Share

Istri Simpanan Sang CEO
Istri Simpanan Sang CEO
Penulis: Roesaline

1. Pertemuan Yang Tak Terduga

"Awas, Nek!" 

Ishita menjerit dan mendorong seorang nenek yang sedang menyeberang jalan.

Bragk! Ishita tertabrak dan jatuh terguling di atas jalan aspal. Dia tak sadarkan diri.

Masyarakat berkerumun mulai menolongnya. Ada beberapa pemuda geram dengan ulah sopir yang mengebut.

"Turun kamu! Tadi kamu nyetir sambil main telpon kan?" hardik salah seorang.

"Dia perempuan!" seru yang lain.

"Ayo turun, atau kita hancurkan mobil ini! Tanggungjawab dong!" sahut yang lain lagi.

"Iya saya tanggungjawab, jangan main hakim sendiri dong!" ketus sopir wanita itu. "Bawa dia masuk ke mobilku, aku akan bawa dia ke rumah sakit!" lanjutnya lebih ketus lagi.

Mereka membantu Ishita masuk ke mobil dan dua orang sedang menemaninya.

Sesampai di rumah sakit sopir cantik yang bernama Intan itu berteriak,

"Dokter ... Suster ...!" 

Dua orang perawat datang dengan membawa brankar. Dengan hati-hati Ishita dipindahkan ke brankar dan bergegas mendorong ke ruang tindakan. Di dalam dokter sedang menanganinya.

Tak lama perawat memanggil," Keluarga pasien!"

"Iya saya." Intan menjawab dengan tegas sambil berjalan menghampiri perawat.

"Ditunggu dokter di dalam, Bu!" ujar perawat.

"Baik," jawabnya sambil berjalan masuk ke ruangan dokter.

"Selamat siang, Dokter Alex!" sapa Intan.

"Oh Mbak Intan? Putri pemilik rumah sakit ini? Pasien itu saudaranya atau temen, Mbak Intan?" tanya dokter.

"Dia teman saya, Dokter, bagaimana keadaannya?" tanya Intan.

"Dia harus segera dioperasi, Mbak. Kaki sebelah kiri patah," ujar dokter.

Tapi dia tidak parah kan, Dokter? Kenapa dia belum sadar?"

"Benturan di kepalanya sangat kuat, Mbak. Tolong selesaikan administrasi dan tanda tangan persetujuan tindakan, ya Mbak? Maaf, hanya sebagai formalitas saja!" pinta dokter.

"Iya Dokter Alex, aku akan segera menyelesaikan administrasinya. Tolong segera operasi dia ya, Dok!" katanya sambil beranjak pergi.

***

Keesokan harinya Ishita baru sadar setelah menjalani operasi. Semua serasa mimpi, dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dengan heran.

"Rumah sakit? Jadi aku kemarin tertabrak saat menolong nenek itu?" tanya Ishita dalam hati.

"Siapa yang membawa aku ke sini? Bagaimana aku mencari uang untuk biayaku di sini? Bagaimana juga dengan operasi ayah? Kenapa aku malah tiduran di sini sih?" lanjutnya.

Ketika dia hendak bangun, dia merasakan sakit di sana-sini, kepalanya masih pusing karena benturan yang teramat keras. Belum lagi rasa sakit di kaki karena operasi. "Bagaimana aku mencari uang, untuk bangun saja aku tidak bisa? Kenapa ini harus terjadi padaku?" jeritnya dalam hati. 

Dengan menggigit bibir bawahnya dengan kuat seolah dia ingin mengalihkan rasa sakit dan galau di hatinya.

Dret ... Dret ... Dret ..! Ponsel Ishita berdering, tampak profil Ririn adiknya. 

Hatinya seperti tercabik, "Bagaimana aku menjawabnya? Jangankan untuk biaya operasi ayah, bahkan untuk biaya perawatan aku di sini aku tidak tahu?" tanyanya pada diri sendiri, hingga membuatnya sesak bernafas 

"Assalamualaikum, Ririn?" sapa Ishita ragu.

"Waalaikum salam, Kak Ishi! Bagaimana biaya operasi ayah, Kak Ishi? Kanker ayah sudah menyebar ke paru-paru. Operasi ini tidak bisa ditunda lagi! Kita harus siapkan uang 100 juta, Kak Ishi." Ririn menjelaskan sambil menahan tangisnya.

