Pov Frida
"Kalau sudah dingin langsung dibungkus aja, Mbak! Hati-hati ya, jangan sampai mesesnya berantakan," titahku pada kedua putrimu Firni dan Ferina, yang sedang membungkus donat orderan pelanggan. Beginilah kegiatan kami sehari-hari, membuat aneka kue dan cake, pesanan tetangga sekitar. Selain membuka toko, aku juga membuka usaha katering, walau kecil-kecilan. Kalau ada pesanan banyak, aku panggil tetangga sebelah untuk bantu-bantu. Kalau sedikit seperti sekarang, cukuplah kedua putriku yang membantu. Aku bersyukur, kedua anakku ini menurut, dan tak banyak menuntut. Mengerti kesulitan orang tua, mau membantuku mengerjakan semuanya, termasuk beres-beres rumah dan jualan. Tak mudah menjadi single parent, berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus. Tapi Allah maha baik, aku dikaruniai dua putri sholehah.Meski awalnya kami mengalami kesulitan ekonomi, karena Bang Farhan tak ambil peduli dengan anak-anaknya, akhirnya kami bisa bangkit, meski pelan-pelan.
Aku jual semua perhiasanku untuk modal jualan, dan membeli peralatan membuat kue. Alhamdulillah ... hasil tak menghianati usaha. Meski tidak langsung kaya, setidaknya semua kebutuhan kami tercukupi.
Meski kadang aku menangis dalam hati, Anak-anak dipaksa keadaan untuk menjadi dewasa. Semua ini ulah ayahnya yang main gila sama janda. Semoga kelak hidupmu beruntung, Nak. Mendapat suami yang baik, mencintaimu apanya, dan punya iman yang kuat, tidak mudah tergoda. Cukup ibumu saja yang menderita. Doaku dalam hati. "Permisi! Permisi!" Sedang asik-asiknya membuat kue, tiba-tiba ada yang datang. Mungkin pembeli, begitu pikirku. "Ada yang beli tuh, Mbak. Kamu layani, gih!" titahku pada Firni, anak sulung ku. Dia sudah terbiasa melayani pembeli. Tanpa bicara Firni segera beranjak ke depan, untuk menemui pembeli, tapi tak lama kemudian dia kembali dengan wajah cemberut. "Bu, dicari Barbie hidup, tuh," ucap Firni kesal. "Barbie hidup?" tanyaku bingung. "Iya, istri barunya, Ayah." ketus Firni. Usia Firni sudah tiga belas tahun, dia cukup mengerti yang terjadi antara aku dan ayahnya. Dia juga paling sakit hati atas penghianatan ayahnya padaku, makanya dia benci banget sama Freya, wanita yang sudah merenggut Ayah dan kebahagiaannya. Aku pun menemui Barbie hidup itu. Rambut panjang bergelombang, tergerai indah dicat warna pirang. Wajah full make up, mengenakan dress selutut berbahan kaos, hingga mencetak lekuk tubuhnya dengan sempurna.Kondisi hamil besar gitu, dia masih berpenampilan seksi, apa dia nggak risi ya? Sampai udelnya yang bodong itu terlihat menonjol.
