Brakkk!
Dokter Rasyad menggebrak meja sangat keras sampai dada Aya dan Dewi tersentak. Di ruangan itu hanya ada tiga orang, dokter Rasyad berdiri frustrasi dengan keadaan yang terjadi. Sedangkan Aya dan Dewi duduk tegang menyaksikan kemarahan direkturnya itu.
“Apa kalian sudah benar-benar gila? Kepalanya penuh darah dan kalian malah menyuruhnya pulang?!” sentak dokter Rasyad semakin tinggi saja nada bicaranya.
“Saya tidak melihat tanda-tanda pembengkakan pembuluh darah di kepalanya, Dok.”
Dokter Rasyad ternganga mendengar pembelaan Aya. Apa barusan dia tidak salah dengar?
“Bagaimana bisa ada seorang dokter yang mengatakan hal konyol seperti itu? Kamu sadar dengan apa yang barusan kamu katakan, hah?! Itu semakin menegaskan bahwa omongan orang-orang itu benar. Kamu dokter yang tidak profesional dan tidak becus dalam bekerja. Salah diagnosis pasien di saat rekanmu mengatakan bahwa kondisi penyakitnya serius tapi dengan enteng kamu mengatakan bahwa kondisinya baik-baik saja?!”
Aya diam saja, dia berusaha menegarkan diri agar tidak menangis di hadapan atasannya dan Dewi. Hancur harga dirinya jika hal itu terjadi. Sementara Dewi menoleh dengan tatapan miris. Benar-benar tidak tega melihat Aya dihina dan diremehkan. Namun Dewi juga tidak punya kuasa apa-apa. Dia tidak mungkin membela Aya sekarang karena posisinya Aya memang salah dan nasib mereka sebelas dua belas.
“Maafkan saya, Dok, saya mengaku salah.”
“Memang sudah sepantasnya kamu merasa bersalah, Rayasa. Huhh, baiklah, saya akan memberhentikan kalian sementara waktu. Serahkan kartu nama kalian!”
Aya dan Dewi melotot bersamaan, tidak menyangka dengan keputusan tiba-tiba dokter Rasyad. Mereka tidak boleh berhenti kerja karena minggu depan mereka sudah dijadwalkan untuk mengoperasi pasien VIP. Itu kesempatan emas dan langka yang sudah mereka nantikan selama ini, karena hanya orang-orang prestisius yang bisa menangani pasien dari bangsal VIP.
“Tapi Dok, bagaimana dengan operasi pak Santoso? Saya termasuk dalam tim operasi itu,” ungkap Aya keberatan.
“Kamu masih bisa memikirkan operasi pasien lain di saat ada pasien yang nyaris mati karena kecerebohanmu? Jangan terlalu tinggi hati Rayasa, saat ini komite etik sedang sibuk membicarakan tentang pemecatanmu karena tindakan gegabah itu. Saya tidak ingin banyak memarahi kalian. Lebih baik sekarang kalian bersiaplah untuk proses di pengadilan.”
“Pe-pengadilan?” Dewi tergagap, mendadak panik. Kenapa urusannya jadi sampai ke pengadilan?
“Sebaiknya kalian banyak berdoa mulai sekarang, keluarga pasien sudah mengajukan tuntutan ke pihak berwajib karena masalah ini. terutama kamu Rayasa, mereka melimpahkan semua kesalahan padamu karena kondisimu dipengaruhi alkohol saat memeriksa pasien itu.”
Dokter Rasyad menutup forum dengan meninggalkan ruangan pribadinya begitu saja. Tidak peduli jika kedua juniornya masih ada di sana. Tengah bergeming meratapi nasib buruk yang mereka alami.
***
“Emang enggak ada otak tuh keluarga pasien, kenapa semua masalahnya jadi dilimpahin ke gue coba?” amuk Aya terus mendumel untuk sekadar menenangkan perasaannya yang saat ini kalang kabut.
