Pintu terbuka lebar, dua pelayan mengenakan seragam atasan berupa kemeja putih dipadukan bawahan rok span hitam bawah lutut mempersilakan seorang pria tampan berperawakan tinggi dengan iris mata berwarna biru keabu-abuan memasuki ruangan keluarga.Keduanya menyambut dengan menundukkan kepala hikmat.
“Selamat datang, Tuan.“
Pria itu hanya menoleh tanpa bersuara.
Kedatangan pria yang akrab dipanggil Daniel mengalihkan perhatian semua anggota keluarga yang telah hadir lebih dulu. Hari ini merupakan puncak acara peringatan mendiang Airin Morgand yang ke seratus hari.
Nenek Daniel merupakan pemilik seluruh kekayaan keluarga Morgand setelah mendiang suaminya mewariskan seluruh harta itu padanya. Sesuai dengan wasiat Airin yang tercantum di dalam surat saat dibuat, hari ini akan diumumkan pembagian harta warisan. Salah satu harta kepemilikan yang akan diwariskan kepada anak cucu adalah kepemilikan saham di perusahaan manufaktur. Bisnis terbesar yang didirikan langsung oleh kakek buyut Daniel dan terus berlanjut hingga sekarang. Daniel menduduki jabatan sebagai CEO dengan membawahi kepemilikan saham atas nama nenek Airin dan ayah kandungnya yang telah lebih dulu meninggal dengan total mencapai enam puluh persen, Jonny Morgand.
Anggota keluarga Morgand yang sudah hadir terlihat sangat tegang sekaligus antusias. Tampak yang hadir di sana Vero, Lia, Jonan, juga Debby, ibu Daniel sebagai menantu di keluarga Morgand. Mereka bertiga merupakan anak dari Airin Morgand. Tampak empat sepupu yang semua perempuan juga hadir memberikan senyuman saat menyapa Daniel sebagai satu-satunya cucu pria di dalam keluarga itu.
“Seperti biasa, kau selalu datang terlambat,” tegur Vero sang bibi saat Daniel melangkah mencari tempat duduk.
“Aku sibuk, Bibi. Mengertilah,” jawab Daniel lembut sembari menipiskan bibir.
“Baiklah, karena anggota keluarga sudah hadir, maka saya akan membuka segel surat wasiat yang telah nyonya Airin Morgand tanda tangani setahun lalu sebelum beliau meninggal.“
“Oh, ibuku.” Lia, anak kedua dari nenek Morgand menyeka air matanya dengan tisu.
“Aku tidak menyangka ibu meninggalkan kita sudah seratus hari,” raung Vero ikut menangis.
Debby sebagai menantu Airin hanya bisa mendengkus lirih, baginya anggota keluarganya tidak ada sama sekali yang tulus. Apalagi menyangkut kekuasaan, kekayaan, sudah jelas dalam hati mereka semua harap-harap cemas. Debby merasa bahwa harapannya hanya tinggal Daniel, mertuanya pasti meninggalkan warisan terbanyak kepada putranya itu karena merupakan cucu paling disayangi perempuan itu, peninggalan satu-satunya dari putranya Johny—anak tertua dari Airin Morgand—yang telah meninggal empat tahun yang lalu akibat serangan jantung.
“Mohon, tenang! Saya akan mulai membuka segel map dan membacakan di hadapan semua. Apa yang tertera, terdapat di dalam surat wasiat ini sah. Mendapat perlindungan hukum dan tidak bisa diganggu gugat apa pun isinya nanti karena ditulis oleh nyonya Airin Morgand dalam keadaan sehat dan sadar,” tegas panjang lebar sang pengacara yang merupakan tangan kanan Airin selama ini, memberikan penjelasan.
“Kami siap mendengarkan,” jawab Debby dengan suara lirih.
Daniel melirik sekilas ke arah sang ibu. Tanpa ada lagi sang ayah, dia yakin bahwa posisi ibunya tidak akan mendapat tempat di keluarga Morgand.
“Tertanggal 01 Agustus 2022, atas nama Airin Morgand.
Pada saat kalian mendengarkan wasiat ini dibacakan, tepat pula peringatan kematianku yang ke 100 hari. Aku harap kalian semua, anakku, menantu, dan cucuku masih mengingat sosokku. Saling menjaga kebersamaan dan kelangsungan nama keluarga dengan banyaknya keturunan nantinya yang akan lahir dengan nama belakang Morgand.
Hal pertama kali yang ingin aku sampaikan adalah harapan bahwa kalian dapat saling menyayangi meskipun aku sudah tidak ada.
