Share

Menyesal

last update Last Updated: 2022-10-06 10:20:41

"Papa! Ngapain sih, di sana lama-lama? Papa main mata sama mantan istrimu yang kampungan itu, ya!" todong Freya, menuduhku yang tidak-tidak. 

Baru saja masuk rumah, aku sudah disambut dengan suara cempreng Freya. Padahal dulu sebelum menikah denganku, suara Freya begitu merdu merayu, bak bulu perindu. 

Kenapa sekarang berubah menjadi suara Mak Lampir? Tinggi melengking. Kemana Freyaku yang manja dan menggoda?

Kalau boleh meminta, aku ingin waktu diputar kembali. Agar aku bisa memilih tidak menanggapi rayuan Freya waktu itu. Atau aku tidak pernah bertemu dengan Freya, selain matrealistis, dia sangat serakah. 

Semua ingin dia kuasai, bukan hanya harta, bahkan hidupku juga. Kemana-mana dicurigai. Salah sedikit segala sumpah serapah dan kutukan keluar dari mulutnya. Aku benar-benar tersiksa. 

"Kan ke warung dulu, Ma. Mengontrol pekerjaan anak-anak, menjelang zuhur baru sampai rumah Frida. Itu pun tidak lama, dia sibuk pekerjaannya banyak" ucapku beralasan, memang kenyataannya begitu, kan?

"Bener? Awas kalau kamu bohong! Aku potong Udinmu!" ancam Freya. 

Tuh kan? Mulut Freya sadis banget. Aku ini suami, tapi diperlakukan seperti anak kecil, apa-apa serba diatur. Apa-apa nggak boleh, takut kalau aku kecantol wanita lain. Dia pikir semua wanita sama seperti dia? Suka menggoda suami orang. 

"Ya kalau nggak percaya, tanya sendiri sama Frida, sana!" ucapku jengkel. 

"Males banget!" ketusnya, kemudian wajahnya berubah ramah. "Gimana? Misimu berhasil nggak?" tanyanya penuh harap. Dengan suara lebih lunak tentu saja. 

"Sudahlah, Ma. Kita nggak usah mengusik kehidupan Frida lagi. Biarlah rumah itu mereka tempati, rumah kecil gitu," sanggahku, berharap Freya berhenti meminta.

"Eh ... enak bener dia, sudah bukan istrimu, tapi masih dapat rumah. Aku ya, dulu pas cerai nggak dapat apa-apa dari mantan suamiku. Hanya nafkah untuk anak perbulan, itu pun besarnya tidak seberapa," tukas Freya. 

"Ya beda kasusnya. Kamu cerai karena ketahuan selingkuh dengan rekan kerja suamimu. Wajar lah mantan suamimu tak membagi harta gono-gini, dia kerja sendiri, kamu tinggal menikmati. 

Kamu nggak dapat apa-apa karena semua aset milik suamimu, masih atas nama orang tuanya, statusnya harta pusaka, bukan harta bersama. Masih untung kamu tetap dinafkahi, karena anak kalian dalam pegasuhanmu," jelasku. 

"Kok malah mengungkit kesalahanku! Jangan-jangan, kamu sudah kepincut sama perempuan kampung itu ya?!" ucap Freya emosi. 

"Memang benar, kan? Lagian, kalau rumah itu kita jual, terus mereka mau tinggal di mana? Kasihan anak-anakku harus hidup terlantar," bantahku.

"Oh ... sekarang sudah mulai berani membela anak dan mantan istrimu itu? Mulai ada rasa kamu ya? CLBK gitu?" sinis Freya. 

"Ya nggak gitu, Ma. Mereka kan anak-anakku, masih tanggung jawabku, coba kau lihat, apa yang sudah kuberikan pada mereka selama ini? Nggak ada kan? Semua uangku kamu kuasai."

"Aku ini istrimu, aku punya hak atas hartamu. Lha si Frida itu siapamu? Hanya mantan."

"Bukan untuk Frida, Ma. Tapi untuk Firni dan Ferina. Sampai sekarang mereka tetap tanggung jawabku, tapi apa aku sudah memenuhi kewajibanku? Nggak kan?"

