Share

Awal Dari Segalanya I

Dentum musik mengentak indra pendengaran semua pengunjung di tempat itu. Merayu tubuh mereka untuk ikut melenggak-lenggokkan tubuh mengikuti irama musik. Semakin kelam langit di luar sana maka semakin meriahlah tempat yang sering dinobatkan sebagai surga dunia bagi para penikmatnya. Aya adalah salah satu penikmat surga dunia itu. Dia asyik melarutkan diri dalam kerumunan orang yang sebagian besar sudah kehilangan setengah kesadaran karena alkohol.

Tentu Aya pun tidak mau ketinggalan, dia sudah meneguk dua gelas whisky sebelum terjun ke area dansa. Minuman yang cukup membakar semangat dan adrenalinnya untuk bersenang-senang malam ini. Sejenak perempuan itu ingin melepas semua beban pekerjaan yang semula memberatkan kedua pundaknya.

“Boleh aku bergabung cantik?” tanya seorang pemuda yang sudah memperhatikan Aya sejak tadi.

Laki-laki itu tertarik mendekati Aya karena penampilan dan performa Aya yang sangat berani tampil. Rok pendek ketat, kemeja dengan tiga kancing atas terbuka yang memperlihatkan sedikit belahan dada membuat pria itu bergetar. Aya benar-benar sangat menggodanya.

“Silakan saja, kenapa harus izin sama gue?” ujarnya masih sibuk melompat-lompat.

Laki-laki itu tersenyum senang, ia berpindah ke belakang Aya dan sebisa mungkin mengikis jarak dengan gadis itu. Aya sama sekali tidak berontak, meskipun jarak si laki-laki sudah sangat menempel dengan bagian tubuhnya, dia tetap saja asyik menari. Seolah memberi respons positif, laki-laki itu juga berpikir bahwa Aya pun sama mendambakan sentuhannya.

“Kamu seksi banget, Sayang,” bisik laki-laki itu lagi, Aya tak memedulikannya.

Si laki-laki mengembangkan senyum semakin lebar, dengan segala sinyal persetujuan yang Aya pancarkan, akhirnya laki-laki itu memberanikan diri meraba area bokong Aya dan meremasnya. Detik itu juga pergerakan Aya terhenti. Ia menyikut perut si pria dengan gerakan cepat lalu Aya berbalik dan menendang tepat di area pusaka laki-laki itu.

“Hugg!” ringis laki-laki itu, linu sekali sepertinya usai Aya menyerang pusat keperkasaannya.

“Ahhh ... shit! Gue ke sini buat senang-senang bukan buat digrepe-grepe sama orang mesum kayak lo!” maki Aya menunjukkan kepalan tangan siap meninju.

“Sakit anjing! Jalang sialan!” maki laki-laki itu yang sudah terjerembap di lantai hingga membuat sedikit kekacauan. Orang-orang di sekitar mereka yang semula sibuk menari menghentikan aksinya sejenak.

“Elo yang sialan! Kalau sange cari lonte sana, jangan malah ngusik gue. Enggak punya uang ya lo sampai mau lecehin orang sembarangan.”

Mulut Aya kalau sudah memaki memang suka lost control, apalagi jika menghadapi spesies jenis maniak ini. sudahlah, semua bahasa tak pantas akan keluar tanpa saringan.

“Ada apa ini?!” tanya manajer tempat itu masuk ke area kerumunan disertai dua bodyguard untuk mengamankan keadaan.

“Bawa dia ke kantor polisi gih, Pak. Itu orang cabul!” lapor Aya dengan penuh emosi.

“Maaf atas ketidaknyamanan ini, Mbak. Kami akan segera mengurus masalah ini secepatnya,” kata manajer kelab malam itu lalu menyuruh dua bodyguard-nya untuk mengamankan laki-laki tadi yang masih meringis kesakitan sambil memegangi area kelaminnya.

Aya mendecih kesal, mood-nya untuk bersenang-senang sudah hilang. Gadis itu memutuskan untuk keluar dari kelab, dia berjalan seorang diri ke parkiran. Masuk ke mobil Audie merah metalic. Kesadaran Aya masih sangat terjaga sekalipun tadi sempat meneguk alkohol. Gadis itu berencana untuk langsung pulang. Namun di tengah perjalanan, tiba-tiba dia mendapat panggilan bahwa Aya harus ke rumah sakit karena ada pasien kritis.

“Kenapa lo malah manggil gue Dewiii? Sekarang kan jadwal jaganya elo sama si Rustan. Suruh dia buat menangani pasien itu.”

“Gue enggak bakal menghubungi lo Ya kalau si Rustan ada di tempat. Itu orang kagak tahu ada di mana, ayolah ini darurat banget. Tega lo sama gue nanganin pasien sendirian semalaman ini?”

“Gimana kondisi pasiennya sekarang?”

