edward membuang kemejanya ke sembarang arah begitu saja, kembali menatap Alenta sebentar sebelum pada akhirnya dia kembali menahan tangan Alenta, berakhir dengan mencium bibir Alenta secara kasar dan paksa."Ugh!" Pekik Alenta.Alenta pasrah, dia sedih dan tidak rela. Dia ingin melakukan hal semacam itu dengan suami yang sesungguhnya kelak, bukan dengan kakak iparnya.Memang, kakak iparnya juga adalah suaminya sekarang. Tapi, bayangan Julia jelas saja menghantui dirinya.Edward tak perduli, dia hanya ingin mendapatkan apa yang dia inginkan saat itu. Dia menyentuh tubuh Alenta semaunya, tak melihat sama sekali Alenta yang diam namun terlihat tidak rela.Malam itu, Edward benar-benar melakukannya.Suara lenguhan yang keluar dari mulut Edward terdengar memenuhi ruangan.Sementara Alenta, dia me
Sayangnya, Alenta hanya bisa mengangguk untuk merespons Edward, sehingga sarapan itu bisa berakhir tanpa perdebatan.Akan tetapi, Alenta tak bisa mengontrol dirinya, begitu tiba di kamar Elea.Dia tiba-tiba saja menangis.Hanya saja, begitu melihat Elea, Alenta gegas mengusapnya. Memang benar Elea belum memahami masalahnya, tapi dia tak ingin menggangu psikis keponakan kesayangannya itu.Jadi, satu-satunya yang Alenta bisa lakukan adalah mencoba untuk menghubungi Ibunya. Dia penasaran sekali dengan bagaimana keadaan kakaknya. Tapi, Ibunya justru membentaknya dengan kasar. "Tidak usah sok perduli, Alenta! Lakukan saja tugasmu dengan benar dan jangan mencoba untuk menemui Julia!" Seperti itulah ucapan Ibunya dari seberang telepon tadi. Alenta sedih sekali, tapi dia bisa apa?Sudah, dia tidak ingin terus saja menangis. Alenta bergegas berjalan mendekati Elea yang sudah mulai bangun dari tidur siangnya. Alenta menepuk wajahnya, dia mencoba tersenyum sebaik mungkin saat Elea mulai m
Edward menyerahkan tas kantornya kepada Alenta begitu juga dengan jas yang ia gunakan. Dia membiarkan Alenta mengurus barang-barangnya seperti kebiasaan mereka beberapa waktu terakhir ini. Edward bergegas masuk ke dalam kamar mandi, sementara Alenta sudah bersiap untuk menyiapkan pakaian ganti untuk Edward. Setelah semuanya selesai, Alenta bergegas meninggalkan kamar untuk menuju ke dapur. Makanan sudah tidak lagi hangat, jadi dia perlu menghangatkan sebentar untuk Edward makan nanti. Edward keluar dari kamar mandi, dia langsung menggunakan pakaian yang sudah disiapkan oleh Alenta. "Kak," panggil Alenta pelan. "Makanannya sudah siap," ucap Alenta memberitahu. "Hem...." jawab Edward singkat. Alenta juga belum makan, jadi dia berniat untuk makan dengan Edward. Tapi, niatnya itu sedikit terganggu saat Elea terbangun dari tidurnya. Edward keluar dari kamarnya, bergegas dia berjalan menuju meja makan. Dia sempat mendengar Elea yang menangis tapi dia tidak melakukan apapun karena dia
"Ibuku menghubungiku, dia mengatakan bahwa Kau membiarkan Elea makan sendiri. Makanan berantakan ke mana-mana, Apa itu benar?" tanya Edward, menatap Alenta dengan tatapan yang terlihat serius. Alenta terdiam sebentar, Sebenarnya dia tidak ingin menanggapi pertanyaan itu dan meminta maaf saja agar semuanya selesai dengan cepat. Akan tetapi, jika Alenta terus seperti itu, maka Karina dan juga Edward akan terus berpikir seenaknya saja tanpa pernah mau mencari tahu lebih dulu apa maksud tindakan Alenta. Alenta menghembuskan nafas panjangnya, dia menatap Edward sedikit berani lalu berkata, "membiarkan Elea makan sendiri sedini mungkin adalah hal yang harus diajarkan para orang tua. Walaupun Aku memang bukan ibunya Elea, tapi aku berusaha memenuhi semua itu."Alenta mulai merasakan suaranya yang gemetar menahan tangis, ini adalah kali pertama dia membantah ucapan Edward sehingga dia merasa sangat ketakutan sendiri. "Mengajarkan Elea untuk bersikap mandiri, mengembangkan keterampilan moto