"Alah! Alasan saja, itu kan biar kamu bisa dekat-dekat dengan Frida lagi, iya kan? Terus nanti Firni dan Ferina dijadikan alasan Frida untuk bertemu kamu, terus kalian CLBK, iya kan? Ngaku aja"

Begitulah Freya, hatinya penuh prasangka buruk, padahal Frida tidak seperti itu. Aku malah seneng kalau Frida mau bertemu denganku. Bisa CLBK dengan Frida, tapi kenyataannya, Frida tak pernah menganggapku ada. 

"Sudah, sudah! Nggak usah bahas Frida lagi. Aku lapar, kamu masak apa?" tanyaku kemudian, mengalihkan pembicaraan, lelah bersitegang dengan Freya, hanya bikin naik darah saja. 

"Pertanyaanku belum kamu jawab, malah minta makan. Frida setuju atau tidak rumah itu Papa jual?" desak Freya. 

"Jelas Frida nggak setuju, dia marah. Dia mengancam menggugat pembagian harta gono gini. Gimana, masih mau menjual rumah itu?" ucapku pelan penuh penekanan. 

"Enak aja main gugat-gugatan! Emang dia siapa? Selama ini dia kan di rumah saja, kamu yang kerja keras, jualan soto!" Padahal aku sudah bersuara pelan, tapi Freya menjawabnya dengan suara tinggi. 

"Harta yang dihasilkan selama pernikahan, adalah harta bersama. mau tidak mau, suka tidak suka, harus dibagi dua, secara adil, apalagi anak-anak ikut Frida, jelas itu menguntungkan dia. 

Berapa sih harga rumah itu? Nggak ada apa-apanya dibanding rumah yang kita tempati sekarang. Belum lagi mobil, warung soto, masih kurang apalagi? 

Sudahlah! Relakan saja rumah itu! Nggak dapat rumah itu, nggak bikin kita miskin juga," jelasku panjang lebar, agar Freya mau mengurungkan niatnya. 

"Nggak boleh! Sekali aku nggak boleh ya nggak boleh, rumah itu harus diserahkan padamu! Titik!" tegasnya. 

Ya Allah ... terbuat dari apa hati istri baruku ini? Serakah sekali dia, semuanya ingin dikuasai. 

Kalau manusia terbuat dari tanah, mungkin Freya terbuat dari tanah kuburan, hatinya gelap, penuh dendam, nggak suka lihat orang senang. 

"Terserah Mama saja, kalau masih ngeyel pengen menjual rumah itu. Mama saja yang berurusan dengan, Frida. Aku angkat tangan, nggak mau ikut campur!" geramku. 

"Ya nggak bisa gitu dong, Pa. Yang mantan suami istri kan, Papa sama Frida, kok jadi Mama disuruh ngurusin?" ucapnya tidak terima. 

Aku hanya mengangkat bahu dan berlalu ke dapur, mencari makanan yang bisa kumakan. Debat dengan Freya ternyata membuatku lapar juga. 

Kubuka tudung saji, kosong tidak ada apa-apa, yang ada hanya sisa bungkus makanan dari restoran cepat saji. 

"Hhh ..." Aku menarik nafas dalam-dalam, memasukkan oksigen sebanyak mungkin kedalam paru-paruku, agar dada ini terasa lega. 

Sejak menikah, Freya menunjukkan sifat aslinya. Galak, jutek dan pemalas. Tak pernah dia memperhatikan kebutuhanku, baginya yang terpenting ada uang, uang, dan uang. Untuk memenuhi gaya hidupnya yang hedon. 

"Sudah tahu aku nggak pernah masak, ngapain kamu buka tudung saji, nggak akan ada apa-apa di sana," sinisnya. 

"Kerjamu apa seharian? Sampai nggak pernah masak untuk keluarga? Apa-apa beli, pemborosan." Suaraku mulai merendah. 

Jujur aku lelah menghadapi sikap keras kepala Freya, tidak pernah merasa puas dengan apa yang kuberi, selalu kurang dan kurang. 

Kadang terbit sesal dalam hatiku, bagaimana mungkin aku jatuh cinta dengan wanita seperti Freya? Hanya modal cantik saja, hatinya penuh bara. 

