"Eh tidak.""Katakan saja. Kami mendengarkan.""Eh ... bapaknya Sasti galak," ucap pembantu itu sedikit enggan. "Oh ... apa kamu takut bertemu dengannya?""Bukan, tapi aku takut saat ke sana, aku bertemu ayahnya."Kae tersenyum lebar. "Bukankah itu artinya sama saja?""Eh, iya ya?" Rani menggaruk-garuk dahinya. "Sebenarnya aku takut, saat aku tanya Sasti, ayahnya ikut campur."Erick mengerut dahi. "Kenapa?""Orangnya agak aneh," ucap pembantu itu dengan kepala miring. "Maksudnya?" Pria bermata biru itu penasaran. "Aku tidak bisa mengerti cara berpikirnya. Dia bisa tiba-tiba ikut campur dan marah-marah.""Darah tinggi atau pemabuk?""Pemabuk!""Pantas." Erick berpikir sejenak. "Tapi apa kau mau menanyakannya?""Ya ... sudah. Mudah-mudahan tidak ketemu bapaknya."****Rani berdiri di depan sebuah rumah petak berukuran sedang dengan cat dinding yang mulai terkelupas di sana sini. Dari luar tampak sepi. Ia membuka pagar dari bambu dan mengetuk pintu. Tak lama pintu dibuka oleh pria yan
Padahal ada Sasti di sana dan coba memisahkan keduanya. Lily memang suka mengatur saat sedang bermain. "Kakak, gak boleh gitu," ucap pembantu itu dengan merentangkan tangannya di depan Gio. Lily merengut. "Dia boddoh kalau dikasih tau!" Lily berkata sengit. Kebetulan Kae masuk ke dalam dan mendengar semuanya. "Eh, Lily. Sudah berapa kali dibilang ya, gak boleh ngomong gitu sama adekmu. Bagaimana kalau Papa dengar nanti, mmh?!" Suaranya terdengar lebih tegas. Ia memang tidak bisa selembut Erick bila berbicara dengan Lily yang sifatnya keras. Seketika Lily menangis. Ia langsung mendatangi sang ibu dan memeluk pinggangnya. Sasti pun berdiri sambil menggendong Gio. Kae hanya bisa menggeleng melihat kedua anaknya menangis. Ia berjongkok dan melihat wajah Lily yang basah dengan air mata. Kae menghapusnya dengan kedua ibu jari sambil menghela napas. "Lily, bicara kasar itu tidak baik. Nanti kamu tidak punya teman." Ia mulai menasihati dengan suara lembut. Biar bagaimanapun ia harus mend
Sasti menoleh. Hatinya teriris. Ke manapun ia pergi, ayahnya pasti akan menghantui. Ke manapun. Adakah tempat yang aman baginya untuk bersembunyi? ****"Hah ... Abi waa ...." Erick tengah bercanda dengan sang bayi yang mulai mengoceh. Bayi itu tersenyum lebar. Kulitnya putih sehingga pipinya yang tembam pink merona. Mulutnya juga mengeluarkan air liur sambil bayi itu memasukkan jemari mungilnya ke dalam mulut. "Ih, ini pasti mau tumbuh gigi nih, Sayang. Udah gatal ngorek-ngorek mulutnya terus dari tadi," terang pria bule itu pada Kae yang sibuk mengetik di ponselnya. "Ih, Abang ganggu terus nih!" Wanita itu merengut tapi ia kemudian bersandar manja pada bahu Erick mengintip bayi Abi. Pria bule itu sibuk menarik tangan sang bayi setiap kali bayi Abi memasukkan tangan mungilnya ke dalam mulut. Akibatnya bayi itu kesal dan mengoceh panjang. "Hazbaibasababa. Hazmazazamama." Matanya membesar membuat wajahnya terlihat lucu. Erick dan Kae tertawa terkekeh. Bayi itu ternyata tengah mar
Sasti berjongkok dengan menahan air mata. Ia mengusap pucuk kepala Gio dengan lembut. "Jadi anak yang baik ya Kak Gio ya? Jadilah pria yang bertanggung jawab.""Awab apa? (Bertanggung jawab apa?)"Sasti memeluknya dengan lembut kemudian melepasnya. Ia tak ingin ada yang tahu air matanya mulai jatuh. Segera ia menunduk. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Kae bersandar pada sang suami dengan wajah nelangsa saat melihat Sasti pergi setengah berlari. "Apakah dia akan bekerja dengan kita lagi, Bang?""Mungkin tidak. Tapi apapun alasannya, kita tak bisa memaksa seseorang untuk mau bekerja dengan kita 'kan?" Kata-kata bijak Erick akhirnya bisa membuat Kae melepas Sasti dengan ikhlas. "Semoga dia baik-baik saja ya, Bang." Kae kembali menitikkan air mata. "Mmh."Sedang Sasti yang bergegas pergi, hanya ingin melindungi Gio. 'Mungkin semakin lama aku di sini semakin aku tak bisa berlaku adil, dan aku tidak mau orang lain curiga. Aku juga tidak ingin ayahmu mengenalmu, Gio. Aku tidak ingin ka