"Darimana Kakak mendapat uang sebesar itu? Baru empat bulan kakak bekerja, tidak mungkin mengajukan pinjaman," ujarnya memekik sedih.

"Bagaimana kalau kakak bicara sama Kak Affan? Bukankah dia lelaki yang mencintai Kak Ishita dengan tulus? Bukannya minta, namun kita pinjam, Kak Ishi," usul Ririn.

"Kita baru pendekatan, Ririn ... dia memang mencintai aku, tapi aku belum menerimanya. Aku tidak bisa melakukan itu, Ririn," jawab Ishita pelan.

"Terserah Kak Ishi, hidup dan mati ayah ada di tanganmu. Orangtua kita tinggal dia satu-satunya. Dia adalah segalanya bagi kita, Kak Ishi! Hiks ... Hiks... Hiks!" Ririn menangis.

"Ririn, aku juga ingin ayah tetap hidup untuk kita. Kalau saja ada orang yang menginginkan ginjalku, aku akan berikan asal dia bisa membiayai operasi ayah. Dia juga segalanya bagiku, Ririn. Tapi Kak Ishi tidak berdaya," jawab Ishita menangis histeris.

Ternyata sakit tubuhnya karena kecelakaan tidak seberapa dibanding sakit hatinya karena ketidakberdayaannya menyelamatkan ayahnya yang sekarat.

"Sekarang Kak Ishi dimana?" tanya Ririn pelan menahan kecewa.

"Kak Ishi lagi kerja di kantor, sudah dulu ya, nanti kita bicara lagi," katanya berbohong kemudian menutup teleponnya.

Tak kuat lagi menahan perasaannya Ishita menangis histeris. "Bagaimana aku membayar biaya rumah sakit ini? Apalagi untuk operasi ayahku? Bagaimana? Hiks ... Hiks ... Hiks ...!"

"Kamu tidak perlu menjual ginjalmu, Ishita!" Kata Intan yang ternyata sudah lama berdiri di depan pintu.

"Kamu ... kamu siapa? Kok tahu namaku?" tanya Ishita sambil mengusap air matanya.

Maaf, aku mengambil ID kamu di dompet, saat mengurus administrasi. Jangan khawatir biaya rumah sakit sudah beres kok," kata Intan dengan datar.

"Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Ishita seolah tak percaya.

"Kok begitu bilangnya, terima kasih kek!" sahut Intan.

"Baik, terima kasih ...." 

"Namaku Intan," sahutnya.

"Terima kasih, Mbak Intan."

"Harusnya nenek itu yang aku tabrak, kamu sih sok baik hati pake' nolongin dia. Jadi kamu kan yang celaka, jadi nggak bisa cari uang untuk operasi ayahmu. Tapi untuk operasi besar seperti ayahmu biayanya besar juga lo, dimana kamu mau cari uang sebanyak itu?" tanya Intan seolah mengejek.

"Aku baru empat bulan kerja di Jakarta, Mbak," ujar Ishita.

"Iya aku udah tahu. Kamu pernah dengar ada istilah, kejamnya ibu kota lebih kejam dari ibu tiri?"

"Iya," jawab Ishita pelan.

"Baru kerja empat bulan butuh uang sebanyak itu, dimana kamu mencarinya?" tanya Intan seolah mengejek lagi.

Ishita hanya terdiam, tiba-tiba air matanya bergulir jatuh di pipinya yang putih perona.

"Kamu tidak perlu menjual ginjalmu, cukup sewakan rahimmu untukku! Aku akan membiayai seluruh pengobatan ayahmu sampai sembuh," tawar Intan.

"Apa maksutnya, Mbak?"

"Aku wanita yang kurang beruntung, Ishi, karena sakit polip rahim, membuat rahimku harus diangkat. Sedang aku dan suamiku adalah anak tunggal, kami butuh penerus generasi keluarga. Aku pinjam rahimmu untuk melahirkan benih suamiku. Kamu pernah mendengar istilah inseminasi?" tanya Intan kepada Ishita.

"Memasukkan sperma ke rahim? Artinya aku harus mengandung anak dari suamimu, begitu?" 