“Setelah pasien itu koma lo masih ngerasa bener, Ay?” tanya Vincent—karib Rayasa yang berprofesi sebagai pengacara.
Satu hari setelah pemecatan sementara oleh dokter Rasyad, Aya langsung mendatangi firma hukum tempat Vincent bekerja. Aya ingin meminta bantuan pria itu dalam menghadapi kasus yang tengah menjeratnya. Aya percaya pada Vincent bahwa dia bisa menjadi penyelamat kariernya. Vincent berusia 30 tahun, pengacara yang sudah cukup terkenal dengan kemenangan mutlak di setiap kasus klien yang ditanganinya. Pamor Vincent memang secemerlang itu makanya Aya yakin bahwa kali ini Vincent juga bisa menuntaskan kasusnya dengan cepat.
“Bukan begitu Vin, hanya saja gue merasa ini semua enggak adil. Kenapa hanya gue yang didakwa? Jelas gue datang ke sana malam-malam buat gantiin si Rustan, itu pun atas persetujuan dokter Rasyad. Niat gue baik mau nolongin itu pasien. Kalau gini caranya air susu dibalas air tuba, sial!”
Mata Vincent masih terfokus pada berkas-berkas di tangannya. Dia sedang mempelajari kasus Aya dengan teliti. Membaca setiap tuntutan yang diajukan pihak keluarga korban pada temannya itu.
“Menurut gue dalam kasus ini tetap elo yang salah, Ay. Dari sisi hukum sebenarnya berat banget buat lo menangin kasus ini di pengadilan. Salah mendiagnosis penyakit pasien, memulangkan pasien secara paksa, melakukan praktik dalam kondisi mabuk. Secara etika kedokteran tidak ada satu pun dari tindakan lo bisa dibenarkan. Apalagi sekarang korban dalam kondisi koma. Elo bukan cuma terancam diberhentikan sementara Ay, tapi kemungkinan besar lisensi dokter lo bakal dicabut permanen. Dan kalau keluarga korban tetap melayangkan tuntutan itu lo juga terancam kena pidana.”
Rayasa yang semula menggebu-gebu sontak bungkam. Dia bergeming sesaat, sungguh sebenarnya Rayasa juga paham akan hal itu. Terlalu banyak kesalahan yang dia lakukan dan itu akan sangat memberatkan dirinya dalam pengadilan nanti. Aya terus menerus bersikap denial semata-mata untuk meyakinkan dirinya bahwa dia masih memiliki kesempatan untuk mempertahankan karier kedokterannya.
“Terus gue harus apa sekarang, Vin? Apa yang harus gue lakukan biar gue enggak dipenjara dan lisensi dokter gue tetap aman?”
“Satu-satunya solusi adalah membujuk keluarga korban buat mencabut tuntutannya buat lo. Kasus peradilan akan diberhentikan kalau itu terjadi dan nanti kita cari solusi lain biar lisensi dokter lo tetap aman.”
Aya mengembuskan napas berat, pikirannya saat ini benar-benar kacau. Kenapa tidak ada satu pun sesuatu dalam hidupnya yang berjalan lancar? Selalu saja ada masalah seperti ini. Apa jangan-jangan gadis itu terkena kutukan?
“Lo udah ngasih tahu bokap lo tentang masalah ini, Ay?” Vincent menatap iba temannya itu.
Aya menggeleng lemah, ia kemudian mengempaskan punggungnya ke sandaran sofa.
“Masalah ini bakal merembet ke mana-mana Vin kalau dibiarin gitu aja. Bokap gue pasti marah besar kalau sampai tahu, apalagi kan sekarang masa kampanye. Bisa gagal total pencalonannya kalau media tahu gue kena masalah begini.”
“Bener sih, tapi lo juga enggak mungkin menghadapi masalah ini sendiri, Ay. Selain gue, lo butuh sokongan orang tua lo. Elo bilang biaya perawatan pasien itu diembankan ke elo dan lo juga bahkan bertanggung jawab buat membiayai kehidupan keluarga pasien sampai pasien itu benar-benar sembuh. Lo perlu uang banyak buat itu semua.”