Sudah aku pikirkan secara terperinci apa yang menjadi harapanku atas seluruh kekayaan yang telah ayah, mertua, kakek wariskan untuk kalian dan aku berharap agar bisa dimanfaatkan, dikembangkan dengan baik, profesional, dan bertanggung jawab nantinya.”
Daniel terus saja memainkan ponsel saat pengacara terus membacakan isi pesan neneknya hingga runutan daftar nama penerima warisan tidak masuk ke dalam indera pendengarannya. Ia sudah bekerja keras sejak masih muda hingga kini berusia tiga puluh lima tahun, memiliki aset saham di bidang pertambangan emas hingga dia tidak harus ambil pusing dalam memikirkan warisan dari sang nenek yang merupakan bagian untuk ayahnya.
Sampai pada saat semua orang menatap ke arahnya secara serempak, barulah pria berpenampilan sempurna itu mengalihkan perhatian dari layar ponsel yang memberikan informasi mengenai pergerakan pasar saham ke arah semua anggota keluarganya satu per satu.
“What?” tanyanya bingung, keningnya mengernyit dengan satu alis tebalnya terangkat.
“Tuan Daniel Kavi Morgand, semua anggota keluarga baru bisa mengalihkan semua aset warisan ke atas nama masing-masing, hanya setelah Anda menikah, kemudian mengalihkan aset atas nama ayah dan nenek Anda ke atas nama Anda sendiri setelahnya,” ulang sang pengacara saat menyadari bahwa pemilik nama Daniel itu tidak menyimak saat pembacaan surat wasiat di tangannya berlangsung.
“Ap-apa maksudnya? Saya tidak salah dengar, ‘kan? Kenapa saya harus menikah dulu. Hubungannya apa dengan pembacaan warisan?” protesnya tercengang.
Dia rentangkan kedua tangannya ke udara, merasa surat wasiat yang dibacakan itu tidak masuk akal karena memojokkan dirinya karena sampai kini menjadi satu-satunya cucu dari keluarga Morgand yang belum menikah; tiga sepupunya sudah menikah semua.
“Kamu harus cepat menikah, Daniel. Aku rasa nenek tahu kamu tidak akan menikah sebelum dipaksa nenek dengan surat wasiatnya,” ledek pamannya, Jonan sambil terkekeh.
“Tidak masuk akal! Ini ....” Daniel mengembus napas sambil menggelengkan kepala sebagai tanda bahwa dia tidak bersedia begitu saja menerima wasiat itu.
Bersambung....
Jessica menyumpal kedua telinganya dengan headphone, begitu juga dengan Abby. Kedua kakak beradik beda ibu yang melahirkan itu menikmati makan malam bersama. Saling melemparkan tawa tanpa memedulikan gedoran pintu yang dilakukan Milla dari luar. Rasanya sedang malas berdebat malam-malam karena pagi harinya dia harus bekerja keras lagi demi mengumpulkan pundi-pundi uang.“Biarkan dia lelah sendiri,” bisik Jessica tersenyum manis pada Abby.“Aku rasa itu ide terbaik daripada harus mendengar kalian ribut,” balas Abby ditanggapi Jessica dengan cubitan gemas pada hidungnya. Setelah bunyi gedoran pintu menghilang, keduanya langsung membuang penutup telinga itu bersamaan diiringi tawa riang. Missi berjalan lancar.“Ibumu sudah pergi,” bisik Jessica tersenyum gemas.“Semoga dia bisa lekas tidur,” balas Abby mengangguk mengerti kalau kakaknya memang benar-benar tidak mau ribut dengan ibunya.“Hm. Kita juga setelah menghabiskan makanan ini,” sahut Jessica mulai kembali menyantap makanan dari at
Jessica meneguk ludah kering. Suasana pesta dengan berbagai hidangan mewah tersaji di hadapannya. Dengan mata kepala sendiri melihat bagaimana teman-teman ibunya menikmati secara gratis, sedangkan yang menanggung beban biaya itu dirinya.Jessica tidak menyangka. Utang yang sedianya hanya tinggal dibayarkan bulan ini ternyata diperbaharui lagi oleh sang ibu tiri demi gaya hidup mewah. Sangat tidak masuk akal bagi Jessica mengingat usianya yang sudah mencapai tiga puluh sembilan, nyatanya kedewasaan sama sekali tidak ada padanya.“Ya Tuhan. Kenapa ayah bisa bertemu dan menikah dengan perempuan gila seperti dia,” keluh Jessica sambil menghela napas.Saat ini dia sedang menunggu Abby selesai mengambil beberapa menu makanan yang diidamkannya sebelum menghancurkan dengan tongkat bisbol kesayangan almarhum ayahnya. Kesedihan Abby karena tidak diperkenankan makan makanan di dalam pesta ibunya membuat hati Jessica bagai disayat sembilu. Benar-benar ibu yang minta disadarkan dengan satu pukulan
