Pov Frida
Usai menunaikan sholat zuhur, aku segera bergegas ke luar, menemui Bang Farhan, tapi sayang, rupanya mantan suamiku itu sudah pergi.
Aku terbiasa sholat awal waktu, begitu azan berkumandang, segera ku tunaikan kewajibanku itu. Aku tidak mau menunda-nunda sholat, bikin hati was-was, takutnya ada pembeli datang, sholat pun bablas.
Tadi memang aku sempat mendengar suara panggilan dari Bang Farhan, tapi aku sedang sholat. Panggilan itu pun aku abaikan, dan dia pergi begitu saja tanpa pamit.
Farhan Habibi, nama lelaki yang menikahi aku empat belas tahun yang lalu itu. Kami tetangga sekampung, berlatar belakang dari keluarga pas-pasan, tak tapi menyurutkan langkahnya untuk meminangku, si kembang desa.
Dia tidak tampan, tidak pula mapan. Tapi entah mengapa aku bisa jatuh cinta padanya, mungkin karena tutur katanya yang santun, dan sikapnya yang selalu sopan pada siapapun.
Kalau mengingat semua itu, seperti membuka luka lama yang sudah mulai mengering, dan kini harus berdarah lagi.
Dulu kami hidup miskin, gajinya sebagai buruh pabrik hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tempat tinggal pun hanya mampu ngontrak rumah petak, bagiku tak apa, yang penting ada tempat berteduh.
Kemiskinan tak membuat cintaku luntur, aku terus menyemangatinya agar lebih giat bekerja. Hingga suatu hari bapakku mengunjungi kami, beliau merasa iba, melihat keadaan kami yang memprihatinkan.
"Kalau tahu hidupmu seperti ini, tak ku ijinkan kau ikut merantau suamimu, Da. Lebih baik di kampung, tinggal sama Bapak, semua ada nggak kekurangan," tutur Bapak dengan suara sedih.
"Ya namanya juga istri, Pak. Harus ikut kemana pun suami pergi," sanggahku kala itu. Apapun keadaannya aku harus menerima suamiku, kan? Tak boleh mengeluh, apalagi pada orang tua. Hanya akan menambah beban pikiran saja.
"Kalau hanya bikin susah, buat apa dia ajak-ajak kamu," balas Bapak tidak suka, orang tua mana yang tega melihat anaknya menderita.
"Sawah bagianmu Bapak jual, ya? Masmu mau membelinya. Harganya memang sedikit lebih murah dari harga pasar. Tapi itu lebih baik, dari pada dibeli orang lain. Kan uangnya bisa kamu pakai buat beli rumah yang layak, dan buat modal usaha."
Dan aku pun menuruti usulan bapakku, meski pada awalnya kami harus terseok-seok, gonta-ganti usaha, hingga akhirnya sukses membuka warung soto.
Tapi dasar laki-laki tidak tahu diuntung! Setelah sukses dia malah menjalin cinta dengan mantan pacarnya, Freya Matilda.
Bukan pacar sih, tepatnya penggemar setia. Freya adalah idola di sekolahnya dulu, cantik seksi dan popoler di kalangan murid laki-laki, termasuk Bang Farhan.
Tetapi Freya yang cantik itu punya selera tinggi, hingga cinta Bang Farhan bertepuk sebelah tangan. Mana mau Freya pacaran dengan anak buruh tani, seperti Bang Farhan itu.
Tapi itu dulu, setelah Bang Farhan sukses, siapa yang tak tergoda? Freya yang dulu menikah dengan pengusaha kaya, diceraikan suaminya karena ketahuan selingkuh. Itu cerita yang kudegar dari temanku.
Freya bertemu dengan Bang Farhan tanpa sengaja, saat makan soto di warung kami. Freya yang tahu Mas Farhan sudah sudah sukses dan kaya, pun merayu Mas Farhan, dan terjalinlah hubungan terlarang itu.
"Maafkan Abang, Da. Abang khilaf," lirihnya saat kutunjukkan, video dan foto-foto seronoknya dengan Freya.
"Abang tega ya? Waktu Abang miskin, siapa yang setia menemani? Siap yang suport Abang sampai sukses? Freya?!" raungku, dan Bang Farhan hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Aku Bang! Aku! Istrimu!" jerit ku pilu.
"Aku minta maaf, Da. Tapi aku benar-benar mencintainya," ucap Mas Farhan pelan, tapi terdengar bagai sambaran petir di telingaku.
Istri mana yang sanggup mendengar pengakuan, bahwa suaminya mencintai wanita lain?
"Apa kamu bilang, Bang? Kamu mencintai Freya? Lalu kau anggap aku ini apa, hah?" ucapku dengan nada tinggi.