Freaya memang terlihat cantik, tapi menurutku dia lebih mirip banci, karena terlalu over dalam berdandan. Padahal dia aslinya sudah cantik, dengan make up minimalis pasti dia terlihat lebih anggun dan elegan. Eh, kenapa aku jadi mengomentari penampilan Freya? Kayak aku sudah cantik saja. "Ada apa mencariku?" tanyaku tanpa basa-basi. Tak perlu bermanis muka, pada wanita serakah seperti dia. Aku tahu, dia ke sini pasti mau bikin gara-gara, bisa dilihat dari roman mukanya yang tidak bersahabat. Eh, dia mana pernah bersikap ramah padaku. "Kamu frontal sekali, ya? Oke, aku nggak akan basa-basi, to the point aja. Kamu kenapa menolak menyerahkan sertifikat tanah pada, Bang Farhan?" ucapnya dengan tatapan tajam. "Oh ... jadi kedatangan kamu ke sini ada hubungannya dengan gagalnya usaha suamimu kemarin?" ejekku. "Tentu saja, Bang Farhan itu terlalu baik jadi orang, nggak tegaan. Makanya aku turun tangan.""Cih! Nggak tegaan katanya? Tega berhianat, tega menelantarkan anaknya, dibilang nggak tegaan? Itu namanya raja tega, Markonah!" umpatku dalam hati. "Lalu maumu apa?" tantangku."Serahkan sertifikat rumah ini, biar kami menjualnya," tegas Freya. "Sebelum kesini kamu minum miras dulu, ya? Kok mabok gitu?" Freya mencebikkan bibirnya, menatapku dengan tatapan sinis. "Rumah ini dibelikan bapakku, belinya pun pakai uang bapakku. Jadi Bang Farhan, apalagi kamu, nggak punya hak sama sekali?" salakku galak. Biarpun aku ini aslinya pemalu dan pendiam, kalau diinjak begini aku juga bisa melawan."Kamu nggak usah bohong, nggak mungkin bapakmu membelikan rumah, dia hanya petani, duit dari mana?" ucapnya merendahkan.
Freya berasal dari kampung yang sama denganku, jadi dia tahu siapa bapakku, apa pekerjaannya dan bagaimana kondisi keuangannya. "Bapakku memang hanya petani, tapi dia punya sawah. Dan sawah itu dia jual untuk membeli rumah ini dan memberi modal suamimu," ucapku penuh penekanan. "Ha ... ha ... aku jadi ngakak dengar bualanmu, bapakmu membeli rumah ini dan memberi Bang Farhan modal usaha? Ha ... ha ... ha ... bangun woi! Mimpimu ketinggian!" ucap Freya dengan nada menghina."Terserah, kamu mau percaya atau tidak, itu bukan urusanku. Yang jelas, sertifikat tanah ini atas namaku, ada bukti dan saksinya.
Dengar Nyonya Farhan, saat transaksi jual beli, antara Bapak dan Pemilik tanah ini sebelumnya, disaksikan notaris. Apa itu bukan saksi? Dokumennya pun ada," jelasku."Sayangnya aku tidak percaya," ucapnya meremehkanku. "Baiklah, kita buktikan semuanya di pengadilan. Sekalian aku akan menuntut harta bersama kami, yang dikuasai suamimu." Wajah Freya seketika memerah mendengar ucapanku. "Apa maksudmu menuntut harta bersama?""Apa ucapanku kurang jelas? Aku akan menuntut harta bersama kami, alias harta gono-gini, paham?
Jadi mulai sekarang, mulai sekarang belajarlah hidup sederhana. Jadi kamu nggak kaget saat nanti harus kehilangan sebagian harta yang kalian akui itu," ucapku dengan sorot mata tajam, setajam silet yang siap mengoyak wajah Freya, yang sok cantik itu."Oh ya? Kau pikir kami takut? Proses peradilan itu berbelit dan tidak mudah, juga butuh biaya tidak sedikit. Aku yakin orang kampung seperti kamu, tidak akan mampu," ejeknya.
Kayaknya Freya butuh kaca yang besar, agar dia bisa bercermin. Dia sendiri berasal dari kampung, sok-sok an merendahkan aku dengan mengatai aku orang kampung."Aku akan menyewa pengacara hebat, kamu kenal Potman Prancis, kan? Aku akan menyewa dia," tandasku.
"Kamu mau menyewa dia? Duit dari mana? Dari Hongkong! Tarif Potman Prancis itu tinggi! " Probono, kamu tahu kan? Ah, kamu pasti tidak tahu, kamu tahunya hanya skincare, make up dan shoping. Yang jelas Potman Prancis pasti tertarik untuk menolongku, wanita yang teraniaya. Ditinggal suami selingkuh dan hartanya dikuasai," ucapku dengan nada merendahkan. "Dasar pembual! Kamu akan menyesal, karena kamu yang akan kehilangan semuanya! Kamu tidak bisa menuntut apa-apa, karena semuanya sudah menjadi milikku, atas namaku!" gertaknya. "Aku tidak sedang membual, kita lihat saja siapa yang akan menyesal nanti, aku atau kalian?" ancamku.Sebenarnya kemarin aku hanya menggertak Bang Farhan saja. Aku males ribut-ribut di pengadilan, bikin stress dan menghabiskan uang. Tapi rupanya pasangan serakah itu belum puas, masih ingin menguasai semuanya.
