Share

BAB 8

Sekembalinya mereka ke rumah, Edward langsung meninggalkan rumah dengan alasan adanya pekerjaan di luar.

Saat ini, Elea sedang tidur. 

Alenta mengeluarkan satu persatu pakaian yang dia beli di pusat belanja tadi, dia menatap semua pakaian yang ia beli itu dengan kikuk.

Alenta jarang sekali menggunakan dress, dia merasa benar-benar tidak pantas dan tidak nyaman. Tapi, ucapan Karina selaku Ibu mertuanya sekarang begitu membekas di kepalanya.

Alenta menelan salivanya sendiri, pikirannya rancu dan gelisah.

Dia mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, mencoba melihat apakah ada notifikasi pesan dari ibunya atau tidak.

"Kenapa ibu sama sekali tidak pernah membalas pesan dariku?" gumam Alenta sedih.

Sebenarnya, Alenta hanya ingin tahu bagaimana keadaan kakaknya saat ini, tapi dia tidak pernah mendapatkan balasan pesan yang diinginkan dari Ibu ataupun Ayahnya.

Sampai saat ini, Alenta juga masih tidak diberikan izin untuk bertemu dengan kakaknya. Ibunya bilang, dia takut kalau nanti Alenta akan mencelakai kakaknya meskipun secara tidak sengaja.

Tok tok....

Suara ketukan pintu terdengar membuat Alenta membalikkan badannya untuk melihat siapa orang yang mengetuk pintu kamarnya.

Saat itu, pintu kamar Elea memang tidak ditutup. Jadi, Siapa yang datang tentu saja bisa langsung melihatnya.

Alenta menatap pelayan rumah karena dia lah yang datang. "Ada apa?" tanyanya penasaran.

"Nyonya Karina meminta Nona Alenta untuk segera datang ke ruang tengah. Nyonya Karina tidak bisa berlama-lama karena ada keperluan di luar nanti," tuturnya.

Alenta mengangguk paham, sebenarnya dia masih belum siap bertemu Karina. Tapi, tidak mungkin juga menghindari Ibu mertuanya sendiri.

"Aku akan segera keluar," ujarnya segera.

Alenta meletakkan pakaian yang dia beli di ujung ruangan agar tak mengganggu penglihatan Karina nanti saat dia masuk ke dalam kamar Elea, melihat cucunya.

Alenta berjalan dengan segera, menuju ke ruang tengah.

Alenta memaksakan senyumnya. Dia benar-benar mencoba untuk mengontrol dirinya. "Selamat malam, Nyonya?" sapanya sopan.

Alenta masih saja menyebut Ibu mertuanya dengan sebutan "Nyonya" karena memang seperti itulah cara Alenta memanggil Karina sebelumnya.

Karina juga nampak tak suka didekati, saat Alenta berbicara sedikit lebih santai dulu Dia juga sering menatap Alenta sinis. Jadi, pada akhirnya Alenta memutuskan untuk tetap berbicara dengan sangat formal, dan tak berani mencoba dekat dengan Karina.

Karina meletakkan cangkir teh yang saat itu dia gunakan untuk menyeruput teh hangat. Dia membuang nafasnya, tatapanya masih saja sinis dan menunjukkan secara jelas bahwa dia tidak menyukai Alenta.

"Duduk!" titahnya tanpa menatap Alenta.

Alenta menganggukkan kepalanya, bergegas dia mengambil posisi untuk duduk dengan jarak yang tak berani dekat dengan Karina.

Sebentar karena menatap Alenta, lalu segera dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang dia letakkan di sebelah duduknya.

"Nih!" ucapnya sinis sembari melemparkan botol berisi pil kepada Alenta. "Jangan lupa untuk meminum pil penunda kehamilan itu, pastikan kau tidak pernah hamil anaknya Edward!"

Alenta tercengang menatap pil tersebut, dia ingin bertanya tapi tidak berani.

"Aku tidak mau memiliki cucu kalau asalnya darimu, aku yakin benar cucuku nanti akan cacat kalau dilahirkan olehmu."

Karina langsung membuang arah pandangannya, kesal sekali melihat Alenta padahal Alenta hanya diam.

Alenta menggigit bibir bawahnya, mengambil botol pil yang dilemparkan ke arahnya, kini berada di pangkuannya.

"Baik," jawab Alenta pilu.

Alenta mencengkram erat pil itu, mencoba untuk tidak menangis.

Hatinya sakit sekali mendengar apa yang diucapkan Karina barusan, tapi dia juga tahu dia tidak diizinkan untuk protes.

Karina mengambil tas yang sejak tadi berada di sebelahnya, mengaitkan pada lengannya seraya bangun dari posisi duduknya.

