"Tadinya aku tidak mau mengusik hidupmu, Bang. Tapi setelah kupikir-pikir, aku tidak mau menderita sendiri, Bang. Aku juga ingin Abang dan Freya, istri tersayang Abang itu, merasakan apa yang kami rasakan."
Frida menatapku tajam, seperti singa lapar, yang siap menerkam mangsanya. Dia menyorongkan sedikit kepalanya ke arahku, dan berkata "istrimu itu rupanya minta diberi pelajaran, Bang." Aku sampai bergidik ngeri mendengar ucapan Frida, apalagi melihat dia menyeringai begitu. Macam bukan Frida mantan istriku.
"Ma--- maksudmu apa, Da? Kamu mau mencelakai Freya? Jangan buat aku takut gitu, Da," ucapku sambil susah payah menelan ludah.
"Kau tidak usah ketakutan begitu Bang. Aku hanya memberi Freya pelajaran berhitung. Aku rasa dia waktu sekolah itu nilai matematikanya jeblok, pantas saja nggak bisa itung-itungan," ejek Frida dengan senyum sinisnya.
"Maksudmu, Da?" Aku benar-benar tidak mengerti maksud Frida. Dia bukan guru, mana mungkin memberi pelajaran matematika pada Freya?
"Hah! Kau pun ikut-ikutan bodo pula, Bang! Rumah ini pemberian bapakku, tapi kau minta. Sementara mobil, warung soto, dan uang tabungan kita sebagai harta bersama kau kuasai sendiri.
Aku nggak rela, Bang! Nggak rela! Aku mau semua aset yang ada padamu dijual, lalu hasilnya kita bagi tiga, aku, kamu dan anak-anak. Tapi setelah aku potong uang modal yang pernah Bapak berikan padamu dulu, karena itu tidak termasuk harta bersama, tapi harta pusaka. kau tidak punya hak sama sekali," jelas Frida, yang membuatku langsung kehilangan kata
Mati aku! Frida mengungkit uang pemberian orang tuanya. Dulu, awal aku menikahi Frida, keadaan ekonomi kami sangat memprihatinkan. Aku yang bekerja sebagai buruh pabrik, hanya mampu menyewa rumah petak sempit untuk tempat tinggal.
Bapak mertuaku yang tak tega melihat kami sengsara, akhirnya menjual sebagian tanahnya di kampung, diberikan kepada Frida, untuk membangun rumah dan modal usaha.
"Kau usaha jualan apalah, makanan atau apa. Kalau terus kerja di pabrik, mana cukup untuk membiayai hidup anak cucuku," begitu kata Bapak mertua waktu itu.
Aku menuruti usulan Bapak mertua, awalnya aku jualan Bakso keliling, hasilnya lumayan sih, meski tak banyak pembeli. Tapi aku merasa kelelahan kalau harus berjalan jauh menjajakan dagangan.
Lalu aku beralih profesi menjadi pedagang mie ayam. kali ini aku mengontrak dekat pasar, kupikir berjualan dekat keramaian akan membuat daganganku laris. Tapi nyatanya modal pun tak balik.
Ada yang bilang, usahaku diguna-guna pedagang lain, yang merasa tersaingi olehku. Tapi aku tidak percaya desas-desus itu, masalahnya yang jual mie ayam hanya aku. Jadi aku tak punya saingan.
Uang yang diberikan Bapak mertua habis sudah, kontrakan aku sewakan kembali pada orang lain, uangnya kugunakan untuk makan sehari-hari.
Frida yang memang pada dasarnya wanita rajin dan ulet, dia tidak membiarkan kami kelaparan. Dia berusaha jualan kue basah yang dititip di warung-warung tetangga, tapi hasilnya hanya cukup untuk makan.
Akhirnya Frida punya ide untuk berjualan soto. Dengan uang tabungan Frida, kami menyewa ruko, yang lokasinya dekat dengan perkantoran dan sekolah. Alhamdulillah... soto nya laris manis, pembelinya banyak.