Baiklah, aku rasa menggugat pembagian harta gono gini, harus kulakukan. Untuk memberi pelajaran pada orang-orang serakah seperti mereka. Bersambung ... Note: Probono artinya bantuan hukum yang dilakukan tanpa dipungut biaya, bagi yang tidak mampu, atau kepentingan umum.Istri Serakah 37 Aku hampir tak percaya dengan apa yang kulihat, tubuh kurus kering hanya tulang berbungkus kulit, lemah terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Aku hampir tak mengenali siapa dia. Ini bukan manusia, tapi mayat. Kemana Freya si cantik dan seksi? Kemana wanita yang selalu tampil modis dan menggoda? Malangnya nasibmu, Freya. Hidup terlunta-lunta, digerogoti penyakit mematikan. Tinggal di kamar sempit dengan kasur lusuh, pula. "Bu Freya, ini ada Pak Farhan," ucap petugas Dinsos yang mendampingiku, dengan suara pelan. Wajah yang tadi menengadah ke atas, dengan tatapan kosong, kini beralih menatapku. Sumpah, benar-benar seperti tengkorak hidup. Mata cekung dengan tulang pipi yang menonjol dan gigi nampak geripis. Aku sampai ngeri. Kalau tidak didampingi petugas Dinsos, pasti aku sudah lari tunggang langgang. Benar-benar menakutkan Freya ini. "Farhan." Suara Freya terdengar parau, seperti suara nenek-nenek. Mengingatkanku pada tokoh jahat "Mak Lampir". "Pak Fa
Istri Serakah 35 Lima tahun berlalu, aku masih sendiri, belum bertemu wanita yang tepat. Aku putus komunikasi dengan, Freya. Bagiku perempuan itu sudah mati, gara-gara dia aku harus memulai semua dari nol. Kabar terakhir yang kudengar, dia menikah dengan pengusaha baru bara asal Kalimantan. Seperti keinginannya untuk menikahi pria kaya, agar hidup serba berkecukupan, tanpa harus bekerja keras. Entah seperti apa nasibnya sekarang. Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu. Kalau dia kaya, pasti sombongnya nggak ketulungan. Apalagi melihat hidupku yang seperti ini, bisa bersorak menang dia. Dengan Frida, aku masih menjalin komunikasi, tapi hanya sebatas masalah anak-anak, lain tidak. Frida sudah bahagia dengan suami barunya, tidak enak kalau aku masih menjalin komunikasi secara intens. Dari pernikahannya dengan Tomi, Frida dikaruniai anak laki-laki. Lengkap sudah kebahagiaan mereka. Hubunganku dengan anak-anakku sudah membaik, mereka tak lagi bersikap canggung padaku. Mereka juga tak per
Pov Freya. "Kasihan ya? Badannya samapai kayak tengkorak hidup begitu." Sayup-sayup kudengar orang sedang bicara. "Sudah berapa lama dirawat di sini?" Terdengar suara lain menyahut. "Enam belas hari, Bu." Itu suara Suster Anisa. "Selama itu mereka hanya berdua? Nggak ada keluarganya sama sekali?""Pertama datang dalam keadaan pingsan, diantar seorang laki-laki, tapi setelah itu dia pergi dan tak pernah kembali. Sepertinya dia sengaja ditinggal, mungkin keluarganya tidak mau repot," jelas Suster Anisa. "Kok ada ya, orang setega itu? Menelantarkan keluarganya sendiri. Punya salah apa dia, sampai diperlakukan seperti itu?"Percakapan Suster Anisa, entah dengan siapa itu, membuat hatiku tercabik-cabik. Se-mengenaskan itu nasibku, sudah miskin, penyakitan, dibuang keluarga pula. Rasanya tak ada nasib yang lebih malang dari hidupku ini. Perlahan aku membuka mata, rasanya aku tak sanggup lagi mendengar mereka membicarakanku. "Bu Freya sudah bangun," sapa Suster Anisa Ramah. "Bapak da