"Kalau Papa nggak mau meminta rumah itu, biar aku yang maju!" Ucapan Freya membuatku mengakhiri lamunanku. 

"Jangan Ma!" 

Freya, bisa dipermalukan Frida, sertifikat tanah itu atas nama Frida, karena waktu itu belinya pakai duit mertua. 

Tadi aku berani meminta, karena kupikir Frida masih wanita yang sama, lembut dan suka mengalah, nyatanya dia sudah berubah menjadi singa garang. Freya bisa ditelan mentah-mentah oleh Frida. 

Bersambung...

Cih! Pakai acara menyesal segala. Makan itu wajah cantik! 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Serakah   Ending

    Istri Serakah 37 Aku hampir tak percaya dengan apa yang kulihat, tubuh kurus kering hanya tulang berbungkus kulit, lemah terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Aku hampir tak mengenali siapa dia. Ini bukan manusia, tapi mayat. Kemana Freya si cantik dan seksi? Kemana wanita yang selalu tampil modis dan menggoda? Malangnya nasibmu, Freya. Hidup terlunta-lunta, digerogoti penyakit mematikan. Tinggal di kamar sempit dengan kasur lusuh, pula. "Bu Freya, ini ada Pak Farhan," ucap petugas Dinsos yang mendampingiku, dengan suara pelan. Wajah yang tadi menengadah ke atas, dengan tatapan kosong, kini beralih menatapku. Sumpah, benar-benar seperti tengkorak hidup. Mata cekung dengan tulang pipi yang menonjol dan gigi nampak geripis. Aku sampai ngeri. Kalau tidak didampingi petugas Dinsos, pasti aku sudah lari tunggang langgang. Benar-benar menakutkan Freya ini. "Farhan." Suara Freya terdengar parau, seperti suara nenek-nenek. Mengingatkanku pada tokoh jahat "Mak Lampir". "Pak Fa

  • Istri Serakah   Lima Tahun Kemudian

    Istri Serakah 35 Lima tahun berlalu, aku masih sendiri, belum bertemu wanita yang tepat. Aku putus komunikasi dengan, Freya. Bagiku perempuan itu sudah mati, gara-gara dia aku harus memulai semua dari nol. Kabar terakhir yang kudengar, dia menikah dengan pengusaha baru bara asal Kalimantan. Seperti keinginannya untuk menikahi pria kaya, agar hidup serba berkecukupan, tanpa harus bekerja keras. Entah seperti apa nasibnya sekarang. Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu. Kalau dia kaya, pasti sombongnya nggak ketulungan. Apalagi melihat hidupku yang seperti ini, bisa bersorak menang dia. Dengan Frida, aku masih menjalin komunikasi, tapi hanya sebatas masalah anak-anak, lain tidak. Frida sudah bahagia dengan suami barunya, tidak enak kalau aku masih menjalin komunikasi secara intens. Dari pernikahannya dengan Tomi, Frida dikaruniai anak laki-laki. Lengkap sudah kebahagiaan mereka. Hubunganku dengan anak-anakku sudah membaik, mereka tak lagi bersikap canggung padaku. Mereka juga tak per

  • Istri Serakah   Panti Sosial

    Pov Freya. "Kasihan ya? Badannya samapai kayak tengkorak hidup begitu." Sayup-sayup kudengar orang sedang bicara. "Sudah berapa lama dirawat di sini?" Terdengar suara lain menyahut. "Enam belas hari, Bu." Itu suara Suster Anisa. "Selama itu mereka hanya berdua? Nggak ada keluarganya sama sekali?""Pertama datang dalam keadaan pingsan, diantar seorang laki-laki, tapi setelah itu dia pergi dan tak pernah kembali. Sepertinya dia sengaja ditinggal, mungkin keluarganya tidak mau repot," jelas Suster Anisa. "Kok ada ya, orang setega itu? Menelantarkan keluarganya sendiri. Punya salah apa dia, sampai diperlakukan seperti itu?"Percakapan Suster Anisa, entah dengan siapa itu, membuat hatiku tercabik-cabik. Se-mengenaskan itu nasibku, sudah miskin, penyakitan, dibuang keluarga pula. Rasanya tak ada nasib yang lebih malang dari hidupku ini. Perlahan aku membuka mata, rasanya aku tak sanggup lagi mendengar mereka membicarakanku. "Bu Freya sudah bangun," sapa Suster Anisa Ramah. "Bapak da