“Jangan ingetin gue tentang masalah itu, Vin. Kepala gue mau meledak rasanya kalau inget itu. Mana sekarang gue lagi jobless, tabungan gue udah tipis bahkan nyaris kempes. Paling cukup buat satu atau dua bulan ke depan.”
“Mau enggak mau lo harus nyari kerja lagi sih, Ay, sambil menunggu keputusan dari rumah sakit tentang pemberhentian lo.”
“Nyari kerja di mana, Vin? Lo pikir ada rumah sakit lain yang mau menerima dokter bermasalah kayak gue? Dan lagi kalau kerja biasa duitnya juga bakal lama terkumpul, keburu dipenjara gue kalau gitu caranya.”
Vincent bergeming, sibuk dengan pikirannya sendiri. Sebenarnya Vincent punya solusi untuk masalah keuangan Aya ini. Hanya saja dia tidak yakin apakah ia harus memberitahukan tentang ini atau jangan. Masalahnya solusi yang akan ditawarkan Vincent memiliki risiko yang sangat besar. Jika Vincent menawarkan hal itu pada Aya, kesannya seperti Vincent sedang menjerumuskan sahabatnya itu pada lembah hitam. Oh, dia jadi bimbang sendiri.
“Apa gue jual diri aja gitu, Vin?”
“Jangan gila lo!” sentak Vincent tampak keberatan.
“Abisnya gimana lagi? Gue bener-bener udah kehabisan ide, Vin. Capek banget gue mikirin masalah ini. Gue juga butuh banyak uang bukan cuma buat membiayai pasien itu tapi buat kebutuhan pribadi gue. Pokoknya sebisa mungkin gue harus bisa menghasilkan duit sendiri untuk masalah ini. Jangan melibatkan kedua orang tua gue. Kasihan mereka.”
“Gini Ay, sebenarnya gue ada satu solusi buat menyelesaikan masalah keuangan lo ini. Cuma gue enggak yakin apakah ini ide bagus atau enggak,” kata Vincent akhirnya. Dia tidak ingin sahabatnya melakukan hal gila apalagi sampai jual diri.
“Kalau ide itu datang dari lo, gue yakin pasti bagus, Vin. Cepat katakan, apa idenya?”
Mata Aya berbinar antusias, dalam kondisi tak punya pilihan seperti ini segala hal harus gadis itu lakukan.
“Lo yakin mau melakukannya, Ay?”
“Iya asal uangnya gede apa pun mau gue jabanin, deh. Jadi apa kerjaannya?”
“Gue punya temen kuliah, dia anak orang kaya gitu, usianya cuma beda beberapa bulan sama gue. Nah, dia itu lagi butuh cewek buat menjalankan misi rahasia gitu. Dia bakal bayar mahal kalau cewek itu mau dan berhasil menyelesaikan misinya.”
“Hah, misi apaan? Siapa cowoknya?”
“Kalau elo tertarik dan pengen tahu lebih banyak nanti gue atur janji temu antara kalian. Ini intinya elo mau enggak?”
“Ini sih enggak ada bedanya kayak gue jual diri dong Vin?”
“Emang sih kesannya sama tapi gue yakin bakalan beda, kok. Dia temen deket gue pas kuliah, bisa dibilang sohib lah kayak lo gitu. Dia juga orangnya amanah kok, selalu menepati janji. Minusnya emang agak cuek sih orangnya tapi pada dasarnya dia baik.”
“Hm, menarik tuh, kira-kira berapa duit yang bisa gue dapetin dari dia?”
“Dia bisa bayar lo lima milliar kalau misinya sukses.”
Mata Aya langsung melotot mendengar nominal sebesar itu.
“Sumpah demi apa lo, Vin? Dia berani bayar setinggi itu?” Aya masih sedikit tidak percaya, sekaya apa sebenarnya teman Vincent ini sampai berani mengeluarkan nominal uang sebanyak itu?