Pov Freya. Aku terbangun di atas brangkar rumah sakit, tapi aku yakin ini bukan rumah sakit yang sama. Ruangan di sini lebih kecil dibanding ruangan sebelumnya. Aku menoleh ke samping, ada beberapa pasien yang sedang terbaring. Rupanya aku dipindah ke bangsal, ruangan yang ditempati beberapa orang. Rupanya Julian tak ingin mengeluarkan banyak uang, untuk membayar perawatan ku. Padahal dia meraup banyak untung dari menjual tubuhku. Dasar laki-laki tak punya hati! rutukku dalam hati. Tapi aku tetap bersyukur, setidaknya aku mendapat perawatan. Daripada dibuang di jalan. Laki-laki itu kejamnya luar biasa, dia bisa melakukan tindakan diluar nalar. "Mama! Mama! Mama sudah bangun?" tangan mungil milik Fadil menggoyang tanganku. "Eh iya Nak," ucapku terharu. Melihat Fadil di sisiku. Kupikir Julian membuktikan ancamannya akan menjual Fadil. "Ibu tidurnya lama, nggak bangun-bangun. Aku di sini nggak ada temannya," ucap bocah lima tahun itu dengan polosnya. "Om Julian mana," tanyaku
Akhirnya aku terpaksa melayani nafsu be jat laki-laki bernama Rudi ini. Meski tua bangka ternyata dia tangguh juga, berkali-kali aku dibuatnya tak berdaya. "Terimakasih pelayanannya cantik, kamu memang hebat. Baru kali ini aku merasa puas, tak rugi aku membayar mahal pada Julian," ucap Rudi seraya mengenakan pakaiannya. "Sama-sama, mana tip yang kamu janjikan? Kamu bilang kalau aku bisa memuaskanmu," ucapku menagih janji. "Tentu saja aku tidak lupa, ini!" Rudi mengambil beberapa lembar uang berwarna merah dari dompetnya, lalu meletakkannya di pangkuanku. Tangan yang mulai keriput itu membelai wajahku, bibir hitamnya mengecup bibirku. Aku hanya bergeming, jujur aku merasa jijik disentuh pria tua itu. Meski demi uang, aku tetap pilih-pilih pelanggan, tidak sembarangan seperti ini. "Kalau aku tidak takut istriku, sudah pasti aku akan membawamu pulang ke rumahku. Kamu benar-benar membuatku mabuk kepayang, tapi aku harus kerja. Besok aku akan datang lagi, tunggu ya?" ucap Rudi seraya
Pov Freya"Frey, itu laki-laki yang katanya pengen kenalan sama kamu," ucap Andrea. Dia menunjuk seorang laki-laki berpenampilan dandy yang sedang berjalan dari arah pintu. "Dia itu tajir melintir, pengusaha batu bara. Lagi cari istri katanya, kamu mau aja. Orang ganteng gitu, sayang kalau ditolak," ucap Andrea lagi. "Iya sih dia ganteng dan kaya, tapi apa dia mau sama aku? Sudah hampir kepala empat ini," sanggahku. "Ya nggak pa-pa, kan? Biar sudah berumur kamu masih terlihat cantik dan seksi, kok?" ucap Andrea menyemangatiku. "Aku cuma nggak PD aja, laki-laki tampan dan mapan kayak dia bisa cari perempuan model apa saja. Bahkan gadis perawan bisa dia dapatkan, sekarang itu yang penting kan uang. Masa iya dia mau sama aku, yang sudah mau expired ini? Tentu saja aku tidak percaya begitu saja omongan Andrea. Mau secantik apapun aku, tetap lebih lebih menarik gadis muda. Lebih sekel, lebih ranum. Mana aku sudah punya buntut lagi. Rasanya kok nggak masuk akal. "Dia sendiri yang mint