Jessica dan pelayan restoran yang mengantar Daniel pun dibuat bingung tidak terkira. Di dalam sana terdapat dua orang perempuan saling berpelukan mesra dan tanpa malu menampilkan adegan ciuman. Jelas sebagai pria normal, Daniel langsung melengos jijik mendapati adegan seperti itu tepat di depan matanya. Daniel langsung menutup pintu lagi, tetapi langkahnya langsung dicegah Jessica agar tidak sampai pergi begitu saja dari sana.“Pak Daniel,” panggil Jessica setelah sadar dengan apa yang terjadi. Tangannya secara refleks langsung terulur pada lengan sang bos demi bisa menjaga agar pria itu tidak langsung pergi.“Apa-apaan ini!” decak Daniel dengan nada menahan kemarahan tidak terkira.“Pak, saatnya menghadapi dan memutuskan, bukannya marah,” kata Jessica berupaya untuk menenangkan hati sang Perfeksionis.“Menggelikan!” umpatnya seraya melayangkan tatapan tidak suka pada perempuan cantik yang kini duduk bersebelahan dengan wanita bergaya tomboy. “Jangan lagi menampakkan wajah kalian di
Daniel hanya mengulas senyum selintas lalu lenyap seketika sambil berbalik badan setelah melepaskan diri dari tatapan sang sekretaris.Mata Jessica pun melotot, sedikit panik karena untuk kesekian kalinya sang bos suka sekali bertele-tele padahal jelas biasanya sangat to the points. Jessica segera berinisiatif mendekat agar bosnya lekas menjawab.“Janji apa, Pak? Saya harus apa?” Jessica sedikit mengadang langkah Daniel meskipun tidak begitu kentara karena dia segera bergeser begitu menyadari terlalu dekat dengan sang bos.“Kamu harus membantu menyeleksi perempuan yang akan menjadi temanku kencan, menemaniku menemui mereka karena jelas kamu tahu aku ini sangat sulit untuk beramah-tamah dengan perempuan asing dan kamu tidak boleh meninggalkan perusahaan ini sebelum mendapatkan pengganti sekretaris baru yang kompeten,” ucap Daniel dengan wajah serius kali ini.Jessica sempat termenung mendengar penyampaian Daniel, tetapi dia pun akhirnya mengangguk setuju setelah melihat wajah pria itu
Daniel mengamati penampilannya di depan cermin. Pakaiannya sangat pas di tubuhnya yang proporsional. Kulit putih pucat sangat terawat. Apabila Jessica bersanding dengan Daniel, mata hatinya sebagai perempuan sangat iri dengan kerapian dan kebersihan yang dimiliki sang bos. Dia merasa sangat tidak sebanding.“Atur dulu ruanganku, baru kita berangkat,” kata Daniel seraya menoleh pada meja kerjanya yang menurutnya sangat berantakan.Saat ini mereka sudah kembali dari Koy's Central. Sudah sampai di kantor pusat perusahaan Morgand Company. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Beberapa karyawan yang tidak lembur dan berkepentingan juga sudah pulang.“Baik, Pak,” balas Jessica pelan.Jessica mengeluh lelah dalam hati. Perjalanan ke Koy's Central dilanjutkan ke beberapa tempat membuat kakinya seperti mau lepas. Sepatu hak tinggi yang dipakai sangat menyebalkan bagi Jessica karena membuatnya pegal-pegal. Bayangannya untuk segera pulang lalu merendam kaki dengan air hangat dicampur tetesan ai
Sepanjang perjalanan Jessica hanya diam. Menatap wajah bosnya saja tidak berani. Benar 'kan apa yang dia diduga sebelumnya, bos Daniel akan memaki-makinya karena telah lancang. Tidak, bukan memaki—pikir Jessica, tetapi marah dalam diam atau menggunakan nada sarkas saat berbicara. Bukan lagi sebuah rahasia bila kisah perjalanan cinta bos Daniel tidak semulus kulit tubuhnya yang begitu terawat. Daniel ditinggalkan sang kekasih hati padahal rencana pernikahan telah mulai disusun. Perempuan cantik bernama Shofia bahkan mengumumkan pernikahan dengan pengusaha kaya raya dari Perancis setelah tiga bulan memutuskan hubungan pertunangan secara sepihak dengan Daniel. Sebagai sekretaris yang telah bekerja untuk Daniel selama enam tahun, kisah empat tahun yang lalu itu masih segar dalam ingatan Jessica. Keterpurukan yang sulit membaik—mungkin hingga saat ini. Kenyataannya Daniel masih betah hidup sendiri tanpa kekasih. Jessica mengikuti langkah Daniel, mengekor di antara para staf yang mengiku