"Jangan lewatkan satu hari pun tanpa meminum pil penunda kehamilan itu!" titahnya tegas. "Kalau sampai kau melanggar perintahku, kau sendirilah yang akan tahu bagaimana fatal akibat dari perbuatan itu!"

Karina langsung saja menjalankan kakinya, meninggalkan Alenta di sana.

Sebenarnya, dia ingin sebentar untuk melihat cucunya. Tapi, karena di luaran sana sudah ada hal yang harus dia urus, jadilah dia berpikir untuk besok saja datang lagi ke rumah Edward untuk menemui cucunya.

***

Edward menenggak habis segelas alkohol yang dituangkan oleh bartender untuknya.

"Lagi, Tuan?" tanya bartender itu.

Edward menggelengkan kepalanya, dia tahu dia sudah agak pusing jadi tidak boleh meminum alkohol lagi.

"Jam berapa sekarang?" tanya Edward.

Bartender itu melihat ke pergelangan tangannya lalu menjawab, "pukul 23:12 menit, Tuan."

Edward membuang nafasnya, ternyata waktu memang cepat berjalan.

Edward mengeluarkan kartu pembayaran, menyodorkan kepada bartender lalu berkata, "Tolong bantu aku!"

Bartender itu dengan segera menganggukkan kepalanya, meraih kartu pembayaran yang disodorkan oleh Edward menuju ke meja kasir.

Setelah minumannya dibayar, Edward memutuskan untuk segera pulang ke rumah.

Walaupun dia agak mabuk, tapi untungnya Edward masih bisa berkonsentrasi untuk mengendarai mobilnya sampai ke rumah dengan selamat.

Begitu masuk ke dalam rumah, dia tidak sengaja melihat Alenta tengah berjalan dari arah dapur menuju kamar Elea.

Ada botol susu dibawa Alenta.

Edward menatap Alenta yang tidak melihat ke arahnya karena penerangan di ruang depan sebelum masuk ke arah di mana Edward berada lampunya dalam keadaan mati.

"Kenapa dia menggunakan dress semacam itu di saat begini?" gumam Edward sedikit kesal.

Edward menjalankan kakinya, menuju ke kamar Elea.

Dia langsung membuka pintu kamar Elea yang dalam keadaan tidak terkunci.

Alenta yang ada di dalam sana tersentak kaget mendengar pintu dibuka, lalu tiba-tiba saja Edward ada di ambang pintu.

"Kak Edward?" panggilnya lirih. "Ada apa, kak?" tanya Alenta bingung.

Saat itu Elea sedang meminum susu yang ada di dalam botol. Elea sudah fasih memegang botol susu sehingga Alenta hanya perlu berikan saja botol susu di saat Elea butuh tanpa perlu memeganginya.

Edward berjalan mendekati Alenta, tatapannya sangat aneh sehingga membuat Alenta ngeri.

Edward langsung meraih pergelangan tangan Alenta, menyeretnya untuk keluar dari kamar Elea, menuju ke kamarnya.

Alenta benar-benar terkejut. Dia takut, tapi jelas akan sangat aneh Jika dia berteriak.

Begitu sampai di dalam kamar, Edward langsung menghempaskan tubuh Alenta ke atas tempat tidur.

Bugh!

Alenta menatap Edward dengan tatapan terkejut, dia ingin bertanya apa yang ingin dilakukan oleh Edward, tapi rasa takut yang tiba-tiba saja dia rasakan seolah menutup mulutnya rapat-rapat.

Terlebih, Edward menahan tubuh Alenta, seolah tak ingin membiarkan Alenta lepas darinya.

"Kak, aku," ucapnya ragu.

Edward sendiri hanya menatap Alenta yang kini berada di bawah kungkungannya dengan dingin.

"Kenapa kau menggunakan dress seperti ini di saat malam hari?" tanyanya sedikit kesal.

Alenta menggigit bibir bawahnya, dia bingung sekali, bolehkah dia menjawab pertanyaan dari kakak iparnya barusan? 

Alenta terlalu takut saat ini.

Sembari mengumpulkan keberanian, dia pun mulai mengalihkan pandangan dengan menoleh ke arah samping. 

Di sisi lain, Edward tiba-tiba melepaskan tangan Alenta yang sempat dia tahan.

Hal ini jelas membuat Alenta merasa cukup lega.

Dia pikir dia sudah bisa lepas dari kakak ipar yang juga suaminya itu. Namun, itu sungguh hanya ada pada imajinasi Alenta saja.

Begitu melepaskan cengkraman tangannya, Edward justru membuka satu per satu kancing kemejanya. "Aku bukan orang yang sabaran. Jadi, kau harus terbiasa melayaniku mulai malam ini," ucapnya dengan tatapan yang begitu tajam.

Deg!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status