  • Istri Serakah   Pov Freya

    Pov Freya. Aku terbangun di atas brangkar rumah sakit, tapi aku yakin ini bukan rumah sakit yang sama. Ruangan di sini lebih kecil dibanding ruangan sebelumnya. Aku menoleh ke samping, ada beberapa pasien yang sedang terbaring. Rupanya aku dipindah ke bangsal, ruangan yang ditempati beberapa orang. Rupanya Julian tak ingin mengeluarkan banyak uang, untuk membayar perawatan ku. Padahal dia meraup banyak untung dari menjual tubuhku. Dasar laki-laki tak punya hati! rutukku dalam hati. Tapi aku tetap bersyukur, setidaknya aku mendapat perawatan. Daripada dibuang di jalan. Laki-laki itu kejamnya luar biasa, dia bisa melakukan tindakan diluar nalar. "Mama! Mama! Mama sudah bangun?" tangan mungil milik Fadil menggoyang tanganku. "Eh iya Nak," ucapku terharu. Melihat Fadil di sisiku. Kupikir Julian membuktikan ancamannya akan menjual Fadil. "Ibu tidurnya lama, nggak bangun-bangun. Aku di sini nggak ada temannya," ucap bocah lima tahun itu dengan polosnya. "Om Julian mana," tanyaku

  • Istri Serakah   Dijual

    Akhirnya aku terpaksa melayani nafsu be jat laki-laki bernama Rudi ini. Meski tua bangka ternyata dia tangguh juga, berkali-kali aku dibuatnya tak berdaya. "Terimakasih pelayanannya cantik, kamu memang hebat. Baru kali ini aku merasa puas, tak rugi aku membayar mahal pada Julian," ucap Rudi seraya mengenakan pakaiannya. "Sama-sama, mana tip yang kamu janjikan? Kamu bilang kalau aku bisa memuaskanmu," ucapku menagih janji. "Tentu saja aku tidak lupa, ini!" Rudi mengambil beberapa lembar uang berwarna merah dari dompetnya, lalu meletakkannya di pangkuanku. Tangan yang mulai keriput itu membelai wajahku, bibir hitamnya mengecup bibirku. Aku hanya bergeming, jujur aku merasa jijik disentuh pria tua itu. Meski demi uang, aku tetap pilih-pilih pelanggan, tidak sembarangan seperti ini. "Kalau aku tidak takut istriku, sudah pasti aku akan membawamu pulang ke rumahku. Kamu benar-benar membuatku mabuk kepayang, tapi aku harus kerja. Besok aku akan datang lagi, tunggu ya?" ucap Rudi seraya

  • Istri Serakah   Calon Suami

    Pov Freya"Frey, itu laki-laki yang katanya pengen kenalan sama kamu," ucap Andrea. Dia menunjuk seorang laki-laki berpenampilan dandy yang sedang berjalan dari arah pintu. "Dia itu tajir melintir, pengusaha batu bara. Lagi cari istri katanya, kamu mau aja. Orang ganteng gitu, sayang kalau ditolak," ucap Andrea lagi. "Iya sih dia ganteng dan kaya, tapi apa dia mau sama aku? Sudah hampir kepala empat ini," sanggahku. "Ya nggak pa-pa, kan? Biar sudah berumur kamu masih terlihat cantik dan seksi, kok?" ucap Andrea menyemangatiku. "Aku cuma nggak PD aja, laki-laki tampan dan mapan kayak dia bisa cari perempuan model apa saja. Bahkan gadis perawan bisa dia dapatkan, sekarang itu yang penting kan uang. Masa iya dia mau sama aku, yang sudah mau expired ini? Tentu saja aku tidak percaya begitu saja omongan Andrea. Mau secantik apapun aku, tetap lebih lebih menarik gadis muda. Lebih sekel, lebih ranum. Mana aku sudah punya buntut lagi. Rasanya kok nggak masuk akal. "Dia sendiri yang mint

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status