"Aku juga mencintaimu, Da. Aku mencintai kalian berdua. Aku tidak akan menceraikanmu, meskipun aku menikahi Freya nantinya," ucap Bang Farhan tanpa merasa berdosa.
"Plak!" tamparan ku mendarat di wajah Bang Farhan yang tidak mulus itu.
"Kurang ajar kamu, Bang! Laki-laki serakah, kau pikir aku apa? Benda untuk dikoleksi?!" murkaku, seraya menjambak rambut ikal Mas Farhan.
"Sakit Da, lepaskan," rintih Mas Farhan, sambil memegangi tanganku, yang berada di atas kepalanya.Tapi aku yang sudah kadung emosi, justru memperkuat cengkeramanku.
"Kau pikirkanlah nasib anak-anak, Da. Jangan egois," ratapnya, masih dengan merintih.
"Kamu bilang aku egois? Pintar sekali kau memutar balikkan fakta, Bang. Kau yang selingkuh, kau bilang aku yang egois? Apa waktu kau meniduri Freya ingat anak-anaknu, hah?!" geram ku seraya menghujaninya, dengan pukulan.
"Ampun Da, ampun ..." rintihnya.
"Pergi kamu! Pergi!" jerit ku seperti orang kesetanan.
Sejak itu hubungan kami semakin memburuk, kami tak lagi bertegur sapa, meski tinggal satu rumah. Aku pun tak perduli lagi, dengan apa pun yang dilakukannya.
Hatiku terlanjur sakit, cinta dan pengorbanan tulus ku, dibalas penghianatan. Aku tak bisa lagi berfikir jernih untuk mengambil langkah selanjutnya. Meratap kini jadi hobi baruku.
Hingga hal yang tak kuinginkan pun terjadi.
"Da, aku minta maaf atas semua kesalahanku selama menjadi suamimu," lirih Bang Farhan.
Kupikir waktu itu, dia sudah menyadari segala kesalahannya, dan bermaksud memperbaiki hubungan kami. Selama ini aku diam, berharap dia berubah, tapi nyatanya?.
"Terimalah ini, Da." Mas Farhan menyerahkan, sebuah amplop coklat berlogo pengadilan agama.
Air mataku luruh seketika, demi mengetahui isinya. Surat merah.
"Sejak hari ini kau bukan istriku lagi, kita sudah resmi bercerai," ucap Bang Farhan, datar.
"Sekali lagi aku minta maaf," ucapnya sebelum pergi dengan membawa koper besar.
Jadi selama ini dia diam-diam menggugat cerai aku? Dan dia sengaja mengalamatkan panggilan sidangnya ke warung, terang saja aku tidak tahu. "Dasar licik!" Makiku dalam hati.
Benar-benar tidak punya hati, aku yang berjuang, aku yang ditedang. Dalam tangisku aku berdoa, semoga mereka mendapat karma.
Aku menjalani hari-hari setelah bercerai tanpa semangat, untung ada Firni dan ferina,. merekalah yang menjadi penguatku, penghibur gundahku.
"Sudahlah Bu, Bapak kan sudah kawin lagi, nggak usah dipikirin," ucap Firni, anak gadisku yang belum genap tiga belas tahun.
Kalau orang lain menutupi kebusukan ayah anaknya, berbeda dengan aku. Aku biarkan anak-anak tahu kelakuan bapaknya, agar bisa jadi pelajaran untuk mereka kelak.
Dan sekarang kami sedang berusaha untuk bangkit dari keterpurukan, tiba-tiba dia datang mengibarkan bendera perang, meminta rumah ini untuk dijual.
Pasangan serakah itu tidak akan kubiarkan menari di atas penderitaan kami. Freya harus merasakan, bagaimana rasanya hidup serba kekurangan. Bukan hanya enak-enakan menikmati kesuksesan suami orang.
Bersambung ....
Jangan lupa review bintang lima, ya.
"Papa! Ngapain sih, di sana lama-lama? Papa main mata sama mantan istrimu yang kampungan itu, ya!" todong Freya, menuduhku yang tidak-tidak. Baru saja masuk rumah, aku sudah disambut dengan suara cempreng Freya. Padahal dulu sebelum menikah denganku, suara Freya begitu merdu merayu, bak bulu perindu. Kenapa sekarang berubah menjadi suara Mak Lampir? Tinggi melengking. Kemana Freyaku yang manja dan menggoda?Kalau boleh meminta, aku ingin waktu diputar kembali. Agar aku bisa memilih tidak menanggapi rayuan Freya waktu itu. Atau aku tidak pernah bertemu dengan Freya, selain matrealistis, dia sangat serakah. Semua ingin dia kuasai, bukan hanya harta, bahkan hidupku juga. Kemana-mana dicurigai. Salah sedikit segala sumpah serapah dan kutukan keluar dari mulutnya. Aku benar-benar tersiksa. "Kan ke warung dulu, Ma. Mengontrol pekerjaan anak-anak, menjelang zuhur baru sampai rumah Frida. Itu pun tidak lama, dia sibuk pekerjaannya banyak" ucapku beralasan, memang kenyataannya begitu, kan?