Tak butuh waktu lama usahaku semakin berkembang, hingga aku membuka cabang di tempat lain. Frida yang biasa membantuku, akhirnya kusuruh di rumah saja, mengurus anak pertamaku, dan fokus pada kehamilan keduanya yang agak rewel.
"Bukankah kamu juga menikmati uang itu, Da?" lirihku.
"Memang Bang, tapi tak seberapa. Lebih banyak bagian yang kau bawa, yang kau pakai untuk menyenangkan selingkuhanmu. Aku nggak rela, Bang. Kalian hidup bahagia di atas penderitaan kami.
Sekarang kamu harus membayar semua, Bang. Sejak kau selingkuh, kau tak pernah memberi uang untuk kami, alasanmu jualan lagi sepi. Iya memang sepi. Orang kamu nunggunya di hotel, bukan di warung. Di hotel mana ada orang beli soto, Bang?
Setelah bercerai, kau pun tak menafkahi anak-anak, padahal mereka masih menjadi tanggung jawabmu. Tapi anak selingkuhanmu, kau belikan motor baru. Mana motor mahal lagi.
Semua itu akan ku tuntut di pengadilan, Bang. Termasuk perselingkuhanmu dengan Freya, akan ku tuntut kalian dengan tuduhan perzinahan, karena status kita waktu itu masih suami istri.
Aku punya semua buktinya, Bang. Transaksi keuanganmu, notifikasinya masuk ke nomorku. Aku juga punya foto dan video perselingkuhan kalian. Apa kau lupa? Freya sendiri yang datang memberikan bukti itu padaku." Panjang lebar Frida menjelaskan semuanya, hingga membuatku pusing kepala.
Tak kusangka, di balik wajah polosnya, Frida ternyata licik juga, tapi semua adalah salahku, aku bodo soal perbankan, meminta Frida membuka rekening atas namanya, hingga semua transaksi dilaporkan melalui nomor Frida.
Salah Freya juga, kepada dia bisa sebodoh itu, memberikan foto dan video mesum kami agar Frida cemburu dan menggugat cerai aku.
Padahal aku ingin menyembunyikan hubunganku dengan Freya, agar Frida tetap menjadi istriku. Tapi dasar Freya serakah, dia tidak ingin menjadi yang kedua, dia ingin istrimu menjadi satu-satunya.
"Ja--ja--jangan tuntut aku, Da. Aku janji tidak akan mengusik rumah ini lagi," ucapku gugup.
"Aku bukan orang yang suka menjilat ludah kembali, Bang." Aku mengelap keringat dingin, yang tiba-tiba membasahi keningku.
Membayangkan proses peradilan sudah membuatku stres, apalagi nanti terpaksa menerima keputusan harus membagi harta yang sudah terlanjur ku kuasai. Freya bisa ngamuk tujuh hari tujuh malam. Salah-salah aku dikutuknya menjadi batu.
"Assalamu'alaikum .... " Terdengar suara salam dari luar, menginterupsi obrolan kami. Rupanya kedua putriku sudah pulang sekolah.
"Waalaikum salam...," sahut Frida riang.
"Kok kalian sudah pulang? Jam berapa ini?" tanya Frida kemudian.
"Gurunya rapat, Bu. Kami dipulangkan," jelas Firni anak sulungku.
"Eh, ada Ayah," ucap sibungsu Ferina, kemudian mencium punggung tanganku dengan takzim, disusul kakaknya.
Kemudian mereka kembali pada ibunya, tanpa mengajakku bicara, seolah menganggapku tidak ada.
"Bu, masak apa? Kami lapar," ucap Ferina
"Sup ayam, ambil saja di meja makan!" jawab Frida, kedua bocah itu berlalu begitu saja, masuk ke dalam rumah, tanpa mengajakku makan bersama mereka.
Padahal dari tadi perutku lapar, aku juga kangen masakan Frida yang lezat dan sedap.
"Dert ... dert ...." Tiba-tiba gawaiku bergetar, tertera nama "Istriku" di depan layar.
