Entah kenapa Kae kadang-kadang membuatnya kehilangan kontrol diri dan nyaman bersamanya. Namun setiap Erick mengingat apa yang sudah ia lakukan pada istrinya, ia berubah menjauh. Pria ini berusaha mengingatkan pada dirinya bahwa ia sedang berpura-pura. Tidak ada cinta di antara mereka kecuali antara pelaku dan korban yang suatu hari akan ketahuan juga. Demi hari itu datang, ia harus membuat Kae bahagia atau wanita itu akan menuntutnya. Erick masih ingat betapa dari mulut wanita ini keluar kata-kata yang menyakitkan yang membuat ia merasa semakin bersalah dalam menjalani hidup. Ia tak tahu bagaimana cara memperbaiki, pun juga membantahnya karena ia tak punya orang tempat bertanya. Dulu, ibunyalah yang selalu menanamkan agar dirinya menjalankan agama dengan benar tapi sekarang .... Pria itu melambaikan tangan seiring ia pergi keluar rumah. Sebenarnya, menjalankan kehidupan berumah tangga, ia sendiri tak yakin karena hal ini. Ia butuh tempat berpegang padahal ia adalah kepala rumah tan
Kae berusaha berenang ke permukaan. Sepertinya airnya tak terlalu dalam. Ia berenang hanya mengandalkan tangan karena kakinya tak bisa digerakkan. Saat Kae menaikkan kepala, kursi rodanya ikut tercebur dan menimpa kepala. "Ah!" Kepalanya terasa sakit tapi ia tetap berjuang untuk naik kembali. 'Bang ... tolong aku!' teriaknya dalam hati. Namun kursi roda yang berat yang menimpa tubuh lumpuhnya dari atas mau tak mau terus menekannya ke bawah. Arus yang bergerak pelan juga tak membantu. Perlahan tubuh Kae turun ke bawah. Ketika ia coba berenang ke samping, rupanya bajunya terjepit di roda kursi roda itu. Segala upaya sudah dicoba agar ia bisa lepas tapi ternyata sia-sia. Ia juga mulai kehabisan oksigen. Akhirnya tubuhnya lemas karena mulai menghirup air. 'Bang. Bang Erick ....' Tangannya berusaha menggapai ke atas. Tepat saat itu seseorang masuk ke dalam air dan mendatanginya. Erick datang dan segera menarik istrinya ke permukaan. Namun usahanya sedikit tertahan karena baju Kae ters
Sesekali Kae masih diurut oleh seorang tukang urut wanita yang didatangkan ke rumah. Sebulan kemudian ia sudah bisa berdiri. Kemudian ia ikut terapi belajar berjalan di rumah sakit dan Erick selalu menemani. "Ayo, sedikit lagi, Sayang," sahut pria itu yang memegangi istrinya dari belakang. Kae tengah berpegang pada dua buah besi di kiri kanannya dan kakinya saat ini hanya bisa bergeser. Itu pun butuh usaha yang keras. "Capek, Bang," keluhnya. "Dikit lagi, Sayang. Nanti kalau kamu sampai ujung, kita makan steak ya. Aku ketemu restoran steak yang enak di jalan dekat sini.""Iya, Bang?" Seketika Kae bersemangat. Erick yang berada di belakangnya tersenyum lebar. Ia tahu cara membujuk istrinya. Itu sangat mudah. Bicara saja tentang makanan enak, semangatnya langsung full. Kae bekerja keras dengan menggerakkan kaki kanannya ke depan dan akhirnya selesai. Ia tersenyum puas dan sang suami memeluknya dari belakang. Pria itu sangat senang bisa menemani istrinya setiap sore ke rumah sakit.