Dalam gegas Erick melewati jalan sempit yang dipenuhi penumpang di kanan kiri hingga ia sampai ke tujuan. Namun, alangkah terkejutnya ia, seorang wanita berjilbab tengah duduk di kursi yang seharusnya jadi miliknya. Erick bertelak pinggang. "Hei, Mbak atau Ibu-Saya tidak tahu ya, tapi kenapa duduk di kursiku?!" tanyanya dengan suara tajam. Wanita bertubuh sedikit gemuk itu menoleh. Walaupun pipinya sedikit tembam, wajahnya terlihat manis dengan kulit putih bersih. Ia merengut walau sempat kaget dengan siapa ia bicara. Tentu saja. Siapa yang tak kenal Erick Adrian, seorang aktor indo yang tengah naik daun. Wajahnya yang bak patung Yunani dengan iris mata sedikit kebiruan, tengah berdiri di hadapan. Melihat dibentak seperti itu, sang wanita sebal bukan main. Untung, seorang Pramugari buru-buru datang menengahi. Ia menarik wanita itu agar berdiri dan meminta maaf pada Erick. "Eh, maaf, Mas. Pesawat Mbak ini delayed karena rusak, sehingga ia terpaksa ditransfer ke sini. Karena kelas ya
Wanita berjilbab itu kini memutar tubuhnya menghadap sang pria bule dengan wajah dingin. "Sehebat-hebatnya kamu, orang hanya ingin melihat kamu di atas ranjang," ucapnya ketus. "Hei, jaga mulutmu, ya! Itu hanya peran, bukan sungguhan!" "Bukan sungguhan? Oya? Apa kamu tidak bersentuhan? Melihat tubuhnya? Tidak merasakan hal yang aneh ketika berada dalam satu ranjang?" Dara bertubi-tubi menjejalinya dengan pertanyaan yang menyindir dan pedas. Sempat terdiam sambil menelan ludah karena kalimat wanita ini seperti menelan jangi dirinya, Erick geram. "Ini hanya pekerjaan. Aku berusaha profesional!" tangkisnya lugas. "Mmh! Profesional?" Ejek sang wanita, melipat tangan di dada. "Jadi kalau kamu diminta untuk disorot tanpa pakaian, apa kamu akan melakukannya? Bagaimana bisa ada orang pintar membodohimu dengan kalimat 'profesional', dan dengan uang yang banyak sehingga kamu tunduk padanya?""Ini bukan masalah uang. Ini semata-mata pekerjaan," elak Erick lirih. Seketika, ia lelah menerangk
Sebuah mobil yang berlari kencang, berhenti mendadak, tapi bukan berarti bisa menghindari tabrakan. Tubuh sang wanita sempat terpelanting ke kaca depan mobil sebelum akhirnya menggelinding jatuh ke trotoar. Sopir ojol yang melihat kejadian itu, kaget. Ia kabur bersama motornya demi menghindari masalah. Pengendara mobil tentu saja syok. Ia tak lain adalah Erick. Sempat bingung harus berbuat apa, akhirnya ia mencoba turun. 'A-aku menabrak orang? Jelas-jelas aku lihat orang itu mental ke kaca mobilku, tapi apa dia baik-baik saja?' Perlahan Erick bergerak ke depan. Ia sedikit gemetar karena ia belum pernah menabrak orang sebelumnya dan ia khawatir akan keadaannya. Sesosok tubuh tergeletak tepat di depan mobil. Tubuh itu tertelungkup, tapi ia yakin itu perempuan karena memakai jilbab. Yang anehnya, ia melihat orang itu punya pakaian yang sama dengan seseorang yang ditemuinya hari ini. Benarkah? Eh .... Masih dalam kebingungan, ia berjongkok. Tubuh itu belum bergerak. Hari sudah mulai g
"Me-nikah?" Kae membulatkan matanya yang sayu. Erick memulai aktingnya, memasang wajah sedih dan mulai membuat kedua netranya berkaca-kaca. "Maafkan aku, Kae. Aku yang membuatmu begini. Saat kau ngambek, kau berlari keluar dari mobil dan tidak melihat ada mobil yang sedang melaju kencang. Kau tertabrak mobil itu. Dibanding mengejar mobil itu, aku lebih memilih membawamu ke rumah sakit, Kae. Maafkan aku." Pria bule itu menundukkan kepala agar terlihat penuh penyesalan. Wanita itu melongo mendengar pengakuan Erick. Semua makin terlihat membingungkan. Ia tidak tahu harus bagaimana menanggapi ini semua. Pria itu sendiri, sedang memikirkan strategi berikutnya. Ia melakukan dengan mulus di hadapan dokter dan suster yang kebetulan ada di sana. Keduanya terharu melihat kesungguhan dan tanggung jawab yang coba Erick emban. Sang pria mengeratkan genggaman, dan kembali menatap ke arah kedua netra Kae dengan sendu. "Kau bilang kau tak mau pacaran, kau ingin menikah saja, tapi waktu itu aku ta