Share

Menyesal

"Papa! Ngapain sih, di sana lama-lama? Papa main mata sama mantan istrimu yang kampungan itu, ya!" todong Freya, menuduhku yang tidak-tidak. 

Baru saja masuk rumah, aku sudah disambut dengan suara cempreng Freya. Padahal dulu sebelum menikah denganku, suara Freya begitu merdu merayu, bak bulu perindu. 

Kenapa sekarang berubah menjadi suara Mak Lampir? Tinggi melengking. Kemana Freyaku yang manja dan menggoda?

Kalau boleh meminta, aku ingin waktu diputar kembali. Agar aku bisa memilih tidak menanggapi rayuan Freya waktu itu. Atau aku tidak pernah bertemu dengan Freya, selain matrealistis, dia sangat serakah. 

Semua ingin dia kuasai, bukan hanya harta, bahkan hidupku juga. Kemana-mana dicurigai. Salah sedikit segala sumpah serapah dan kutukan keluar dari mulutnya. Aku benar-benar tersiksa. 

"Kan ke warung dulu, Ma. Mengontrol pekerjaan anak-anak, menjelang zuhur baru sampai rumah Frida. Itu pun tidak lama, dia sibuk pekerjaannya banyak" ucapku beralasan, memang kenyataannya begitu, kan?

"Bener? Awas kalau kamu bohong! Aku potong Udinmu!" ancam Freya. 

Tuh kan? Mulut Freya sadis banget. Aku ini suami, tapi diperlakukan seperti anak kecil, apa-apa serba diatur. Apa-apa nggak boleh, takut kalau aku kecantol wanita lain. Dia pikir semua wanita sama seperti dia? Suka menggoda suami orang. 

"Ya kalau nggak percaya, tanya sendiri sama Frida, sana!" ucapku jengkel. 

"Males banget!" ketusnya, kemudian wajahnya berubah ramah. "Gimana? Misimu berhasil nggak?" tanyanya penuh harap. Dengan suara lebih lunak tentu saja. 

"Sudahlah, Ma. Kita nggak usah mengusik kehidupan Frida lagi. Biarlah rumah itu mereka tempati, rumah kecil gitu," sanggahku, berharap Freya berhenti meminta.

"Eh ... enak bener dia, sudah bukan istrimu, tapi masih dapat rumah. Aku ya, dulu pas cerai nggak dapat apa-apa dari mantan suamiku. Hanya nafkah untuk anak perbulan, itu pun besarnya tidak seberapa," tukas Freya. 

"Ya beda kasusnya. Kamu cerai karena ketahuan selingkuh dengan rekan kerja suamimu. Wajar lah mantan suamimu tak membagi harta gono-gini, dia kerja sendiri, kamu tinggal menikmati. 

Kamu nggak dapat apa-apa karena semua aset milik suamimu, masih atas nama orang tuanya, statusnya harta pusaka, bukan harta bersama. Masih untung kamu tetap dinafkahi, karena anak kalian dalam pegasuhanmu," jelasku. 

"Kok malah mengungkit kesalahanku! Jangan-jangan, kamu sudah kepincut sama perempuan kampung itu ya?!" ucap Freya emosi. 

"Memang benar, kan? Lagian, kalau rumah itu kita jual, terus mereka mau tinggal di mana? Kasihan anak-anakku harus hidup terlantar," bantahku.

"Oh ... sekarang sudah mulai berani membela anak dan mantan istrimu itu? Mulai ada rasa kamu ya? CLBK gitu?" sinis Freya. 

"Ya nggak gitu, Ma. Mereka kan anak-anakku, masih tanggung jawabku, coba kau lihat, apa yang sudah kuberikan pada mereka selama ini? Nggak ada kan? Semua uangku kamu kuasai."

"Aku ini istrimu, aku punya hak atas hartamu. Lha si Frida itu siapamu? Hanya mantan."

"Bukan untuk Frida, Ma. Tapi untuk Firni dan Ferina. Sampai sekarang mereka tetap tanggung jawabku, tapi apa aku sudah memenuhi kewajibanku? Nggak kan?"

"Alah! Alasan saja, itu kan biar kamu bisa dekat-dekat dengan Frida lagi, iya kan? Terus nanti Firni dan Ferina dijadikan alasan Frida untuk bertemu kamu, terus kalian CLBK, iya kan? Ngaku aja"

Begitulah Freya, hatinya penuh prasangka buruk, padahal Frida tidak seperti itu. Aku malah seneng kalau Frida mau bertemu denganku. Bisa CLBK dengan Frida, tapi kenyataannya, Frida tak pernah menganggapku ada. 