"Tolong aku, Ishita, please!" pintanya memohon sambil mendekap tangan Ishita.

"Aku Belum mau hamil Mbak, usiaku masih terlalu muda untuk hamil. Aku baru lulus SMA enam bulan yang lalu. Aku masih pingin bekerja sambil kuliah. Maaf!" tolak Ishita dengan pelan.

"Cuma butuh waktu sepuluh bulan, Ishi. Tolong!" kembali Intan mengiba.

"Tapi aku sudah punya pacar, Mbak, aku yakin dia tidak akan setuju," jawab Ishita menolak.

"Pikirkan dulu, kamu tidak harus menjawab sekarang. Perlu kamu ingat bahwa nyawa ayahmu sedang kamu pertaruhkan. Aku berjanji tidak hanya membiayai operasi ayah kamu, tapi saat kamu dinyatakan hamil, aku akan memberi uang satu milyar. Kamu bisa kuliah kan dengan uang itu? Pikirkan baik-baik, kesempatan tidak datang dua kali," janjinya kemudian pergi meninggalkan Ishita.

"Tidak ... tidak mungkin aku hamil di usiaku saat ini. Bagaimana perasaan Mas Affan? Apa kata orang-orang di kampungku? Itu tidak mungkin, aku tidak mau ...!" monolognya.

***

Keesokan harinya,

Dret ... Dret ... Dret! Ponsel Ishita berdering, Ishita terperanjat kaget, takut telepon itu akan membawa kabar buruk tentang ayahnya. Hatinya berdebar kencang, "Bagaimana kalau telepon Ririn ternyata mengabarkan kalau ayah ... oh tidak!" pikir Ishita.

"Iya Ririn, ada kabar apa?" tanyanya saat telepon diangkat.

"Ayah kritis, Kak Ishi, dia harus pindah di ICU, kita butuh biaya," ujar Ririn sambil menangis.

"Dokter kemarin sore menanyakan lagi, kapan siap uang untuk operasi ayah? Kita video call ya, biar Kak Ishi tahu kondisi ayah?" pinta Ririn calling video.

Dan Ishita ragu untuk menerimanya, karena selama ini dia menyembunyikan dari Ririn kalau dia kecelakaan. Tapi dia ingin tahu keadaan ayahnya. Dengan terpaksa Ishita menerima panggilan video dari Ririn.

"Ririn?" sapa Ishita begitu panggilan video diterima.

Betapa terkejutnya Ririn melihat Kakaknya terbaring dengan kondisi mengenaskan.

"Apa yang terjadi denganmu, Kak Ishi?" tanya Ririn.

"Kak Ishi tidak apa-apa Ririn, cuma kecelakaan kecil," jawab Ishita menenangkan.

"Kok bisa, bagaimana ceritanya, Kak Ishi?" sahut Ririn.

"Ah tidak penting, jangan khawatir! Tolong video arahkan ke ayah, Ririn!" pinta Ishita.

Ririn segera mengarahkan kamera ke ayahnya yang sedang terbaring koma dengan nafas yang tersengal-sengal. Sontak hancur lebur hati Ishita melihat ayahnya yang terbaring tak berdaya untuk berjuang hidup.

Lima bulan yang lalu dia adalah sosok perkasa yang melindungi dan mengayomi anak-anaknya. Sosok lelaki penyayang yang siap berkorban apa saja buat anak-anaknya.

"Ayah ... Ayah ...Ayah! Hiks...hiks...hiks..!" tangis Ishita histeris.

"Jalan satu-satunya dia harus operasi, Kak Ishi! Kita tidak bisa berbuat apa-apa, kita pasrah saja menyaksikan ayah kita kesakitan seperti itu. Hiks ... Hiks ... Hiks...!" kata Ririn disela tangisnya.

Tak kuasa lagi menyaksikan penderitaan ayahnya, dalam tiap tarikan nafasnya sangat menyiksanya. Ishita segera memutus sambungan video call, tangisnya semakin histeris.

"Aku tidak mau menyesal gara-gara keegoisanku. Ayah adalah segalanya bagiku," monolog Ishita.

"Selamat pagi, Ishi?

"Mbak Intan?"

Jawaban apa yang diberikan Ishita buat Intan?

Bersambung ...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Suwati van Rooij
nice story thor!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status