Pov Frida "Kalau sudah dingin langsung dibungkus aja, Mbak! Hati-hati ya, jangan sampai mesesnya berantakan," titahku pada kedua putrimu Firni dan Ferina, yang sedang membungkus donat orderan pelanggan. Beginilah kegiatan kami sehari-hari, membuat aneka kue dan cake, pesanan tetangga sekitar. Selain membuka toko, aku juga membuka usaha katering, walau kecil-kecilan. Kalau ada pesanan banyak, aku panggil tetangga sebelah untuk bantu-bantu. Kalau sedikit seperti sekarang, cukuplah kedua putriku yang membantu. Aku bersyukur, kedua anakku ini menurut, dan tak banyak menuntut. Mengerti kesulitan orang tua, mau membantuku mengerjakan semuanya, termasuk beres-beres rumah dan jualan. Tak mudah menjadi single parent, berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus. Tapi Allah maha baik, aku dikaruniai dua putri sholehah. Meski awalnya kami mengalami kesulitan ekonomi, karena Bang Farhan tak ambil peduli dengan anak-anaknya, akhirnya kami bisa bangkit, meski pelan-pelan. Aku jual semua perhiasan
"Papaaaa!" Terdengar suara lengkingan Freya, entah habis kesambet apa dia? Siang bolong gini sudah ngamuk nggak jelas. "Apaan sih, Ma. Teriak-teriak kayak di tengah hutan, ngomong baik-baik kenapa? Malu didengar orang, tuh pembeli lagi ramai," ucapku lembut, berharap bisa menurunkan nada suara Freya, yang selalu meletup-letup seperti cabai digoreng. "Huh! Benci aku sama mantan istrimu itu! Lagaknya itu sombong banget, sok intelek, padahal miskin," ucap Freya emosi. "Mama dari sana tadi? Mau minta rumah itu? Dan gagal?" tanyaku beruntun. "Iya, kok Papa tahu? Jangan-jangan Papa menjalin komunikasi dengan Frida, di belakangku ya?" tanya Frida penuh selidik. Selalu begitu dia, hatinya penuh prasangka, cemburu, dan iri dengki. Entah mengapa dulu aku bisa tergila-gila padanya? Dia memang cantik, gadis tercantik yang pernah kutemui, tapi setelah tahu sifat aslinya, aku hanya bisa menyesal, seandainya aku kuat iman waktu itu. "Farhan? Farhan Habib, kan? Anak RT 09 dekat mushola?" sapa F
"Plak!" Flatshoes Freya mendarat sejenak di kepalaku, sebelum akhirnya jatuh ke lantai. "Auw!" Aku yang terkejut hanya bisa mengelus kepalaku, tanpa bisa berbuat apa-apa. Mau marah? Itu hanya akan memicu pertengkaran. Lihatlah! Bukannya merasa bersalah, Freya malah memelototkan matanya kepadaku. "Istri durhaka!" makiku dalam hati. Iya dalam hati saja. Sekurang ajar apa pun Freya padaku, aku tak pernah bisa marah. Dia yang salah dia yang marah, aku hanya bisa menerima saja. Entah lah, punya ilmu apa dia, hingga membuatku tak berdaya"Mama, kenapa sih? Nggak sopan banget, pakai lempar sepatu ke kepala, Papa!" hardikku pelan, gak terima Freya berlaku seenaknya padaku. "Salah Papa sendiri! Pakai bilang mau kembali pada Frida segala! Coba berani ngomong sekali lagi? Aku lempar kepalamu pakai tabung gas," ketus Freya. Tuh, kan. Padahal aku ngomongnya pelan, tapi Freya justru ngegas. Gimana kalau mencak-mencak tak terima? Bisa langsung dimutilasi aku. Sadis amat ya?Freya tidak akan mera