"Sudah, sudah! Nggak usah bahas Frida lagi. Aku lapar, kamu masak apa?" tanyaku kemudian, mengalihkan pembicaraan, lelah bersitegang dengan Freya, hanya bikin naik darah saja. 

"Pertanyaanku belum kamu jawab, malah minta makan. Frida setuju atau tidak rumah itu Papa jual?" desak Freya. 

"Jelas Frida nggak setuju, dia marah. Dia mengancam menggugat pembagian harta gono gini. Gimana, masih mau menjual rumah itu?" ucapku pelan penuh penekanan. 

"Enak aja main gugat-gugatan! Emang dia siapa? Selama ini dia kan di rumah saja, kamu yang kerja keras, jualan soto!" Padahal aku sudah bersuara pelan, tapi Freya menjawabnya dengan suara tinggi. 

"Harta yang dihasilkan selama pernikahan, adalah harta bersama. mau tidak mau, suka tidak suka, harus dibagi dua, secara adil, apalagi anak-anak ikut Frida, jelas itu menguntungkan dia. 

Berapa sih harga rumah itu? Nggak ada apa-apanya dibanding rumah yang kita tempati sekarang. Belum lagi mobil, warung soto, masih kurang apalagi? 

Sudahlah! Relakan saja rumah itu! Nggak dapat rumah itu, nggak bikin kita miskin juga," jelasku panjang lebar, agar Freya mau mengurungkan niatnya. 

"Nggak boleh! Sekali aku nggak boleh ya nggak boleh, rumah itu harus diserahkan padamu! Titik!" tegasnya. 

Ya Allah ... terbuat dari apa hati istri baruku ini? Serakah sekali dia, semuanya ingin dikuasai. 

Kalau manusia terbuat dari tanah, mungkin Freya terbuat dari tanah kuburan, hatinya gelap, penuh dendam, nggak suka lihat orang senang. 

"Terserah Mama saja, kalau masih ngeyel pengen menjual rumah itu. Mama saja yang berurusan dengan, Frida. Aku angkat tangan, nggak mau ikut campur!" geramku. 

"Ya nggak bisa gitu dong, Pa. Yang mantan suami istri kan, Papa sama Frida, kok jadi Mama disuruh ngurusin?" ucapnya tidak terima. 

Aku hanya mengangkat bahu dan berlalu ke dapur, mencari makanan yang bisa kumakan. Debat dengan Freya ternyata membuatku lapar juga. 

Kubuka tudung saji, kosong tidak ada apa-apa, yang ada hanya sisa bungkus makanan dari restoran cepat saji. 

"Hhh ..." Aku menarik nafas dalam-dalam, memasukkan oksigen sebanyak mungkin kedalam paru-paruku, agar dada ini terasa lega. 

Sejak menikah, Freya menunjukkan sifat aslinya. Galak, jutek dan pemalas. Tak pernah dia memperhatikan kebutuhanku, baginya yang terpenting ada uang, uang, dan uang. Untuk memenuhi gaya hidupnya yang hedon. 

"Sudah tahu aku nggak pernah masak, ngapain kamu buka tudung saji, nggak akan ada apa-apa di sana," sinisnya. 

"Kerjamu apa seharian? Sampai nggak pernah masak untuk keluarga? Apa-apa beli, pemborosan." Suaraku mulai merendah. 

Jujur aku lelah menghadapi sikap keras kepala Freya, tidak pernah merasa puas dengan apa yang kuberi, selalu kurang dan kurang. 

Kadang terbit sesal dalam hatiku, bagaimana mungkin aku jatuh cinta dengan wanita seperti Freya? Hanya modal cantik saja, hatinya penuh bara. 

"Kalau Papa nggak mau meminta rumah itu, biar aku yang maju!" Ucapan Freya membuatku mengakhiri lamunanku. 

"Jangan Ma!" 

Freya, bisa dipermalukan Frida, sertifikat tanah itu atas nama Frida, karena waktu itu belinya pakai duit mertua. 

Tadi aku berani meminta, karena kupikir Frida masih wanita yang sama, lembut dan suka mengalah, nyatanya dia sudah berubah menjadi singa garang. Freya bisa ditelan mentah-mentah oleh Frida. 

Bersambung...

Cih! Pakai acara menyesal segala. Makan itu wajah cantik! 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status