Kae mencubit tangan sang suami yang sedang mendorong dirinya sambil tersenyum lebar. "Sombong sekali kamu, Bang."Erick tertawa demikian juga Kae. Mereka sampai di mobil. Seorang satpam membukakan pintu ketika Erick menggendong Kae. Pria itu juga membantu memasukkan kursi roda Kae yang sudah dilipat ke dalam mobil. "Terima kasih." Erick kemudian masuk ke dalam mobil dan menoleh pada sang istri. "Kae pakaianmu sudah banyak yang sudah kebesaran. Sebaiknya kau beli lagi saja yang baru, yang pas dengan ukuran tubuhmu.""Padahal baju itu masih baru," rajuk istrinya. "Tidak apa-apa. Simpan saja. Barangkali nanti terpakai saat kamu hamil."Kae melirik suaminya. Erick pun salah tingkah. Tidak seharusnya ia membicarakan hal itu karena mereka bahkan belum pernah melakukan malam pertama. "Eh, Bang ....""Eh, kita berangkat saja. Nanti kesorean," potong Erick yang segera menyalakan mesin mobil. Ia tidak mau keadaan menjadi semakin canggung. Mobil pun bergerak melewati pagar rumah yang tinggi
Jessica mengangguk mengerti dan menerima map yang diserahkan bosnya. Ia kemudian pamit sambil masih melirik ke arah Kae. Sekretaris itu masih belum mengerti bagaimana Erick bisa memilih wanita bercadar itu sebagai istri, padahal hidupnya dulu sebagai artis dikelilingi banyak wanita cantik. Setelah sekretarisnya pergi, pria itu menoleh pada Kae. Erick kemudian mengambil jas yang tergantung di sandaran kursi dan membawanya ke sofa tamu. Ia menghampiri sang istri dan menyelimuti tubuhnya dengan jas miliknya. Erick membungkuk tepat di depan wajah Kae yang tertidur lelap. Ia merapikan cadar wanita itu. 'Kalau sedang tidur begini, aku tak bisa melihat matanya yang cantik itu, tapi tidak apa. Sejak dia kurus, wajahnya semakin terlihat manis saja.' Pria itu mengusap kepala sang istri dengan lembut. 'Ayo, kerja lagi!' Erick kemudian bangkit dan kembali ke meja. ****Hari telah malam, saatnya untuk tidur. Erick masuk ke dalam selimut di mana Kae sudah menantinya. Baru saja ia menarik selimu
Mereka baru saja menemui seorang klien, tapi setelah itu Erick tidak beranjak pulang. Padahal biasanya ia segera mengantar Jessica pulang sebelum ia pulang ke rumah. Erick belakangan membeberkan ide baru untuk memperluas usahanya dengan bertemu beberapa pemilik supermarket dan pengiklan dan itu dilakukan setelah pulang kantor. Setelah itu ia akan beristirahat sekitar satu dua jam sebelum memutuskan untuk pulang. Terlihat sekali Erick menghindar untuk cepat pulang ke rumah. Tanpa disadari Jessica memperhatikan itu. Ini membuat ia mendapat kesempatan untuk melakukan niat jahatnya. Kesempatan yang seluas-luasnya. "Pak, mau minum koktail?" tanya Jessica. "Oh, aku nyetir. Aku juga gak mau minum minuman keras.""Ok, apa mau jus?""Mmh, boleh juga." Erick melihat sekitar. "Tapi apa ada minuman seperti itu di sini? Ini 'kan bar. Pesankan saja aku air mineral.""Baik, Pak." Jessica mendatangi bartender dan memesan minuman. Ia memesan koktail dan sebotol air mineral. Setelah bartender itu p
"Ya, itu udah normal, Bang. Mungkin sekitar dua tiga hari lagi.""Mmh." Pria itu melanjutkan sarapannya dengan menyuap sereal. "Kenapa tidak buat saja, Kae. Di rumah. Buat saja apa yang ingin kamu makan." Ia mengganti topik pembicaraan. "Malas, Bang. Aku soalnya ngejar nulis setor bab tiap hari, Bang.""Mmh." Pria itu berhenti mengunyah dan menatap ke arah Kae. "Kamu bukannya tidak bisa masak, ya?"Wanita itu menunduk. "Ya, itu salah satunya.""Kae, memasak itu mudah. Kenapa kamu gak coba? Coba saja yang mudah dulu seperti menggoreng kentang atau telur."Kae mengangkat kepalanya dan mengerutkan hidungnya. "Aku pernah bikin tapi hangus."Erick tergelak. "Kae, ya ampun. Aku tidak tahu kamu tidak bisa masak."Sang istri tidak marah. Ia santai saja menanggapi. "Aku gak begitu suka di dapur, Bang.""Ok, nanti kita masak sama-sama, mau?" bujuk sang pria. "Ya, sudah," jawab Kae dengan malas. Erick mengeluarkan dompetnya. "Ini, kamu ambil sendiri saja duitnya." Ia menyodorkan kartu ATM. "K
Dari cara Kae memilih pakaian, Erick yakin istrinya anak orang kaya. Sebab tidak mungkin, saat datang ke toko, langsung mendatangi sebuah rak dengan merek mahal dan langsung memilih kecuali ia sudah sering memakai merek itu. Namun Erick tak mungkin menanyakan hal itu pada sang istri, karena Kae masih amnesia. "Kamu suka dua-duanya? Beli saja.""Bukannya butuh satu?""Daripada bolak-balik beli. Kamu harus punya cadangan, Kae. Barangkali setelah ini ada pesta atau undangan di tempat lain, mmh?"Kae kemudian melepas pakaian itu dan keduanya mengantri di tempat pembayaran. "Bang, aku masih pegang kartu Abang.""Kartu itu untukmu. Nanti kalau sudah habis, aku transfer lagi. Aku masih punya kartu yang lain." Erick mengangkat kartu hitamnya. Setelah membayar, pria itu membawa Kae ke restoran di lantai atas. Mereka memilih restoran Sunda karena istrinya suka makanan pedas, bahkan lahap makannya walaupun makan dengan sayur kangkung, bakwan dan sambal uleg. Saat mengambil nasi, Erick menahann