“Iya, gue enggak bohong, bahkan kalau semisal lo mau nego lebih tinggi juga bisa. Yang paling penting kerja lo bagus dan tujuan dia tercapai, yakin sih gue elo mau minta sepuluh miliar juga bakal langsung dikasih.”
“Bawa gue ke cowok itu secepatnya, Vin, gue mau, gue mau apa pun pekerjaan dan misinya gue mau kerja sama dengan temen lo itu!” putus Aya tanpa pikir panjang.
Menurutnya ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan.
“Oke, nanti gue hubungi teman gue biar kalian bisa ketemu. Semoga berhasil ya, Ay.”
“Aamiin, makasih Vin.”
"Mila, apa yang membawamu ke sini malam-malam, Nak?"Ratna menyambut anaknya dengan panik, tidak biasanya Mila berkunjung tanpa memberitahu terlebih ini sudah sangat malam. Mana di luar hujan cukup deras. "Aku mau menginap di sini, Ma.""Apa yang terjadi? Apa kamu diusir sama Alister dan si pelakor itu? Kurang ajar, berani-beraninya mereka melakukan ini terhadapmu. Ini tidak bisa dibiarkan, Mama harus membuat perhitungan kepada mereka."Dengan menggebu-gebu Ratna berniat menelpon Alister namun segera Mila mencegahnya. "Please, Ma, jangan melakukan sesuatu yang enggak aku minta. Aku datang ke sini cuma pengen istirahat dengan tenang dan menyegarkan pikiranku. Soalnya aku lagi mumet banget.""Iya, kamu kayak gini pasti gara-gara si Rayasa itu, kan?"Mila memejam jengkel, sungguh kali ini dia sedang tidak ingin berdebat dengan siapa pun. Kenapa mamanya tidak mau mengerti akan hal itu? Hari ini sudah terlalu berat bagi perempuan itu. Melihat kebersamaan Rayasa dengan Alister yang semaki
Sekitar empat puluh menit waktu yang ditempuh Alister dan Rayasa untuk tiba di tempat tujuan. Sebuah restoran bergaya klasik yang memiliki lima lantai. Mereka masuk ke sana dan melakukan reservasi dadakan, untungnya masih bisa karena weekday sehingga tamunya tidak begitu banyak. Aya memilih table yang ada di rooftop, sepertinya suasana di sana akan sangat menyegarkan jika dinikmati saat malam. Terlebih malam ini bentangan langit menampakkan wajah ceria. Malam tidak terlalu pekat karena sinar rembulan bersinar terang, bentuknya pun bulat sempurna. Di pinggirannya bertabur kelip bintang seakan menyemarakkan pemandangan cakrawala malam ini."Indah sekali," gumam Aya yang terus mendongak sambil menyapa bintang-bintang dengan senyum manisnya.Mereka sudah berada di tempat duduk yang ada di area rooftopp. Area ini didesain sedemikianrupa untuk menciptakan nuansa yang akrab dan romantis. Kursinya menggunakan sofa empuk berlapis bahan beludru atau linen premium, dengan bantal-
"Apa katamu? Dipermalukan?" respon Alister saat mendengar penjelasan Vincent tentang Rayasa."Iya, istrimu tadi cerita padaku, katanya dia dimarahi dan disiram oleh putri dari pak Tanto. Dari semua keluarga korban, memang anak-anak pak Tanto yang belum bisa menerima maaf Aya. Mereka keras kepala sekali.""Apa semua biaya yang diperlukan untuk keluarga korban sudah dibayarkan?""Sejauh yang aku tahu sudah, bahkan Aya berniat untuk memberikan beasiswa kepada kedua anak pak Tanto. Bagaimana pun sekarang ayah mereka koma dan itu tentunya berpengaruh terhadap kondisi keuangan keluarga.""Berapa total keluarga inti mereka?" Alister masih duduk di kursinya, perhatiannya sedikit terusik ketika membahas kasus Aya. Padahal sebelumnya Vincent sudah mengajak pria itu berbincang banyak hal namun tidak pernah benar-benar ditanggapi. "Jumlah anggota keluarganya ideal, pak Tanto dan Bu Ratmi punya dua anak. Satu perempuan yang masih SMA, dan satunya lagi laki-laki. Dia masih kuliah, katanya sekaran