“Pas datang ke sini Bapaknya meraung kesakitan sambil megangin kepala. Berdasarkan keterangan keluarganya, si Bapak memang sudah cukup sering mengalami kondisi serupa sejak dua tahun lalu pasca ia melakukan MVR. Katanya juga rentang satu minggu ke belakang adalah yang terparah. Dan mungkin hari ini puncaknya, pasien itu tidak berhenti meraung kesakitan sejak tadi sore,” Dewi menjelaskan dengan detail.

Sementara Aya menancap pedal gas hingga laju mobilnya mencapai kecepatan maksimal sambil terus berkomunikasi dengan Dewi. Walau malas luar biasa tapi entah mengapa hati kecil gadis itu sudah mengiyakan permintaan Dewi sejak detik pertama temannya itu meminta bantuan.

“Ck, gue harus lapor dulu ke dokter Rasyad, kalau dia setuju baru gue ke sana.”

Dokter Rasyad adalah senior sekaligus direktur di rumah sakit itu. Semua prosedur dan tindakan untuk keadaan darurat seperti ini harus melalui persetujuan darinya terlebih dahulu.

“Tadi gue udah menghubungi dokter Rasyad. Beliau marah besar karena sampai detik ini si Rustan belum bisa dihubungi. Dia nyuruh gue buat cari dokter pengganti yang siap. Satu-satunya yang bisa nolong pasien ini cuma lo, Ya. Takutnya kondisi pasien ini harus dibedah atau apa kan gue gak bisa.”

Dewi adalah dokter umum yang kebetulan malam ini kebagian jaga di UGD. Sebenarnya dia tidak sendiri, ada Rustan yang merupakan dokter spesialis bedah untuk menemaninya. Saat Rustan masih ada di tempat, kondisi UGD aman-aman saja. Pria itu mengeluhkan bahwa dirinya sangat mengantuk sehingga dia meminta izin pada Dewi untuk ke pantry dan minum kopi terlebih dahulu. sudah dua jam berlalu sejak kepergiannya, dokter itu tak kunjung kembali. Entah ke mana perginya.

Yang lain pada enggak bisa dihubungi, heran banget gue.”

“Astaga ...,” Aya memejam jengkel, “Oke, sepuluh menit lagi gue tiba di sana,” putus Aya pada akhirnya.  

Sepuluh menit kemudian Aya sudah tiba di rumah sakit tempatnya bekerja. Dia telah berganti pakaian kemudian masuk ke ruang UGD. Dewi menyambut kedatangan Aya dengan ekspresi lega.

“Untung lo cepet datang Ya, ayo sini,” kata Dewi bergegas menuju bangsal pasien yang tadi dia ceritakan pada Aya.

“Lo udah cek catatan medisnya?” tanya Aya setelah melihat kondisi pasien itu.

Dewi terlihat menggeleng sambil menunjukkan cengiran bodoh. Oh, Aya kesal melihatnya.

“Lo bahkan belum mengeceknya langsung dan malah panik sendiri dari tadi?”

“Gue udah sempet meriksa Ya, Cuma gue masih enggak yakin sama hasil diagnosis gue makanya gue minta bantuan dokter spesialis saraf buat melakukan pemeriksaan lanjutan. Hasil tesnya masih belum keluar makanya gue memutuskan lapor ke pak Rasyad. Takutnya pasien itu harus melakukan prosedur bedah malam ini juga. Sedangkan si Rustan ngilang kayak tuyul, bangsul emang itu orang.”

Tidakkah Dewi sadar jika apa yang dilakukannya sejak tadi hanya membuang-buang waktu? Mungkin bagi Dewi apa yang dilakukannya adalah sebuah kehati-hatian, dia merasa dirinya bukan ahli makanya dia meminta bantuan dokter lain untuk memastikan. Namun di mata Aya, apa yang dilakukan Dewi adalah sebuah kesia-siaan.

“Mana rekam medisnya?”

Tangan Aya menengadah menunggu Dewi segera menyerahkan rekam medis pasien itu kepada Aya.

“Ya, bu-buat apa?” tanya Dewi tiba-tiba gugup.

“Pertanyaan bodoh lo tuh ya, sini biar gue yang tangani pasien ini.”

Karena Dewi tak kunjung menyerahkannya, Aya pun merebut paksa rekam medis itu lalu membubuhkan tanda tangannya di sana.

“Ya, jangan buru-buru juga, sebaiknya kita menunggu hasil tes dari dokter spesialis saraf biar semuanya lebih jelas. Gue manggil lo ke sini cuma buat jaga-jaga aja, takutnya harus ada tindakan bedah gitu.”

“Kenapa harus menyerahkan pasien MVR ke ahli bedah saraf? Lo pikir gue enggak bisa menangani pasien ini? Apa menurut lo gue enggak sebaik dokter Sarah?” sengit sekali respons yang diberikan Aya.