Alenta terdiam membeku, Ia benar-benar sedang berpikir keras apa maksud Edward dengan menyibakkan selimut dan menunjukkan kedua kakinya? "Kenapa masih diam saja?" tanya Edward terlihat sedikit kesal. Alenta agak ragu untuk balik bertanya, tapi pada akhirnya dia memutuskan untuk bertanya kepada Edward karena dia benar-benar tidak mengerti harus melakukan apa."Aku harus bagaimana, kak?" tanya Alenta gugup. Edward menghela nafasnya, menatap Alenta dengan tatapan yang sedikit sebal lalu berkata, "tentu saja, pijat kakiku!" Titahnya tegas. Alenta terdiam sebentar, dia menganggukkan kepalanya dengan cepat. Setelah itu, Alenta berjalan mendekati Edward. Alenta naik ke atas tempat tidur, dengan posisi bersimpuh dia mulai menyentuh kaki Edward dengan kedua tangannya. Alenta sebenarnya memang terbiasa memijat, hanya saja memijat Ibunya dan memijat Edward tentu saja tidak bisa disamakan kekuatan tangannya. Edward berdecak, ekspresi yang terlihat tidak nyaman itu membuat Alenta semakin ter
Alenta merasa lelah sendiri menyingkirkan tangan Edward dari tubuhnya, jadi dia membiarkan saja Edward meletakan tangannya di sana sampai dia sendiri hanyut oleh rasa kantuk. Pagi harinya. Begitu Edward terbangun, dia sudah tidak mendapati Alenta lagi di tempat tidurnya. Bergegas, Edward bangkit dari posisinya, lalu turun dari tempat tidur. Alarmnya sudah berbunyi, itu tundanya tak ada banyak waktu yang tersisa untuk Edward bersiap. Edward menghela nafas lega. Untungnya, Alenta sudah menyiapkan pakaian kerja, bahkan barang-barang kantornya juga sudah siap seperti, laptop, ponsel, juga dokumen yang Edward bawa ke rumah kemarin. Edward tersenyum, ternyata memiliki Alenta memang benar-benar hal yang bagus!Edward meninggalkan tempatnya, menuju ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Setelah selesai, Edward menggunakan pakaian yang sudah disiapkan oleh Alenta. Dia tidak komplain tentang perpaduan dasi, karena warna Dongker dipadukan dengan silver cukup keren juga. Yah, padahal Ed
"Kenapa kau membiarkan Elea makan sendiri?" tanya Herin kesal, "sudah tahu Elea itu masih juga disebut bayi, tapi kau menyuruhnya makan sendiri! Kau pikir, apa gunanya kau diminta untuk mengasuh Elea? Kau ingin menjadi Nyonya, ha?" Herin berucap dengan nada bicara yang membentak, tatapan matanya tajam dengan jelas dia tunjukkan kepada Alenta seorang. Alenta masih diam membeku. Sungguh, dia sedang berpikir dan membatin di dalam hatinya. Bagaimana bisa Ibunya juga berpikir aneh, dan pembahasannya masih tentang hal itu. Alenta menahan tangisnya, dia menurunkan tangannya dari pipinya. Sungguh, yang sakit bukan hanya pipinya saja, hatinya jauh lebih sakit sampai membuat mulut Alenta seperti kelu. "Jangan mengecewakan Edward dan juga keluarganya, Alenta!" peringat Herin, "Ingat, kau dijadikan istri sementara untuk menggantikan kakakmu yang tidak pernah mengecewakan Edward, dan keluarganya!"Istri sementara, menggantikan kakaknya? Pada akhirnya, kalimat itu membuat Alenta tidak lagi bi
Begitu sampai di rumah sakit, Herin langsung menemui Julia yang masih terbaring koma di atas brankar rumah sakit dengan segala perlengkapan medis yang bekerja untuk tubuhnya. Herin menghela nafas, tatapan matanya jelas sekali memperlihatkan betapa sedihnya dia melihat Julia masih belum bangun. Herin mengusap punggung tangan Julia begitu dia berada di dekat Putri pertamanya itu, berdoa seperti doa yang sama seperti biasanya. Kesembuhan, keselamatan, yang dia panjatkan setiap hari untuk Julia. "Nak," panggil Herin pilu. "Kapan kau akan bangun? Ibu merasa, terlalu lama kau berbaring seperti ini akan membuat suasananya menjadi berubah. Ibu takut, kehidupan yang mulanya untukmu tidak akan terus menjadi milikmu kalau kau terus saja berbaring seperti ini," ucapnya lagi. Herin menahan tangisnya. Kenangan bersama Putri pertamanya serasa begitu membekas di kepala dan serta hatinya. Saat Herin mengandung Julia, saat Julia lahir dan bertumbuh setiap harinya, saat Julia kembali dari sekolaha