Prangg!!!Tempat makan berserakan menumpahkan isinya tepat di bawah kaki Rayasa, perempuan itu nampak tidak terkejut. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi, mendapat penolakan dari keluarga korban mal praktik yang sampai saat ini masih belum bisa menerima kejahatan yang dilakukan Rayasa. Selamanya apa yang dilakukan dokter itu akan menjadi luka terdalam bagi keluarga korban. Sebenarnya tadi Vincent sudah melarang Rayasa untuk tidak datang dulu, namun Aya tidak bisa ditentang. Dia tetap ingin menjenguk meski tahu akan ditolak mentah-mentah. "Untuk apa kamu datang ke sini? Kamu belum puas sudah membuat ayahku jadi mayat hidup seperti itu?" "Tenangkan dirimu, Sari, jangan buat membuat kekacauan ini. Ingat, kita sedang di rumah sakit," tegur Ratmi, istri dari korban mal praktik yang aya lakukan."Aku muak melihatnya Bu, lihatlah wajahnya. Tidak ada sedikit pun rasa penyesalan meskipun dia sudah membuat ayah koma seperti sekarang. Lebih sial lagi karena dia masih bisa berkeliaran bebas
"Rayasa," panggil Mila ketika Alister sudah tidak ada di rumah. Pria itu berangkat ke kantor sejak satu jam lalu, perlu waktu lumayan lama bagi Mila untuk memberanikan diri bicara empat mata dengan madunya ini. Sejak kedatangan Aya di rumah itu, hati Mila kerap berkecamuk. Ia membenci kondisi ini. Ingin rasanya mengusir perempuan yang sudah merusak rumah tangganya dengan Alister. Ya, bagi Mila, Rayasa tetaplah pelakor tidak tahu diri yang menjadi duri dalam kehidupannya dengan Alister. Meskipun sejak awal hubungan Mila dan Alister tidak pernah baik-baik saja. Kehadiran Rayasa semakin memperkeruh segalanya."Iya, Mbak, kenapa?""Jangan memanggilku seperti itu. Kamu tidak perlu bersikap sok baik di depanku, Rayasa."Aya mengerutkan kening, sepertinya sesi uji mental sebagai istri kedua Alister Byantara sudah dimulai. "Aku hanya berusaha bersikap sopan pada istri pertama suamiku, apa itu salah?""Sejak awal kedatanganmu ke rumah ini adalah sebuah kesalahan. Apa kamu tidak punya malu?"
Matahari bersinar di luar sana, pagi datang dan menyapa sejoli yang masih saling berpelukan di atas ranjang besar milik Alister. Rayasa yang paling awal membuka mata, ia menggeliat kecil namun tak seleluasa biasanya karena gadis itu merasakan ada sebuah tangan yang mengukungnya. Begitu mendapat kesadaran penuh, alangkah terkejutnya Rayasa dengan posisinya dan Alister saat ini."Ahhh, heh apa yang kau lakukan padaku?"Alister terbangun dengan telinga yang agak pekak karena teriakan Rayasa yang melengking."Apa, kenapa teriak pagi-pagi?""Kenapa kau memelukku?""Mana kutahu."Aya bangkit, duduk bersila sambil memangku tangan. Tatapannya tajam mengintimidasi. Persis seeperti serigala buas yang siap menerkam lawannya."Kamu tidak usah bohong! Semua ucapanmu tidak bisa dipegang. Kadang kau bilang A, semenit kemudian B, besoknya bisa Z."Alister menopang kepalanya dengan tangan kanan, menatap Aya tanpa kedip hingga membuat perempuan itu salah tingkah."Apa lagi? Kenapa kau menatapku seperti