Sejak menjadi istriku, Freya selalu mengaturku dalam segala hal, termasuk urusan warung. Padahal dulu kupikir dia lebih suka menerima duit, dari pada ikut pusing mikir jualan. "Mas, harga sotomu terlalu murah. Masak sepuluh ribu porsinya banyak gitu? Padahal Soto di Pak Gendut aja dua belas ribu, porsinya kecil," protes Freya. "Itulah kenapa warung soto kita ramai, Ma. Porsinya besar, yang makan langsung kenyang. Kalau Pak Gendut harganya segitu ya biarin aja, setiap penjual punya strateginya masing-masing. Mungkin memang rejekinya Pak Gendut, jualannya mahal tapi tetap laku. Sementara kita memang rejekinya seperti ini. Kalau kita naikan harga takut pembelinya pada lari. Setiap penjual punya pembelinya sendiri," ucapku berusaha bersikap bijak. "Tapi keuntungan kan kita jadi sedikit, kalau nggak menaikkan harga. Cobalah porsinya dikurangi, kalau tomau menaikkan harga. Emang kamu nggak pengen untung besar, apa?""Bukan begitu. Kalau porsinya dikurangi, nanti pembelinya pada lari baga
#Istri_Serakah 10Kepalaku berdenyut nyeri, mendengar penolakan dari Ibu. Wanita yang melahirkan aku tiga puluh lima tahun yang lalu itu, tidak terima waktu kuminta untuk mengurus Freya dan bayinya. "Kamu memang anak kurang ajar ya, Han! Masak orang tua sendiri kau jadikan babu, kau minta mengurus istrimu yang super manja itu," ketus Ibu. "Bukan begitu, Bu. Kalau pekerjaan lain sudah ada yang mengerjakan, hanya mengurus anak kami. Freya masih takut pegang bayi, Bu," sanggahku. "Gayanya kayak istri Sultan saja, si Freya itu. Padahal sudah beranak berkali-kali sok-sok an takut pegang bayi! Kayak yang baru melahirkan saja," ucap Ibu makin ketus. "Lagian, kenapa nggak kamu bayar orang saja untuk mengurus anak dan istrimu?" lanjut Ibu. "Duitku habis buat bayar biaya operasi, Bu," lirihku. "Ooh ... jadi kamu sudah bangkrut sekarang?" ejek Ibu. "Bukan bangkrut, Bu. Hanya saja akhir-akhir ini warung agak sepi," kilahku. "Itu namanya kamu kena azab, Han. Zolim sama anak istri, malah me
#Istri_Serakah 10Pov Frida. Ku bulatkan tekadku untuk menggugat pembagian harta bersama. Keenakan Bang Farhan, dia pergi dengan membawa semua harta kami, sedangkan aku dan anak-anak dibiarkan terlantar. Sebenarnya sudah aku tidak ingin berurusan dengan laki-laki tidak bertanggung jawab itu, bagiku lebih cepat move on, lebih baik.Tapi kedatangannya ke rumah dengan niat menjual tempat tinggalku itu, jelas membuatku meradang, tidak puaskah dia dengan semua yang dia kuasai? Ditambah lagi kedatangan istrinya yang seenak perutnya menghinaku, membuatku siap mengibarkan bendara perang?Tenang Bang Farhan, kali kau akan mendapatkan lawan yang sepadan. Jangan kau kira karena aku janda, jadi tak bisa berbuat apa-apa. Kau lupa, bapakku masih hidup, kakakku pun masih ada, aku bisa minta bantuan mereka untuk menumpasmu, tapi untuk sementara cukup hadapi aku dulu. Frida Fatmala kembang desa yang sudah menjanda. * * * * * * * *Potman Prancis and Partner's, kantor bantuan hukum. Itu yang tertu
Aku pulang dengan hati ambyar, ya ambyar. Hasil kerja kerasku dirampok anak buahku sendiri. Andai aku tidak terlalu percaya pada mereka, andai aku lebih bisa mengontrol mereka, andai Freya nggak manja dan mau aku tinggal, pasti semua ini tidak terjadi. Rutukku dalam hati. "Pa, bagi duit dong," anak laki-laki usia tujuh belas tahun itu menadahkan tangannya padaku, dia adalah Fatir, anak Freya dengan suami pertamanya. "Kan, kemarin sudah Papa kasih, kok minta lagi?" tanyaku gusar, baru juga parkir mobil di garasi, sudah ditodong pemuda tanggung itu. "Yang kemarin sudah habis buat beli bensin, Pa. Sekarang aku mau jajan," ucapnya santai. kukeluarkan uang dua puluh ribuan, dia tidak langsung menerimanya, melainkan memandang uang itu dengan tatapan merendahkan. "Dua puluh ribu dapat apa, Pa? Cilor?" ejeknya. . Tak ambil pusing dengan sikap anak tiriku, aku pun memasukan uangku kembali ke saku celanaku. Sombong bener dia, merendahkan uang dua puluh ribu, kayak yang sudah pinter nyari