Lagi-lagi Dewi salah. Aya memang suka agak sensitif kalau dibanding-bandingkan dengan Sarah. Si dokter spesialis bedah saraf yang sangat populer dan menjadi andalan dokter Rasyad di rumah sakit itu. Dalam berbagai hal mereka adalah rival abadi. Sialnya, Sarah selalu satu langkah lebih depan dibanding Aya. Dan dia tidak mau hal itu terjadi lagi kali ini. Aya akan membuktikan bahwa dirinya juga dokter bedah hebat, bahkan lebih hebat dari Sarah.

Dewi tidak bisa menghentikan Aya, walau perasaan waswas dan takut terus menyerangnya tapi dia berusaha percaya pada keputusan Aya. Dokter 29 tahun itu melakukan pemeriksaan lanjutan setelah memberikan suntikan pereda rasa sakit. Upaya itu berhasil karena sekarang kondisi pasiennya sudah jauh lebih tenang dan tidak meraung-raung lagi. Aya mencatat semua gejala yang dialami pasien itu dalam rekam medis. Dia juga sudah menyimpulkan penyakit apa yang diderita pasien itu.

“Dew, panggil keluarga pasiennya.”

Dewi mengangguk, segera keluar ruangan UGD dan memanggil keluarga pasien yang terdiri dari istri dan anak laki-laki pasien itu.

“Bagaimana kondisi ayah saya, Dok?” tanya seorang pemuda panik luar biasa.

“Ayah Anda baik-baik saja, saat ini kondisinya sudah jauh lebih stabil. Anda sudah bisa membawanya pulang sekarang.”

Dewi langsung menoleh cepat, kaget saja dengan keputusan Aya yang menurutnya janggal. Dari pemeriksaan Dewi pasien itu jelas memiliki luka yang parah dan kemungkinan harus menjalankan operasi. Lantas kenapa Aya mengatakan bahwa pasien itu sudah baik-baik saja?

“Apa tidak akan ada masalah jika ayah saya langsung dibawa pulang sekarang? Dia tidak harus dirawat inap atau semacamnya?” pemuda itu pun merasa ragu dengan keputusan Aya mengingat betapa kesakitan ayahnya jika sedang kambuh.

 “Benar Dok, suami saya sangat menderita jika penyakitnya sedang kambuh. Apa setelah ini penyakitnya tidak akan kambuh lagi? Sebenarnya dia sakit apa, Dok?” kini giliran istri pasien yang menuntut penjelasan Aya.

“Penyakit suami Anda tidak begitu serius, Bu. Hanya sakit kepala biasa yang bisa diredakan dengan obat yang saya resepkan. Anda bisa menebusnya ke bagian farmasi,” jelas Aya mantap, tidak tampak sedikit pun keraguan.

“Apakah penyakitnya tidak akan kambuh lagi hanya dengan mengonsumsi obat?”

Anak pasien itu sangat kritis bertanya. Mencecar Aya beberapa kali dengan pertanyaan yang sama. Oh Aya benci perasaan diragukan seperti ini. Kenapa semua orang di rumah sakit itu selalu memandang kemampuan Aya sebelah mata?

“Tidak ada kelainan dalam check up, dalam hal ini syok atau kelelahan bisa menjadi penyebab kekambuhannya. Anda pastikan saja ayah Anda mendapatkan waktu istirahat yang cukup dan jangan bekerja terlalu berat dulu.”

Setelah menegaskan hal itu Aya pamit pada keluarga pasien. Karena sudah mendapat kepastian yang cukup meyakinkan akhirnya keluarga pasien itu membawa pulang sang pasien sesuai arahan Aya.

“Lo yakin kondisinya stabil Ya sampai dibolehin pulang begitu?”

Dewi bertanya usai pasien dan keluarganya benar-benar meninggalkan UGD.

“Lo juga enggak percaya sama gue, Dew?”

“Bukan begitu Ay, cuma aneh aja masa sakitnya separah itu bisa sembuh cuma dengan mengonsumsi obat.”

“Udah, jangan rewel, percaya aja sama gue enggak akan ada masalah kok.”

“BTW, gue baru sadar mulut lo bau alkohol, njir. Dari tadi lo ngomong sama keluarga pasien dalam kondisi mulut lo bau kayak gini?” kaget Dewi.

“Iya juga ya, ya udah lah enggak apa-apa  udah telanjur juga. Lagian tadi mereka enggak mempermasalahkan ini kok.”

“Emangnya lo abis dari mana, sih? Lo mabuk dari tadi?”

“Abis clubing, gue emang sempet minum whisky tadi tapi gue sadar 100% kok.”

“Astaga Rayasa ... lo gila?! Bisa-bisanya meriksa pasien setelah minum alkohol. Cari mati sih lo  kalau dokter Rasyad tahu bisa mati lo!”

“Makanya dia jangan sampai tahu. Jaga rahasia ini rapat-rapat, oke?”

Aya menepuk pipi Dewi dua kali lalu dia beranjak meninggalkan temannya itu.

“Huhh ... semoga beneran enggak ada masalah,” doa Dewi harap-harap cemas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status