"Papa! Jangan lama-lama di rumah janda kampung itu! Nanti kamu bisa di pelet sama dia! Pulang sekarang!" Freya langsung merepet nggak karuan, sesaat setelah panggilannya kuterima.
Selalu begitu. Dia terus cemburu pada Frida, padahal aku ke sini atas keinginannya.
"Iya Ma, Papa pulang sekarang."
Akhirnya aku pulang tanpa berpamitan pada Frida dan anak-anak, karena mereka masih di dalam, dan tak menyahut saat kupanggil dari luar.
Sudahlah, mungkin mereka lupa, kalau ada aku.
Bersambung ....
Mohon tingalkan jejak, buat nambah semangat Mamake menulis, terima kasih. Jangan lupa review bintang lima.
Istri Serakah 37 Aku hampir tak percaya dengan apa yang kulihat, tubuh kurus kering hanya tulang berbungkus kulit, lemah terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Aku hampir tak mengenali siapa dia. Ini bukan manusia, tapi mayat. Kemana Freya si cantik dan seksi? Kemana wanita yang selalu tampil modis dan menggoda? Malangnya nasibmu, Freya. Hidup terlunta-lunta, digerogoti penyakit mematikan. Tinggal di kamar sempit dengan kasur lusuh, pula. "Bu Freya, ini ada Pak Farhan," ucap petugas Dinsos yang mendampingiku, dengan suara pelan. Wajah yang tadi menengadah ke atas, dengan tatapan kosong, kini beralih menatapku. Sumpah, benar-benar seperti tengkorak hidup. Mata cekung dengan tulang pipi yang menonjol dan gigi nampak geripis. Aku sampai ngeri. Kalau tidak didampingi petugas Dinsos, pasti aku sudah lari tunggang langgang. Benar-benar menakutkan Freya ini. "Farhan." Suara Freya terdengar parau, seperti suara nenek-nenek. Mengingatkanku pada tokoh jahat "Mak Lampir". "Pak Fa
Istri Serakah 35 Lima tahun berlalu, aku masih sendiri, belum bertemu wanita yang tepat. Aku putus komunikasi dengan, Freya. Bagiku perempuan itu sudah mati, gara-gara dia aku harus memulai semua dari nol. Kabar terakhir yang kudengar, dia menikah dengan pengusaha baru bara asal Kalimantan. Seperti keinginannya untuk menikahi pria kaya, agar hidup serba berkecukupan, tanpa harus bekerja keras. Entah seperti apa nasibnya sekarang. Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu. Kalau dia kaya, pasti sombongnya nggak ketulungan. Apalagi melihat hidupku yang seperti ini, bisa bersorak menang dia. Dengan Frida, aku masih menjalin komunikasi, tapi hanya sebatas masalah anak-anak, lain tidak. Frida sudah bahagia dengan suami barunya, tidak enak kalau aku masih menjalin komunikasi secara intens. Dari pernikahannya dengan Tomi, Frida dikaruniai anak laki-laki. Lengkap sudah kebahagiaan mereka. Hubunganku dengan anak-anakku sudah membaik, mereka tak lagi bersikap canggung padaku. Mereka juga tak per
Pov Freya. "Kasihan ya? Badannya samapai kayak tengkorak hidup begitu." Sayup-sayup kudengar orang sedang bicara. "Sudah berapa lama dirawat di sini?" Terdengar suara lain menyahut. "Enam belas hari, Bu." Itu suara Suster Anisa. "Selama itu mereka hanya berdua? Nggak ada keluarganya sama sekali?""Pertama datang dalam keadaan pingsan, diantar seorang laki-laki, tapi setelah itu dia pergi dan tak pernah kembali. Sepertinya dia sengaja ditinggal, mungkin keluarganya tidak mau repot," jelas Suster Anisa. "Kok ada ya, orang setega itu? Menelantarkan keluarganya sendiri. Punya salah apa dia, sampai diperlakukan seperti itu?"Percakapan Suster Anisa, entah dengan siapa itu, membuat hatiku tercabik-cabik. Se-mengenaskan itu nasibku, sudah miskin, penyakitan, dibuang keluarga pula. Rasanya tak ada nasib yang lebih malang dari hidupku ini. Perlahan aku membuka mata, rasanya aku tak sanggup lagi mendengar mereka membicarakanku. "Bu Freya sudah bangun," sapa Suster Anisa Ramah. "Bapak da
Pov Freya. Aku terbangun di atas brangkar rumah sakit, tapi aku yakin ini bukan rumah sakit yang sama. Ruangan di sini lebih kecil dibanding ruangan sebelumnya. Aku menoleh ke samping, ada beberapa pasien yang sedang terbaring. Rupanya aku dipindah ke bangsal, ruangan yang ditempati beberapa orang. Rupanya Julian tak ingin mengeluarkan banyak uang, untuk membayar perawatan ku. Padahal dia meraup banyak untung dari menjual tubuhku. Dasar laki-laki tak punya hati! rutukku dalam hati. Tapi aku tetap bersyukur, setidaknya aku mendapat perawatan. Daripada dibuang di jalan. Laki-laki itu kejamnya luar biasa, dia bisa melakukan tindakan diluar nalar. "Mama! Mama! Mama sudah bangun?" tangan mungil milik Fadil menggoyang tanganku. "Eh iya Nak," ucapku terharu. Melihat Fadil di sisiku. Kupikir Julian membuktikan ancamannya akan menjual Fadil. "Ibu tidurnya lama, nggak bangun-bangun. Aku di sini nggak ada temannya," ucap bocah lima tahun itu dengan polosnya. "Om Julian mana," tanyaku
Akhirnya aku terpaksa melayani nafsu be jat laki-laki bernama Rudi ini. Meski tua bangka ternyata dia tangguh juga, berkali-kali aku dibuatnya tak berdaya. "Terimakasih pelayanannya cantik, kamu memang hebat. Baru kali ini aku merasa puas, tak rugi aku membayar mahal pada Julian," ucap Rudi seraya mengenakan pakaiannya. "Sama-sama, mana tip yang kamu janjikan? Kamu bilang kalau aku bisa memuaskanmu," ucapku menagih janji. "Tentu saja aku tidak lupa, ini!" Rudi mengambil beberapa lembar uang berwarna merah dari dompetnya, lalu meletakkannya di pangkuanku. Tangan yang mulai keriput itu membelai wajahku, bibir hitamnya mengecup bibirku. Aku hanya bergeming, jujur aku merasa jijik disentuh pria tua itu. Meski demi uang, aku tetap pilih-pilih pelanggan, tidak sembarangan seperti ini. "Kalau aku tidak takut istriku, sudah pasti aku akan membawamu pulang ke rumahku. Kamu benar-benar membuatku mabuk kepayang, tapi aku harus kerja. Besok aku akan datang lagi, tunggu ya?" ucap Rudi seraya
Pov Freya"Frey, itu laki-laki yang katanya pengen kenalan sama kamu," ucap Andrea. Dia menunjuk seorang laki-laki berpenampilan dandy yang sedang berjalan dari arah pintu. "Dia itu tajir melintir, pengusaha batu bara. Lagi cari istri katanya, kamu mau aja. Orang ganteng gitu, sayang kalau ditolak," ucap Andrea lagi. "Iya sih dia ganteng dan kaya, tapi apa dia mau sama aku? Sudah hampir kepala empat ini," sanggahku. "Ya nggak pa-pa, kan? Biar sudah berumur kamu masih terlihat cantik dan seksi, kok?" ucap Andrea menyemangatiku. "Aku cuma nggak PD aja, laki-laki tampan dan mapan kayak dia bisa cari perempuan model apa saja. Bahkan gadis perawan bisa dia dapatkan, sekarang itu yang penting kan uang. Masa iya dia mau sama aku, yang sudah mau expired ini? Tentu saja aku tidak percaya begitu saja omongan Andrea. Mau secantik apapun aku, tetap lebih lebih menarik gadis muda. Lebih sekel, lebih ranum. Mana aku sudah punya buntut lagi. Rasanya kok nggak masuk akal. "Dia sendiri yang mint